Share

Bab 7

Sesuai janji yang Kak Murni lontarkan. Aku harus menagihnya. Ini juga karena ada kebutuhan mendesak yang akhirnya aku harus tagih uang yang telah Kak Murni pinjam.

Mas Fariz pun sudah berencana uang yang akan diganti oleh Kak Murni untuk transfer ibunya Mas Fariz. Aku akan merasa bersalah jika Kak Murni tak menepati janjinya.

Segera aku tanyakan melalui chat W******p karena sejak tadi aku tunggu belum ada kabar darinya.

[Kak, bagaimana uang yang 2 juta? Aku ada keperluan mendesak untuk mertua.] Pesan yang aku kirimkan lumayan lama tak dibaca olehnya.

"Gimana, Dek? Dibalas nggak?" tanya Mas Fariz. Aku menggelengkan kepala. Lalu Mas Fariz mengecap bibirnya seraya kesal.

"Kamu nyesel, Mas, minjemin uang ke Kak Murni?" tanyaku agak sedikit sensitif. Bagaimanapun Kak Murni adalah kakakku, ia juga sering membantu saat aku susah dulu.

Mas Fariz terdiam, wajahnya tampak murung saat Kak Murni tak kunjung membalas chatku.

"Aku kira kamu tahu kenapa aku murung, bukan karena belum ada balasan dari Kak Murni, namun teringat saat kita susah dulu, ia bagaimana?" Mas Fariz membuatku teringat masa lalu.

"Kita tunggu, ya, Mas. Aku rasa Kak Murni tidak akan ingkar janji."

Sudah lewat sejam aku mengirim pesan. Namun tak kunjung ada balasan dari Kak Murni. Astaga, haruskah aku menghubunginya lalu memaki-maki Kak Murni hingga menitihkan air mata? Rasanya aku bukan orang yang kejam seperti itu.

"Mana? Belum juga dia balas? Bilang saja butuh uang gitu. Harus ada malam ini juga." Mas Fariz membuatku merasa bersalah karena sudah memaksa untuk meminjamkan Kak Murni uang. 

"Mas, memang kamu tidak ada uang lagi untuk transfer orang tua kamu?" Aku mencoba memberanikan diri untuk bicara seperti ini. Meskipun dengan iringan jantung yang berdetak kencang. 

"Ada, masih ada 3 juta di ATM. Namun aku ingin tahu Kak Murni tepati janjinya atau tidak," sahut Mas Fariz membuat dadaku seketika bergemuruh. Kesal rasanya mendengar Mas Fariz masih memiliki uang simpanan namun ia bilang sangat membutuhkan uang yang dipinjam oleh Kak Murni.

"Mas, kalau kamu masih ada simpanan uang, lebih baik biarkan saja Kak Murni gantinya saat ada uang. Atau misalnya dicicil gitu." Aku memberikan saran pada Mas Fariz. Ini agar hubungan keluarga tetap utuh. Aku tidak mau hubungan darah jadi renggang gara-gara uang.

"Kamu tidak ingat saat kita susah dulu Kak Murni bagaimana?" tanya Mas Fariz. Aku coba menghela napas dalam-dalam. 

Ingat pesan mama yang selalu berpesan jangan membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk. Yang berhak membalas perbuatan seorang manusia itu hanyalah Tuhan.  

"Mas, jika kita masih memiliki uang, biarkan saja dulu."

"Nggak bisa. Kamu hubungi Kak Murni sekarang juga, bilang aku butuh." Mas Fariz menyodorkan ponsel untuk menghubungi Kak Murni dengan segera.

Akhirnya aku beranikan diri untuk menagihnya. Aku coba tagih dengan nada baik-baik. Telepon pun diangkat oleh Kak Murni. Dengan jantung yang masih berdegup kencang. Aku mulai pembicaraan.

"Hallo, Kak."

"Iya, Kakak tahu kamu ini mau nagih, kan?" Kak Murni sudah bisa menebak isi hatiku. Berharap Kak Murni tidak marah terhadapku.

"I-iya, Kak. Tolong jangan marah, ya! Kalau aku yang kerja nggak apa-apa Kak, namun aku kan tak bisa menghasilkan uang, itu murni uang Mas Fariz," ucapku padanya.

"Iya, Raya, gue tahu. Kalau elu tahu kisah gue, pasti sekarang kasihan." Kak Murni kadang bicaranya nyeletuk. Aku sudah bicara sopan dengan nada pelan. Namun ia selalu saja dengan nada tinggi dan seperti teman sendiri. Jika didengar bahasanya memang seperti mama terhadap Tante Lira. Namun, lebih sopan mama ketimbang Kak Murni.

"Kakak, emang kemarin untuk apa sih uangnya kalau boleh tahu? Katanya untuk rentenir?" tanyaku menyelidik. Di hadapanku masih ada Mas Fariz menunggu jawaban dari Kak Murni.

"Kemarin kan sudah dibilang untuk rentenir, kenapa masih tanya, sih?" Aku malah balik dimarahi oleh Kak Murni.

"Iya, Kak. Maaf. Aku bingung kok rentenir, emang kakak untuk apa uangnya?"

"Kalau gue ceritain, emang utang yang kemarin boleh ditunda bayarnya?" Astaga, aku sontak menatap mata Mas Fariz yang sedang ikut mendengarkan obrolan kami.

"Kak, aku butuh."

"Ya sudah, nanti Kakak cariin. Elu jangan chat melulu, bikin gue naik darah tahu!" Aku mengelus dada agar tidak terpancing emosi. Mungkin Kak Murni sedang tertekan batinnya. Telepon pun terputus, padahal aku belum selesai bicara.

"Dimatiin?" tanya Mas Fariz. Aku mengangguk ada rasa takut kepadanya.

"Sabar, ya, Mas. Maafin Kak Murni."

"Pokoknya abis ini telepon lagi." Mas Fariz bangkit dari duduknya sambil marah-marah.

Lebih baik aku bicara pada mama. Siapa tahu mama tahu kenapa Kak Murni bisa seperti ini? Namun, teringat bahwa Kak Murni tertutup pada keluarga mengenai keuangan, aku pun mengurungkan niat untuk mencari tahu melalui mama.

Aku lihat-lihat kontak di W******p. Ada nama Tante Lira lewat di story dengan status 'Menunggu'.

Sebaiknya aku tanyakan pada Tante Lira, apa uangnya sudah diganti oleh Kak Murni. Tante Lira pasti tahu kenapa Kak Lira bisa pinjam pada rentenir.

"Hallo, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Raya, tumben nih inget Tante lagi," ucapnya ngeledek.

"Tante, jangan bikin aku sungkan, deh."

"Ada apa, Ray?"

"Tante, apa Tante tahu kenapa Kak Murni punya utang dengan rentenir?" Tante Lira diam sejenak, setelah itu ia bicara padaku.

"Murni itu bukan pinjam uang dengan rentenir. Ia pinjam pada Tia. Namun bunganya seperti rentenir."

"Tia kan teman dekatnya, Tante. Kok bisa?"

"Jadi, Murni itu dulu usaha kredit barang elektronik. Namun 3 bulan terakhir banyak yang kabur nggak pada bayar. Jadi dia pinjam ke Tia untuk nutupin bayar cicilan."

"Usaha kredit elektronik, Tante? Aku kok nggak tahu? Aku pikir dulu ia kreditin cuma ke Tante Lira yang kemarin mama ceritakan itu." Aku memang tidak mengetahui usaha Kak Murni. 

"Memang nggak ada yang tahu, Murni takut kalau saudara pada kredit bayarnya pada gampangin katanya." Astaga, ini kejujuran yang amat menyakitkan. Tante Lira jujur namun menorehkan luka di hati ini. Ucapan Kak Murni sungguh keterlaluan. Teganya ia bicara seperti itu di hadapan Tante Lira.

Begitu ia anggap hina keluarganya sendiri. Saudara-saudara bukan dianggapnya penolong namun dianggap selalu menyusahkannya. Namun kini ia menjilat ludahnya sendiri. Ia minta bantuan pada saudara tanpa rasa malu sedikitpun pernah mencemooh saudaranya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status