Share

CAMPUR TANGAN MERTUA

Mayang terbebani tugas sebagai ibu muda saat Hanum tak mau lagi membantunya mengurus Putra. Anaknya yang siang malam selalu rewel membuatnya lelah. Lama-lama ia tak kuat sehingga mengadu kepada orang tuanya.

Tak pelak, hal ini membuat orang tua Mayang murka. Dengan tatapan marah Pak Mamad dan Ibu Entin menyidang Bambang dan Hanum.

“Kenapa kamu tega membiarkan anak saya kerepotan mengurus anaknya!” Hardik Bu Entin pada Hanum. “Kalau anak saya kelelahan dan jatuh sakit, bagaimana?” tatapan Bu Entin melotot.

Tak mau disalahkan dengan sikap manja madunya, seketika Hanum membela diri.

“Saya sudah enam bulan bantu anak ibu mengurus bayinya, ya,” tukas Hanum dengan tatapan tajam.

“Mayang itu kan belum pengalaman mengurus bayi, jadi wajar jika dia masih perlu bantuan kamu.” Bu Entin tak mau kalah.

“Itu kan anaknya Mayang, kenapa saya yang harus repot,” sahut Hanum ketus.

“Sudah!” sentak Pak Mamad. “Mending kamu ceraikan saja istri tuamu ini, Bang, kalau dia ga mau bantuin anak saya!”

Ucapan Pak Mamad itu mengejutkan semua orang, termasuk Hanum dan Bambang. Untuk beberapa saat pasutri itu saling pandang. Wajah Hanum seketika menahan geram.

“Iya, Mas, ceraikan saja Mbak Hanum!” imbuh Mayang. “Jadikan aku istrimu satu-satunya.”

“Ingat Mas, kalau kita bercerai, bagaimana nasib Marwah?” ucap Hanum bergetar. Ada ketakutan di hati wanita tiga puluh dua tahun itu jika suaminya menurut ucapan mertua dan istri keduanya.

“Marwah sudah gede ini!” tukas Mayang cepat. “Sudah bisa ditinggal cari kerja.”

“Lagian, anak perempuan itu nantinya juga akan ikut suaminya kalau dipelihara,” sambung Ibu Entin. “Beda sama anak laki-laki. Kelak akan menopang hidup orang tuanya saat sudah tua.”

“Tapi, bagaimanapun juga Marwah butuh sosok seorang ayah!” Hanum mulai mengiba. Butiran bening mulai menggenangi kelopak mata.

“Sudah, ceraikan saja dia!” paksa Ibu Entin.

“Kalau aku menceraikan Hanum, siapa yang akan mengurusiku?” ucap Bambang mengejutkan Mayang dan kedua orang tuanya.

“Aku Mas yang akan mengurusimu,” sahut Mayang. “Aku kan istrimu.”

“Bagaimana kamu mau ngurusin aku?" tanya Bambang. “Jika pekerjaanmu saja cuma makan, tidur, nonton TV, main ponsel, belanja online.”

“Boro-boro nyapu, ngepel, cuci baju, gosok, masak, semua Hanum yang mengerjakan.”

“Sekalinya disuruh masakin saja pas Hanum sakit, malah pesen makanan online,” cecar Bambang membuat Mayang salah tingkah di depan orang tuanya.

“Ya, nanti aku berubah, asal kamu ceraikan Mbak Hanum,” sahut Mayang menyakinkan suaminya.

“Aku sangsi kamu berubah!” tukas Bambang.

Hanum lega. Di depan istri kedua dan mertuanya, Bambang membelanya habis-habisan. Ia yakin masih ada cinta di hati Bambang untuknya.

“Ya sudah, Mas, kalau kamu tak menuruti permintaanku, lebih baik aku pulang ke rumah bapak dan ibu!” ancam Mayang berharap sang suami mencegahnya.

“Terserah,” sahut Bambang tak peduli dengan ancaman sang istri muda.

Bambang hanyalah manusia biasa. Ia hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dulu ia menikahi Mayang memang karena gadis muda itu cantik, pintar dandan sehingga sedap dipandang. Dan juga tergiur dengan kepiawaian Mayang dalam memuaskan hasrat biologisnya yang tak ia dapatkan dari Hanum.

Tapi di balik semua itu, ada kelemahan Mayang yang dilengkapi oleh kelebihan Hanum. Hanum itu pandai memasak, mengurus anak, mengurus suami, mengurus rumah dan hemat dalam membelanjakan uang. Kebalikan dari Mayang.

**************

Rumah kembali damai sepeninggalan Mayang. Seperti biasa Bambang bercengkerama kembali dengan Marwah. Anak yang duduk di bangku SD itu senang sekali bisa kembali bermain dengan sang ayah setelah sekian lama Bambang acuh padanya.

Hanum terlihat bahagia menikmati momen-momen indahnya kembali bersama sang suami. Bambang juga lebih mesra padanya. Tiap malam selalu memadu kasih. Surga duniawi yang hampir tak pernah ia rasakan semenjak suaminya menikah lagi dengan Mayang.

Sedang di rumah orang tuanya, Mayang kerepotan sendirian mengurus Putra. Anak semata wayangnya ini selalu rewel setiap waktu. Hari-harinya hanya direpotkan mengurus anak dan anak.

“Oek..oek..oek…”

Lagi-lagi tiap malam Putra selalu terbangun. Dengan setengah terbangun dan rasa jengkel ia menggendong anaknya dan menyeduh susu. Susu sudah habis tapi tetap saja Putra masih menangis. Malah tangisannya makin keras terdengar.

“Brisik banget sih anakmu, May!” hardik Yoyo keluar kamar. “Sudah tahu aku capek kerja, mau tidur malah dibuat marah gara-gara tangis bayimu itu.”

“Namanya juga bayi, Mas,” sahut Mayang masih sibuk menenangkan bayinya.

“Sudah, kamu pulang ke rumah Bambang saja!” tukas Yoyo kesal. “Daripada disini bikin rusuh saja!” umpatnya kembali ke kamar.

Mayang terus menenangkan sang anak hingga ia kelelahan. Namun, entah mengapa Putra terus saja menangis.

“Bisa diem ga sih?” hardik Mayang kesal. “Bisanya bikin susah saja! Nangis terus bisanya.”

Bayi enam bulan itu terus menangis. Tak menggubris amarah ibunya. Tangisnya reda saat terdengar adzan subuh.

***********

Mayang baru terbangun saat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Saat keluar kamar, tampak ibunya sudah beberes nasi uduk. Untuk membantu perekonomian keluarga, Ibu Entin sudah jualan semenjak Mayang berumur lima tahun. Maklum pekerjaan Pak Mamad sebagai kuli bangunan tak menentu.

“Bu, sarapanku mana?” tanya Mayang tanpa malu.

“Tuh,” sahut Ibu Entin menunjuk dengan dagunya.

Dengan lahap Mayang menikmati sisa nasi uduk dan segelas teh manis yang sudah dingin. Ibu Entin menikmati teh panasnya dengan sepiring kue.

“Itu bajumu dan Putra masih numpuk. Buruan dicuci!” Ibu Entin mengingatkan pakaian anaknya yanga belum dicuci selama empat hari.

“Kirain sudah ibu cuci,” sahut Mayang enteng.

“Pantas saja kalau Bambang marah sama kamu,” ucap Bu Entin kemudian. “Kamu itu males banget jadi orang.”

“Aku kan capek, Bu, habis melahirkan,”tepis Mayang.

“Sebaiknya kamu pulang gih ke rumah suamimu!” nasihat sang ibu membuat Mayang sewot. “Daripada kamu nanti nyesel.”

“Ga ah!” tolak Mayang kasar. “Aku mau cerai saja.”

“Cerai?” Ibu Entin memastikan dengan dahi berkerut.

“Nanti kalau kamu cerai, siapa yang akan ngasih makan anakmu?”

“Gampang, nanti aku cari kerja,” jawab Mayang enteng.

“Terus yang ngasuh Putra siapa?”

“Ibu sama bapaklah,” tukas Mayang sewot.

“Ibu ga sanggup kalau sudah jualan masih ngurus anakmu!” tolak Bu Entin. “Apalagi Bapakmu. Dari Yoyo dan kamu bayi saja, ga pernah mau gantian momong,” imbuhnya. “Mana mau dia momong anakmu.”

“Ya, sudah nanti cari pengasuh deh.” Mayang masih menjawab.

“Yakin?” cecar Ibu Entin. “Zaman sekarang susah lho cari pengasuh plus bayarnya mahal.”

Mayang dibuat kesal dengan semua penuturan ibunya. Harusnya di saat seperti ini, sang ibu membesarkan hatinya dan mendukung semua keputusan yang akan ia ambil. Bukan menyudutkannya seperti ini.

Kembali ke rumah Bambang, sama saja menjilat ludahnya sendiri. Harusnya Bambang yang menjempuntnya dan meminta maaf. Bukan dia sendiri yang datang kembali ke rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status