"Maaf Tante, kenapa kemarin Tante bohong, bilang Kak Murni pinjam untuk usaha dagang?"
Seingat aku, kemarin Tante Lira bilang bahwa Kak Murni minjam uang untuk modal usaha.
"Tante khawatir Mama kamu kepikiran."
"Mama sudah tahu, Tante. Dari aku, saat Kak Murni minjam aku tanya Mama dulu."
"Iya Raya, Tante hanya khawatir Mama kamu mikirin."
"Uang Tante sudah diganti Kak Murni?"
"Belum, Ray. Katanya malam ini."
"Oh, aku juga belum."
"Kamu juga dipinjam oleh Murni?" Astaga, aku keceplosan. Nanti Tante Lira bilang pada Kak Murni, lalu ia marah padaku, bagaimana?
"Tante jangan bilang pada Kak Murni, ya. Sebenarnya dia minjam 2 juta di waktu yang sama dengan Tante."
"Hem, tuh kan. Dulu aja dia selalu curhat tentang kamu yang ngandelin dia. Sejak kamu menikah dengan Fariz jadi senang ngutang uang Murni. Eh, sekarang ia yang pinjam uang kamu. Roda berputar Raya, sekarang dia ngerasain susah."
"Tante jangan ngomong ini pada Mas Fariz, ya. Aku tidak enak dengan Mas Fariz. Sebenarnya kasihan dengan Kak Murni. Pernah berada di posisi Kak Murni, namun mulut Kak Murni ini yang telah membuat Mas Fariz ingat terus akan ucapannya."
"Tante juga bingung, Murni keponakan. Namun Tante juga butuh uang." Aku terdiam sejenak. Tenggorokanku sedikit tercekat. Bukankah dulu Tante Lira juga sering ditolong oleh Kak Murni?
Sebaiknya aku tak perlu berlama-lama ngobrol dengannya. Khawatir nanti malah jadi runyam urusannya.
"Ya sudah Tante Lira, terima kasih banyak informasinya." Aku menutup teleponnya sebelum Tante Lira menjawabnya.
Mas Fariz sudah menunggu jawaban dariku. Semoga Kak Murni menepati janjinya. Aku berikan saja alasan pada Mas Fariz. Aku bilang saja padanya besok pagi ditransfer oleh Kak Murni.
"Bagaimana jawaban Tante Lira? Dia sudah dibalikin duitnya?" Mas Fariz datang dan menanyakan hal ini padaku.
"Sudah, Mas. Uangmu paling telat besok pagi," sahutku berbohong.
"Syukurlah, yang penting balik duitnya." Aku tersedak saat minum. Kalau besok Kak Murni belum ada uangnya, aku bicara apalagi?
Kalau ingat masa lalu memang sangat suram dan menyakitkan sekali. Rasanya aku berada di posisi orang paling hina saat itu. Seringkali orang mencaci-maki bahkan menulis status tentang aku. Tak segan-segan ada yang memblokir media sosial karena utang.
Benar kata orang, utang itu hina di siang hari tersiksa di malam hari. Aku sering merasakan itu. Orang seringkali bertanya-tanya untuk apa aku membayar utang?
***
Dua tahun lalu.
Aku terlilit utang yang menghabiskan uang gaji suami tiap bulannya. Mertuaku sakit yang harus mengeluarkan uang dengan kocek tak terjangkau tabungan kami. Akhirnya aku putuskan untuk pinjam pada Bank. Hingga gaji suamiku yang terhitung harian lepas harus terpotong juga dengan Bank selama 2 tahun.
"Dek, bapakku sakit. Aku anak yang paling diandalkan. Biaya operasi bapak lumayan."
"Mas, itu terserah kamu. Aku tidak akan melarang," sahutku. Aku tahu Mas Fariz pasti ingin mengusahakan.
Akhirnya Mas Fariz mengajukan pinjaman 20 juta untuk biaya rumah sakit bapak mertuaku. Semenjak itulah hidupku pontang-panting cari pinjaman untuk makan. Padahal masih ada sisa gaji. Namun, entah kenapa uang yang aku miliki tak pernah cukup.
Teringat ucapan Kak Murni yang setiap kali aku pinjam uang ia selalu menceramahiku. Tanpa ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Kak, aku pinjam uang untuk makan 300 ribu." Ini pinjaman setiap bulan semenjak aku memiliki pinjaman di Bank. Namun setiap kali gajian aku ganti.
"Ini kenapa tiap bulan elu minjam duit?"
"Iya, Kak. Gajian Fariz nggak gede seperti Mas Aldi." Aku tidak bilang bahwa memiliki pinjaman di bank untuk biaya rumah sakit. Khawatir Kak Murni malah menyalahkan Mas Fariz.
"Halah ... Kamu alasan saja, jangan pinjam terus. Coba elu jualan apa gitu yang menghasilkan uang." Aku menghela napas dalam-dalam. Memang seperti itu tiap kali pinjam uang padanya.
"Iya Kak, tapi dipinjamin nggak nih?" tanyaku.
"Ke sini. Gue nggak bisa transfer." Akhirnya aku harus ke rumahnya untuk ambil uang 300 ribu. Namun, ini sudah menjadi resiko aku yang tidak punya uang.
Setelah dapat pinjaman. Aku bicara pada Mas Fariz. Benar-benar ucapan Kak Murni itu membuat pacuanku untuk tidak melakukan pinjaman Bank lagi.
"Mas, aku sudah dapat pinjaman untuk seminggu 300 ribu dari Kak Murni."
"Iya, Dek. Kamu jadi susah gara-gara ada pinjaman bank ya, Dek. Maafkan, Mas!" ucap Mas Fariz memohon.
"Setelah lunas, jangan pinjam lagi, ya, Mas!" sahutku.
"Iya, Dek. Utang sedikit namun nggak bisa cukup ya, Dek. Padahal sudah irit-irit."
"Iya, Mas."
Itulah utang. Hina di siang hari dan tersiksa di malam hari. Setiap kali gajian sudah habis untuk bayar bank dan kontrakan. Padahal gaji lumayan, namun habis untuk bayar utang saat tidak punya uang sebelum gajian, gali lubang tutup lubang.
***
Pagi harinya aku tunggu telepon dari Kak Murni. Semalam belum sempat menanyakan namun sudah tertidur gara-gara mengingat masa lalu yang silam.
Kulihat layar ponsel yang berada di hadapanku dan menunggu notifikasi masuk dari Kak Murni.
"Mas, kamu berangkat kerja hati-hati, ya!" Aku mengecup tangan Mas Fariz.
"Jangan lupa kabarin kalau Kak Murni sudah transfer."
"Iya, Mas."
Mas Fariz berangkat kerja dan berharap Kak Murni transfer. Rasanya serba salah sekali, antara menjaga hati kakak atau suami.
Tepat jam 10 pagi, aku mencoba menghubungi Kak Murni. Beruntungnya diangkat olehnya.
"Hallo, Kak."
"Hallo, iya. Bentar lagi gue transfer. Tenang aja."
Kak Murni kok bicaranya ketus dan judes. Meskipun ia memang sering seperti itu tapi kali ini berbeda nadanya.
"Maaf, ya, kak." Lalu telepon dimatikan oleh Kak Murni. Dadaku sontak berdegup kencang. Tidak biasanya Kak Murni seperti ini. Aku tahu betul jika dia marah-marah padaku itu hanya karena sayang. Namun tidak untuk sekarang. Ia ketusnya seperti tak ingin bicara padaku.
Tiba-tiba notifikasi chat masuk terdengar. Chat masuk dari Kak Murni yang mengirimkan bukti transfer 2 juta rupiah. Ia mengganti uang yang dipinjamnya. Lalu tidak lama kemudian ia kirim chat singkat.
[Terima kasih, sudah bicarakan di belakang gue, sudah gembar-gembor utang 2 juta ini pada Tante Lira.]
Aku menghela napas dalam-dalam. Rupanya Tante Lira yang membuat Kak Murni enggan bicara lama-lama denganku. Bicara apa Tante Lira padanya? Apakah melebih-lebihkan pembicaraan tadi di telepon tentang Kak Murni?
Bersambung
Ekstra PartPOV MurniSyukur alhamdulilah, Tuhan berikan nikmat padaku dengan bertemunya orang-orang baik. Padahal, bisa dibilang tingkah laku yang dulu aku lakukan itu sangatlah tidak terpuji. Sering merendahkan orang lain, bahkan adik kandung sendiri.Begitu banyak cerita tentang perjalanan hidupku. Terutama mengenai semua yang telah aku perbuat di masa lalu. Itu semua kembali menimpaku. Kala itu, aku tak pernah berpikir bahwa semua perbuatan tak mungkin jadi boomerang untuk diriku sendiri. Namun, hukum alam memang begitu adanya. Siapa yang menabur, maka bersiaplah untuk menuai.Hari ini, aku dilarikan ke rumah sakit. Ini semua terjadi karena kelelahan. Beberapa hari ke belakang, aku memang sering begadang untuk menyelesaikan tulisan.Mertuaku yang kepanikan melarikan ke rumah sakit. Akibatnya seluruh warga jadi heboh karena kecemasan mertuaku. Wajar saja, karena saat aku pingsan, Mas Aldi tidak berada di rumah.Mama dan Raya pun panik, begitu juga dengan Tante Lira yang ikut datang
Pikiranku tak karuan, apalagi dengan mama, ia tak henti-hentinya menangis sambil berdoa di dalam mobil. Tante Lira yang berada di samping mama hanya bisa menenangkan dengan caranya."Kak, jangan terlalu panik kenapa. Kan Kakak sendiri yang sering memberi nasihati untuk pasrah!" ujar Tante Lira, aku hanya berharap Kak Murni baik-baik saja. "Iya, gue udah mulai tenang. Sampai ke rumah sakit, berapa lama lagi, Bang?" tanya mama pada supir."Kita sudah di depan rumah sakit, Bu. Itu rumah sakitnya," ucap supir sambil melipir. Ia tak bisa masuk, karena ingin melanjutkan tarikan lagi.Kami memberikan ongkos pada supir, lalu turun dan beranjak ke UGD rumah sakit. Setelah sampai ke depan UGD, mertuanya sudah masuk menemani Kak Murni. Aku dan yang lainnya dicegah oleh petugas."Maaf, Bu. Mau bertemu dengan siapa?" tanya satpam di depan."Saya mau menemui pasien yang bernama Murni, barusan dibawa ke sini." "Maaf Bu, sudah ada dua orang di dalam, kalau bisa bergantian." Pak satpam menghalangi k
"Mah, Kak Murni sombong banget, aku hubungi dia malah matikan telepon!" ucapku kesal. Kemudian mama dan Tante Lira berusaha menenangkan aku.Aku terus mengelus dada, agar tidak timbul rasa kesal pada Kak Murni. Ia sudah lama berubah. Masa iya kembali ke sifatnya yang dulu lagi?"Jangan buruk sangka dulu, nanti kita ke rumahnya, bagaimana?" tanya mama menawarkan berkunjung ke rumah Kak Murni. Aku yakin sebenarnya Mama pun khawatir, tapi ia berusaha menutupi itu.Ada baiknya juga, jangan-jangan Kak Murni tersiksa lagi hidupnya di sana. Ada mertua yang menggembleng kerjaan rumahnya. Astaga, kenapa aku jadi buruk sangka begini!"Aku izin Mas Fariz dulu, Mah. Jangan sampai Mas Fariz cemas dengan keadaanku.""Ya sudah kirim pesan pada Fariz dulu sana! Mama juga ingin melanjutkan masak dulu." Mama kembali ke dapur. Aku masih bersama dengan Tante Lira di sini.Tante Lira sudah dua bulan lebih tinggal bersama mama di sini. Sepertinya uangnya belum cukup untuk renovasi rumahnya yang dilahap si
"Mah, kok malah diam. Jawab dong!" tanyaku memaksanya untuk menjawab.Kemudian Tante Lira menghampiriku. Ia mengajakku untuk bicara. Kenapa tiba-tiba tubuhku jadi bergetar seperti ini. Ada apa dengan mereka? Rahasia apa yang tidak aku ketahui?"Raya, memang kamu belum tahu?" tanya Tante Lira membuatku semakin bingung. Ini ada apa sih? Kenapa mereka aneh begini. Perasaan kemarin masih lihat status di Facebook Kak Murni normal-normal saja."Ada apa, Tante? Jangan bertele-tele deh!" ucapku dengan nada menekan. Rasanya sudah dongkol sekali, sedari tadi belum diberitahu kenapa Kak Murni tidak ada di rumah."Murni sudah dijemput oleh mertuanya, ia sekarang tinggal bersama mertua di rumahnya." Ucapan Tante Lira membuatku terkejut. Astaga, ini akan menjadi tekanan untuk Kak Murni, jika mertuanya membandingkan ia dengan adik iparnya bagaimana? Bukankah mereka selalu saja bersaing."Kenapa dikasih, Tante? Aku nggak rela jika Kak Murni kenapa-kenapa lagi," ujarku kesal."Mertuanya sudah melunasi
Aku dan Mas Fariz terkejut, mata kami saling bertatapan. Ada rasa takut dan cemas di dalam hatiku.Kemudian kami beranjak dari tempat tidur. Melihat ke arah sumber suara tersebut. Aku berada di belakang Mas Fariz yang mengendap-endap. Begitu terkejutnya kami, saat melihat ada tiga orang anak muda sedang menyongkel pintu tetangga.Tanpa berpikir panjang, kami berdua berteriak sekeras-kerasnya. Agar warga sekitar bangun dari tidur lelapnya."Maling ... maling ...." Ketiga orang tersebut terperanjat saat mendengar teriakkan kami berdua. Kemudian kami ke luar. Namun, belum sempat warga mengeroyok, mereka kabur mengendarai motor yang mereka bawa. Satu motor tiga orang, itu artinya belum ada yang kebobolan saat itu."Pak Fariz, terima kasih banyak," ucap tetangga yang hampir kebobolan. Mereka terbangun karena mendengar teriakkan kami berdua dan suara motor yang tiba-tiba ngebut."Sama-sama, Pak." Mas Fariz pun menjadi saksi untuk melaporkan ke RT setempat."Ada apa, Pak? Bagaimana kejadian
"Mah, memang dompetnya isi apa aja?" tanyaku penasaran, setahu aku tadi mama bawa dompet yang biasa ia bawa ke tukang sayur, bukan untuk bepergian ke pasar. Biasanya dompet itu memang hanya berisikan uang receh seadanya.Mama mengerenyitkan dahi. Ia masih panik dengan perampasan tadi."Tadi Mama hanya membawa uang receh, tapi tiba-tiba kepingin bawa uang lebih. Jadi, tadi ambil duit di dompet 500.000 rupiah," ucap mama. Ini pasti memang feeling kuat akan kehilangan uang."Ya Allah, duit segitu lumayan, Mah," ucap Kak Murni. Mungkin ia menyayangkan karena ia tidak punya uang sebanyak itu saat ini.Semoga saja malingnya segera tertangkap. Agar tak begitu membuat mama sesak. Aku dan yang lainnya menghabiskan makanan yang masih tersisa banyak. Namun, jantungku tak hentinya berdetak lebih cepat. Makan pun jadi tidak kuhabiskan.Padahal, tadi kami sedang bersenang-senang dan bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan ada saja masalah yang kami hadapi ini. Saat ini pesan mama jadi terngiang-ngia