"Apa katamu, Mas?!!!"
Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "KaSedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Kenapa dari tadi diam di kamar? Layani dong mertuamu. Sampai dia pulang, mantunya gak nongol-nongol." Ucapan Safira terdengar menyindir. Kedua tangannya disilangkan di depan dada dengan penuh rasa percaya diri. Wanita itu berdiri tegak di tengah pintu kamar adik madunya. "Apa maksudnya Mbak undang Mama ke sini? Sengaja supaya aku dihina-hina?" "Loh, pertanyaan macam apa ini? Mau aku undang apa gak, tentu saja karena aku menantu sahnya dan ada dua cucunya di sini. Kenapa? Sakit ya gak diterima mertua? Iri ya pengen seperti aku, disayang mertua? Mimpi kamu! Bagaimana kamu bisa memetik buah yang manis sedangkan kamu menanam benih dari hasil curian." "Cukup, Mbak! Cukup hina saya! Jangan hanya salahkan saya terus menerus. Mas Danang yang mencari saya bahkan sampai mencari saya sampai ke desa! Suami Mbak itu yang tidak mampu menahan perasaannya sama saya! Kenapa hanya saya saja yang Mbak sudutkan?! Harusnya Mbak berkaca diri, kenapa sampai begitu suaminya Mbak!" Wuuuussssh!
Refleks Megan langsung menoleh kaget luar biasa. Megan memucat. Jika suaminya pengangguran. Bagaimana dengan kehidupan mereka ke depan? Ia menggeleng lambat. "Bukannya aku pernah bercerita saat aku menemuimu di desa, saat kamu gila mau gantung diri tak jelas, itu aku benar-benar sudah meninggalkan rapat penting. Itu adalah tindakan fatal, Megan dan sekarang aku mendapatkan ganjarannya." "Jangan katakan itu karena aku, Mas," lirih Megan dengan deguban jantung berdebar-debar. "Lalu kita harus menyalahkan siapa?" tanya Danang menantang. "Mbak Safira yang membuatku menggila begitu!" "Terserah, aku pusing." Danang berbaring di kasur sembari menutup kepalanya dengan bantal. Ia benar-benar pusing. Berat dan oleng rasa kepalanya. Bagaimana jika Safira tahu? Orang tuanya tahu? Pastilah dia akan jadi bulan-bulanan. Bagaimana bisa dia mengangkat kepala, sedangkan saat
"Semoga saja sukses penawaran kita, Pak. Nanti kalau mereka minta kurangi persenannya, mentok sampai 40% aja. Gimana?" tanya Safira sembari menutup laptop lalu menegak jus buahnya. "Yah. Kita cari peluang lain jika satu peluang tertutup. Yang penting tetap bergerak," jawab David mantap. Safira mengangguk kecut. Jelas keningnya berkeringat. "Kamu kenapa? Kok wajahmu merah?" "Sejujurnya saya mual, Pak. Dari tadi ditahan-tahan. Saya tidak suka aroma parfum klien tadi." "Aduh ... iya, iya. Its oke. Aku kadang lupa kalau kamu itu sedang hamil. Nampak seperti tidak hamil saja." Safira hanya mengangguk sesekali mengusap hidungnya. "Sebentar, kan kliennya sudah pergi? Kok masih tak nyaman begitu?" "Anu ... mmm ... sejujurnya saya tak suka parfum bapak yang ini juga. Anu ... Huuuuwwwweeeek!" Safira menutup mulutnya yang sedang akan muntah. Untung saja tid
"Ibuk, udah ah. Jangan bahasa-bahas. Cuman sampai mereka menemukan tempat baru sebab Mas Danang sudah gajian," ucap Safira tak ingin terjadi perdebatan. Danang diam saja. Pasalnya ia belum sanggup menyewa tempat baru dengan kondisinya yang sekarang. Ia membuang wajah, malas melihat Safira. Hatinya masih panas. Tapi mau menegur, takut ketahuan tak di kantor. Pasalnya restoran itu cukup jauh dari kantornya. Jadilah hanya memendam kesal. "Mas, Bu Mona undang kita buat hadiri resepsi pernikahan putrinya. Acaranya malam ini. Ayo kita berangkat bareng!" seru Safira sambil mengecek ponsel. "Banyak teman dan kolega yang akan hadir. Secara Bu Mona kan pemilik perusahaan properti ternama," lanjut Safira tak menoleh sehingga ia tidak tahu, wajah suaminya itu sudah seperti kanebo kering. "Mas Danang pergi sama aku, Mbak! Sebab dia lebih dulu mengajakku," ucap Megan tiba-tiba hadir. Wanita itu sudah cantik dengan dress biru muda selutut dengan mode
FLASH BACK"Kok ngos-ngosan, Fir? Apa kamu habis makan siang ngunyah badak?" tanya Tasya melihat Safira banyak menghirup udara. "Ya. Aku buru-buru dari parkiran. Takut boss tahu aku keluar melebihi jam rehat," jawab Safira susah payah. "Emang kamu habis dari mana?""Lihat lokasi yang mau dijual murah. Tempatnya strategis. Tak jauh dari sini. Tanah 3 are.""Eeh serius? Tanah buat bangun rumah? Investasi?"Safira menggeleng. "Aku mau buka cabang butik ibuku."Kedua bola mata Tasya langsung membulat lebar karena merasa temannya itu luar biasa. "Banyak duit nih! Kasih dong minjem!" goda Tasya. "Idiih. Gak gitu. Duit ibuku, sedikit tabunganku, dan ada uang pendidikan anakku. Sebagian mau kuputar biar makin jadi banyak," jawab Safira begitu yakin. "Aku senang, Fir. Impian setiap orang punya usaha gitu. Nanti kalau sudah berdiri, kamu resign atau gimana?""Sepertinya aku resign
Danang mengusap wajahnya kebingungan harus berbuat apa. Sempat ia menoleh pada Megan dan Megan hanya pasang wajah datar. Danang abai. Dalam pikirannya, bagaimana bisa Safira datang bersama bosnya yang seorang duda itu?! Sekarang Danang merasa sangat tidak nyaman. Rasanya di dalam dada seperti ada bara yang menyebabkan panas sampai ke otaknya. Sejenak pria itu masih berdiri tak kedip menatap istrinya yang sedang bicara dengan beberapa orang penting. Terlihat jelas raut wajah istrinya itu begitu riang dan santai. Tidak seperti pikirannya bahwa Safira akan bersedih karena dia berangkat bersama Megan. Safira terlihat sangat serasi berdiri di dekat David yang memakai batik yang dominan bercorak hitam. Sudah seperti couple saja. "Segitunya aku tidak kamu hargai, Fir. Sampai-sampai kamu berani datang bersama pria lain." Di sisi lain, Megan hanya bisa merasakan desiran kecemburuan melihat suaminya tak kedip melihat ke arah kakak madunya itu. Unt
"Dimana Megan?" tanya Safira setelah turun dari pelaminan. "Pastilah di sekitar sini. Aku gak bisa bawa dia ketemu teman-teman karena tak ingin menambah berita." "Ciih! Berita kamu poligami. Aku akan menyebarkan di medsos. Biar mampus kamu, Mas," celetuk Safira meninggalkan suaminya menuju stand makanan. Danang langsung mengejar istrinya dengan langkah cepat dan lebar. "Yang benar aja kamu, Bun. Ayolah, jangan begitu banget kamu. Biar gimana pun, aku bapaknya anak-anak. Apa gak malu mereka, kalau ayahnya dipermalukan ibunya di media?!" Safira menoleh pada suaminya itu dengan tatapan mengancam. "Kalau perempuan sudah tak sanggup menahan sakit hatinya, siap-siaplah hancur." "Isssh! Ngeri amat kamu, Bun. Macam mafia saja. Damailah kita," rayu Danang menoel pipi istrinya tanpa segan, meskipun mereka sedang di tempat keramaian. Safira memutar bola matanya malas dan kembali fokus menata makanannya. "Kamu ngapain ikutin aku terus, Mas? Sudah sana, cari istrimu. Hilan
"Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf
"Jangan sampai kamu menyakiti Megan, ya Hasan. Bisa kusunat kamu dua kali," celetuk Bu Sartini yanh disambut riuh tawa. Megan mengusap air matanya. Ia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berubah setelah melakukan tindakan yang buruk. Setiap orang memang memiliki kesempatan itu dan tidak ada yang lebih baik daripada usaha untuk terus memperbaiki diri. Dua minggu kemudian, barulah Safira datang menjenguk Danang. "Maaf, Mas. Aku baru datang sekarang." "Kamu sibuk acara nikahan kali," ketus Danang. "Iya. Megan menikah dan aku sedikit membantunya dengan kebaya buatanku. Lucunya, malah sekarang dicari-cari orang model seperti yang dia pakai." Danang membatu saat mendengar penuturan Safira yang begitu ringan. "Megan menikah, Fir?" "Iya. Dia gak mau rujuk sama kamu, padahal aku sudah sarankan. Yaa wajar juga sih, kamunya jahat." "Ya Allah, Fir. Kok gak ada yang kabari aku?" "Ya ...." Safira mengendikkan bahunya, pertanda kebingungan mau menanggapi apa.
"Ambil ini. Ini hakmu karena pernah menjadi istrinya Mas Danang. Jika sudah mantap dengan pilihanmu, menikahlah. Ridhoku menyertaimu." "Nyonya ...." Deras air mata Megan sembari memeluk betis Safira. "Bangunlah," ujar Safira menyentuh bahu Megan dengan lembut. Perlahan ia mengangkat tubuh Megan agar berdiri. "Nyonya ...." Megan tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tidak tahu, definisi memaafkan itu seperti apa, Megan. Tapi aku berusaha ikhlas dengan takdir yang telah terjadi dalam kehidupanku. Rumah tanggaku hancur. Aku kehilangan suami dan anak-anakku harus menyaksikan perpisahan kami. Aku sudah ikhlas. Tak pantas aku sebagai makhluk, masih bertanya mengapa terjadi. Aku akan berusaha terus untuk menjalaninya dan pasrah pada alur hidupku." "Maafkan saya, Nyonya. Maaf," lirih Megan berkali-kali. "Aku berusaha melupakan keburukanmu padaku itu semata-mata bukan karenamu. Tapi untuk diriku sendiri. Kalau terus kusimpan dendam ini, justru akan terus menggerogotiku, Megan.
Sorenya, tiba-tiba penjaga penjara datang menjemput Danang kembali. Danang cukup terkejut sebab kloter pertama, Safira sudah datang. Dan dua hari yang lalu, orang tuanya sudah datang. Apa sekarang Megan? "Siapa, Pak?" "Nanti tahu sendiri." Danang sangat terkejut ketika dia duduk, di hadapannya, di balik jeruji besi putih itu ada wajah David yang sedang tersenyum padanya. "Bagaimana kabarnya Pak Danang?" "Tak perlu resmi lagi. Panggil saja Danang. Tidak terlalu penting juga kamu bertanya kabar pada seorang narapidana." David mencoba tetap mempertahankan wajah tenang. Ia mengetuk-ngetuk pelan keramik yang menjadi meja penghubung. "Maaf, jika kedatanganku ini membuatmu tidak nyaman. Meskipun kita bukan teman dekat sebelumnya, kuharap mulai sekarang kita bisa jadi teman." "Katakan apa niatmu?" "Kenapa kau begitu ketus padaku?" tanya David dengan nada dingin. Danang membuang wajahnya. Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai orang lain. "Apa karena aku dekat denga