"Mami?" Mas El menatap ibunya dengan tatapan tak percaya."Kenapa? Hayuk, ajak calon istri kamu makan. Mami tadi masak ikan pindang kesukaan kamu. Biar calon istri kamu tahu gimana rasanya. Nanti tinggal mami kasih resep supaya bisa masak sendiri."Mata Mas El berbinar, nyaris berkaca-kaca. Sementara aku serasa melayang. Badan tak ada tenaga. Kenapa jadi begini? Sama sekali tak sesuai dengan ekspektasiku. Padahal, aku berharap cuma lima menit disini lalu pulang."Ayo, Ri. Kita makan." Suara Mas El bergetar. Pasti dia terharu. Beda denganku yang syok parah. "Maaf sebelumnya, Tante.""Lho, kok Tante. Panggil mami dong. Sebentar lagi kan kamu akan menjadi anak mami." Aku meringis. Apa iya kejadiannya akan seperti itu."Eh iya, Mami." Aku gugup. "Apa, Sayang? Kamu mau nanya apa, Cantik?"Mas El menatapku dengan senyuman yang tak pernah pupus dari bibirnya. Aku tertunduk. "Hmm ... Mi, maaf kalau Mami tak berkenan dengan pertanyaan Tari nanti. Hmm ... Bukankah Mami sudah punya calon unt
Mas Fatan ternyata juga memperhatikan tiga anak yang sedang berlarian di putihnya pantai sore ini. "Iya, Mas. Aku juga tiba-tiba sayang sama Wildan. Walau penasaran kemana ibunya. Tapi, itu tak penting kan?"Mas Fatan tertawa lebar."Kamu takut bapaknya duda, ya?"Aku menepuk lengan Mas Fatan kencang."Terus? Maksudnya?" Dia malah makin terkekeh."Tari, makan dulu, yuk. Ajak anak-anak." Mbak Rahma yang sedari tadi menyiapkan makanan bersama ibu menghampiri."Hayuk, kita makan dulu."Anak-anak berlarian begitu girang. Aku memvideokan lalu mengirimkan pada Pak Nadhif sebagai bukti bahwa anaknya bahagia jalan sama kami.[Terimakasih, Bu Tari. Sudah lama Wildan tak tertawa selepas itu.][Sama-sama, Pak.]Tak terasa malam mulai naik. Sekitar jam sebelas malam kami baru sampai dirumah."Bunda, Wildan nginap di rumah kita aja, Ya."Aku menoleh ke arah Wildan yang terlihat menunduk dalam."Bunda minta ijin ke ayahnya dulu, ya.""Horeee ... Wil, kita main lagi, yuk." Mereka serentak berteriak
"Berantem lagi, Nduk?"Ibu yang sedang duduk di sofa menatapku yang datang dengan wajah kusut. Ibu memang tidak ikut jalan jalan. Entah kenapa. Aku menjatuhkan bobot tubuh disamping Ibu."Semakin Tari rajin istikharah, semakin sering perdebatan terjadi diantara kami.""Tidak apa, jangan berhenti. Bukan sholatnya yang membuat hubungan kalian terlihat berantakan. Tapi, memang cara Allah menunjukkan langkah mana yang akan ditempuh."Ibu meraih tanganku. "Nduk, tadi Ayahnya Wildan kesini. Dia nitip salam. Sekaligus minta maaf karena sudah ngerepotin kamu.""Duh? Iya kah Bu? Tari benar-benar tak enak, Wildan tadi tak diajak gara gara Mas Elzio ga berkenan.""Udah gapapa. Elzio mungkin ingin lebih dekat dengan kamu dan anak-anak."***"Saya mau ketemu anak anak saya! Saya papanya!"Suara ribut-ribut dari luar membuatku bergegas keluar. "Maaf, Bu. Orangnya ini ngotot minta masuk ke dalam." Pak Rudi terlihat kewalahan memegang mas Arsen yang berontak dan berteriak-teriak seperti orang ga w
"Terimakasih, Pak Nadhif. Kalau tidak ada bapak, saya tak tahu apa yang akan dia lakukan pada saya.""Bunda ..."Alir berlari dari dalam sambil menangis. "Tak apa Sayang."Aku mengusap kepala Alif yang masih terisak dalam pelukan"Tadi, Alif menelpon saya, Bu. Jadi, saya buru buru kesini.""Oh, jadi Alif juga menolong bunda?" Aku meraup wajah Alif yang masih basah karena air mata. Anak sulungku itu menganggukkan kepala."Makasih, Sayang." Berkali kali aku mencium pipi Alif. Bukannya risih, Alif malah makin mengencangkan tangis."Bunda, kalau bunda mau menikah lagi. Alif setuju, Bunda. Jangan sampai bunda disakiti papa lagi."Aku meringis. Pak Nadhif hanya tersenyum lalu menunduk.Tak lama Ibu dan Bik Inah pulang dari pasar. Pantas saja, saat Mas Arsen menyerangku, tak ada yang keluar membantu. Dan sepertinya laki-laki itu memata-matai rumahku. Sehingga tau aku hanya sama anak-anak saja dirumah. Sungguh nekat. Padahal, ada Pak Rudi di depan.***Setelah kejadian itu, aku makin khawati
"Kamu ....?"Mami Karla menunjuk nunjukku dengan raut tak percaya. Tanganku terangkat begitu saja. Emosi menguasai diri. Ternyata, dia lah yang menerorku, melontarkan kata kata yang selalu merendahkan."Anda tidak punya hak untuk menghina saya. Jika anda tidak mau anak anda menikah dengan saya, tunjukkan power anda sebagai seorang ibu yang berkuasa atas anaknya. Jangan seperti anak kecil, main teror dan pakai drama murahan!"Mata mami Karla melotot lotot menahan amarah. Aku membalas tatapan itu, kemudian berlalu meninggalkan tempat yang sedari awal sudah memberikan kesan tak mengenakkan.Abrar mulai risih dalam gendongan. Aku segera memasukkan ke mobil dan menaruhnya di baby car seat. Dengan cepat aku pun pergi, melajukan mobil tanpa menengok lagi. Sudahlah, aku tak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah itu. Dan tak akan tergoda bujuk rayu, iming iming pernikahan yang indah. Tak akan. Harapan itu tak akan tercipta selama orang tua dari salah satu pihak memiliki ego yang tinggi.
"Sampai kapan aku akan merepotkan Mas, Mbak Rahma dan Ibu? Setiap hari Mas harus mengawasi aku dan anak-anak. Sementara mas sendiri kan punya keluarga.""Emang tugas Mas menjaga adik perempuan Mas kok. Ngapain kamu yang pusing. Mbak Rahma mu juga ga keberatan. Dia malah seneng tinggal disini, rame sama anak-anak." Dia tersenyum."Makasih ya, Mas.""Makasih untuk apa? Mas lho yang makasih kamu udah bantuin perekonomian Mas. Mas jadi punya usaha dan sedikit sedikit bisa menabung untuk keperluan nanti. Doakan Mas, biar Mbak mu segera hamil. Mas juga pengen ngendong bayi.""Iya, Mas. InsyaAllah aku do'akan Mas dan Mbak Allah kasih keturunan yang banyak, sehat, sempurna dan menjadi anak-anak yang Sholeh Sholehah.Mas Fatan tersenyum lalu meng-Aaminkan. Kemudian pamit mau menjemput Alif yang pergi mengaji. Walau, kadang was was jika Mas Arsen akan kembali menganggu. Menyesal juga aku tidak melaporkan laki-laki itu ke polisi.Malamnya, kami sedang asik mengobrol diruang tamu. Sembari menemani
"Kamu terlalu sabar. Adakan konferensi pers dong. Ini tentang nama baik." Remon mulai memanas-manasi."Iya, Dek. Kalau kamu ga bicara, bagaimana orang bisa tahu kejadian sebenarnya." Mas Fatan juga gregetan. "Tapi, aku tak punya bukti, Mas. Kehadiranku memberikan penjelasan pasti hanya dianggap membela diri. Dan menimbulkan hujatan baru.""Iya juga, sih. Licik juga ya, ibunya si dokter itu. Dia membawamu ke kandangnya dan sepertinya memang sudah direncanakan."Remon manggut-manggut. "Jadi apa rencanamu, Ri?" Tanyanya kemudian."Aku tak punya rencana apa apa. Biarkan kedzaliman menemukan muaranya. Pembalasan dari Allah pasti lebih menyakitkan dibandingkan aku harus menghabiskan energi untuk melakukan hal buruk seperti yang mereka lakukan padaku. Aku yakin Allah tidak tinggal diam melihat aku disakiti.""Tapi, Tari ..."Aku bangkit. Jujur, aku kecewa, sakit hati. Tapi, ibu selalu mengajarkan untuk tidak mengotori tangan kita sendiri karena dosa orang lain."Aku hari ini mau bertemu Pa
"Oleh oleh sedikit, Bu.""Makasih banyak, ya Nak." Mata ibu berkaca-kaca melihat isi hadiah yang diberikan Pak Nadhif. Sebuah Al Qur'an lansia jumbo yang begitu indah. Dan sehelai kerudung besar juga satu setel mukena yang sangat mirip dengan punya Ibu. Mukena pemberian ayah sewaktu ibu muda dulu. Yang sampai sekarang masih disimpan ibu. Tapi, bagaimana Pak Nadhif tahu tentang mukena itu? Mukena yang selalu ibu cium ketika ibu merindukan ayah. Ibu menangis sambil memeluk hadiah itu."Terimakasih, Nak. Terimakasih ..." Air mataku juga tak sengaja turun. Kami memang sangat merindukan ayah. Sosok lelaki yang menjadi cinta pertamaku. "Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya pamit." Pak Nadhif menoleh ke arahku."Bu tari sepertinya mau pergi?""Eh iya, Pak. Saya ada perlu mau ketemu teman." Aku gelagapan. Dengan cepat menghapus ujung mata yang sempat basah karena melihat Ibu."Mau bareng? Tapi saya pakai motor."Aku terdiam. Pakai motor? Aku melirik jam tangan. Sudah jam delapan. Sementara jam
Tari nyaris roboh, jika saja Alif tak sigap memegang bahunya. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah. Namun bukan karena cemburu. Bukan karena dendam. Tapi karena kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai, menyimpan luka dan rahasia begitu dalam hingga ia sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk tahu dan mengobatinya.Malam itu, setelah semua tamu pergi, Tari duduk berhadapan dengan Dara di ruang tamu. Nayara tertidur di pelukan Aleeya—anehnya, dua gadis itu langsung akrab, seakan darah mereka memang memanggil satu sama lain.Tari menatap Dara. “Apa kamu mencintainya?”“Ya. Tapi aku tahu tempatku di mana. Aku nggak pernah menuntut apa-apa. Mas Nadhif hanya bilang, hidupnya sudah rumit. Dia ingin membesarkan anak-anaknya tanpa drama. Maka aku menjauh.”Tari terdiam. Lalu berkata pelan, “Kalau dia masih hidup, mungkin aku akan marah. Tapi sekarang, aku cuma ingin memastikan Nayara tidak kehilangan arah. Kalau dia memang darah daging Mas Nadhif… maka dia juga keluargaku.”Dara
Tujuh Hari Setelah Kepergian NadhifTari berdiri mematung di depan makam suaminya. Angin sore membawa harum tanah basah dan bunga tabur yang mulai layu. Ia belum pernah merasa sesepi ini. Meskipun rumah selalu ramai oleh anak-anak, tapi kehangatan yang biasa ia rasakan... telah menguap bersama napas terakhir suaminya.Alif mendekat dan menggandeng tangan Tari. “Bun , Ayah titip semua ke Bunda. Kami bakal bantu jagain bunda juga.”Tari tersenyum lemah. Tapi air matanya menetes lagi.“Dulu waktu bunda nikah sama Ayah kalian... Bunda pikir perjalanannya akan mulus. Tapi hidup ternyata lebih rumit. Tapi Ayah kalian... dia tetap bertahan. Walau bunda sering salah paham, marah, bahkan sempat ingin pergi... dia tetap bertahan. Dan hari ini, dia pergi dengan tetap menggenggam tanganku..."Wildan mendekat. "Bun, aku tahu bunda bukan ibu kandungku. Tapi ibu satu-satunya ibu yang pernah aku punya. Aku janji bakal terus di sini buat bunda, buat semuanya."Tari menoleh pada Wildan, lalu memeluknya
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir
Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tunggu yang dipenuhi aroma obat dan bunyi sepatu suster yang lalu-lalang, Nayla duduk memeluk tas kecilnya. Alif mondar-mandir di depan ruang dokter spesialis hematologi, dia tak mau Tari, ibunya kelelahan. Aleeya sibuk membuka-buka berkas pemeriksaan. Alisa duduk di pojok, menggenggam tangan papanya yang tampak kelelahan setelah menjalani pemeriksaan lengkap."Ayah perlu istirahat, ya?" tanya Alisa lirih.Nadhif mengangguk. "Ayah cuma… pusing sedikit. Nggak usah panik, ya."Tapi semua tahu itu bukan sekadar pusing. Wajahnya pucat, suara napasnya tersengal, dan sejak kemarin malam ia muntah dua kali tanpa sebab jelas. Bahkan air putih terasa getir di lidahnya.Tak lama, dokter keluar."Keluarga Bapak Nadhif?"Alif berdiri. Tari dan Nayla menyusul. Mereka masuk ke ruang konsultasi.Dokter muda itu membuka map tebal. “Saya akan sampaikan dengan jujur. Bapak Nadhif mengalami gangguan sumsum tulang yang menyebabkan s
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s