Share

PELET CINTA

Rasa lelah mendera. Mayang baru selesai mencuci bajunya dan Putra yang sudah empat hari menumpuk di keranjang. Orang tuanya termasuk oramg biasa saja, jadi tak ada mesin cuci untuk mempermudah proses mencuci.

Dulu, waktu masih kerja, semua baju kotornya dicuci dan digosok oleh sang ibu. Jadi, ia tak perlu repot-repot berjibaku dengan detergen yang bikin tangan kasar. Namun, sekarang, semenjak ia punya anak dan menumpang hidup, mau tak mau ia harus mencuci sendiri.

“Duh, gini amat sih hidup!” umpatnya dengan duduk kasar di kursi panjang, di bawah pohon mangga.

Ia mengenang beberapa bulan saat di rumah suaminya. Nyaris ia tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaannya hanya makan , tidur, ongkang-ongkang kaki sambil nonton televisn dan main ponsel. Semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Hanum.

“Ini semua gara-gara Mbak Hanum!” umpatnya kesal. “Hidupku jadi susah kan?”

“Hai, bengong aja!” tepukan Ira di pundak Mayang mengagetkan ibu muda itu.

“Kamu, Ra?” tanyanya pada teman masa kecil yang usianya di atasnya tiga tahun. “Habis dari mana?”

“Ngebakso sama teman-teman,” sahut Ira.

“Terus anakmu sama siapa?”

“Sama bapaknyalah,” sahut Ira membuat Mayang terhenyak.

“Suamimu?” Mayang memastikan dan Ira mengangguk. “Bukannya ia sibuk di toko?”

“Iya, nyari nafkah sekalian momong anak.”

“Enak banget sih hidupmu,” ujar Mayang merasa iri. “Punya suami yang cinta mati ma kamu.”

“Ya, iya dong,” sahut Ira dengan tawa. “Terus, ngapain kamu di rumah? Bukannya kamu sudah ikut sama suamimu?”

“Gara-gara ulah istri tua nih, aku jadi pulang ke rumah,” curhat Mayang.

“Kok bisa?”

“Iya. Mbak Hanum sudah ga mau bantuin ngurus Putra dan nyuci bajuku dan Putra, akunya kan jadi capek. Aku ngadu ke ibu, malah Mas Bambang membela Mbak Hanum daripada aku,” sungutnya.

“Dan lebih parahnya, ia tak peduli aku keluar dari rumah. Dan sampai saat ini, ia belum jemput aku,” imbuhnya.

“Salah kamu sendiri sih,” celetuk Ira. “Sudah masuk sebagai pelakor, eh di rumah suami malah kamu lagaknya kaya ratu.”

“Kan aku tahunya Mas Bambang itu tergila-gila banget sama aku. Ya sudah aku manfaatin saja untuk menindas istri pertama. Berharap ia ga kuat dan minta cerai dari Mas Bambang,” kilah Mayang.

“Hasilnya?”

“Tanpa disangka malah Mas Bambang belain Mbak Hanum,” sahutnya geram. “Aku kan jadi kesel.” Jawaban Mayang malah membuat sahabatnya tertawa terbahak-bahak.

“Kok, kamu malah ketawain aku, sih?” hardik Mayang kesal. Bukannya simpatik, temannya justru meledeknya.

“Habisnya kamu lucu.” Ira menghentikan tawanya. “Punya wajah cantik tapi otaknya ga dipakai.”

“Maksudnya?” Mayang mengernyitkan dahi.

“Bikin dong suamimu cinta mati sama kamu.”

“Caranya?”

Ira membisikkan sesuatu ke telinga Mayang sehingga membuat gadis sembilan belas tahun itu terperanjat.

“Ga ah, itu dosa,” tolaknya kasar.

“Zaman sekarang ga usah mikirin tentang dosa,” tepis Ira. “Aku aja pakai biar suamiku setia ma aku sampai tua.”

“Tapi itu kan jorok.” Mayang bergidik.

“Kan, bukan kamu yang minum,” tukas Ira. “Lagain baunya akan hilang kalau sudah berbaur dengan kopi hitam.”

Mayang merenung. Tak menimpali ucapan teman kecilnya yang ia anggap aneh dan jadul.

“Aku saranin ini sih demi kebaikan kamu dan juga anakmu, May.” Ira bersuara lagi. “Jadi istri kedua itu ga enak lho, May karena cuma dinikahi secara siri. Hak anak kita juga lemah di mata hukum meski itu anak laki-laki.”

“Image sebagai pelakor itu selalu melekat pada istri kedua karena menikahi pria yang sudah beristri.”

“Belum lagi nanti pas pembagian warisan, bisa-bisa anak kita ga kebagian haknya karena semua dikuasai oleh anak-anak dari istri pertama yang sah sebagai pewaris di mata hukum,” tutur panjang lebar Ira mencuci otak Mayang.

Mayang menimbang-nimbang semua perkataan Ira. Jika ia berpisah denga Bambang, ia harus kerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan Putra. Jika ia tetap menjadi istri kedua, ia akan selalu hidup di bawah bayang-bayang Hanum. Namun jika ia menuruti ucapan Ira, pasti hidupnya terjamin hingga tua. Dan dia satu-satunya istri untuk Bambang.

*********

“Assalamualaikum.” Kehadiran Mayang selepas magrib mengusik ketenangan Hanum saat sedang bersantap dengan suami dan anaknya. Kegelisahan mengusik hati jika ia harus berbagi suami dalam satu atap.

Namun, menghadirkan binar bahagia di wajah Bambang, yang hampir satu bulan ini tak bersua dengan istri kedua dan anaknya.

“Kamu pulang, Dek?” sapanya dengan senyum mengembang.

“Iya, Mas, aku pulang demi kebaikan rumah tangga kita,” sahut Mayang manis membuat dada Hanum berdesir menahan cemburu.

“Aku minta maaf ya kalau terlalu kekanak-kanakan,” lanjut Mayang. “Aku janji akan berusaha menjadi istri yang baik untukmu, Mas.”

“Iya, aku maafin kamu,” ucap Bmabang yang langsung memeluk Mayang di depan mata Hanum dan anaknya.

Hati Hanum teriris. Butiran embun menggenang di kelopak mata. Meskipun ia sudah mengiklaskan diri untuk dimadu tapi tetap saja ada rasa sakit saat suami membagi cinta.

“Kita ke kamar ya!” Bambang membawa tas pakaian milik istri keduanya.

Semenjak itu Hanum tak pernah disentuh lagi oleh Bambang. Suaminua lebih suka menghabiskan malam di kamar istri keduanya. Bahkan saat ia ke luar kamar Marwah yang sudah terlelap, sering ia mendengar suara dua insan yang sedang menikmati surga dunia sebagai suami istri.

Hanum hanya bisa menangis. Membayangkan suaminya tengah bercinta dengan wanita lain. Melihat Bambang bicara dengan Mayang saja sudah membuat Hanum terbakar cemburu. Apalagi membayangkan mereka memadu kasih. Sungguh hati wanita mana yang tak kan tergores sakit.

*************

Dari hari ke haripun Mayang mulai berubah. Saat Hanum bangun, iapun bangun. Mencucui pakaiannya sendiri dan Putra. Membereskan rcumah. Dan menyiapkan kopi untuk suaminya. Tanpa disadari oleh siapapun di rumah itu, Mayang meneteskan darah haidnya di kopi hitam milik Bambang.

“Maafkan aku, Mas!” Mayang mengaduk kopi. "Aku lakukan ini demi anak kita."

Mayang buru-buru membungkus pembalut dengan kresek hitam. Lalu mencuci tangan dan menghampiri keluarga kecilnya yang sedang asyik sarapan.

“Ini, kopinya, Mas,” ucapnya manja.

“Makasih,” sahut Bambang langsung menikmati kopi buatan istri keduanya.

Hanum mengamati kebahagiaan yang terpancar jelas di wajah suami dan madunya. Rambut mereka yang setiap pagi selalu basah sehabis keramas. Tentu  mereka selalu melewatkan malam dengan sensasi panas.

Sedang dia, di kamar yang dulu selalu banyak cinta dari suaminya, hanya meringkuk seorang diri, memeluk guling. Menangis setiap ia ingat suami berbagi cinta dengan madunya di rumah yang dibangun dari nol.

Hanum masih bersyukur. Meski ia kehilangan nafkah batin, tapi ia masih menerima nafkah lahir. Uang belanja dan lebutuhan Marwah masih terpenuhi meski ia diabaikan oleh suaminya. Perhatian dan kasih sayang Bambang lambat laun menghilang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status