Share

Bab 6

Dadaku kian sesak. Sampai-sampai aku tidak mampu untuk sekedar menangis. Tubuhku gemetar hebat, semua pikiran buruk carut marut memenuhi isi kepalaku.

Apa yang sudah selama ini Mas Angga lakukan di belakangku? Apakah dia bermain hati dengan wanita lain? Apakah ini salah satu alasan Mas Angga bersikap dingin padaku. Sikap yang salama ini aku anggap wajar untuk kami yang sudah menikah cukup lama.

Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat kepalaku begitu sakit. Aku memilih menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku mobil. Hingga mobil yang membawaku tiba di depan rumah.

“Sudah sampai, Bu,” ucap pengemudi melirikku dari kaca yang ada di atas stir mobil.

Aku menarik tubuhku yang terasa berat dari sandaran bangku. Pandanganku langsung tertuju ke arah rumah. Mobil Mas Angga belum ada, berarti lelaki itu belum juga pulang. Semakin parah rasa sakit ini.

Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Aku langsung menunju kamar Sifa, memastikan jika putriku tidak bangun saat aku meninggalkanya dan benar, Sifa tampak tertidur pulas.

Dengan hati gelisah nyaris hancur aku kembali ke kamarku. Mendaratkan bobot tubuhku pada bibir ranjang. Aku termenung lagi, menatap kosong pada lemari pakaian yang ada di dalam kamar. Kemana Mas Angga sekarang? Apa jangan-jangan dia sering seperti ini? Pulang diwaktu yang tidak menentu dan bodohnya aku, aku tidak pernah memperdulikan itu. Aku sibuk memadu kasih dengan Mas Satya.

Argh!

Aku menggerang dan menangis sejadi-jadinya. Baru membayangkan dihianati saja hatiku sakit sekali. Bagaimana jika semua ketakutanku itu benar.

“Aku tidak akan sudi jika kamu benar-benar mengkhianatiku, Mas!” Suaraku menggeram marah. Tanganku mengepal, dadaku begitu sesak.

Tubuhku memang meringkuk di atas pembaringan. Berbalut selimut tebal untuk melindungi diri ini dari dinginya malam dan mata ini juga sudah terpejam. Tapi entah mengapa pikiran-pikiran dikepalaku sangat ramai sekali. Membuatku terjaga hingga suara deru mesin mobil Mas Angga terdengar memasuki garasi rumah.

Aku membuka mataku, melihat waktu pada jam dinding yang menunjukan pukul satu dini hari.

‘Akhirnya kamu pulang juga Mas.’

Dadaku memanas seiring dengan suara derap langkah kaki Mas Angga yang terdengar semakin mendekat. Rasanya aku ingin melempari lelaki itu dengan bom bardir. Tapi tidak, percuma, jika aku menunduh Mas Angga tanpa bukti sekarang, pasti lelaki itu akan mengelak. Selalu ada alasan untuk seorang pembohong. Karena aku juga seorang pembohong ulung. Ah, sial! Serasa ditikam dari belakang.

Klak.

Pintu kamar terbuka. Aku pura-pura tidur. Walau sebenarnya aku sedang menenangkan diriku dari gemuruh yang bergejolak dan hampir saja meledak. Aku tidak ingin gegabah. Aku ingin membuktikan secara langsung apakah ketakutanku benar.

----

Aku melakukan kegiatan pagiku seperti biasa. Menyiapakan sarapan untuk Mas Angga dan Sifa. Walaupun batin ini masih begitu sesak jika mengingat kebohongan yang sudah Mas Angga lakukan padaku.

Lelaki dengan setelan kerja yang irit bicara itu muncul dari ambang pintu. Rasa sebah seketika menyergap. Jika saja tidak ada hukum akan aku bunuh kamu Mas, jika kamu benar-benar mengkhianatiku.

“Mama,” teriak Sifa berlari dari belakang punggu Mas Angga. Gadis kecilku yang mirip sekali dengan Mas Angga itu menyerobot mendahului langkah Mas Angga. Lelaki itu diam sibuk dengan ponsel di tangannya. Seolah kehadiran Sifa bak makhluk tak kasat mata.

“Papa Mau sarapan apa?” tanyaku saat Mas Angga duduk pada bangku meja makan. Ia sudah menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.

Mas Angga melirik arlogi yang ada di tangannya. “Aku sarapan di kantor aja, aku buru-buru,” jawabnya sekilas melirik padaku.

“Sifa, sarapannya cepat ya, Papa buru-buru,” ucap Mas Angga menatap Sifa yang duduk di sampingku.

Mas Angga sama sekali tidak menyetuh masakanku. Seperti apa yang ia katakan, hari ini ia sedang buru-buru. Entahlah haruskah aku percaya atau tidak. Setelah kepercayanku diam-diam dikhianati oleh suamiku sendiri.

Mobil Mas Angga sudah pergi meninggal rumah beberapa menit yang lalu. Aku bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas, sementara ponselku menempel di dekat telinga.

“Iya pak, cepat merapat ya!” ucapku pada pengemudi grab yang ada di seberang telepon. Aku sengaja meminta pada pengemudi grab itu untuk menungguku di ujung gang. Aku tidak ingin Mas Angga curiga.

Lima menit menunggu, mobil grab yang aku pesan datang menghampiriku di depan rumah. Tanpa berpikir panjang aku meminta pada pengemudi grab itu untuk menyusul mobil Mas Angga. Aku yakin mobil Mas Angga belum jauh, pasti dia pergi ke sekolah Sifa dulu untuk mengantarkan putri kami.

Aku menemukan mobil Mas Angga. Baru saja ia menurunkan Sifa di depan sekolahnya yang masih sepi. Wajar saja ini masih terlalu pagi. Belum banyak siswa yang datang di sekolah.

Mobil Mas Angga kembali melaju. Membelah ramainya jalanan pagi ini. Sedikitpun mataku tidak beralih mengawasi mobil di depan mobil grab yang membawaku. Dengan hati berdebar dan perasaan yang tidak karuan. Tapi sepertinya apa yang aku takutkan akan menjadi kenyataan. Mobil Mas Angga memilih jalan lain. Bukan jalan menuju kantornya.

Tanganku meremas ujung jaket yang aku kenakan. Semakin kuat, karena sakit ini semakin merajalela nyaris menggerus akal sehat.

Lima belas menit setelah memasuki sebuah kawasan perumahan mobil Mas Angga berjalan pelan. Mobil grab yang membawaku pun ikut memelan.

“Jangan terlalu dekat, Pak,” titahku pada pengemudi grab. Tapi entah mengapa suaraku terdengar gemetaran.

“Baik Bu.” Lelaki yang sejak tadi berfokus pada mobil Mas Angga itu menganggukan kepalanya.

Mas Angga memberhetikan mobilnya di depan rumah bercat biru. Ia turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah itu. Dan tanpa sadar pipiku sudah basah oleh lelehan air mata atas luka yang tak terlihat oleh mata. Rumah siapa ini?

Sepuluh menit aku membeku di dalam mobil. Menyadarkan pikiran-pikiran gila yang menggerus akal sehat. Aku memutuskan turun dari dalam mobil. langahku terasa ringan menuju rumah bercat biru itu.

Apakah ini karmaku karena aku sudah berselingkuh di belakang Mas Angga? Tidak, aku tidak mau. Mas Angga hanya miliku.

Tok … Tok …

Aku mengetuk daun pintu rumah yang ada di depanku. Debaran di dadaku semakin memburu. Nafasku terasa pendek, tubuhku gemetar hebat.

Tok … Tok …

Karena tidak yang membukakannya aku mengetuk pintu itu lagi. “Sebentar,” jawab suara seorang wanita dari dalam rumah.

Nyeri serasa mencabik-cabik hatiku. Bagaikan daging yang diiris tipis-tipis. Rasanya sakit sekali.

Klak. Pintu terbuka.

“Cari siapa ya?”

Sorang wanita muda muncul di hadapaku. Aku mematung seperti orang bodoh. Otakku ngebank setika. Yang ada hanya amarah yang tertahan di kerongkongan.

Plak.

Aku menampar keras wajah wanita yang aku yakin adalah selingkuhan suamiku. Dadaku bergemuruh hebat. Wanita itu mengaduh dan suara kemarahnya mengundang kemunculan Mas Angga dari dalam rumah.

“Mita.” Seperti melihat hantu, itulah ekpresi yang Mas Angga tunjukan.

“Siapa dia Mas? Dia sudah menaparku,” adu wanita itu pada Mas Angga yang semakin mengobarkan amarahku. Aku menatap wanita itu nyalang. Rasanya aku ingin menelan wanita itu hidup-hidup.

“Kamu yang siapa, jal*ng!” Aku berteriak sekeras mungkin. Tidak peduli jika aku akan mengudang pusat perhatian warga. Hatiku terlalu sakit.

Mas Angga meraih pergelangan tangaku. Ingin membawaku pergi. “Mit, Mit, dengarkan aku, kita bicarakan semuanya di rumah.” Mas Angga membujuk.

“Tidak Mas, tidak! Aku tidak mau.” Aku merontq seperti orang gila, ya gila karena perbuatan suamiku sendiri.

“Ayo pulang Mita! Kita bicara di rumah."

“Aku nggak mau pulang Mas,dia itu siapa?” Aku menangis histris. Jika tubuhku tidak ditahan Mas Angga sudah kupastikan, wanita muda itu akan habis di tanganku.

"Ayo Mita!" Mas Angga menarik tubuhku. Sekuat-kuatnya aku bertahan dan menolak.

"Nggak Mas, aku nggak mau!" Aku meronta dan menolak.

"Dia siapa? Huhu .. ."

"Dia istriku, puas kamu!" sentak Mas Angga bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.

----

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status