Dadaku kian sesak. Sampai-sampai aku tidak mampu untuk sekedar menangis. Tubuhku gemetar hebat, semua pikiran buruk carut marut memenuhi isi kepalaku.
Apa yang sudah selama ini Mas Angga lakukan di belakangku? Apakah dia bermain hati dengan wanita lain? Apakah ini salah satu alasan Mas Angga bersikap dingin padaku. Sikap yang salama ini aku anggap wajar untuk kami yang sudah menikah cukup lama.Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat kepalaku begitu sakit. Aku memilih menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku mobil. Hingga mobil yang membawaku tiba di depan rumah.“Sudah sampai, Bu,” ucap pengemudi melirikku dari kaca yang ada di atas stir mobil.Aku menarik tubuhku yang terasa berat dari sandaran bangku. Pandanganku langsung tertuju ke arah rumah. Mobil Mas Angga belum ada, berarti lelaki itu belum juga pulang. Semakin parah rasa sakit ini.Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Aku langsung menunju kamar Sifa, memastikan jika putriku tidak bangun saat aku meninggalkanya dan benar, Sifa tampak tertidur pulas.Dengan hati gelisah nyaris hancur aku kembali ke kamarku. Mendaratkan bobot tubuhku pada bibir ranjang. Aku termenung lagi, menatap kosong pada lemari pakaian yang ada di dalam kamar. Kemana Mas Angga sekarang? Apa jangan-jangan dia sering seperti ini? Pulang diwaktu yang tidak menentu dan bodohnya aku, aku tidak pernah memperdulikan itu. Aku sibuk memadu kasih dengan Mas Satya.Argh!Aku menggerang dan menangis sejadi-jadinya. Baru membayangkan dihianati saja hatiku sakit sekali. Bagaimana jika semua ketakutanku itu benar.“Aku tidak akan sudi jika kamu benar-benar mengkhianatiku, Mas!” Suaraku menggeram marah. Tanganku mengepal, dadaku begitu sesak.Tubuhku memang meringkuk di atas pembaringan. Berbalut selimut tebal untuk melindungi diri ini dari dinginya malam dan mata ini juga sudah terpejam. Tapi entah mengapa pikiran-pikiran dikepalaku sangat ramai sekali. Membuatku terjaga hingga suara deru mesin mobil Mas Angga terdengar memasuki garasi rumah.Aku membuka mataku, melihat waktu pada jam dinding yang menunjukan pukul satu dini hari.‘Akhirnya kamu pulang juga Mas.’Dadaku memanas seiring dengan suara derap langkah kaki Mas Angga yang terdengar semakin mendekat. Rasanya aku ingin melempari lelaki itu dengan bom bardir. Tapi tidak, percuma, jika aku menunduh Mas Angga tanpa bukti sekarang, pasti lelaki itu akan mengelak. Selalu ada alasan untuk seorang pembohong. Karena aku juga seorang pembohong ulung. Ah, sial! Serasa ditikam dari belakang.Klak.Pintu kamar terbuka. Aku pura-pura tidur. Walau sebenarnya aku sedang menenangkan diriku dari gemuruh yang bergejolak dan hampir saja meledak. Aku tidak ingin gegabah. Aku ingin membuktikan secara langsung apakah ketakutanku benar.----Aku melakukan kegiatan pagiku seperti biasa. Menyiapakan sarapan untuk Mas Angga dan Sifa. Walaupun batin ini masih begitu sesak jika mengingat kebohongan yang sudah Mas Angga lakukan padaku.Lelaki dengan setelan kerja yang irit bicara itu muncul dari ambang pintu. Rasa sebah seketika menyergap. Jika saja tidak ada hukum akan aku bunuh kamu Mas, jika kamu benar-benar mengkhianatiku.“Mama,” teriak Sifa berlari dari belakang punggu Mas Angga. Gadis kecilku yang mirip sekali dengan Mas Angga itu menyerobot mendahului langkah Mas Angga. Lelaki itu diam sibuk dengan ponsel di tangannya. Seolah kehadiran Sifa bak makhluk tak kasat mata.“Papa Mau sarapan apa?” tanyaku saat Mas Angga duduk pada bangku meja makan. Ia sudah menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.Mas Angga melirik arlogi yang ada di tangannya. “Aku sarapan di kantor aja, aku buru-buru,” jawabnya sekilas melirik padaku.“Sifa, sarapannya cepat ya, Papa buru-buru,” ucap Mas Angga menatap Sifa yang duduk di sampingku.Mas Angga sama sekali tidak menyetuh masakanku. Seperti apa yang ia katakan, hari ini ia sedang buru-buru. Entahlah haruskah aku percaya atau tidak. Setelah kepercayanku diam-diam dikhianati oleh suamiku sendiri.Mobil Mas Angga sudah pergi meninggal rumah beberapa menit yang lalu. Aku bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas, sementara ponselku menempel di dekat telinga.“Iya pak, cepat merapat ya!” ucapku pada pengemudi grab yang ada di seberang telepon. Aku sengaja meminta pada pengemudi grab itu untuk menungguku di ujung gang. Aku tidak ingin Mas Angga curiga.Lima menit menunggu, mobil grab yang aku pesan datang menghampiriku di depan rumah. Tanpa berpikir panjang aku meminta pada pengemudi grab itu untuk menyusul mobil Mas Angga. Aku yakin mobil Mas Angga belum jauh, pasti dia pergi ke sekolah Sifa dulu untuk mengantarkan putri kami.Aku menemukan mobil Mas Angga. Baru saja ia menurunkan Sifa di depan sekolahnya yang masih sepi. Wajar saja ini masih terlalu pagi. Belum banyak siswa yang datang di sekolah.Mobil Mas Angga kembali melaju. Membelah ramainya jalanan pagi ini. Sedikitpun mataku tidak beralih mengawasi mobil di depan mobil grab yang membawaku. Dengan hati berdebar dan perasaan yang tidak karuan. Tapi sepertinya apa yang aku takutkan akan menjadi kenyataan. Mobil Mas Angga memilih jalan lain. Bukan jalan menuju kantornya.Tanganku meremas ujung jaket yang aku kenakan. Semakin kuat, karena sakit ini semakin merajalela nyaris menggerus akal sehat.Lima belas menit setelah memasuki sebuah kawasan perumahan mobil Mas Angga berjalan pelan. Mobil grab yang membawaku pun ikut memelan.“Jangan terlalu dekat, Pak,” titahku pada pengemudi grab. Tapi entah mengapa suaraku terdengar gemetaran.“Baik Bu.” Lelaki yang sejak tadi berfokus pada mobil Mas Angga itu menganggukan kepalanya.Mas Angga memberhetikan mobilnya di depan rumah bercat biru. Ia turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah itu. Dan tanpa sadar pipiku sudah basah oleh lelehan air mata atas luka yang tak terlihat oleh mata. Rumah siapa ini?Sepuluh menit aku membeku di dalam mobil. Menyadarkan pikiran-pikiran gila yang menggerus akal sehat. Aku memutuskan turun dari dalam mobil. langahku terasa ringan menuju rumah bercat biru itu.Apakah ini karmaku karena aku sudah berselingkuh di belakang Mas Angga? Tidak, aku tidak mau. Mas Angga hanya miliku.Tok … Tok …Aku mengetuk daun pintu rumah yang ada di depanku. Debaran di dadaku semakin memburu. Nafasku terasa pendek, tubuhku gemetar hebat.Tok … Tok …Karena tidak yang membukakannya aku mengetuk pintu itu lagi. “Sebentar,” jawab suara seorang wanita dari dalam rumah.Nyeri serasa mencabik-cabik hatiku. Bagaikan daging yang diiris tipis-tipis. Rasanya sakit sekali.Klak. Pintu terbuka.“Cari siapa ya?”Sorang wanita muda muncul di hadapaku. Aku mematung seperti orang bodoh. Otakku ngebank setika. Yang ada hanya amarah yang tertahan di kerongkongan.Plak.Aku menampar keras wajah wanita yang aku yakin adalah selingkuhan suamiku. Dadaku bergemuruh hebat. Wanita itu mengaduh dan suara kemarahnya mengundang kemunculan Mas Angga dari dalam rumah.“Mita.” Seperti melihat hantu, itulah ekpresi yang Mas Angga tunjukan.“Siapa dia Mas? Dia sudah menaparku,” adu wanita itu pada Mas Angga yang semakin mengobarkan amarahku. Aku menatap wanita itu nyalang. Rasanya aku ingin menelan wanita itu hidup-hidup.“Kamu yang siapa, jal*ng!” Aku berteriak sekeras mungkin. Tidak peduli jika aku akan mengudang pusat perhatian warga. Hatiku terlalu sakit.Mas Angga meraih pergelangan tangaku. Ingin membawaku pergi. “Mit, Mit, dengarkan aku, kita bicarakan semuanya di rumah.” Mas Angga membujuk.“Tidak Mas, tidak! Aku tidak mau.” Aku merontq seperti orang gila, ya gila karena perbuatan suamiku sendiri.“Ayo pulang Mita! Kita bicara di rumah."“Aku nggak mau pulang Mas,dia itu siapa?” Aku menangis histris. Jika tubuhku tidak ditahan Mas Angga sudah kupastikan, wanita muda itu akan habis di tanganku."Ayo Mita!" Mas Angga menarik tubuhku. Sekuat-kuatnya aku bertahan dan menolak."Nggak Mas, aku nggak mau!" Aku meronta dan menolak."Dia siapa? Huhu .. .""Dia istriku, puas kamu!" sentak Mas Angga bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.----Bersambung ….Istri?Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan."Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatap
Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan
“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,
POV Author.Paramita berjalan gontai menyusuri paving blok yang berjajar rapi dihalaman rumahnya hingga ke beranda. Pandangannya kosong menatap rumah yang dulu menjadi impiannya bersama Angga. Susah payah ia membangun istana itu ditahan rantau bersama-sama. Tapi kini rumah itu hanya menjadi saksi bisu bahwa dirinya dan Angga pernah menjadi bagian satu sama lainya.Criet.Suara pintu yang kurang pelumas terdengar. Disambut dengan ruang gelap saat Mita mendorong pintu ke dalam. Hening, tawa Sifa dan celotehan gadis kecil yang kerap kali menyambut kedatangan Mita tak lagi terdengar. Hanya kehampaan yang semakin menyiksa batin wanita itu.Mita berjalan masuk. Mengabaikan ruangan gelap segelap hatinya saat ini. Ia bak layang-layang yang terlepas dari tuanya. Terombang ambing mengikuti arah angin yang membawanya tak tentu arah.Semua terasa tidak adil. Bukankah Angga juga berselingkuh. Bahkan sampai wanita selingkuhannya itu hamil. Tapi kenapa hanya Mita yang harus menanggung derita kehilan
Senyum bahagia mengembang dari bibir Sifa. Gadis kecil bermata indah itu memeluk erat tubuh MIta penuh kerinduan. Seolah telah ribuan purnama mereka tidak pernah bersua.Mita menangis. Lidahnya kelu tidak bisa berucap apapun. Tanganya mengusap lembut rambut Sifa yang ada dalam pelukannya. Ribuan sesal dan umpatan ia tujukan pada dirinya sendiri di dalam hati. Andai saja ia tak seliingkuh pasti semua akan baik-baik saja. Tapi tidak, Bukankah Angga juga melakukanya. Itu berarti, tidak semua kesalahan ada padanya.Pikiran Mita berkecamuk hebat. Ia sadar dirinya salah, tapi Angga juga bersalah. Jika Mita mampu, saat ini juga ia iangin membawa Sifa pergi bersamanya. Agar Angga tidak memisahkan gadis kecil itu lagi dengan dirinya. Persetan setelah ini Angga akan menikah dengan wanita itu. Mita tidak peduli. Ia hanya ingin bersama putri semata wayangnya. Karena hati Mita juga sama sakitnya karena perselingkuhan Angga.Hati Angga perih. Seperti di cabik dan di sayat tipis-tipis. Melihat peman
Kabut pagi yang menyelimuti telah memudar oleh hangatnya cahaya matahari yang mulai meninggi. Embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan pun juga telah sirna. Berganti dengan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran. Keheningan malam yang menenangkan, mulai tergilas dengan hiruk pikuk ramainya kehidupan anak manusia. Kereta yang membawa Angga dan Sifa telah tiba di sebuah stasiun kota kecil di provinsi Jawa tengah. Kereta datang lebih awal dari yang dijadwalkan. Saat kereta tiba stasiun, gadis kecil yang baru keluar dari rumah sakit itu masih terbuai oleh mimpi di atas pangkuan Angga.Angga berinisiatif untuk menggendong Sifa. Tidak peduli jika dia juga harus menurunkan dua koper miliknya dan milik Sifa. Saat ia mengangkat tubuh Sifa dari atas pangkuan, gadis kecil itupun terbangun."Kita sudah sampai ya, pa?" Sifa memaksakan membuka matanya, menatap ke sekeliling gerbong yang sudah kosong. Angga sengaja memilih turun paling akhir agar tidak berdesak-desakan dengan penumpang kereta yang la