"Siapa, Mas?" tanyaku menyelidik."Nggak tahu, nggak ada namanya. Siapa ya, Dek?" tanya Mas Fariz dengan tangan gemetar."Nggak usah diangkat, Mas. Aku takut!" pesanku. Kemudian Mas Fariz tidak mengangkat teleponnya. Iya menuruti kemauanku.Kami melanjutkan perjalanan lagi, tapi nomer yang tadi berkirim pesan pada Mas Fariz. Aku intip dari layar depan, ternyata teman lama Mas Fariz yang tadi menghubungi.[Riz, tolong angkat, gue mau bicara penting! Tria Juna.]"Balas, nggak Dek?" tanya Mas Fariz. Aku mengingat kembali nama yang mengirimkan pesan pada Mas Fariz. Namun, sudah berulangkali mengingatnya tak jua muncul di ingatanku."Siapa, sih? Tria Juna, kok aku lupa!" ucapku mengerenyitkan dahi. Tak kunjung ingat juga hingga langkah kaki sudah tiba di parkiran."Itu loh, Dek. Teman kerja dulu waktu sebelum ketemu kamu, yang Mas ceritain pernah ngekost bareng." Aku baru ingat setelah Mas Fariz menjelaskan siapa lelaki itu. "Balas saja, telepon setelah sampai ke rumah, kita ke rumah Mama
Ketika kita sudah pasrah dengan hidup ini. Maka Tuhan akan memberikan segala sesuatu yang terbaik untuk umatnya. Termasuk pekerjaan yang Mas Fariz dapatkan. Saat aku dan Mas Fariz menyerahkan ini semua pada takdir. Maka Tuhan yang turunkan rezeki yang sebelumnya tersendat. Atau mungkin ini juga karena sedekah kami pada Kak Murni? Sebelumnya kami telah berniat untuk mengikhlaskan utang Kak Murni pada kami.Tante Lira yang sedang mengalami musibah, ia mengeluhkan keadaannya yang sekarang. Mungkin pikiran Tante sedang kacau, tak ada suami yang menemani saat pikiran ia sedang berada di titik keputus-asaan."Kalian enak sekali, tidak mengalami musibah seperti Tante." Aku dan Mas Fariz menoleh ke arahnya. Kenapa Tante Lira tiba-tiba bicara seperti itu? "Lira, jangan bicara seperti itu! Kamu kan tidak tahu kehidupan Raya dan Fariz untuk mencapai ini semua juga penuh perjuangan. Janganlah kamu menilai saat orang berada di puncak kejayaan, lihatlah perjuangannya." Mama menasihati Tante Lira l
"Eh, ini ada apa, Pak?" tanya mama kudengar. Lalu mama menekan tombol speaker agar aku juga dapat mendengarkan ucapan orang yang menghubungi Tante Lira."Baik, Bu. Saya beritahukan bahwa saudara Dio kami tahan karena telah menggunakan obat-obatan terlarang. Saat ini berada di kantor polisi." Mama agak santai, tak seperti Tante Lira yang panik."Dio nama panjangnya siapa ya, Pak? Yang Bapak tangkap itu," tanya mama menyelidik. Kami harus hati-hati, zaman sekarang yang menipu dengan cara menakuti keluarga."Emm, Ibu kok bicara dengan polisi begitu?" Mama tertawa kecil. Aku pun sama, Tante Lira yang tadinya menangis segera menghapus air mata yang sudah terlanjur tumpah."Kata Bapak, Dio tadi ditahan, pasti sudah diambil KTP nya, kan? Bisa sebutin nama dari yang punya KTP?" tanya mama. Kini laki-laki yang di seberang sana bergeming. Kemudian tidak lama setelah ia terdiam, laki-laki yang mengaku polisi itu makin tambah marah."Kalian ingin saya obrak-abrik rumahnya? Kalian nantangin saya?"
Setelah aku sadar dari pingsan. Aku sudah dikelilingi warga setempat."Kamu sudah sadar, Raya? Sepertinya kamu masuk angin," ucap mama. Kemudian aku bangkit masih agak pusing kepala ini."Sudahlah, kamu di sini saja dulu," ucap Mas Fariz. Aku tidak bisa, lebih baik aku berusaha terlihat sehat saja di hadapan mereka."Kita pulang, sekalian mampir ke klinik, bagaimana, Mas?" tanyaku sembari memperlihatkan kondisi yang sudah membaik agar diizinkan untuk pulang.Belum dibawa ke klinik, seperti biasa mama pikir aku masuk angin, jadi dikerok terlebih dahulu seluruh badan. Kemudian setelah selesai kerokan. Barulah aku pulang dan mampir ke klinik terdekat."Ayo, kerokan dulu. Kamu masuk angin," ucap mama kemudian aku masuk ke kamar. Namun baru dua baris dikerik ternyata tidak merah."Merah atau nggak, Mah?" tanyaku."Nggak merah, berati bukan masuk angin." Mama menghentikan kerokannya."Kan tidak masuk angin, jadi aku pulang, ya! Nanti di jalan aku mampir ke klinik," kataku pada mama. Kemudia
Ya Tuhan, kakakku bagaimana keadaannya di sana? Apakah suaminya tidak bertanggung jawab atas pernikahan mereka? Kalau terjadi sesuatu dengan Kak Murni, aku akan meminta pertanggungjawaban dari suaminya, Mas Aldi.Kenapa Kak Murni bisa putus asa seperti ini? Itu artinya, ia sudah tak ada teman untuk berkeluh kesah. Di mana Mas Aldi berada saat ini? Apakah ikut putus asa juga bersama Kak Murni? Apa mereka ingin mati berdua?Pikiranku kini gelisah, rasa cemas begitu melanda. Tidak bisa kubiarkan ini terjadi pada kakakku. Mama harus tahu kabar ini.Aku segera mencari kontak mama lagi, dan menghubunginya lalu memberikan informasi bahwa Kak Murni kini ingin bunuh diri."Halo," ucap mama."Halo, Mah. Syukurlah langsung diangkat," ujarku saat mama baru mengucapkan kata halo."Ada apa, Raya?" tanya mama. Sepertinya ia belum mengetahui keadaan Kak Murni. Astaga, aku bingung harus bicara mulai dari yang mana."Kak Murni, Mah. Ia ...." Aku tak sanggup mengungkapkan ini semua."Raya, ada apa? Jang
"Kamu tidak tahu rasanya jadi aku? Sesekali bertukar posisi!" pungkasnya sambil sesegukan.Ia terus menerus membenarkan perbuatannya ingin mengakhiri hidupnya. Seandainya Kak Murni ingat bagaimana dulu aku sulitnya mencari uang untuk sekadar makan, pasti ia tidak seperti ini."Kak, dengar aku baik-baik. Orang yang berputus asa itu, hanya orang yang tidak mempercayai adanya takdir. Ini takdir dari Allah, Kak Murni hadapi, jangan menyerah!" ucapku kini mulai membangkitkan semangatnya. Tidak ada gunanya menyalahkan perbuatan yang telah lalu. Ini saatnya memberikan ia semangat baru."Aku nggak kuat, Ray. Mas Aldi juga nggak cari Kakak.""Siapa bilang? Mas Aldi ada di rumah Mama. Kita ke sana, yuk! Selesaikan masalah dengan kepala dingin," ujarku mengajak Kak Murni bergegas ke rumah mama. Namun, Mas Fariz keburu pulang."Wah, ada tamu. Kapan datang, Kak?" tanya Mas Fariz. Kemudian Kak Murni menyeka air matanya."Baru setengah jam yang lalu, kamu baru pulang kerja? Katanya sudah dipecat? Ap
Jangan pernah berputus asa, karena putus asa itu hanya untuk orang yang tak percaya takdir. Takdir yang sudah ditetapkan Tuhan untuk umatnya.Kak Murni dan Mas Aldi bangkit kembali dari keterpurukannya. Itulah manusia, ada naik turunnya iman. Kadarnya kadang sedikit kadang juga banyak. Tergantung manusianya lebih berusaha introspeksi atau tidak."Raya, Fariz, terima kasih banyak. Semoga kalian berlimpah rezeki. Tolong jangan bosan menolong Kakak," ucap Kak Murni. "Iya, Kak. Aku akan lebih perhatiin ke Kakak, tapi tolong jangan pernah putus asa lagi, ya! Kita kekal di akhirat, dunia hanya sementara," ujarku menasihati.Terkadang aku juga tak bisa menasihati diri sendiri. Namun, selalu berusaha menguatkan orang lain. Itulah kiranya manusia butuh orang lain. Untuk saling mengingatkan jika berada pada suatu kesalahan.Mulai saat ini, Kak Murni tinggal di rumah mama bersama Tante Lira juga yang sudah tak punya rumah. Mereka tinggal di rumah mama sampai benar-benar stabil kondisi keuangann
Wah ternyata teman Kak Murni ada yang sudah berpenghasilan 13.000.000 rupiah bulan ini. Nominal yang sangat banyak untuk pekerja dari rumah. Aku balas pesan dari Kak Murni agar ia semakin semangat untuk ikut menuangkan keahliannya dalam menulis.[Besok aku ke rumah Mama. Siapa tahu bisa bantu Kak Murni dalam menuangkan ide dalam tulisannya.][Oke.] Saling berbalas pesan singkat sudah usai. Semoga ini awal yang baik, agar Kak Murni dapat menyelesaikan masalah keuangannya."Mas, besok aku ikut saat kamu berangkat kerja, ya!" pesanku menjelang tidur."Mau ke mana, Dek?" tanya Mas Fariz."Ke rumah Mama, aku ingin lihat pertama kalinya Kakakku nulis di platform KBM App.""Baiklah, ingat ya, kamu hanya membantu, tidak usah ikutan nulis juga. Khawatir yang baca kabur," ucap Mas Fariz becanda."Mas Fariz, ih ...." Aku menggelitik ketiaknya sambil tertawa renyah.Sudah lama sekali tidak becanda seperti ini dengan suami. Jarang ngobrol berdua akhir-akhir ini. Kami sibuk mengurusi duniawi.***