"Mbak Rina!"Aku terpekik luar biasa. Paper bag dan beberapa kertas dalam map terlempar tak sengaja. Kakiku juga dengan reflek berlari kencang ke arah Ibu dan Mbak Rina. Tangan perempuan yang terangkat ke atas itu terdiam. Rahangnya gemeretuk menahan emosi.Aku memeluk Ibu yang terduduk dengan tubuh gemetaran. "Sudah, Bu. Tak apa apa. Ibu sudah aman.""Jangan sok jadi pahlawan kamu, Tari. Kamu baik sama ibu karena mengharapkan harta kan?"Aku membalikkan badan menatap Mbak Rina yang masih dengan muka bengis."Harta tidak menjamin kebahagiaan, Mbak. Dan aku bukan orang miskin yang hanya mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Hanya benalu yang mengharapkan harta yang tidak diperuntukkan baginya."Mata Mbak Rina melotot."Kau menyindirku!?" Sentaknya. Perempuan itu maju selangkah."Saya tidak menyindir. Tapi dengan terang-terangan menjelaskan kepada Mbak Rina. Agar kamu tahu diri dan punya malu. Ibu ini, ibu kandungmu, Mbak. Dimana hatimu? Sam
"Gapapa, Bu. Ibu tidak usah khawatir. Tari ingin mendengar dari mulut orang ini. Pengakuan jika benar dia yang telah membuat Ibu menderita selama ini." Aku menekan tangan Mas Anto lebih kencang."Ampun! Rina bantu aku b*doh!" Pekiknya sambil menatap Mbak Rina yang tersungkur dilantai. Perempuan itu gugup dan takut. Tak ada wajah garang yang sedari tadi dia perlihatkan padaku. Sungguh aku makin yakin jika Mas Anto ini lah yang telah mencuci otak istrinya agar menjadi istri pembangkang pada ibu."Tari, lepaskan Mas Anto! Tolong Tari. Nanti malah mbak yang dihajar, kalau kamu tak melepaskan dia." Mbak Tari, mulai menangis memohon. Aku tak terpengaruh. Aku harus mendengar apa yang mendalangi Mbak Rina berbuat sekeji itu pada Ibunya sendiri."Jika kamu ga mau bicara, jangan salahkan satu tanganmu ini akan terpisah dari jasadmu, Mas. Cepat katakan apa tujuanmu membuat Mbak Rina menyakiti ibunya!" Aku kembali memutar sedikit tangan laki-laki yang sudah terduduk tak berdaya itu. Dia kembali m
"Maaf Tari. Mbak lancang."Aku terdiam. Menyembunyikan rasa malu karena menganggap Mas Nadhif yang masuk ke kamar dan memijat kakiku."Eh, gapapa, Mbak. Ada apa, Mbak?" Aku berusaha bersikap sopan. Meski masih ada rasa kesal di hati mengingat perlakuannya tadi kepadaku."Mbak mau minta maaf, Tari. Ucapan Mbak pasti sangat melukai hatimu. Mbak salah, Tari. Di dalam hati Mbak yang terdalam. Mbak, mengakui kalau Dek Tari adik ipar yang sangat baik. Tapi Mbak tidak bisa berbuat apa-apa. Mas Anto selalu memaksa agar semua harta ibu dipindah tangankan kepada kami."Aku tersenyum. "Ya sudahlah Mbak. Semua sudah berlalu. Mbak seharusnya minta maaf kepada ibu. Karena ibu lah yang paling tersakiti atas sikap dan ucapan Mbak."Mbak Tari tertunduk dalam. Dia kembali menangis."Iya, Tari. Mbak malu. Ibu adalah tanggung jawab mbak yang harus mbak jaga. Bukan malah disakiti sampai trauma seperti itu."Aku mengusap-usap punggung Mbak Rina, lembut. Dia juga korban kekerasan dari laki-laki bernama su
"Dhif, Mbak sudah tak punya suami. Setelah Mas Anto masuk penjara, mbak juga akan segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Setelah ini mbak orang tua tunggal untuk tiga anak anak, Mbak. Mbak ga minta banyak. Mbak hanya minta persetujuan kamu agar kebun yang ada di kampung itu bisa Mbak kelola lagi seperti dulu."Mas Nadhif menoleh ke arahku."Mbak tau, mbak keterlaluan. Setelah kepercayaanmu, mbak hancurkan. Tapi, demi Allah, Dhif. Mas Anto yang memaksa mbak melakukan semua kejahatan itu pada Ibu. Semua uang yang kamu kirim juga diambil oleh Mas Anto untuk j*di online."Mbak Rina menangis. Aku sangat menyayangkan mbak Rina tak melawan kedzaliman suaminya selama ini. Seharusnya dia tegas jika suami melakukan kesalahan. Tapi, mungkin setiap perempuan punya sisi yang tak bisa dipaksa kokoh. Dan Mas Anto menjadi kelemahan Mbak Rina lantaran laki-laki itu sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga.Keesokan paginya Mbak Rina memutuskan untuk kembali ke kampung. Ibu menolak ikut de
Mas Nadhif mengendarai mobil ugal ugalan. Mendengar ibunya pingsan, perasaan sudah gak karuan. Aku pun berdebar-debar ingin rasanya segera sampai dirumah."Mas, tenang Mas. Kalau kamu kayak gini, bukannya sampai dirumah kita malah bisa pindah alam."Mas Nadhif mengusap wajah sembari beristighfar. Mobil kembali melaju dengan kecepatan normal. "Jika Ibu kenapa-kenapa, Mas pasti akan sangat sedih." Lirihnya. "Iya, aku tahu. Tapi, kehidupan tetap berjalan, Mas. Roda terus berputar. Yang pergi dan yang datang akan silih berganti. Tidak boleh kita menyesali apa yang sudah Allah gariskan untuk kita. Kehadiran dan kepergian orang orang yang kita sayang adalah sebuah keniscayaan. Apapun itu, aku harap kamu kuat."Mas Nadhif meraih sebelah tanganku dan meremasnya kencang. Aku tau dia sedang menahan perasaan. Jangankan dia, aku yang hanya menantu ibu saja merasa khawatir. Tapi, harus tetap kuat. Prinsipku, menangis hanya akan melemahkan. Cukup keluarkan air mata tapi tidak sampai meruntuhkan k
"Karena itu Mas jangan mas omelin Ibu, ya. Kita posisikan diri kita seperti ibu. Pasti sangat berat."Mas Nadhif menghela nafas panjang. Lalu tersenyum. Setelah semua kondusif. Aku meminta Mas Nadhif menjaga Ibu. Sementara, aku harus mengejar script naskah untuk produksi Minggu ini. Semua gara gara Mas Raka. Aku terpaksa merombak besar besaran tanpa membuat ceritanya cacat logika."Belum selesai, Sayang?"Mas Nadhif memijit pundakku lembut. Aku menghentikan gerakan jemari di keyboard. Menikmati sentuhan suami yang membuat otot terasa rileks. Kali ini aku tak akan kena prank lagi seperti kejadian dengan Mbak Rina."Masih banyak, Mas. Aku harus memikirkan lagi alur yang diutak-atik Mas Raka. Naskah yang aku berikan dia dibuat hancur sama dia. Mau kesal tapi aku sudah tanda tangan kontrak dengannya." "Sabar, ya, Sayang. Kalau menurut Mas. Jika sudah tidak sejalan. Lebih baik akhiri saja hubungan kerjasamanya. Sekali berbuat tidak amanah, maka akan mudah untuk berbuat hal yang sama dikem
"Ibu?"Aku dan Mas Nadhif saling pandang. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Meja makan penuh dengan makanan yang baru saja dimasak oleh ibu. "Kalian sudah bangun? Ibu hari ini masak besar. Tadi sebelum subuh Ibu mengajak Bik Inah untuk belanja di pasar. Dan Ibu langsung memasaknya."Aku menghampiri ibu. "Apa kaki Ibu tidak sakit?"Ibu menoleh ke arah kaki lalu menggoyang-goyangkan dengan begitu santainya. Ibu sehat, tak tampak adanya sakit seperti selama ini yang dia keluhkan. "Enggak kok Ibu nggak sakit. Nak Tari, Ibu ingin kita makan sama-sama. Kamu bisa hubungi Ibumu dan masmu. Kita makan disini. Kapan lagi nyobain masakan Ibu.""Tapi, Bu ..."Aku menggeleng cepat."Cepat gih telepon. Pagi ini kita makan bersama-sama." Aku mengangguk cepat, terharu seketika "Bu, Ibu yakin tidak apa-apa?" Mas Nadhif yang dari tadi menahan rasa khawatir ikut bicara."Ibu kenapa, memang? Ibu sehat kok. Ibu ingin kita berkumpul bersama. Walau sebenarnya kasihan Rina tidak bisa ikut. Tapi tidak a
"Ibu mau pakai baju seperti ini?"Ibu makin mengencangkan tawa. Mas Nadhif sampai terdiam melihat tawa ibunya yang begitu lepas. Baru kali ini aku melihat Ibu sebahagia ini. Mungkin karena penyakitnya yang tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Luka di kaki Ibu yang sempat basah dan menjalar juga seketika mengering, Masyallah.Ibu pun sampai dengan mas Fathan. Mbak Rajma kali ini tidak bisa ikut. Karena bayinya lagi kurang sehat. Obrolan ibuku dengan ibu Mas Nadhif terasa begitu hangat. Apa saja mereka omongin. Lalu tertawa bersama. Masakan Ibu mertuaku itu juga sangat lezat. Bik Inah dan Bik Mira kami ajak makan dalam satu hidangan. Benar benar kekeluargaan.Jam sudah menunjukkan angka sebelas. Mas Nadhif dan Mas Fathan siap-siap hendak berangkat salat Jumat. Sedangkan kami para perempuan juga bersiap-siap untuk sholat Dzuhur di rumah. Sayang anak-anak sedang sekolah jadi tidak bisa merasakan kebersamaan ini seutuhnya.Aku yang paling muda ditunjuk menjadi Imam. Meski canggung aku tetap
Tari nyaris roboh, jika saja Alif tak sigap memegang bahunya. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah. Namun bukan karena cemburu. Bukan karena dendam. Tapi karena kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai, menyimpan luka dan rahasia begitu dalam hingga ia sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk tahu dan mengobatinya.Malam itu, setelah semua tamu pergi, Tari duduk berhadapan dengan Dara di ruang tamu. Nayara tertidur di pelukan Aleeya—anehnya, dua gadis itu langsung akrab, seakan darah mereka memang memanggil satu sama lain.Tari menatap Dara. “Apa kamu mencintainya?”“Ya. Tapi aku tahu tempatku di mana. Aku nggak pernah menuntut apa-apa. Mas Nadhif hanya bilang, hidupnya sudah rumit. Dia ingin membesarkan anak-anaknya tanpa drama. Maka aku menjauh.”Tari terdiam. Lalu berkata pelan, “Kalau dia masih hidup, mungkin aku akan marah. Tapi sekarang, aku cuma ingin memastikan Nayara tidak kehilangan arah. Kalau dia memang darah daging Mas Nadhif… maka dia juga keluargaku.”Dara
Tujuh Hari Setelah Kepergian NadhifTari berdiri mematung di depan makam suaminya. Angin sore membawa harum tanah basah dan bunga tabur yang mulai layu. Ia belum pernah merasa sesepi ini. Meskipun rumah selalu ramai oleh anak-anak, tapi kehangatan yang biasa ia rasakan... telah menguap bersama napas terakhir suaminya.Alif mendekat dan menggandeng tangan Tari. “Bun , Ayah titip semua ke Bunda. Kami bakal bantu jagain bunda juga.”Tari tersenyum lemah. Tapi air matanya menetes lagi.“Dulu waktu bunda nikah sama Ayah kalian... Bunda pikir perjalanannya akan mulus. Tapi hidup ternyata lebih rumit. Tapi Ayah kalian... dia tetap bertahan. Walau bunda sering salah paham, marah, bahkan sempat ingin pergi... dia tetap bertahan. Dan hari ini, dia pergi dengan tetap menggenggam tanganku..."Wildan mendekat. "Bun, aku tahu bunda bukan ibu kandungku. Tapi ibu satu-satunya ibu yang pernah aku punya. Aku janji bakal terus di sini buat bunda, buat semuanya."Tari menoleh pada Wildan, lalu memeluknya
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir
Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tunggu yang dipenuhi aroma obat dan bunyi sepatu suster yang lalu-lalang, Nayla duduk memeluk tas kecilnya. Alif mondar-mandir di depan ruang dokter spesialis hematologi, dia tak mau Tari, ibunya kelelahan. Aleeya sibuk membuka-buka berkas pemeriksaan. Alisa duduk di pojok, menggenggam tangan papanya yang tampak kelelahan setelah menjalani pemeriksaan lengkap."Ayah perlu istirahat, ya?" tanya Alisa lirih.Nadhif mengangguk. "Ayah cuma… pusing sedikit. Nggak usah panik, ya."Tapi semua tahu itu bukan sekadar pusing. Wajahnya pucat, suara napasnya tersengal, dan sejak kemarin malam ia muntah dua kali tanpa sebab jelas. Bahkan air putih terasa getir di lidahnya.Tak lama, dokter keluar."Keluarga Bapak Nadhif?"Alif berdiri. Tari dan Nayla menyusul. Mereka masuk ke ruang konsultasi.Dokter muda itu membuka map tebal. “Saya akan sampaikan dengan jujur. Bapak Nadhif mengalami gangguan sumsum tulang yang menyebabkan s
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s