Share

Bab 7

Istri?

Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?

Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan.

"Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.

Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.

Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatapan datar. "Iya, Kinanti adalah alasanku dan sekarang Kinanti sedang hamil anakku, Mita."

Apa? Hal konyol apalagi ini? Hamil? Jadi tespack itu milik sialan itu?

Bagaikan petir yang menyambar disiang bolong. Pikiran buruk yang aku pikir hanya rasa ketakutanku saja berujung nyata. Mas Angga berselingkuh di belakangku. Hati ini serasa dikuliti tipis-tipis lalu dicincang-cincang.

"Dasar perempuan murahan! Kurang ajar kamu!" Aku berteriak histeris. Hendak menyerang wanita bernama Kinanti itu. Hatiku tercabik sakit. Mas Angga yang sejak tadi berdiri di sampingku. Menghalau tubuhku. Menahan bahuku, dan memegang erat tanganku.

"Mita, jangan gila, kamu!" Lelaki itu bahkan membentakku di depan Kinanti. Sakit sekali! Apakah aku sudah tidak ada artinya lagi di matamu, Mas?

"Kamu yang gila, Mas! Kamu yang gila!" Aku berteriak tanpa rasa malu. Melotot pada Mas Angga. Hatiku sakit serasa tercabik seribu belati. Aku memukuli Mas Angga sekenanya. Lelaki itu menarik tubuhku menjauh dari beranda rumah wanita simpanannya.

"Lepaskan aku, Mas! Lepaskan aku!" teriakku meronta.

"Ayo, kita pulang, Mit! Kita bicara di rumah."

Mas Angga memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Sekalipun aku meronta meminta untuk dilepaskan. Tidak puas rasanya meninggalkan rumah istri muda suamiku tanpa memberikannya pelajaran. Berani mengambil milik orang lain, sama halnya menggali kubur sendiri.

____

Mobil berhenti mendadak di depan rumah. Setelah sepanjang perjalanan kami sama-sama saling menahan diri untuk tidak berdebat. Karena bahaya sekali dan hal buruk bisa saja terjadi pada Kami. Iya saja kalau Mas Angga yang mati. Kalau aku? Tidak, aku tidak mau mati muda. Keenakan wanita murahan itu kalau aku mati lebih dulu.

Bruk!

Pintu mobil kubanting kasar. Mengejar Mas Angga yang berjalan mendahuluiku. Langkah lebarnya membuatnya cepat masuk ke dalam rumah.

Tubuhku gemetar, terasa begitu dingin. Persediaanku terasa ngilu. Hatiku perih sekali. Ternyata sesakit ini rasanya.

Aku menarik bagian lengan kemeja Mas Angga. Tubuh lelaki itu nyaris terpelanting dan jatuh. Langkahnya terhenti, dan tubuhnya berbalik sempurna ke arahku. "Lepaskan Mita!" Mas Angga menyentak. Layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah dan ingin tetap membela diri jika dirinya tidak bersalah.

"Kenapa kamu mengkhianati pernikahan kita, Mas?" Aku mencerca layaknya seorang Jaksa pada terdakwa. Tidak peduli sesak menyumpal dada yang terasa terhimpit. Aku tidak terima telah dikhianati. Walaupun sadar, jika aku sendiri adalah seorang pengkhianat.

"Kenapa? Kamu tanya kenapa?" Mas Angga mendelik. Seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri, Mita? Bukankah kamu juga sudah berselingkuh?"

Deg!

Sepersekian detik jantungku serasa berhenti berdetak. Aku tercengang menatap Mas Angga. Rahang tegasnya mengeras, sorot matanya menusuk bak anak panah yang melesat cepat pada sasaran. Kenapa kini semua justru berbalik padaku?

Mas Angga menarik lengan bajunya kasar dari cengkeramanku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh. Otakku berusaha untuk tetap waras. Tapi ...

"Mas, aku ...!" Mendadak lidahku Kelu. Aku seperti ora gagap yang tidak pandai bicara. Bukankah sebelumnya aku adalah seorang yang pandai berbohong.

"Kenapa? Kamu pikir aku tidak tau apa yang sudah kamu lakukan di belakangku? Hah?" Mas Angga membentak. Menyadarkan aku jika bangkai yang selama ini aku simpan rapat akhirnya tercium juga.

Mas Angga membuang wajahnya sinis. "Kamu menitipkan Sifa di rumah Santi setiap hari, dengan alasan menemani bapak di rumah sakit. Bapak siapa Mita? Bapak moyang kamu?" Mas Angga mengacung-acungkan jari telunjuknya di depan wajahku. Seolah aku ini adalah seorang pendosa yang tidak termaafkan. Ia menguliti semua aib yang aku sudah aku lakukan di belakangnya.

"Halah, kamu juga sama aja Mas, selingkuh sampai buntingin wanita murahan itu." Aku mengibaskan tanganku di depan wajah Mas Angga. Membusungkan dada berani. Hal yang selama ini tidak pernah aku lakukan pada suamiku.

Mas Angga menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. Menarik wajah merah yang terbakar amarah mendekat ke arahku. "Bagaimana dengan kamu sendiri, Mita? Bukankah kamu juga pernah tidur dengan laki-laki itu?"

Hatiku tersentak. Mas Angga juga tau tentang hal itu? Mas Angga tertawa mengejek. Menatapku rendah. Lagi-lagi aku dipukul balik oleh Mas Angga.

"Ingatlah ya, kalau sampai kamu hamil, aku tidak mau bertanggung jawab!" desis Mas Angga suaranya datar tapi berhasil membuat nyaliku menciut.

Mas Angga membalikkan tubuhnya kasar. Pergi ke arah pintu rumah.

"Mas, tunggu! Aku belum selesai bicara sama kamu Mas!" Aku mengejar Mas Angga ke arah pintu. Hendak menahan lengannya, tapi tidak berhasil. Lelaki itu lebih dulu menjauhkan tubuhnya dari jangkauanku.

"Apa lagi? Mau ngomong apa lagi?" sentak Mas Angga matanya melotot padaku.

"Pokoknya aku nggak mau di madu, Mas!" Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku. Aku memang menyukai Mas Satya. Tapi aku tidak mau kehilangan Mas Angga. Aku tidak mau rumah tangga yang sudah kubangun bertahun-tahun hancur berantakan.

"Kamu egois, Mita!" bentak Mas Angga mengeram.

"Aku tidak peduli Mas, aku nggak mau di madu," balasku menyentak. Air mataku meleleh deras.

"Ya sudah, secepatnya aku akan mengurus surat perceraian kita. Jadi kamu bisa bebas bersama dengan selingkuhanmu itu. Bukankah memang ini yang kamu inginkan, Mita?"

'Aku tidak seperti itu, Mas.' Hatiku nyeri, mengapa dia tidak mengerti. Apa yang dikatakan Mas Angga memang benar. Bukankah perpisahanku dengan Mas Angga adalah harapan Mas Satya. Dengan begitu kami bisa bersama-sama.

"Tapi ingat, aku tidak akan memberikan Sifa pada ibu macam kamu, Paramitha!"

"Mas!" Aku berteriak. Lelaki itu setengah berlari menuju mobil tanpa mampu aku kejar. Karena mobil Mas Angga dengan cepat meninggalkan halaman rumah.

"Sifa anakku, Mas, kamu tidak boleh mengambilnya!" teriakku sesenggukan. Hatiku sangat sakit sekali. Aku tidak mau kehilangan Sifa. Tubuhku luruh pada dinginnya lantai teras rumah kami.

____

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status