Share

BAGIAN 3 NI GRENJENG

Tidak ada kata menyerah bagi Mudra. Bagaimanapun, Mudra harus menagih cicilan utang pada lelaki di Desa yang punya ilmu kebal: Rontek. 

Senja yang menawan tak berarti lagi baginya. Cahaya keemasan di ujung senja menimbulkan nyeri di ulu hati. 

Tiga bulan lebih Mudra tidak memegang uang karena perputaran dana bergulir mengalami kemacetan. Satu orang saja dalam kelompok pemanfaat dana bergulir gagal bayar, maka bisa dipastikan kelompok itu harus tanggung renteng membayar atau terhenti kegiatan produksinya. Apalagi di masa pagebluk seperti ini, nasib kelompok usaha di Desa sedang jatuh ke dasar mata air. Berteriak dari kedalaman pun tak ada guna.

“Aku mau menagih cicilannya tetapi wajahnya kalau ditagih pasti bermuka masam. Berbeda sekali kalau mengajukan pinjaman, wajahnya secerah matahari, dan memelas seperti kelinci,” keluh Mudra pada Bu Raisa Kepala Desa. 

“Ketika aku menagihnya, disuguhi air putih di gelas kecil seukuran mainan anak PAUD, itu sudah lumayan. Pernah, aku dibawakan parang sebelum kaki saya masuk ke pintu rumah.”

Raisa terperanjat. Sambil berjalan memasuki ruangan kerja BUM Desa, ia berkata “Jangan guyon!”

“Aku tidak bergurau, bu Raisa, Rontek itu sakti. Orang-orang bergunjing kalau ia sering bersemadi di pinggir mata air purba di bagian timur Desa kita…”

“Bagaimana kalau kamu bermeditasi juga, tembus alam lain supaya Rontek mau bayar cicilan?”

Mudra tak langsung menjawab. Berdiri di jendela, menghadap ke mata air purba, tertegun melihat sepinya pengunjung wisata, lalu melangkah ke luar ruangan.

“Saya akan coba, bu Raisa, sekalian saya bersiap dan pamit pulang,…”, kata Mudra perlahan.

Dengan perasaan antara percaya dan tidak yakin akan kegunaan meditasi untuk penagihan cicilan hutang, Mudra berlatih sikap Sadar Pasif-Responsif. Bangun pagi. Duduk di kasur. Maklum, ia tak punya matras meditasi seperti kaum meditasi klas menengah perkotaan. Kalau ia bermeditasi di teras rumah, bakal dikira mengamalkan pesugihan. Kecurigaan semacam ini biasa terjadi di wilayahnya.

Ia hanya menyadari napas di ujung hidungnya. Batin menerima apa adanya. 

Sikap jengkel pada peminjam dana bergulir berlompatan selama meditasi. Wajah Rontek membayang di alam bawah sadarnya.

“Dasar monyet…, ” katanya dalam batin. Pikiran yang melompat tak beraturan itu sering terjadi pada dirinya selama bekerja. 

Alam bawah sadar telah merebut jiwanya. Kini semua kejengkelan tampak jelas selama meditasi. Seperti Monyet berwarna coklat, melompat-lompat bergelantungan di pepohonan Gunung Merapi.

Tiga puluh menit Mudra berjuang menyadari seluruh kejengkelannya. Ia berhasil menerima sikapnya selama ini sebagaimana apa adanya. Cukuplah Mudra mencatat dalam batin atas suara atau visualisasi atas perasaannya kepada Rontek.

“Aku terima perlakuan Rontek kepadaku, sebagai MONYET yang berlompatan di pikiranku. Ya, hanya kuterima sebagai pikiran…”

Semakin kedalam keheningan diri, Mudra masuk ke alam visual meditation. Arwah Ni Grenjeng! Sosok arwah itu berjalan di tepian sumber mata air purba. Persis seperti film drama korea yang mistis.

“Aku tahu rapal mantramu, wiridmu, karena aku sudah disini ratusan tahun. …. Aku lelah dimanipulasi manusia di sekitar sini. Disuruh menjaga supaya tak ada korban tenggelam…..Tapi perilaku mereka hanya memanfaatkanku.”

Mudra terdiam tanpa komentar.

Lanjutnya, “Yang kubutuhkan hanya kejernihan batin mereka supaya aku kembali ke alam asal. Yang Tak Dikenal.”

***

Sesampai di rumah Rontek, ia tatap mata mereka sekeluarga. Tepat di antara kedua alisnya. 

Aneh….

Sambutan ramah diterimanya begitu saja. Suguhan kue lebaran masa pagebluk dihidangkan di meja. Mumpung gratis, ia makan kue itu sebanyak mungkin. Tak lupa mengambil sedikit dan disimpan di plastik, tentu setelah ditawari pemilik rumah. Untuk camilan di perjalanan yang kadang menapak aspal dan juga jalan berlumpur.

“Maaf mas, kami tidak punya uang banyak selama pagebluk. Tetapi kami ada sedikit uang dari jualan beras, tapi bukan beras bantuan pangan yang kadang berkutu dan cocok dimakan ayam. Beras ini hasil keringat kami sendiri…” Sama sekali tak nampak kegarangan Rontek seperti sekian bulan purnama lalu.

Lega kiranya mendengarnya. 

Tapi mengapa ada pendaran putih di samping Rontek! Dan terdengar audio batin seperti di film drama korea Legend of the Blue Sea?

“Sampaikan kepada pemilik rumah ini, supaya mendoakanku untuk segera lanjut manunggaling Gusti. Sentuh tangannya sambil pamitan, selebihnya urusanku meminjam batinnya agar ia pergi ke petilasan dan tepian mata air purba…”

Setengah merinding di siang hari, Mudra menjalani pesan arwah itu. Ia tak peduli suara itu suara jin, setan atau suara artis drama korea. 

Yang penting, cicilan sudah terbayar walau sedikit, ditambah keramahan pemilik rumah tanpa diduga.

***

Di malam hari, Mudra tidur nyenyak. Mimpi basah. Basah keringat. Kembali ia mendengar suara batin itu.

“Terima kasih sudah mendoakanku. Selama 150 tahun aku disebut Ular Penunggu Pepunden. Namaku bisa saja berganti panggilan: Ni Grenjeng. Lebih tua desa ini daripada diriku. Dulu aku punya utang kepada Volkscredietbanken. Simpan pinjam zaman Belanda. Karena tidak bisa bayar, aku difitnah, dikucilkan oleh pendukung bank itu, mati karena gangguan, jiwa. Aku memilih gila daripada menerima fitnah.”

Setelah mendengar audio batin itu, kerongkongan Mudra tercekat, antara mau bangun tidur atau melanjutkan mimpi. 

Mudra memutuskan bangun dari kasur dan menikmati sensasi merinding sesaat di malam hari. Bukan takut yang menyerang dirinya. Bukan cemas dan marah menyergapnya.

Senyap.

Mudra merinding karena mendapat pesan audio batin lanjutan:

“Tatap mata pembayar cicilan dengan keheningan, banyak kejutan yang kau dapat.”

“Yang Telah Dilakukan Leluhur, Sempurnakanlah, Nak…”

        Wong tuwa sing tapa (Orang tua yang bertapa)

        Anak sing nrima (Anak yang menerima berkahnya)

        Putu sing nemu (Cucu akan kembali menemukan berkah itu)

        Buyut katut (Orang tua dari kakek-nenekmu ikut serta menikmati keberkahan)

        Canggah kesrambah (Orang tua dari buyutmu terimbas keberkahan jua)

        Wareng kagandheng (Orang tua dari canggah tergandeng pula)

        Udeg-udeg siwur misuwur (Orang tua dari Wareng akan termuliakan)

Mudra bersila hanya beberapa jengkal dari pintu rumah di ruang tamu. 

“Utang memang pelik. Segala upaya harus dicoba untuk melunakkan hati yang panas. Arwah gagal masuk ke alam cahaya tanpa batas, alam Yang Tak Dikenali, hanya karena utang pada masa kolonial.”

Hujan angin menyerbu tanah kering. Atap rumah berderit. Seng-seng berkerit memerahkan telinga. 

Mudra memeriksa pintu. Menguncinya. Masuk ke kamar. Memejamkan mata tanpa mengelak dari pesan arwah Ni Grenjeng. 

Pada malam ini, ya, malam ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status