Jadi Mas Angga tidak berselingkuh? Wanita itu bukan istri muda Mas Angga? Tapi kenapa Mas Angga membohongiku?Pikiran-pikiran itu berkecamuk memenuhi benak Paramita. Hampir lima menit wanita yang terbaring di atas bed pasien itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah mendengarkan penjelasan dari Kinanti, jika dirinya bukanlah istri muda Angga, seperti yang Angga akui pada Mita."Untuk urusan pastinya kenapa Pak Angga melakukan itu, saya dan istri saya tidak tau, Bu. Yang jelas, Kinanti tidak ada hubungan apapun dengan Pak Angga." Indra menutup penjelasannya.Apa jangan-jangan karena aku selingkuh dan Mas Angga ingin membalas dendam padaku. Biar aku merasakan sakit yang sama seperti apa yang ia rasakan? Hati Mita merintih nyeri. Ia merasa menjadi manusia paling berdosa jika saja benar apa yang Angga lakukan hanya untuk membalaskan rasa sakitnya dan sebenarnya Angga sama sekali tidak pernah berselingkuh dengan wanita manapun.Rasa bersalah menghujam, mencabik-cabik hati Mita. Jika
Sepanjang malam netra Angga nyaris terjaga. Sekejap pun ia tidak bisa lena. Di dalam benaknya hanya ada nama Mita, Mita dan Mita. Cinta itu masih teramat besar untuk Mita. Sebesar kekhawatirannya saat ini. Sekalipun Angga terus berusaha untuk menepisnya. Tapi rasa itu seolah mendarah daging dan semakin merajalela di dalam dada."Bagiamana Mita di rumah sakit? Siapa yang akan menemaninya? Dia kan tidak punya siapa-siapa selain aku."Pikiran itu memenuhi isi kepala Angga. Namun di sisi lain, ada perasaan lain yang justru membuatnya terluka. Menyadari jika Mita tidak hanya sudah membagi tubuhnya, tapi juga cintanya."Untuk apa? Mita kan sudah tidak membutuhkan aku. Pasti sekarang dia akan meminta kekasihnya untuk menemaninya di rumah sakit'."Bibir Angga tersenyum kecut. Menertawakan pikirannya sendiri. Untuk apa ia memikirkan wanita yang sudah membagi cintanya. Hati Angga terasa pilu. Ia bak seorang pecundang yang menyedihkan. Angga kembali teringat pesan-pesan WhatsApp Mita dan Satya.
Sakit di dalam hati Angga sudah tidak bisa di deskripsikan lagi. Luka yang Mita torehkan menghancurkan seluruh isi hati berserta harga diri Angga sebagai seorang suami dan juga laki-laki."Memangnya kenapa, kamu tidak suka?" Suara Angga ketus. Tapi lelehan air mata membasahi pipinya.Mita sudah tidak tahan. Ia membalikan badannya miring ke arah Angga. Menatap punggung Angga, yang berbaring memunggunginya. Mita terisak, perlahan ia bergeser dan memeluk tubuh Angga dari belakang. Mita tidak sanggup menahan sesak itu sendiri. Harus ia akui jika dirinya merindukan Angga.Nyeri. Itulah yang pertama kali Angga rasakan. Hidupnya seolah berada diambang batas kehancuran. Tiada lagi harapan, yang ada hanya sebuah penyesalan. Kenapa Mita setega itu kepadanya?"Maafkan aku, Mas! Aku tau aku salah. Maafkan aku Mas!" Mita tergugu. Suaranya putus-putus, dadanya begitu sesak. Mita menenggelamkan wajahnya di punggung Angga.Rahang Angga menggerat. Menahan diri agar bibirnya tidak mengeluarkan isakan.
Hampir beberapa detik Satya tidak mampu berkata-kata. Ia sadar, setiap perbuatan pasti ada balasannya. Termasuk hal yang sedang saat ini Lidya lakukan pada Satya. Adalah balasan atas perbuatannya. Jika saja Satya pandai mensyukuri apa yang ia miliki. Mungkin, saat ini ia masih bisa mengelola perusahaan milik mertuanya."Baiklah Ma, jika memang dengan seperti ini mama percaya jika papa sudah berubah. Papa ikhlas," tutur Satya melemahkan intonasi ucapannya. Wajahnya benar-benar pasrah.Dalam hati Lidya terhenyak. Seolah sedang mendapati sosok lain dari suaminya yang gemar sekali berselingkuh. Apalah Satya benar-benar tulus ingin berubah?Lidya tidak menjawab sepatah katapun. Juga tidak ingin terlalu percaya dengan apa yang Satya katakan. Kebohongan yang pernah lelaki itu lakukan membuat Lidya sulit untuk percaya.Selepas perselingkuhan Satya yang terungkap Lidya memutuskan untuk pisah kamar Dengan Satya. Lidya tidur di kamar putranya, sementara Satya tidur di kamar utama yang semula ia
Hening, semua membisu juga mematung. Baik Mita yang masih bersimpuh di lantai, ataupun Marni yang berdiri di samping Angga. Sorot mata mereka sama-sama menatap pada Angga. Sosok itu berhasil membuat lidah keduanya menjadi Kelu."Bukan Mita yang salah. Tapi aku yang tidak sempurna, Bu!" ucap Angga lirih. Wajahnya menunduk semakin dalam. Hatinya kerdil jika sadar dirinya tak lagi sempurna. Mita tercengang. Menyadarkan dirinya berulang kali. Apakah telinganya sudah salah dengar? Pengakuan Angga terus berputar mendengung memenuhi isi kepalanya. Jika lelaki itu impoten.Marni membalikkan tubuhnya kasar. Entah apa yang sedang ada di dalam benaknya. Marah, kecewa bercampur menjadikan satu. Ia berjalan menuju kamarnya dan berhenti sejenak saat melihat cucunya tengah berdiri dengan pipi basah di ambang pintu kamar. Marni dan Sifa saling bersitatap untuk beberapa saat. Lalu Marni menghampiri gadis kecil itu dan membawanya masuk ke dalam kamar.Pertengkaran Mita dan Angga berlalu. Bersama malam
Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan dua sejoli yang pernah berikrar untuk sehidup semati. Angga dan Mita laksana orang asing yang tidak saling mengenal. Mereka hanya bicara seperlunya. Terutama Angga. Lelaki yang pernah meluluhkan hati Mita itu lebih banyak diam.Angga kembali menjatuhkan bobot tubuhnya pada bangku tunggu yang ada di depan stasiun. Setelah hampir tiga puluh menit berdiri di tepi teras stasiun. Menatap ke arah pintu masuk. Hujan mengguyur begitu deras. Sejak kereta yang Angga dan Mita tumpangi berhenti di stasiun kota. Hingga detik kini Angga dan Mita menunggu mobil grab yang ia pesan dari salah' satu aplikasi online, yang belum juga datang. Pengemudi grab itu baru saja mengabarkan jika mobilnya sedang terjebak banjir. Hal yang begitu wajar terjadi di kota saat hujan turun deras seperti saat ini.Mita membisu. Bibirnya terkatub rapat. Tapi tidak dengan benaknya yang begitu ramai. Tatapannya kosong, menatap hujan yang semakin menggila. "Aku belikan kamu
Pada akhirnya setiap manusia akan menerima ganjaran dari setiap perbuatannya. Jika tidak di dunia, pasti diakhirat. Ada yang dibayar, kontan ada juga yang memang Tuhan tangguhkan agar manusia itu semakin lalai dengan kesenangannya atau disebut istidraj. Seperti halnya Mita yang pada akhirnya harus menerima konsekuensi atas perbuatannya. Kehilangan Angga dan putri semata wayangnya. Rumah tangga yang ia bangun bertahun-tahun hancur menyisakan kenangan. Sementara Satya, lelaki yang ia pikir akan memberikannya kebahagiaan, justru lebih dulu pergi meninggalkannya. Tanpa tanggung jawab atau kata maaf. Satya membiarkan Mita jatuh, remuk hingga tak berbentuk. Sendirian. Hari-hari Mita lalui berteman sepi. Tidak hanya sepi, tapi hampa serasa ingin mati. Susah payah Mita menguatkan diri untuk tetap menjalani hari-hari. Walau kepiluan kerap kali datang mengikis relung hati. Dan pada akhirnya hanya Tuhanlah tempat Mita mengadu dan kembali. Bersimpuh memohon ampunan atas dosa dan kelalaian yang
Mita tercengang, bukan karena kagum melainkan tengah menahan perih. Jika dulu Angga menjadi tempatnya mengadu. Kini ia harus terbiasa menjadi orang lain untuk Angga. Ada dinding kokoh yang tidak akan mungkin Mita jangkau. Yang Angga ciptakan untuk dirinya dan Mita.Mita memundurkan beberapa langkah kakinya hingga menyentuh ambang pintu. Ucapan Angga bak bogem mentah yang menamparnya, membuatnya seketika sadar jika dirinya bukanlah siapa-siapa lagi bagi Angga.“Maaf!” lirik MIta dengan suara berat. Pipinya masih basah meninggalkan jejak air mata dan kini hatinya harus remuk kembali. Mita benar-benar merasa hidup sebatang kara. Selepas Angga meninggalkannya.Angga menatap penasaran. “Kamu menangis?” ucap Angga. Cepat-cepat Mita mengusap jejak kesedihan pada pipinya yang kini semakin tirus. Badai rumah tangga yang ia hadapi membuat Mita kehilangan lima kilo berat badannya.“Aku, aku …” Mita menggantung ucapanya. Har