"Aku tidak akan membiarkan anakku tinggal dengan ibu tiri. Rio akan tetap bersamaku." "Rio sudah 12 tahun. Dia tak harus tinggal dengan ibunya!" sahut Danang tak terima. Safira diam. Yang dikatakan Danang itu benar. Rio sudah bisa memilih dimana dia akan tinggal jika oramg tuanya bercerai. Tapi membayangkan putranya tinggal bersama ibu tiri, Safira jelas was-was. "Oke. Tapi untuk saat ini, siapkan dulu lah perlengkapan Rio yang baru. Ingat, belikan yang terbaik. Kalau sudah, aku sendiri yang akan membawanya kemari." Tak menunggu respon apa apa pun, Safira melangkah mantap, membuka mobilnya dan duduk begitu tegak. Lamat-lamat dia menatap rumah yang telah memberikannya ribuan kenangan bersama putra putri juga suami yang dulu mencintainya. "Selamat tinggal masa lalu," lirih Safira sendirian. Ia lalu melajukan mobilnya dan menemukan Mimi sedang menggandeng kedua anaknya. Tiiiiit!! "Bunda!" "Ayo masuk! Kita ke rumah mbah putri!" Mimi diam dia tempat. Pembantu Safir
"Diam terus! Ayo pilih apa lagi?! Ambil seperlunya dan yang dibutuhkan. Rugi sendiri kalau gak mau. Kan kamu nanti yang di dapur? Aku mau telepon teman dulu." Danang keluar dari toko grosiran yang padat itu, masuk ke dalam mobilnya. "Ooh nasibku! Kok begini?! Kalau sekedar begini, di rumahnya Mbok juga banyak," gerutu Megan terpaksa memasukkan tudung saji plastik berwarna hijau. Sutil, cobek, pisau tak luput. Ia juga meraih ricecooker yang besar, blender, chopper dan oven listrik Danang kembali. "Sudah?" "Sudah, Mas. Tinggal bayar." "Ini terlalu besar, Megan. Ambil yang kecil saja. Toh yang makan cuman aku dan kamu," ucap Danang mengeluarkan ricecooker ukuran 1. 98 liter lalu menggantinya dengan ukuran 0, 6 liter. Megan melongo kaget. Namun tak sampai di situ, Danang juga mengeluarkan bleder dan choper juga oven yang sudah dia pilih. "Gunanya cobek itu buat kamu menggiling. Tak perlu juga ada oven. Sudah, kita bayar sekarang biar cepat masak," ujar Danang tanpa peduli e
Philips Digital Rice Cooker 5000 Series HD4539/30 - Induction Heating Harga barunya Rp1.150.000. Preloved pemakaian normal selama setahun sale 600.000! Gercep! Barang cuman satu! Siapa cepat tranfer dia yang dapat. David melihat story WA Safira mengernyitkan alis. Kebetulan hari ini, hari libur. Sedari tadi isi status WA Safira dipenuhi dengan foto barang-barang rumah tangga yang dijual murah. "Apa sekarang dia berhenti jualan baju butik ibunya? Tapi kok ada yang menjanggal. Dia sedang kesusahan uang, ya?" David tak mau pusing dengan dugaan-dugaannya sendiri. Ia langsung menghubungi Tasya. "Nah, lo, kok Bapak kepo?" goda Tasya dari kejauhan. David tahu, wanita itu sedang cekikikan menggodanya. "Sebagai bos kalian, aku wajib tahu. Jangan sampai kalian korupsi uang perusahaan karena kepepet uang." "Ehh?! Bisa gitu, ya, Pak?!" "Ya bisa lah. Aku ini pemimpin, jadi tahu apa isi otak kalian." "Aduh. Ngadi-ngadi aja Si Bos ih. Gak bakalan kami korupsi." "Ya terus, gim
"Makan," ucap Megan ketus meletakkan begitu saja piring berisi nasi dan ikan nila goreng di depan Rio yang baru pulang sekolah. "Aku kan gak suka ikan nila. Aku mau ayam." "Papamu tidak kasih uang banyak! Dia cuman kasih 50 ribu! Jangan banyak permintaan." "Aku gak mau. Aku mau pulang saja ke bunda," ucap Rio meninggalkan makanannya, masuk ke dalam kamar. Megan menggigit giginya sendiri menahan amarah. Di matanya, Rio anak kecil yang kurang ajar. Tak bisa menghargainya. Anak itu tak pernah tersenyum padanya. Benar-benar keturunan Safira yang mengesalkan hati. "Dia dan ibunya sama-sama spesies makluk menyebalkan!" Terlihat Danang sudah rapi dengan kemeja batik dan tas jinjing. "Mau kemana, Mas, siang-siang gini?" "Bahas bisnis itu sama temen. Rio sudah makan?" "Tuh, nasinya ditinggalin. Katanya mau makan ayam goreng." "Lah, kenapa kamu gak belikan ayam? Kamu kan tahu bagaimana selera Rio. Gak sehari dua hari kamu asuh dia sebelumnya. Tahu ada Rio mau datang, kam
Flash back! "Bunda, aku kangen Abang!" seru Amira lewat telepon. "Ya sudah, nanti siang ke rumah Papa aja sama Mimi. Kalian naik grab." "Boleh saya pengetin paha ayam sekilo gak, Nyah?" sambung Mimi. "Ada ayam di kulkas? Nanti aku jemput pulang dari sana sekalian ajak anak-anak jalan ke hypermart." "Nanti saya beli duluan. Biasa nanti ada lewat dagang ayam, Nyah." "Oke!" Siang itu, setelah masak 1 kg paha ayam full, Mimi bersama Amira langsung ke rumah Cemara Indah. "Pasti Abang sudah pulang sekolah. Nanti adek janji, kalau diajak nginap juga, jangan mau. Oke?" ucap Mimi sembari memangku Amira. Amira mengangguk tanda mengerti. Setelah sampai rumah, Mimi terkejut mendengar suara tangisan Rio yang sangat kecang. Ia langsung melepaskan Amira dan berlari mencari sumber suara. Bagai tersambar ribuat kilatan petir, Mimi melihat Rio diperlakukan sangat jahat oleh ibu tirinya. Membuncah hebat isi dada Mimi. Tanpa pikir panjang, dia langsung mendorong Megan ke arah dindi
"Ma-maafkan saya, Mbak! Lepaskan!" Safira justru menekan kakinya hingga Megan semakin sulit untuk menarik napas. "Kenapa kamu menjadi hama yang menggerogoti keluargaku, ha? Sudah kamu rebut suamiku sekarang kamu siksa anakku. Dimana hati nuranimu, perempuan?!" "Tak ada yang merebut siapa pun, Mbak. Mas Danang yang datang pada saya!" "Sebelum itu pasti ada kesepakatan kan? Jangan coba-coba berdalih kamu." Kaki Safira yang masih menggunakan sendal slop dengan highheels yang cukup tinggi, sekarang naik tepat di atas leher Megan. Wanita muda itu gemetar. Tangannya mencoba melepaskan kaki Safira namun Safira semakin menekannya keras. Itulah kekuatan seorang ibu yang sedang murka. Bpahkan Megan tak kuasa menggeser tubuhnya sendiri. "Saya emosi karena Rio tak mau makan, Mbak! Saya sayang anak-anak!" Byuuuuur! Safira menyiram wajah Megan dengan centong yang pecah itu. Megan refleks memiringkan wajahnya namun itu tentu saja sudah terlambat. Banyak air yang sudah masuk dalam
"Apa Down Syndrome maksudnya, Dok?" tanya Danang tercekat. Dokter mengangguk pasti. Gerakan kepala pria berseragam putih itu seperti hantaman meteor terbesar pada dunia Megan yang bergelar sebagai calon ibu. "Gugurkan saja, Dok," ucap Danang tanpa segan. Tak bernapas Megan mendengarnya. "Terkait itu, kami tidak bisa asal ambil keputusan seperti itu. Lagi pula kita perlu melakukan pemeriksaan lanjutan melalui tes darah. Pemeriksaan ini untuk memastikan kromosom janin positif trisomi 21 atau tidak." "Tapi saya tidak mau memiliki anak yang cacat mental, Dok! Dua anak saya sebelumnya normal, kok. Ganteng dan cantik. Pintar-pintar juga. Saya gak bisa!" Menetes deras air mata Megan, tanpa ada isakan, tanpa ada suara sedikit pun. Sakit di tubuhnya lebih sakit mendengar berita yang sekarang dia dengar. Apalagi ucapan suaminya, bagai belati setiap kalimatnya. "Untuk tindakan terminasi atau aborsi, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan di trimester kedua melalui USG untuk melihat
Sekarang bahkan wanita tua itu sudah berdiri di depan pintu dan Megan hanya bisa menahan napas. Seolah ia benar-benar takut untuk menghirup udara. "Susul Mbokmu, Megan. Kehadiranmu mengancam keselamatan cucu-cucuku!" "Maafkan saya, Nyai. Maafkan saya. Saya khilaf. Saya hanya ingin Rio makan. Saya salah." "Jangan bicara kamu." Bu Sartini mendekat dengan ekspresi menakutkan. Urat-urat di wajah tuanya mengeras dengan bola mata seperti akan melompat untuk menggerogoti Megan. "Ibuk! Please, Buk! Tolong jangan buat kegaduhan di sini!" seru Danang menarik keras Bu Sartini. "Lepaskan aku!" "Buk! Tolong." Danang bertahan dengan seluruh kekuatannya meski terdorong keras oleh Bu Sartini. Namun wanita itu berhasil meraih lengan Megan. Ditariknya tangan wanita itu hingga tubuh Megan jatuh. "Aaaakh!" Megan mengerang kesakitan. Danang semakin kuat menarik bahu Sartini yang mencoba untuk kembali meraih istrinya. "Berhenti! Ini bukan tempat untuk membuat kegaduhan!" seru sa
"Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf
"Jangan sampai kamu menyakiti Megan, ya Hasan. Bisa kusunat kamu dua kali," celetuk Bu Sartini yanh disambut riuh tawa. Megan mengusap air matanya. Ia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berubah setelah melakukan tindakan yang buruk. Setiap orang memang memiliki kesempatan itu dan tidak ada yang lebih baik daripada usaha untuk terus memperbaiki diri. Dua minggu kemudian, barulah Safira datang menjenguk Danang. "Maaf, Mas. Aku baru datang sekarang." "Kamu sibuk acara nikahan kali," ketus Danang. "Iya. Megan menikah dan aku sedikit membantunya dengan kebaya buatanku. Lucunya, malah sekarang dicari-cari orang model seperti yang dia pakai." Danang membatu saat mendengar penuturan Safira yang begitu ringan. "Megan menikah, Fir?" "Iya. Dia gak mau rujuk sama kamu, padahal aku sudah sarankan. Yaa wajar juga sih, kamunya jahat." "Ya Allah, Fir. Kok gak ada yang kabari aku?" "Ya ...." Safira mengendikkan bahunya, pertanda kebingungan mau menanggapi apa.
"Ambil ini. Ini hakmu karena pernah menjadi istrinya Mas Danang. Jika sudah mantap dengan pilihanmu, menikahlah. Ridhoku menyertaimu." "Nyonya ...." Deras air mata Megan sembari memeluk betis Safira. "Bangunlah," ujar Safira menyentuh bahu Megan dengan lembut. Perlahan ia mengangkat tubuh Megan agar berdiri. "Nyonya ...." Megan tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tidak tahu, definisi memaafkan itu seperti apa, Megan. Tapi aku berusaha ikhlas dengan takdir yang telah terjadi dalam kehidupanku. Rumah tanggaku hancur. Aku kehilangan suami dan anak-anakku harus menyaksikan perpisahan kami. Aku sudah ikhlas. Tak pantas aku sebagai makhluk, masih bertanya mengapa terjadi. Aku akan berusaha terus untuk menjalaninya dan pasrah pada alur hidupku." "Maafkan saya, Nyonya. Maaf," lirih Megan berkali-kali. "Aku berusaha melupakan keburukanmu padaku itu semata-mata bukan karenamu. Tapi untuk diriku sendiri. Kalau terus kusimpan dendam ini, justru akan terus menggerogotiku, Megan.
Sorenya, tiba-tiba penjaga penjara datang menjemput Danang kembali. Danang cukup terkejut sebab kloter pertama, Safira sudah datang. Dan dua hari yang lalu, orang tuanya sudah datang. Apa sekarang Megan? "Siapa, Pak?" "Nanti tahu sendiri." Danang sangat terkejut ketika dia duduk, di hadapannya, di balik jeruji besi putih itu ada wajah David yang sedang tersenyum padanya. "Bagaimana kabarnya Pak Danang?" "Tak perlu resmi lagi. Panggil saja Danang. Tidak terlalu penting juga kamu bertanya kabar pada seorang narapidana." David mencoba tetap mempertahankan wajah tenang. Ia mengetuk-ngetuk pelan keramik yang menjadi meja penghubung. "Maaf, jika kedatanganku ini membuatmu tidak nyaman. Meskipun kita bukan teman dekat sebelumnya, kuharap mulai sekarang kita bisa jadi teman." "Katakan apa niatmu?" "Kenapa kau begitu ketus padaku?" tanya David dengan nada dingin. Danang membuang wajahnya. Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai orang lain. "Apa karena aku dekat denga