Seharian aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di depan ruang televisi. Kepalaku berdenyut-denyut hebat. Banyangan alat pendeteksi kehamilan bergaris dua itu berhasil membuat hatiku tidak tenang. Aku bagaikan ikan yang melompat dari dalam air. Nyaris ingin mati.
Tespek milik siapa itu? Siapa yang sudah hamil? Kenapa ada di dalam saku celana Mas Angga? Apa jangan-jangan Mas Angga berselingkuh di belakangku?Hatiku nyeri membayangkan hal itu. Seperti ada belati yang menyayat-nyayat hati ini. Aku frustasi juga emosi dengan pikiranku sendiri. Sampai-sampai Sifa yang tidak tau apa-apa menjadi sasaran kemarahanku.Entah pergi kemana gadis kecilku itu sekarang. Aku tidak peduli. Yang ada di dalam pikiranku, banyang-bayang pengkhianat Mas Angga yang semakin nyata di pelupuk mata.Seharian aku tidak mandi. Rambutku awut-awutan. Pakaian yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Aku tidak bisa berpikir jernih. Hatiku hancur sehancur-hancurnya jika benar Mas Angga berselingkuh.Tut ... Tut ...Sambungan telepon terdengar. Aku butuh teman untuk bercerita. Aku tidak bisa menahan rasa sesak ini sendirian. Aku menghubungi Mas Satya, lelaki yang selalu ada untukku."Halo, Mit!"Suara Mas Satya terdengar di seberang telepon. Lelaki yang sudah pernah menikmati tubuhku.Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaan yang sama sekali tidak mampu aku tahan sejak tadi terluapkan."Kenapa istriku? Ada apa? Kok menangis? " ucap Mas Satya lembut di seberang telepon. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Di satu sisi aku mencintai Mas Satya. Namun di sisi lain, aku tidak mau kehilangan Mas Angga. Hatiku sakit jika Mas Angga benar-benar mengkhianatiku."Mas!" lirihku sesenggukan. Mengatur nafas yang nyaris putus oleh sesak yang menyumpal dada."Kenapa? Kamu berantem sama Angga? Atau ada masalah lain?" Mas Satya memberondongiku dengan pertanyaannya."Enggak, Mas. Ada yang lain lagi, hikz ... Hikz ...!" Aku menjeda ucapanku. Aku butuh kekuatan untuk mengatakan rasa sakit ini. Aku menghela nafas panjang beberapa kali."Aku, aku menemukan tespack bergaris dua di celana panjang Mas Angga," kataku lirih."Astaga. Jadi suami kamu selingkuh? Begitu?" Mas Satya menaikan satu oktaf nada suaranya. Ia terdengar terkejut. Sama seperti halnya denganku saat menemukan benda itu di tumpukan pakaian kotor Mas Angga."Aku nggak tau pasti, Mas. Hanya saja kenapa ada tespack di celana suamiku. Aku nggak mau dia selingkuh Mas." Aku menangis. Tidak peduli jika diri ini egois. Aku hanya mengungkapkan rasa sakit ini. Aku menginginkan dua pria sekaligus."Kamu tenang saja dulu. Bicarakan dulu baik-baik sama suami kamu. Jika perlu selidiki dulu kebenarannya, Mit."Inilah yang aku sukai dari Mas Satya. Sekalipun dia mencintaiku. Dia tidak pernah menginginkan aku untuk bersamanya. Kami saling melengkapi, meskipun tidak akan pernah saling memiliki dan kami sama-sama tau akan hal itu."Iya Mas!" Hatiku sedikit tenang. Aku mengusap lembut air mata yang sejak tadi membanjiri pipi."Semoga saja Mas Angga tidak seburuk yang aku pikirkan Mas," ucapku penuh harap."Ya kalau pun suami kamu benar-benar selingkuh, aku siap kok menjadi suami kamu."Tidak terasa bibirku mengulas senyum atas godaan Mas Satya. Lelaki itu memang pandai sekali membuatku merasa berarti. Hanya di sisinyalah aku merasa berharga."Terus istri kamu?" celetukku membalas candaan Mas Satya. Seperti mendapatkan kekuatan aku bangkit dari bangku sofa mencari keberadaan Sifa. Rupanya gadis kecilku sedang sibuk dengan mainannya di ruang tengah."Istriku? Aku akan menceraikannya kalau kamu berpisah dengan Angga."Aku melebarkan senyuman. "Janganlah Mas kasian anak-anak. Jangan sampai mereka menjadi korban kita. Cukup aku dan kamu saling mengisi meskipun tidak dapat memiliki," jawabku. Karena bagaimanapun pun dalam sebuah perceraian anak-anaklah yang akan menjadi korban dan aku tidak ingin itu terjadi pada Sifa."Baiklah, istriku sayang. Yang paling dewasa, pintar, keibuan, cantik. Aku nurut aja sama kamu," ucap Mas Satya terdengar gemas di seberang telepon. Pipiku merona mendengar pujian itu.Setelah menelpon Mas Satya aku seperti mendapatkan semangat kembali. Aku segera melakukan semua pekerjaanku yang tertunda. Tidak lupa mandi juga merias diri. Memasak untuk menyambut kedatangan Mas Angga.Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tetapi Mas Angga belum juga pulang. Hatiku semakin gusar. Aku mencoba menghubungi nomor Mas Angga tapi lagi-lagi nomor lelaki itu sama sekali tidak bisa di hubungi."Ah, sial!" Aku berdecak kesal. Aku baru teringat jika aku sudah lama sekali tidak pernah menghubungi nomor Mas Angga. Lebih tepatnya sejak aku mengenal Mas Satya dan ketika aku sudah lelah mengharapkan kasih sayang dari suamiku sendiri.Detak jam dinding menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Satu jam telah berlalu dan aku masih menunggu kepulangan Mas Angga. Kepulangan yang akhir-akhir ini sama sekali tidak aku pedulikan. Alasannya satu, aku lelah jika harus terus menerus menunggu."Kemana kamu, Mas?" Tanpa sadar aku bergumam gusar. Kembali teringat dengan tespack yang aku temukan."Apakah aku harus menyelidikinya?" ucapku dan hatiku menjawab iya.____Aku meninggalkan Sifa di rumah sendirian. Terpaksa dan untungnya Sifa sudah tertidur lelap sejak pukul delapan tadi.Dengan menggunakan grab aku pergi menuju kantor Mas Angga. Sepanjang perjalanan hatiku sama sekali tidak tenang. Beberapa kali mencoba menghubungi nomor Mas Angga tapi hasilnya nihil. Beberapa pesan Mas Satya juga masuk, rayuan yang membuat hatiku berbunga-bunga dan entah mengapa terasa hambar kali ini. Pikiranku penuh dengan dugaan-dugaan yang bisa saja terjadi.Hampir satu jam perjalanan akhirnya mobil grab yang aku kendari tiba di depan gedung tinggi yang ada di pusat kota. Aku menatap ke arah gedung yang sepi seperti tidak berpenghuni itu. Perasaanku semakin tidak enak."Pak tunggu sebentar ya," ucapku pada lelaki yang duduk di bangku kemudi. Tubuhku sudah gemetar, dan keringat dingin serasa membanjiri.Lelaki itu melirikku dari kaca spion yang ada di atas setir mobil. "Iya Bu," jawabnya.Aku turun dari dalam mobil. Berjalan menuju gedung tinggi yang ada di depanku."Bu, Bu, mau kemana?"Langkahku terhenti saat melewati pos jaga. Aku menoleh ke arah pos jaga. Lelaki bertubuh tegap muncul dari pos yang ada di depan gedung itu.Aku beringsut mendekati. Mencoba bersikap tenang, sekalipun hatiku sedang tidak karu-karuan. Gedung dengan pencahayaan minim itu seolah memberikan jawaban padaku."Pak, mau tanya, apakah masih ada karyawan yang lembur di dalam ya Pak?" ucapku bersusah payah. Sebah serasa menghimpit dada."Lembur?" Lelaki berseragam putih itu menoleh ke arah gedung perkantoran tempat Mas Angga bekerja. Seolah ingin memastikan pertanyaanku."Sudah hampir setahun kantor kami tidak pernah ada yang lembur Bu. Efek dari omzet penjualan yang sepi.""Apa?" Aku terkejut. Kedua bola matanya membulat sempurna. Jika setahun terakhir ini tidak ada lembur. Lalu kemana perginya Mas Angga selama ini.____Bersambung ....Dadaku kian sesak. Sampai-sampai aku tidak mampu untuk sekedar menangis. Tubuhku gemetar hebat, semua pikiran buruk carut marut memenuhi isi kepalaku. Apa yang sudah selama ini Mas Angga lakukan di belakangku? Apakah dia bermain hati dengan wanita lain? Apakah ini salah satu alasan Mas Angga bersikap dingin padaku. Sikap yang salama ini aku anggap wajar untuk kami yang sudah menikah cukup lama. Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat kepalaku begitu sakit. Aku memilih menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku mobil. Hingga mobil yang membawaku tiba di depan rumah. “Sudah sampai, Bu,” ucap pengemudi melirikku dari kaca yang ada di atas stir mobil. Aku menarik tubuhku yang terasa berat dari sandaran bangku. Pandanganku langsung tertuju ke arah rumah. Mobil Mas Angga belum ada, berarti lelaki itu belum juga pulang. Semakin parah rasa sakit ini.Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Aku langsung menunju kamar Sifa, memastikan jika putriku tidak bangun saat aku meninggalkanya dan ben
Istri?Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan."Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatap
Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan
“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,
POV Author.Paramita berjalan gontai menyusuri paving blok yang berjajar rapi dihalaman rumahnya hingga ke beranda. Pandangannya kosong menatap rumah yang dulu menjadi impiannya bersama Angga. Susah payah ia membangun istana itu ditahan rantau bersama-sama. Tapi kini rumah itu hanya menjadi saksi bisu bahwa dirinya dan Angga pernah menjadi bagian satu sama lainya.Criet.Suara pintu yang kurang pelumas terdengar. Disambut dengan ruang gelap saat Mita mendorong pintu ke dalam. Hening, tawa Sifa dan celotehan gadis kecil yang kerap kali menyambut kedatangan Mita tak lagi terdengar. Hanya kehampaan yang semakin menyiksa batin wanita itu.Mita berjalan masuk. Mengabaikan ruangan gelap segelap hatinya saat ini. Ia bak layang-layang yang terlepas dari tuanya. Terombang ambing mengikuti arah angin yang membawanya tak tentu arah.Semua terasa tidak adil. Bukankah Angga juga berselingkuh. Bahkan sampai wanita selingkuhannya itu hamil. Tapi kenapa hanya Mita yang harus menanggung derita kehilan
Senyum bahagia mengembang dari bibir Sifa. Gadis kecil bermata indah itu memeluk erat tubuh MIta penuh kerinduan. Seolah telah ribuan purnama mereka tidak pernah bersua.Mita menangis. Lidahnya kelu tidak bisa berucap apapun. Tanganya mengusap lembut rambut Sifa yang ada dalam pelukannya. Ribuan sesal dan umpatan ia tujukan pada dirinya sendiri di dalam hati. Andai saja ia tak seliingkuh pasti semua akan baik-baik saja. Tapi tidak, Bukankah Angga juga melakukanya. Itu berarti, tidak semua kesalahan ada padanya.Pikiran Mita berkecamuk hebat. Ia sadar dirinya salah, tapi Angga juga bersalah. Jika Mita mampu, saat ini juga ia iangin membawa Sifa pergi bersamanya. Agar Angga tidak memisahkan gadis kecil itu lagi dengan dirinya. Persetan setelah ini Angga akan menikah dengan wanita itu. Mita tidak peduli. Ia hanya ingin bersama putri semata wayangnya. Karena hati Mita juga sama sakitnya karena perselingkuhan Angga.Hati Angga perih. Seperti di cabik dan di sayat tipis-tipis. Melihat peman