Share

Bab 5

Seharian aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di depan ruang televisi. Kepalaku berdenyut-denyut hebat. Banyangan alat pendeteksi kehamilan bergaris dua itu berhasil membuat hatiku tidak tenang. Aku bagaikan ikan yang melompat dari dalam air. Nyaris ingin mati.

Tespek milik siapa itu? Siapa yang sudah hamil? Kenapa ada di dalam saku celana Mas Angga? Apa jangan-jangan Mas Angga berselingkuh di belakangku?

Hatiku nyeri membayangkan hal itu. Seperti ada belati yang menyayat-nyayat hati ini. Aku frustasi juga emosi dengan pikiranku sendiri. Sampai-sampai Sifa yang tidak tau apa-apa menjadi sasaran kemarahanku.

Entah pergi kemana gadis kecilku itu sekarang. Aku tidak peduli. Yang ada di dalam pikiranku, banyang-bayang pengkhianat Mas Angga yang semakin nyata di pelupuk mata.

Seharian aku tidak mandi. Rambutku awut-awutan. Pakaian yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Aku tidak bisa berpikir jernih. Hatiku hancur sehancur-hancurnya jika benar Mas Angga berselingkuh.

Tut ... Tut ...

Sambungan telepon terdengar. Aku butuh teman untuk bercerita. Aku tidak bisa menahan rasa sesak ini sendirian. Aku menghubungi Mas Satya, lelaki yang selalu ada untukku.

"Halo, Mit!"

Suara Mas Satya terdengar di seberang telepon. Lelaki yang sudah pernah menikmati tubuhku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaan yang sama sekali tidak mampu aku tahan sejak tadi terluapkan.

"Kenapa istriku? Ada apa? Kok menangis? " ucap Mas Satya lembut di seberang telepon. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Di satu sisi aku mencintai Mas Satya. Namun di sisi lain, aku tidak mau kehilangan Mas Angga. Hatiku sakit jika Mas Angga benar-benar mengkhianatiku.

"Mas!" lirihku sesenggukan. Mengatur nafas yang nyaris putus oleh sesak yang menyumpal dada.

"Kenapa? Kamu berantem sama Angga? Atau ada masalah lain?" Mas Satya memberondongiku dengan pertanyaannya.

"Enggak, Mas. Ada yang lain lagi, hikz ... Hikz ...!" Aku menjeda ucapanku. Aku butuh kekuatan untuk mengatakan rasa sakit ini. Aku menghela nafas panjang beberapa kali.

"Aku, aku menemukan tespack bergaris dua di celana panjang Mas Angga," kataku lirih.

"Astaga. Jadi suami kamu selingkuh? Begitu?" Mas Satya menaikan satu oktaf nada suaranya. Ia terdengar terkejut. Sama seperti halnya denganku saat menemukan benda itu di tumpukan pakaian kotor Mas Angga.

"Aku nggak tau pasti, Mas. Hanya saja kenapa ada tespack di celana suamiku. Aku nggak mau dia selingkuh Mas." Aku menangis. Tidak peduli jika diri ini egois. Aku hanya mengungkapkan rasa sakit ini. Aku menginginkan dua pria sekaligus.

"Kamu tenang saja dulu. Bicarakan dulu baik-baik sama suami kamu. Jika perlu selidiki dulu kebenarannya, Mit."

Inilah yang aku sukai dari Mas Satya. Sekalipun dia mencintaiku. Dia tidak pernah menginginkan aku untuk bersamanya. Kami saling melengkapi, meskipun tidak akan pernah saling memiliki dan kami sama-sama tau akan hal itu.

"Iya Mas!" Hatiku sedikit tenang. Aku mengusap lembut air mata yang sejak tadi membanjiri pipi.

"Semoga saja Mas Angga tidak seburuk yang aku pikirkan Mas," ucapku penuh harap.

"Ya kalau pun suami kamu benar-benar selingkuh, aku siap kok menjadi suami kamu."

Tidak terasa bibirku mengulas senyum atas godaan Mas Satya. Lelaki itu memang pandai sekali membuatku merasa berarti. Hanya di sisinyalah aku merasa berharga.

"Terus istri kamu?" celetukku membalas candaan Mas Satya. Seperti mendapatkan kekuatan aku bangkit dari bangku sofa mencari keberadaan Sifa. Rupanya gadis kecilku sedang sibuk dengan mainannya di ruang tengah.

"Istriku? Aku akan menceraikannya kalau kamu berpisah dengan Angga."

Aku melebarkan senyuman. "Janganlah Mas kasian anak-anak. Jangan sampai mereka menjadi korban kita. Cukup aku dan kamu saling mengisi meskipun tidak dapat memiliki," jawabku. Karena bagaimanapun pun dalam sebuah perceraian anak-anaklah yang akan menjadi korban dan aku tidak ingin itu terjadi pada Sifa.

"Baiklah, istriku sayang. Yang paling dewasa, pintar, keibuan, cantik. Aku nurut aja sama kamu," ucap Mas Satya terdengar gemas di seberang telepon. Pipiku merona mendengar pujian itu.

Setelah menelpon Mas Satya aku seperti mendapatkan semangat kembali. Aku segera melakukan semua pekerjaanku yang tertunda. Tidak lupa mandi juga merias diri. Memasak untuk menyambut kedatangan Mas Angga.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tetapi Mas Angga belum juga pulang. Hatiku semakin gusar. Aku mencoba menghubungi nomor Mas Angga tapi lagi-lagi nomor lelaki itu sama sekali tidak bisa di hubungi.

"Ah, sial!" Aku berdecak kesal. Aku baru teringat jika aku sudah lama sekali tidak pernah menghubungi nomor Mas Angga. Lebih tepatnya sejak aku mengenal Mas Satya dan ketika aku sudah lelah mengharapkan kasih sayang dari suamiku sendiri.

Detak jam dinding menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Satu jam telah berlalu dan aku masih menunggu kepulangan Mas Angga. Kepulangan yang akhir-akhir ini sama sekali tidak aku pedulikan. Alasannya satu, aku lelah jika harus terus menerus menunggu.

"Kemana kamu, Mas?" Tanpa sadar aku bergumam gusar. Kembali teringat dengan tespack yang aku temukan.

"Apakah aku harus menyelidikinya?" ucapku dan hatiku menjawab iya.

____

Aku meninggalkan Sifa di rumah sendirian. Terpaksa dan untungnya Sifa sudah tertidur lelap sejak pukul delapan tadi.

Dengan menggunakan grab aku pergi menuju kantor Mas Angga. Sepanjang perjalanan hatiku sama sekali tidak tenang. Beberapa kali mencoba menghubungi nomor Mas Angga tapi hasilnya nihil. Beberapa pesan Mas Satya juga masuk, rayuan yang membuat hatiku berbunga-bunga dan entah mengapa terasa hambar kali ini. Pikiranku penuh dengan dugaan-dugaan yang bisa saja terjadi.

Hampir satu jam perjalanan akhirnya mobil grab yang aku kendari tiba di depan gedung tinggi yang ada di pusat kota. Aku menatap ke arah gedung yang sepi seperti tidak berpenghuni itu. Perasaanku semakin tidak enak.

"Pak tunggu sebentar ya," ucapku pada lelaki yang duduk di bangku kemudi. Tubuhku sudah gemetar, dan keringat dingin serasa membanjiri.

Lelaki itu melirikku dari kaca spion yang ada di atas setir mobil. "Iya Bu," jawabnya.

Aku turun dari dalam mobil. Berjalan menuju gedung tinggi yang ada di depanku.

"Bu, Bu, mau kemana?"

Langkahku terhenti saat melewati pos jaga. Aku menoleh ke arah pos jaga. Lelaki bertubuh tegap muncul dari pos yang ada di depan gedung itu.

Aku beringsut mendekati. Mencoba bersikap tenang, sekalipun hatiku sedang tidak karu-karuan. Gedung dengan pencahayaan minim itu seolah memberikan jawaban padaku.

"Pak, mau tanya, apakah masih ada karyawan yang lembur di dalam ya Pak?" ucapku bersusah payah. Sebah serasa menghimpit dada.

"Lembur?" Lelaki berseragam putih itu menoleh ke arah gedung perkantoran tempat Mas Angga bekerja. Seolah ingin memastikan pertanyaanku.

"Sudah hampir setahun kantor kami tidak pernah ada yang lembur Bu. Efek dari omzet penjualan yang sepi."

"Apa?" Aku terkejut. Kedua bola matanya membulat sempurna. Jika setahun terakhir ini tidak ada lembur. Lalu kemana perginya Mas Angga selama ini.

____

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status