"Ada apa, Ibu, menelponku sore-sore seperti ini?" tanya Fahmi melalui sambungan telepon. Sementara itu, tepat di samping Titi, ada Martin yang tengah menikmati tayangan sepakbola.
"Fahmi," lirih Titi, kembali berakting seperti biasanya.
"Lah, Ibu, kenapa?"
Dari nada bicaranya saja sudah terdengar, kalau Fahmi begitu khawatir dengan Ibunya. Tetapi, dia tidak tahu kalau sebenarnya Ibunya itu tengah berpura-pura.
"Ibu, habis kecopetan, Fahmi. Tadi, Ibu, baru dari bank, ambil uang dari ATM, tapi ketika di angkot Ibu malah kecopetan."
Titi berpura-pura menagis tersedu-sedu, hal itu dia lakukan agar Fahmi bisa percaya dengan semua akal bulusnya.
"Ya Tuhan, memangnya Ibu baru mengambil berapa?"
"Lima juta, untuk Ibu berikan pada istrimu. Tapi, uangnya malah raib."
Mendengar Fahmi terdiam sejenak, Titi langsung menoleh ke arah Martin yang masih fokus menonton pertandingan sepakbola dengan volume Kecil.
Merasa di perhatikan oleh Ibunya, Martin menoleh, kemudian menggeleng pelan.
"Fahmi, kenapa diam?"
"Tidak, Bu. Tapi bukannya Ibu bisa mentransfer uangnya langsung ke rekening Nita, kenapa Ibu malah mengambilnya."
"Ah, itu, karena istrimu sedang sibuk, jadi dia menyuruh Ibu untuk mengambilkannya," dalih Titi, padahal Nita sama sekali tidak pernah menyuruhnya melakukan apapun.
"Ya, sudah, Ibu jangan menangis lagi. Sekarang Ibu beri Nita uang sisanya saja. Lain kali, Ibu harus berhati-hati lagi."
Seketika saja, Titi langsung melongo ketika mendengar ucapan Fahmi. Padahal dari awal, Titi ingin Fahmi memberikannya tambahan, bukannya malah membaginya lagi dengan Nita.
Kalau sudah begini, percuma saja Titi berpura-pura menagis, tapi apa yang dia inginkan tidak tercapai.
"Sudah dulu, ya, Ibu mau masak!"
Bip!
Titi langsung mematikan sambungan teleponnya, kemudian melemparkan benda persegi itu sembarang arah.
"Ah, menyebalkan!" hardik Titi. Wajahnya tampak begitu ditekuk, bibirnya mengatup rapat, menahan amarah.
"Jangan-jangan Nita mengadu pada Fahmi, jadinya dia tidak mau memberikan kita uang tambahan?" tebak Martin, membuat amarah Titi semakin memuncak.
"Pokoknya Ibu gak akan tinggal diam, kalau sampai Nita melaporkan semuanya pada Fahmi. Kurang ajar sekali!"
Titi beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju kamarnya yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Sebelum menarik handle pintu, Titi lebih dulu menoleh, menatap Martin yang masih saja fokus menonton televisi.
"Pergi beli beras sana! Ibu, lapar dan nanti suruh istrimu masak, kemudian beres-beres rumah. Bilang padanya, jangan jadi menantu pemalas."
Brak!
Titi langsung menutup pintu dengan keras, kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Bayang-bayang bisa segera melunasi motor miliknya terus berputar di kepala.
Barulah setelah itu, Titi bisa kembali berfoya-foya dengan penghasilan Fahmi, tanpa harus memikirkan sebuah cicilan.
"Ah, pengen banget bisa beli lagi perhiasan, kayak temen-temenku yang lain, 'kan nanti mereka pada iri tuh," gumam Titi sebelum akhirnya memejamkan mata.
***
"Tari, kamu ke warung Ceu Inah, gih!"
Tari yang tengah mencuci pakaian di kamar mandi langsung menoleh, menatap suaminya yang berkacak pinggang.
"Aku lagi nyuci, tanggung tinggal dikit lagi, kamu aja, gih, Mas."
Padahal Tari berkata dengan nada rendah dan terkesan biasa saja, tetapi entah kenapa Martin malah membulatkan mata, kemudian menghampiri Tari dan menarik Tari dari kamar mandi.
Tari sempat meringis ketika memegang pergelangan tangannya yang sedikit memerah. Dia terisak, tetapi tidak dipedulikan oleh Martin.
Pria itu malah menatap Tari dengan tajam, kemudian membuang pandangan ke arah lain.
"Dikit-dikit nangis! Dasar cengeng," teriak Martin sambil melemparkan uang senilai tiga puluh ribu ke hadapan Tari. "Cepat beli beras dan lauknya, jangan lama! Aku dan Ibu sudah lapar."
Tanpa banyak bicara, Tari langsung memungut uang tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam saku daster.
Jiwa dan batinnya benar-benar terluka. Tari adalah menantu di sini, tapi entah kenapa dia malah diperlukan layaknya pembantu. Seperti tidak ada rasa sayang maupun kasih yang Martin berikan padanya.
Tari benar-benar merasa menderita.
Sebelum keluar dari rumah, tari lebih dulu mengambil ponsel yang sedang dia isi daya di dapur. Dia menggenggam ponselnya dengan erat.
Tari melangkah ke pintu belakang, kemudian mencari sandal jepitnya yang sudah hampir putus. Dia lupa, kapan pertama kali membeli sendal tersebut, rasanya sudah lebih dari setengah tahun.
"Halo Mbak tari, ada apa?" tanya Nita melalui sambungan telepon. Selama ini, Tari hanya mampu mencurahkan segalanya kepada Nita. Dia tidak memiliki cukup keberanian untuk bercerita pada keluarganya di kampung.
"Nit ...," lirih Tari. Suaranya terdengar serak, karena sepanjang perjalanan, dia terus menagis sesenggukan.
"Ya ampun, ada apa, Mbak?"
"Aku sudah tidak tahan lagi, Nita. Aku ingin pulang saja ke rumah orangtuaku. Tapi, aku tidak memiliki uang."
Tari sudah tidak bisa menahannya lagi, dadanya terlalu sesak, hatinya pun ikut teriris, kala melihat perlakuan buruk suami dan mertunya.
"Mbak, datanglah ke rumahku."
"Mas, Ibu, tidak lagi memberikan uang bulanan padaku, sementara itu banyak pembayaran sekolah Andika yang harus segera aku lunasi."Untuk yang kesekian kalinya, Nita mengadukan perbuatan jahat Ibu mertuanya pada Fahmi yang merupakan anak kandungnya. Bisa saja memang, Nita tidak melaporkan semuanyanya pada Fahmi dan meminta uang pada Om Herman untuk menutupi keuangannya.Hanya saja, Nita sudah cukup geram dengan Ibu mertuanya. Lagipula, Nita adalah istri Fahmi, dia lebih berhak akan uang tersebut. Fahmi bekerja memang untuk keluarga, tapi yang paling utama adalah dirinya dan Andika .Karena bagaimanapun itu, Fahmi sudah menikah, dia memiliki anak dan istri, bukan lagi bujangan seperti dulu lagi."Lah, katanya Ibu habis kecopetan tadi, uangnya raib. Katanya juga kamu yang menyuruhnya untuk mengambil uang ke bank."Sontak, Nita langsung membulatkan mata ketika mendengar penuturan Ibu mertuanya yang bisa di bilang cukup keterlaluan.Diam-diam, Nita berdoa dalam hati, semoga saja uangnya
"Mas Martin, kamu jangan kasar seperti itu pada Mbak Tari!"Nita berusaha melerai, tetapi percuma saja karena Martin sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.Mendengar teriakan Tari, beberapa orang yang kebetulan sedang mengobrol di teras rumah Bu Mala--tetangga Nita, langsung mengalihkan pandangan, menatap keberutalan Martin.Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha memisahkan atau sebagainya, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Titi."Mas!" Nita kembali berteriak dan di saat itu pula, seorang pemuda menghampirinya."Mbak, ada apa?"Nita menoleh, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingnya. Nita ingat betul dengan pemuda itu, dia yang kemarin sempat membantunya ketika dimarahi oleh Ibu mertuanya."Itu Kakak iparku, dia di seret oleh suaminya," jawab Nita sambil menunjuk ke arah Tari yang sudah semakin menjauh. Jujur saja, Nita ingin berbuat lebih, hanya saja dia juga takut jadi bulan-
[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapi
Siang harinya, Nita segera pergi ke bank untuk mengambil uang yang baru saja Om Herman transfer. Tidak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang kebetulan tidak jauh dari pasar, membeli beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengisi warungnya.Sedari kemarin malam, Fahmi tidak bisa di hubungi. Entah pria itu tertidur karena kelelahan atau apa, tetapi Nita benar-benar tidak cukup tenang.Ketika Nita tengah memilah-milah sayuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari belakangnya. Nita menoleh, menatap Ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan toko emas sambil mengobrol bersama seseorang."Aduh, Jeng, udah beli emas baru lagi, nih!" sahut wanita bertubuh gempal yang berdiri di samping Ibu mertuanya."Iya, dong, Jeng. Mumpung ada uang kiriman dari anak saya," balas Titi dengan begitu bangga, dia membolak-balik emas yang ada di tangannya."Eh, Jeng Titi, aku mau tanya dong, bener gak sih rumor yang se
"Lah, jadi Jeng Ima percaya sama siapa? Jeng, saya tuh tersiksa sama Nita. Udah deh, jangan percaya sama dia dan si Salma, mereka sama aja!" sungut Titi dan tentu saja, hal itu langsung menjadi perhatian orang-orang.Jeng Ima terdiam saja, kemudian memasukkan dompetnya ke dalam tas. Dia tidak menghiraukan Titi dan lebih memilih menatap Nita dan Salma."Kasian banget kamu, Nita. Jadi, selama ini gosip tentangmu itu benar." Bu Ima menepuk bahu Nita selama beberapa kali, membuat Titi terbelalak.Dia langsung menggertakkan gigi, ketika secara sengaja melihat Nita menoleh ke arahnya, kemudian menyunggingkan senyum sinis.Titi tidak menyangka, kalau Nita sudah berani melakukan itu padanya. Pokoknya Titi tidak akan tinggal diam, dia akan membalas semua perbuatan Nita kali ini."Awas saja, Nita!" batin Titi."Iya, Jeng. Kasian banget Nita, udah lama ngalamin ketidakadilan itu," balas Bu Salma sambil sesekali melirik Titi."Benar
Tidak lama kemudian, Nita dan Salma sampai di depan gang. Salma segera menepikan kendaraannya di pinggir jalan."Bu Salma, boleh tunggu di sini sebentar?""Iya, Nita. Kamu tenang saja, memangnya kamu akan bertemu di mana?" Nita keluar dari mobil, kemudian mengambil sebuah kantong keresek berukuran sedang yang ada di kursi belakang."Di sini, Bu. Sengaja aku menyuruh Mbak Tari berjalan sedikit. Aku takut, kalau Mas Martin sampai melihatnya."Tanpa sepengetahuan Bu Salma, Nita meraih kantong plastik hitam berukuran kecil dari tumpukan belanjaannya, kemudian memasukkannya ke dalam keresek hitam yang akan di serahkan pada Tari.Tidak ada seorangpun yang tahu, kalau keresek kecil itu berisi uang senilai lima juta. Kebetulan kemarin Nita meminta tambahan uang pada Herman, dia ingin memberikannya pada Tari sedikit lebih banyak lagi. Ketika keluar dari dari mobil, Nita mendapati layar ponselnya menyala, di mana nama
"Ah, i-itu saya tidak tahu, Bu," dalih Nita dengan sedikit terbata-bata. Padahal dia tahu dengan pasti, siapa pemilik mobil itu.Sesudah sampai di depan rumahnya, beberapa kali Nita menoleh ke arah mobil tersebut dan untungnya tidak ada seorangpun yang turun dari mobil tersebut.Nita semakin mempercepat aksinya. Takut tiba-tiba orang yang ada di mobil itu keluar dan yang lebih parahnya lagi, Bu Salma akan menanyakan perihal kedatangan pria itu."Aduh, Bu Nita, mau saya bantuin?" tawar Bu Salma, tetapi langsung ditolak oleh Nita."Tidak usah, Bu. Lagipula ini hanya sedikit, saya bisa sendiri."Wanita itu tampak begitu terburu-buru, membuat Salma langsung memicingkan mata, dia merasa ada yang aneh dengan Nita.Akan tetapi, tidak lama kemudian Salma menggeleng pelan, dia tidak seharusnya mencurigai Nita, siapa tahu ada hal mendesak yang tidak Nita ceritakan pada Salma."Ah, kalau begitu saya permisi dulu."Ketika Salma hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba Nita datang, dadanya tampak
"Nita, terima kasih sudah mau membantu. Mbak, benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi."Awalnya Tari berdalih pada Martin, kalau dia akan membeli sesuatu ke warung Nita, padahal sebenarnya dia ingin meminta Nita untuk menyusun sebuah rencana, agar dia bisa kabur dari rumah orangtuanya."Sama-sama, Mbak." Nita sedikit memutar bola matanya, memperhatikan sekitar. "Mbak, Mas Martin tidak tahu kamu pergi ke sini?""Dia tahu, tapi kamu tidak usah khawatir, soalnya Mbak bilang sama Mas Martin, kalau Mbak mau belanja ke sini.""Semoga saja, Mbak."Nita kemudian membuka pintu warung, mempersilahkan Tari untuk masuk, agar mereka bisa lebih fokus lagi dalam menyusun semuanya.Akan tetapi, meskipun begitu, mereka juga tidak lepas memperhatikan sekitar, takut nanti ada orang yang tiba-tiba datang dan mendengarkan semua rencananya."Iya, Nita dan rencanakan Mbak akan pergi hari Minggu depan."Nita terdiam selama beberapa saat, lalu tidak lama kemudian matanya membulat sempurna."Tunggu! Buka