공유

BAB 2

작가: Rora Aurora
last update 최신 업데이트: 2024-08-16 07:41:22

"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi.

Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku.

"Bunda!"

"Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."

Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?!

"Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?"

"Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."

Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan.

"Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain dengan sebutan Mama. Meskipun mereka menikmati dan senang. Ini ranahnya sensitif, Megan. Sekarang berhenti bermain sandiwara begitu dengan anak-anakku yang membuat mereka harus memanggilmu dengan gelar yang tak pantas untukmu. Paham?"

"Paham, Nyonya."

Megan menunduk

"Kapan Mbokmu balik?" tanyaku.

Megan langsung mendongak seperti kaget mendengar pertanyaanku. Kenapa? Ada yang salah? Kok dia sekaget itu.

"Mbok ... masih sakit, Nyonya," ujar Megan kembali menunduk. Suaranya parau.

"Kalau begitu, aku akan mencari pembantu lain."

Megan kembali menatapku dan kali ini tatapannya jauh lebih serius.

"Maaf Nyonya, izinkan saya tetap menggantikan Mbok saya. Saya butuh uang untuk pengobatan Mbok."

"Loh, kamu kan kuliah. Katanya sebentar lagi mau wisuda. Masa iya mau tetap jadi pembantu?"

"Saya siap, Nyonya. Saya sudah nyaman di sini. Amira dan Rio sudah saya anggap seperti anak saya sendiri."

Kalimat itu terdengar bagus dengan diiringi nada lembut dari mulut Megan. Tapi sampai hatiku, terasa sangat tidak nyaman. Aku tidak suka. Apalagi tadi melihat dia di dekat suamiku, aku jadi panaroid.

"Tapi aku ...."

Belum sempat aku bicara lagi, terdengar suara Mas Danang mendekat.

"Loh ditungguin kok diem di sini, Sayang?"

"Tehnya saya simpan di ruang tamu, ya, Nyonya."

Megan langsung melipir menjauh dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Padahal aku belum selesai bicara. Aku tidak ingin dia tetap di sini kalau selamanya!

"Yuk! Kita rehat di kamar, yuk!" ajak Mas Danang.

"Aku ingin memulangkan Megan, Mas," ujarku dengan napas mendengkus. Tiba-tiba saja aku nekat.

Wajah suamiku langsung kaget sekali. Dia langsung memegang bahuku yang mungkin terasa hangat sebab hatiku tiba-tiba jadi panas. Entah mungkin karena cemburu melihat suamiku satu ruangan dengan art muda itu atau karena mendengar putriku memanggil Mama padanya. Intinya aku tidak suka situasi ini.

"Astaghfirullah. Bun, kok tiba-tiba gitu? Anak-anak sudah mulai betah lo sama Megan. Dia telaten."

"Ya, tapi aku gak suka ada wanita muda di rumah ini. Banyak fitnahnya! Katanya cuman seminggu, terus jadi sebulan, terus minta jadi dua bulan, sekarang sudah lebih mau masuk tiga bulan lo!"

"Ya, kan dia gantiin ibunya, Sayang. Kasihan Mbok Mar kalau kita minta dia balik sedangkan dia sudah tua dan sakit-sakitan."

"Ya udah, aku cari pembantu lain aja, Mas."

Mas Danang langsung menutup bibirku dengan telunjuknya. Seperti tak ingin sekali dia mendengar ucapanku.

"Stop ya, Bun. Kasihan lo anaknya Mbok Mar. Ibunya sudah mengabdi di keluargamu sampai puluhan tahun kan? Masa sekarang main pecat gitu. Bukan apa-apa ya, Sayang. Aku hanya gak enak aja sama Mbok. Selama ini kan dia baik banget sama kita."

Aku membuang wajahku.

"Kamu jangan mikir yang aneh-aneh tentang dia. Setidaknya sampai Mbok Mar lebih sehatlah biar dia gak kepikiran tiba-tiba kamu pecat anaknya. Padahal anaknya tak melakukan kesalahan apa pun."

Tak ada yang bisa aku ucapkan. Apakah perasaanku ini tanpa alasan? Aaah aku jadi bingung sendiri.

"Ayo ke kamar, yuk! Aku pijitin," rayu suamiku mencoba mengelus pinggangku.

Aku menepis tangan suamiku.

"Aku ke kamarnya Amira dulu. Tadi aku minta dia tunggu aku," ucapku datar

Entah kenapa aku jadi malas sama suamiku sendiri. Ucapan-ucapannya barusan seperti dia ingin pembantu itu untuk tetap di sini. Tapi bila dipikirkan lagi, ada benarnya juga. Mbok Mar memang sudah hampir 25 tahun mengabdi di keluargaku. Saat aku masih SD dia hadir. Ada beberapa kali aku bertemu Si Megan ini tapi tak terlalu kuhiraukan. Mbok Mar waktu itu sedang hamilkan Si Megan ini saat bekerja di rumahku. Kebetulan suaminya adalah tukang kebun di komplek kami. Sudah 10 tahun suaminya itu meninggal dunia. Dan selama ini, Megan diasuh oleh nenek dan paman bibinya.

"Mira mau kan ikuti omongannya, Bunda?" tanyaku mencoba mengelus rambut lurus putriku.

Ia menatapku lekat-lekat lalu mengangguk pasti. Aku tersenyum lalu memeluknya erat. Di telinganya kubisikkan bahwa aku sangat mencintainya dan tak ingin dia memanggil orang lain dengan sebutan Mama lagi.

"Gak boleh lagi ya, panggil Mbak Megan itu Mama. Karena sebutan Mama itu hanya untuk wanita yang melahirkan Mira dan Bang Rio. Dan wanita itu hanya satu yaitu Bunda," ucapku memperjelas.

"Meskipun main-main?" tanya Amira nampak serius.

Aku menarik napasku dalam-dalam.

"Ya. Meskipun main-main. Cari peran yang lain aja. Mbak Megan bisa jadi bu guru, polwan, bu dokter, dan lain-lain. Tak usah jadi Mamanya Mira."

"Tapi Mbak Megan pengen jadi Mamanya aku sama Abang."

Alisku langsung mengekerut cepat.

"Oh ya?"

"Iya. Mbak Megan bilang sama Papa, kalau ... Mbak Megan mau jadi Mamaku!"

Seperti ada guntur menggelegar di telingaku. Apa yang sedang dikatakan Amira? Tak mungkin dia mengarang cerita. Aku kembali ingin membuka mulutku untuk mencecar Amira namun tiba-tiba sebuah tangan sedang mengelus pundakku.

"Iya, Megan bilang kalau suatu hari ingin punya anak sepintar dan selucu Amira."

"Mas?" sapaku masih kebingungan, lebih tepatnya kaget berkali-kali.

"Amira salah tangkap ucapan Megan," lanjutnya lagi.

Aku hanya bisa menelan salivaku makin gamang. Apa benar ucapan Amira tadi itu hanya salah tangkap saja?

"Kamu yang jujur sama aku, Mas. Kamu gak ada sembunyikan apa pun kan sama aku?"

"Iya, Sayang. Gak ada. Periksa aja semua hpku. Bukankah dari dulu aku gak ada rahasiakan apa pun dari kamu?"

Aku mengangguk mengiyakan. Tapi tetap saja makin tak karuan perasaanku.

Esoknya, Mas Danang pamit untuk tugas ke luar kota.

"Jangan tinggalkan sholat ya, Mas. Itu aja permintaanku."

"Terimakasih, Sayang. Baik-baik di rumah sama anak-anak, ya. Aku cuma tiga hari aja, kok!"

Aku mengangguk lalu melepas kepergian suamiku itu. Kebetulan hari ini hari Minggu, jadi suamiku nanti punya waktu rehat di kota lain sebelum terjun bekerja esoknya. Perjalanannya cukup jauh, karena beda provinsi. Malamnya, aku melihat Megan sedang duduk di taman samping sembari main ponsel. Aku dekati saja dia, niatnya akan mengejutkannya. Aku mengendap-endap tapi setelah dekat tiba-tiba ponselnya berdering. Aku langsung diam di tempat, tepat di belakangnya.

"Hallo, Papa. Mama kangen banget, Sayang."

...

Aku langsung mematung.

Megan sudah menikah? Serius? Kok aku baru tahu?

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   Ending

    "Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 117

    Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 116

    Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 115

    Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 114

    "Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 113

    "Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status