Aku mendekat. Duduk di sampingnya.“Lelah?” bisikku.Dia angkat kepala pelan, matanya lembut menatapku. “Sedikit. Tapi hatiku senang.”Aku tersenyum. Menggenggam tangannya. “Terima kasih, Nay. Sudah mau menikah denganku. Anak sulung dari keluarga ramai, kadang ribut, kadang absurd tapi penuh cinta.”Dia tertawa kecil, lalu bersandar di bahuku. “Justru itu yang bikin aku jatuh cinta. Keluarga kamu hangat. Aku bisa lihat dari cara kamu memperlakukan adik-adikmu, cara kamu menatap ibumu, dan bahkan cara kamu bicara ke ayah walau dia bukan ayah kandungmu. kamu anak sulung yang tidak pernah lelah menjaga mereka dan menjadi panutan.”Aku menghela napas pelan. Ada haru yang menggantung di kerongkongan.“Dan kamu... adalah istirahat terbaik dari semua lelah itu,” ucapku akhirnya.Nayla tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya membawa damai yang tak bisa digambarkan. Kami tidak saling bicara lama setelah itu. Hanya saling menatap. Memeluk. Dan saling berjanji dalam diam: untuk saling menjaga,
Hari itu masih pagi, tapi rumah sudah seperti pasar kecil. Tawa bercampur dengan aroma sarapan yang menggoda. Ayam goreng, nasi uduk, sambal teri, dan tahu bacem memenuhi meja makan. Ibu memang selalu tahu caranya membuat momen-momen sederhana terasa istimewa.Nayla duduk bersamaku di ruang tamu setelah kami selesai sarapan. Di tangannya, ada album foto pernikahan semalam yang sudah dicetak kilat oleh fotografer langganan. Dia membuka satu per satu, tersenyum melihat ekspresi wajahku yang katanya "kaku banget kayak patung lilin."“Lif, kamu beneran tegang banget semalam. Nih lihat, senyumnya kayak dipaksa.”Aku mengintip. “Itu namanya senyum ikhlas penuh tanggung jawab.”Nayla tergelak, “Penuh tanggung jawab atau penuh rasa takut?”Aku mencubit hidungnya pelan. “Takut kamu kabur sebelum akad.”Dia mencibir manja, lalu kembali membalik lembar demi lembar album itu. Di sela-sela itu, matanya tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah sedikit lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kupahami dari t
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s
Dua bulan berlalu sejak Wildan berdiri di depan kontrakan dengan wajah kuyup dan tangan gemetar. Banyak hal telah berubah sejak malam itu.Naira memutuskan untuk memaafkan. Tidak dengan gegabah, tapi perlahan. Ia izinkan Wildan masuk lagi ke dalam hidupnya—bukan karena lelah, tapi karena Gio. Dan mungkin… karena hatinya pun masih menyimpan sisa cinta yang belum benar-benar mati.Wildan bekerja di toko bangunan setiap hari, katanya mau mandiri. Tak ingin berdiri dibalik bayang-bayang Sang Ayah yang seorang produser film. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk membayar kontrakan baru yang sedikit lebih layak, lebih terang, dan punya halaman kecil. Setiap pagi, ia membantu memandikan anaknya, memberi makan, dan membaca buku dongeng meski dengan suara sumbunya yang sering membuat Naira tertawa geli.Dan Tari? Dia membiarkan anaknya pergi. Tidak dengan marah, tidak dengan air mata, tapi dengan restu.Hari itu, mereka berkumpul di depan rumah Tari. Dua koper besar, satu tas gendong, dan Gio
Alif menghela napas panjang. “Kita semua ikut keputusan itu, Sayang. Tapi kalau Naira sekarang makin keras kepala, ya mungkin karena selama ini kita terlalu nahan dia hidup sesuai versi kita.”Nayla menunduk. “Tapi Gio… aku cuma takut dia tumbuh tanpa stabilitas.”“Aku bisa urus pendidikan Gio kalau Naira masih belum siap. Tapi bunda juga harus bisa nerima kenyataan—Naira bukan anak kecil lagi.”Nayla menatap anak sulungnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa sangat tua. Sangat kalah oleh waktu.**Malam itu, Naira duduk sendirian di dapur. Gio sudah tidur. Winda belum pulang. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin.Ia membuka WhatsApp. Mengetik pesan untuk Aleeya.> Leeya… kalau aku titip Gio beberapa hari, kamu mau jagain?Pesan belum dikirim. Tapi matanya sudah basah.Karena ternyata… jadi ibu tidak sekadar melahirkan. Tapi juga berani memilih—bahkan saat hatinya sedang hancur.---Flashback...Lima tahun yang lalu…Langit sore itu mendung. Di dalam rumah Nayla, suasana ja
Hari ketiga sejak perdebatan itu. Nayla masih duduk di meja makan dengan wajah pucat. Nasi di piring tak tersentuh. Pikiran terus menerawang—ke kontrakan sempit itu, ke cucu kecil yang tidur tanpa kelambu, dan ke anak perempuan yang dulu ia peluk erat setiap malam… kini menjauh seakan Nayla adalah musuh."Dia nggak jawab telepon sama sekali, Bunda," ujar Aleeya lirih sambil duduk di seberang. "Tapi aku tahu dia masih buka WhatsApp. Ada statusnya semalam."Nayla menatap anak bungsunya dengan mata sayu. “Status apa?”Aleeya membuka ponselnya. Menunjukkan tulisan yang menggantung di story Naira:> “Kadang… yang bikin hancur bukan orang lain, tapi keluarga yang menganggap dirinya paling benar.”Dada Nayla terasa sesak. Matanya memanas. Tapi dia mencoba tetap tegar di hadapan anaknya."Aku cuma pengen dia sadar… bukan nyalahin aku."Aleeya berdiri dan memeluk ibunya dari belakang. “Naira cuma belum bisa ngeliat niat baik Bunda. Tapi aku yakin, dia sayang sama Gio. Dia nggak akan egois sela
Sudah seminggu Naira menghilang.Bukan hanya keluar dari grup keluarga, tapi juga tak bisa dihubungi siapa pun. Nomor lamanya mati. Bahkan akun media sosialnya sudah tak aktif.Mama sering termenung di dapur, Nayla makin sering melamun saat masak, dan aku sendiri... merasa seperti kehilangan arah. Ada bagian dari kami yang hilang, dan rasanya tidak ada yang benar-benar tahu harus bagaimana.Sampai suatu sore, ponsel Nayla berdering.Nomor tidak dikenal.“Halo."Hening sejenak, lalu terdengar suara yang sangat dikenalnya.“Hai, Kak Nay... ini aku, Naira.”Nayla langsung berdiri dari sofa. “Ya Allah, Na! Kamu ke mana aja? Kita semua khawatir—”“Jangan dulu panik. Aku baik-baik aja... cuma butuh waktu sendiri. Aku lagi tinggal di rumah temen, namanya Mbak Winda. Dia banyak bantu aku.”“Temen? Siapa? Aku bisa ke sana?”“Jangan, Nay. Aku belum siap ketemu kalian. Belum sekarang. Tapi... aku mau ngobrol. Lewat telepon aja.”Dan sejak hari itu, Nayla bicara dengan Naira setiap malam.Namun,
Nayla menatap adiknya, mencoba tetap tenang. “Dia pernah nyakitin kamu?”Kania menggigit bibir. Menahan air mata. Lalu mengangguk pelan.“Sekali. Tapi dia bilang cuma karena emosi. Dan aku... aku diem. Karena aku pikir aku layak dapet itu.”“GAK ADA YANG LAYAK DIPUKUL, KANIA!” Nayla membentak sampai semua orang di café menoleh.Kania menunduk makin dalam, menangis pelan.“Gue... cuma pengen dicintai, Nay... gue capek disalahin terus, capek jadi bayangan lo. Jadi anak yang selalu kurang dibanding lo... makanya waktu Reynald datang dan bilang dia nerima gue apa adanya... gue percaya. Tapi ternyata... dia nerima gue cuma karena pengin harta warisan keluarga lo!”Nayla menggenggam tangan Kania erat.“Kamu gak sendiri. Kalau dia nyakitin kamu lagi, gue bakal berdiri di depan lo.”Kania memeluk Nayla sambil menangis. Tangis yang lama ia tahan. Tangis seorang kakak yang baru sadar, selama ini ia mencintai laki-laki yang salah... dan membenci saudara yang paling peduli padanya.Tapi mereka be
Kania duduk di pojok kamar, masih dengan mata sembab. Sudah dua hari sejak malam panjang itu. Pelukan Nayla memang melegakan, tapi luka lama tetap tak bisa sembuh dalam semalam.Suaminya, Reynald, mengetuk pintu lalu masuk tanpa menunggu jawaban. Membawa segelas teh hangat yang katanya “bikin hati adem.”“Sayang... kamu belum makan dari pagi. Mau aku suapin?” tanyanya lembut.Kania hanya menggeleng, menunduk. Reynald menarik kursi dan duduk di depan istrinya, lalu meletakkan teh di meja kecil.“Kamu mikirin malam itu, ya? Yang soal Nayla?”Kania mendesah, matanya menatap kosong. “Aku bingung, Ren... aku lega karena akhirnya jujur, tapi aku juga takut. Takut semua orang beneran ninggalin aku.”Reynald tersenyum. “Gak akan. Aku di sini. Aku suami kamu. Satu-satunya yang kamu bisa andalin.”Tapi tatapan matanya berkata lain. Ada sorot licik di sana. Hanya sedetik. Tapi cukup jelas.Reynald bukan suami ideal. Dia manis saat dibutuhkan. Tapi keras kepala dan manipulatif di belakang. Kania
“Aku juga nggak pernah benci kamu, Nay. Aku cuma... aku terlalu takut sendirian. Aku kira kamu yang pergi karena kamu lebih kuat. Aku salah.”Kania menunduk. Ia tak bicara. Tapi matanya mulai memerah.---Hari itu, tak semua luka sembuh.Tapi untuk pertama kalinya... luka-luka itu diperlihatkan. Dan mungkin, hanya mungkin... itu awal dari penyembuhan.Saat kami berjalan keluar dari kantor itu, Nayla menggenggam tanganku.“Aku tahu ini belum selesai, Lif,” katanya pelan. “Tapi setidaknya... aku nggak sendirian lagi.”Aku memeluknya.Dan di kejauhan, Bunda berdiri menunggu di samping mobil, tersenyum... seolah berkata: selamat datang di awal yang baru, Nak.---Oke! Kita langsung lanjut ke Bab 9 – Ketika IB Mengeluh Season 3. Kali ini kita gali sisi kelam Kania… rahasia yang selama ini dia sembunyikan, dan dampaknya akan bikin keluarga ini makin terbelah. Siap-siap baper, emosi, dan greget!---Hujan mengguyur deras malam itu. Tapi aku tetap nekat ke rumah Bunda. Nayla ingin bertemu Kani
Sudah dua minggu sejak aku dan Nayla pindah sementara ke rumah lama. Rumah kecil yang dulu penuh kenangan masa kecilku, kini jadi tempat pelarian sementara dari prahara yang meracuni rumah besar kami.Tapi masalah rupanya ikut pindah.Hari itu, pagi yang harusnya tenang berubah jadi awal dari babak baru—yang jauh lebih rumit dan panas.Nayla duduk di ruang tamu, memandangi layar ponsel. Air matanya menggenang tapi tak jatuh. Tangannya gemetar, bibirnya bergetar.“Ada apa?” tanyaku, duduk di sampingnya.Ia menyodorkan ponsel. Sebuah video. Direkam diam-diam, entah oleh siapa. Isinya? Naira dan Kania. Sedang duduk di sebuah kafe, tertawa... lalu mulai membicarakan Nayla."Makanya gue tuh heran, Nayla bisa-bisanya ngerasa jadi korban.""Padahal dia tuh dulu anak emas Ibu, dikasih segalanya. Giliran Ibu meninggal, dia kabur bawa semua warisan!""Dan dia masih bisa hidup enak, ya? Ngumpet di rumah suaminya yang kaya itu. Sementara kita dibuang kayak sampah."Suara Kania terdengar getir. Da