Home / Fantasi / KERUMUNAN ADALAH NERAKA / BAB 3 MUDRA, PENJAGA HARAPAN

Share

BAB 3 MUDRA, PENJAGA HARAPAN

Author: ANOMOV
last update Last Updated: 2024-03-20 05:21:16

Mudra lahir dan besar di Desa Gayam, menyerap setiap nilai dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Desa ini bukan sekadar tempat tinggal baginya, melainkan bagian dari jiwanya. Setiap jalan setapak, setiap rumah, dan setiap wajah warga desa memiliki makna yang mendalam baginya. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa gotong royong adalah napas kehidupan desa, perekat yang menyatukan mereka dalam suka maupun duka.

Mudra dikenal sebagai pemuda yang bijaksana dan penuh semangat. Ia tak hanya berpartisipasi dalam kegiatan desa, tetapi juga berusaha menjaga semangat kebersamaan. Baginya, kebahagiaan sejati adalah melihat senyum di wajah sesama. Ia percaya bahwa desa bukan sekadar kumpulan rumah dan ladang, melainkan sebuah komunitas yang saling mendukung. Satu orang jatuh, yang lain akan membantu bangkit.

Namun, pandemi COVID-19 telah mengubah segalanya. Desa Gayam yang dulu damai dan penuh kehangatan kini sunyi dan mencekam. Ketakutan merayap masuk ke setiap sudut desa, perlahan menggerogoti kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan mereka. Warga yang dulu saling menyapa kini menjaga jarak, bahkan enggan menatap mata satu sama lain. Gotong royong yang menjadi ciri khas desa perlahan memudar, digantikan oleh isolasi dan ketidakpercayaan.

Mudra merasa perih melihat perubahan ini. Ia tak pernah membayangkan desa yang ia cintai bisa terpecah seperti ini. Ia melihat sendiri bagaimana warung Bu Minah, yang dulunya ramai oleh obrolan santai, kini hanya menjadi tempat singgah yang sepi. Ia mendengar keluhan para pedagang pasar yang kehilangan pembeli, menyaksikan anak-anak yang tak lagi berlarian di lapangan desa, dan merasakan atmosfer yang penuh kecemasan.

Namun, Mudra tidak ingin menyerah pada keadaan. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Jika ia membiarkan desa ini tenggelam dalam ketakutan, maka yang akan tersisa hanyalah kehancuran. Dengan tekad bulat, ia mulai berkeliling desa, berbicara dengan warga, mencoba mengembalikan semangat yang telah lama pudar.

"Pak Mudra, bagaimana ini?" tanya Bu Karti, bendahara BUM Desa, dengan wajah cemas. "Modal kita sudah menipis, pemasukan hampir tidak ada."

"Tenang, Bu Karti," jawab Mudra dengan senyum yang mencoba menenangkan. "Kita harus mencari cara lain. Mungkin kita bisa fokus pada produksi masker atau hand sanitizer, kebutuhan yang sekarang sangat tinggi."

"Tapi, siapa yang mau beli?" sahut Pak Darmo, pengurus BUM Desa lainnya. "Orang-orang sekarang lebih khawatir soal makan daripada soal kesehatan."

"Justru itu, Pak Darmo," kata Mudra. "Kita buat produk yang terjangkau, yang bisa membantu warga menjaga kesehatan tanpa memberatkan ekonomi mereka. Kita juga bisa mencari cara agar produksi ini bisa membantu mereka yang kehilangan penghasilan."

Mudra kemudian berjalan keluar kantor, menatap jalanan desa yang sepi. Ia melihat beberapa warga duduk di teras rumah, wajah mereka tampak lesu dan putus asa.

"Pak Mudra, bagaimana dengan bantuan sembako?" tanya Pak Karto, yang sedang duduk di depan rumahnya. "Kita sudah lama tidak dapat bantuan."

"Sedang diusahakan, Pak Karto," jawab Mudra. "Tapi, kita juga harus mandiri. Kita tidak bisa terus bergantung pada bantuan."

"Mandiri bagaimana, Pak Mudra?" tanya Pak Karto dengan nada getir. "Semua usaha sudah tutup, tidak ada penghasilan."

"Kita cari solusi bersama, Pak Karto," kata Mudra. "Kita punya lahan kosong, kita bisa tanam sayuran atau buah-buahan. Kita punya keahlian, kita bisa buat kerajinan tangan. Kita punya semangat, kita pasti bisa melewati ini."

Mudra kemudian pergi ke rumah Kepala Desa. Ia melihat Kepala Desa sedang duduk termenung di ruang tamu, wajahnya tampak lelah dan khawatir.

"Kepala Desa, kita harus segera ambil tindakan," kata Mudra. "Warga semakin putus asa, kita harus berikan mereka harapan."

"Harapan apa, Mudra?" tanya Kepala Desa dengan suara lesu. "Kita sendiri sudah kehilangan harapan."

"Kita punya BUM Desa, Kepala Desa," kata Mudra. "Kita punya sumber daya, kita punya warga yang kuat. Kita bisa bangkit bersama-sama."

"Tapi, bagaimana caranya?" tanya Kepala Desa. "Semua orang takut keluar rumah, semua usaha sudah tutup."

"Kita buat strategi baru, Kepala Desa," kata Mudra. "Kita manfaatkan teknologi, kita jual produk secara online. Kita buat program pelatihan online, kita berikan warga keterampilan baru."

Kepala Desa terdiam sejenak, menatap Mudra dengan pandangan penuh harapan.

"Kamu benar, Mudra," katanya akhirnya. "Kita tidak boleh menyerah. Kita harus bangkit kembali."

Mudra tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan masih panjang dan penuh tantangan. Namun, ia yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa melewati masa sulit ini. Ia percaya pada kekuatan komunitas, pada semangat gotong royong yang telah mengalir dalam darah mereka.

Mudra kembali ke kantor BUM Desa, kali ini ditemani oleh beberapa pemuda desa yang masih memiliki semangat untuk membantu. Di ruangan kecil yang pengap itu, mereka berkumpul, merancang strategi untuk membangkitkan kembali ekonomi desa.

"Kita bisa mulai dengan memanfaatkan lahan kosong di belakang balai desa," kata Roni, salah seorang pemuda yang mahir bertani. "Kita tanam sayuran yang cepat panen, seperti kangkung atau bayam."

"Ide bagus, Roni," timpal Siti, seorang gadis yang pandai memasak. "Hasil panennya bisa kita olah menjadi makanan siap saji, lalu kita jual secara daring."

"Tapi, bagaimana dengan modalnya?" tanya Budi, pemuda yang memiliki usaha kerajinan tangan. "Kita kan sudah kehabisan uang."

Mudra tersenyum. "Kita bisa ajukan rencana program kerja BUM Desa kepada pemerintah desa untuk mendapatkan dana bantuan. Kita juga bisa mengajak warga untuk berinvestasi, dengan sistem bagi hasil. Tidak harus penyertaan modal dalam jumlah besar."

Mereka pun mulai bekerja, merencanakan setiap detail usaha mereka. Mereka tidak lagi merasa takut atau putus asa. Semangat gotong royong yang dulu pernah hilang kini kembali membara dalam diri mereka.

Di luar kantor BUM Desa, desa masih tampak sepi dan sunyi. Namun, di dalam hati Mudra, harapan mulai tumbuh kembali. Ia percaya bahwa setiap usaha kecil yang mereka lakukan akan membawa perubahan besar bagi desa. Ia akan terus berjuang, menjadi penjaga harapan bagi desanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   54 (TAMAT) EPILOG JUM'AT LEGI

    Seratus purnama berlalu. Malam Jum’at Legi. Senja merayap di Desa Gayam, menyelimuti hamparan sawah dengan kabut tipis. Ki Rajendra, Mudra, Vanua dan Sari tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, seolah dipanggil oleh bisikan angin yang tak terlihat.Ki Rajendra, berdiri di depan gerbang rumah, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Tempat ini... seolah memanggilku," gumamnya, lebih pada diri sendiri.Mudra, dengan kotak kayu di tangannya, datang dengan langkah ragu. "Aku tidak tahu mengapa aku di sini," katanya pada Ki Rajendra, alisnya berkerut. "Tapi ada dorongan kuat yang menarikku."Vanua, dengan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tampak gelisah. "Aku mendapat pesan aneh, sebuah undangan yang tidak jelas," katanya sambil melirik jam tangannya. "Aku harus segera pergi, tapi... sesuatu menahanku."Sari, dengan gaun putihnya yang lusuh dan bunga layu di tangan, tiba dengan tatapan kosong. "Aku hanya mengikuti jalan ini," katanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada a

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 53 KERUMUNAN SERATUS MILYAR

    Setelah pertemuan terakhir dengan Victor dan para pemegang kekuasaan lainnya, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra merasa ada sedikit angin segar. Keputusan dari kelompok pedagang kecil untuk bersatu dan mendukung mereka bukan hanya sebuah kemenengan kecil, tetapi juga sebuah tanda bahwa harapan masih ada di tengah dunia bisnis yang gelap dan penuh perlawanan ini.Ini baru permulaan. Kerumunan yang mereka hadapi jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan. Setiap langkah mereka akan dipantau dengan cermat oleh para pesaing besar yang berusaha mengendalikan pasar ini.“Ini bukan hanya tentang produk kita,” kata Sari, menatap layar laptop yang menunjukkan grafik distribusi dan proyeksi pasar. “Ini adalah tentang menciptakan ruang baru di pasar yang sudah padat. Tentang memberi kesempatan bagi mereka yang selama ini terabaikan.”Vanua yang masih terombang-ambing antara harapan dan keraguan, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tapi bagaimana kita bis

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 52 DUKUNGAN DARI KERUMUNAN PEDAGANG KECIL

    Malam itu, mereka berkumpul di sebuah warung kopi sederhana. Seorang pedagang kopi, Pak Anton, yang sudah lama berjuang melawan kekuatan besar, berbicara dengan mereka tentang perjuangannya. “Kalian mungkin tidak tahu apa yang kalian hadapi. Para pemilik perusahaan besar ini mengendalikan semuanya—dari pasokan hingga distribusi. Mereka bisa menghilangkan kita hanya dengan satu pergerakan. Jika kalian tidak siap, kalian akan menjadi bagian dari kerumunan yang tak terhindarkan itu.”Mudra menghela napas. “Kami tahu persis tantangan yang ada. Tapi kita harus tetap berpegang pada prinsip kita. Jika kita bisa membangun jaringan distribusi berbasis komunitas, kita bisa menawarkan alternatif yang lebih adil.”Ki Rajendra mengangguk. “Keberanian bukan hanya tentang melawan, tetapi tentang memilih jalan yang benar meski ada kerumunan yang menghalangi kita. Ini adalah saatnya untuk melihat lebih jauh dari kerumunan ini, untuk menemukan jalan keluar yang kita butuhkan.”Mereka menghabiskan malam

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 51 MEMBAWA API PERTUMBUHAN

    Sinar pagi merayap perlahan melalui celah-celah jendela besar di hotel pusat bisnis Surabaya. Suasana di dalam ruangan konferensi terasa tegang, dengan udara yang berat dan penuh ketidakpastian. Di meja panjang yang dikelilingi oleh eksekutif-eksekutif besar, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra berdiri, mempersiapkan diri untuk presentasi yang bisa menentukan masa depan mereka. Di luar sana, kerumunan pasar Surabaya mulai bergerak, menciptakan dunia yang penuh dengan peluang dan ancaman.Mereka berada di titik yang lebih jauh dari sekadar kompetisi pasar. Keputusan yang akan diambil di sini bukan hanya tentang air minum kemasan, tetapi juga tentang apakah mereka dapat menembus jaringan kekuasaan besar yang telah lama berakar.Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dengan dasi merah, memasuki ruangan dengan langkah percaya diri. Namanya Victor, CEO dari perusahaan air minum multinasional yang sudah mendominasi pasar di Surabaya dan sekitarnya. Dengan pandangan yang tajam, di

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 50 MENYULUT API PERTARUNGAN

    Surabaya, kota yang tak pernah tidur, kini menjadi medan pertempuran yang lebih kompleks dan lebih sulit dipahami. Semakin mereka menyelami dunia pasar yang dipenuhi kerumunan yang keras dan penuh persaingan, semakin mereka merasa semakin jauh dari akar mereka. Namun di sisi lain, mereka juga mulai merasakan api yang membara di dalam diri mereka. Api yang menyala di dalam diri mereka adalah hasrat, semangat, dan tekad untuk meraih sesuatu yang lebih besar."Ini bukan hanya tentang air," kata Mudra dengan suara penuh tekad, menyeringai. "Ini adalah tentang perubahan, untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis. Kami datang untuk membangun sistem distribusi yang berbasis komunitas, dan bukan hanya sekadar keuntungan."Namun, semakin mereka melangkah lebih dalam, semakin terasa bahwa ini bukan hanya sebuah persaingan bisnis. Mereka merasakan adanya kekuatan yang lebih besar, yang terhubung pada sistem yang mengikat mereka dalam kerumunan yang sama.Di malam hari yang penuh k

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 49 KONSPIRASI DI BALIK BAYANGAN

    Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Ki Rajendra menatap mereka dengan tatapan serius, dan tanpa berkata-kata langsung membuka kartu tarot yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan mereka. “Apa yang kita hadapi bukan sekadar masalah bisnis. Kita berada di persimpangan jalan yang penuh kabut dan bayangan. Seperti kartu The Moon, kita harus mencari kebenaran dalam kegelapan.”Mudra merenung, melihat ke luar jendela yang memantulkan cahaya redup dari matahari yang terbenam. “Bayangan... Begitu banyak yang tersembunyi di balik setiap keputusan. Kita hanya bisa melihat bagian luar dari masalah ini, tetapi ada kekuatan besar yang menggerakkan semuanya di balik layar.”Sari, yang semakin paham akan peran mereka, menambahkan, “Kita harus menggali lebih dalam. Menyelesaikan masalah ini tidak hanya soal mengalahkan kompetisi, tetapi mengungkap siapa yang sebenarnya menarik tali di balik semua ini.”Vanua, yang sebelumnya lebih memilih menghinda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status