Di ruang kerja mansion Willson, Geo menatap layar laptop yang menampilkan rekaman CCTV rumah Bianca. Napasnya tertahan ketika ia melihat sosok Rafael muncul di depan pintu, membawa buket bunga segar dengan senyum lebar.Tak hanya sekali.Dalam rekaman lain, Rafael datang lagi—kali ini dengan kotak hadiah kecil. Blue hanya mengangguk singkat, sementara Grey langsung berlari riang menyambut dan membukanya. Tawa ceria putranya menggema sampai ke telinga Geo meski hanya lewat layar.Ada rasa panas yang menjalar di dada Geo. Ia merasa perutnya bergejolak aneh. Ada orang lain di dekat anak-anaknya dan Bianca – sungguh sesuatu di luar keinginannya.“Apa itu?”Geo mendongak, tak sadar Atrick sudah berada di dekatnya dan melihat tampilan CCTV di layar datar.“CCTV rumah Bianca.”Atrick ikut mengamati, lalu menunjuk. “Bukankah itu Rafael, guru bahasa Inggris Blue dan Grey?”“Iya. Tapi, sekarang katanya sudah tidak mengajar lagi.”Atrick mengangguk lalu duduk di sofa di samping Geo. “Saat perte
Perlahan Geo turun setelah mengobrol dengan Blue dan Grey. Anak-anak sedang sibuk dengan tablet yang ia berikan.Di bawah tangga, ia berpapasan dengan Bianca. Keduanya tampak canggung, meski bisa langsung membiasakan diri.“Mana Blue dan Grey?” Bianca bertanya sambil menatap ujung tangga di atas.“Grey mau mendekor ulang kamarnya juga. Jadi, mereka sedang sibuk mendesain melalui tablet.”“Oh, oke.” Bianca mengangguk. “Kamu mau minum?”“Boleh. Air mineral saja.” Geo mengikuti Bianca ke dapur.“Bagaimana Danny dan Caca? Kamu ada komplen tentang pekerjaan mereka?” Geo duduk di kursi tinggi meja tengah dapur.Bianca menggeleng. “Tidak sama sekali. Aku terbantu dengan adanya mereka. Walaupun… terus-terang saja, aku jadi bingung karena tidak mengerjakan apa pun.”Geo terdiam. Bukan karena isi percakapan Bianca. Namun, ia menyadari bahwa Bianca bisa bicara dan bercerita santai dengan kalimat lebih panjang.“Jadi, apa rencanamu mengisi waktu?” Geo memancing pembicaraan lagi.Bianca memberikan
Geo duduk di ruang kerjanya dengan laptop terbuka, ponselnya tergeletak di samping meja. Setelah beberapa hari penuh tekanan mengurus Taylor di perkebunan, ia akhirnya punya waktu untuk menarik napas lega. Namun begitu layar laptop menyala, rasa lega itu lenyap.Puluhan email menumpuk. Sebagian dari rekan bisnis, sebagian dari tim hukum, tapi yang paling membuat dadanya terasa sesak adalah nama Bianca yang beberapa hari lalu mengirim pesan melalui email Mr. X.Cepat, Geo membuka dan membacanya. Tangannya lalu mengetikkan balasan.“Maaf karena saya tidak segera menjawab pesanmu. Beberapa hari terakhir saya sibuk dengan urusan lain.”“Mengenai gaji, aku perlu meluruskan: jumlah yang Anda terima memang sudah diatur dalam kontrak sejak awal. Itu bukan berdasarkan mudah atau sulitnya pekerjaan yang diberikan. Jadi meski tugasnya kali ini terasa ringan, nilainya tidak berubah.Geo menunggu balasan. Berharap malam ini Bianca masih bangun dan segera membalas.Sambil menunggu, Geo berjalan ke
Geo melangkah keluar dari pondok kayu itu, udara malam terasa menusuk kulit. Nafasnya berat, namun sorot matanya mantap. Dua pengawal setia menegakkan tubuh, menunggu instruksi.“Obati dia,” perintah Geo singkat. “Pastikan luka-lukanya ditangani, jangan biarkan ia mati kelaparan atau kehausan. Tapi… awasi ketat. Taylor tidak boleh lepas, satu inci pun.”“Siap, Tuan Geo.”Geo menarik napas panjang dan berjalan ke mobil hitam yang menunggunya, masuk ke kursi belakang, lalu mengeluarkan ponsel. Jemarinya sempat ragu sebelum akhirnya menekan nomor sang ayah.Suara berat dan tenang milik Atrick terdengar dari seberang. “Geo? Sudah larut, ada apa?”Geo bersandar, menutup mata sejenak. “Dad, aku menemukan Taylor. Dia selama ini bermain kotor di belakang keluarga. Dan… dia menyimpan banyak kebencian padaku.”Hening sejenak di seberang, sebelum Atrick menjawab dengan nada serius. “Daddy sudah menduga. Dia selalu memandangmu dengan tatapan berbeda. Apa yang dia lakukan?”Geo menatap keluar jen
Sementara itu di sebuah pondok tua, jauh di luar kota, Taylor duduk dengan kedua tangan terikat ke belakang. Wajahnya memar di beberapa bagian.Anak-anak buah Geo berjaga di pintu, wajah mereka dingin tanpa ekspresi.Geo melangkah masuk, jas hitamnya masih rapi, tapi sorot matanya tajam bagai pisau. Sepasang sepatu kulitnya berderap mantap di lantai kayu. Ia berhenti tepat di depan Taylor.Setelah beberapa tahun menghilang, akhirnya ia menemukan Taylor. Ia kembali menyesali pikirannya yang percaya bahwa Bianca dan Taylor kabur berdua. "Wajahmu jelek sekali, Tay." Geo menghina Taylor. "Ngapain juga pakai sok melawan hingga membuat para pengawalku terpaksa melumpuhkanmu begini."Taylor mendengus, meski wajahnya basah oleh keringat. “Kamu pikir dengan cara begini aku akan takut?”Geo menunduk, menatap lurus ke wajah adik angkatnya itu. Suaranya pelan tapi menusuk.“Takut? Kamu seharusnya lebih dari sekadar takut. Aku sudah lama tahu kamu bermain kotor di belakang keluarga. Aku diam, kar
Menjelang sore hari, Bianca sudah kembali ke rumah. Rafael yang mengantarnya cukup terkesan dengan rumah baru Bianca.“Wah... aku nggak nyangka kamu punya rumah mewah begini.” Rafael mengamati sekeliling ketika turun dari mobil.Selain rumah, Rafael juga tampak heran karena Bianca memiliki dua asisten rumah tangga yang membantunya. Saat ia kebingungan, Danny menghampiri Bianca dengan sikap santun.“Maaf, Nyonya. Saya permisi sebentar mau mengawal Tuan Muda Blue dan Grey dari sekolah.”“Iya, Danny. Silahkan. Terima kasih.” Bianca mengangguk pelan.Rafael tak bisa menahan tawa kecilnya. “Tuan Muda? Ya Tuhan... siapa sebenarnya asistenmu itu, Bi? Berlebihan sekali.”Bianca hanya tersenyum sedikit. Bagi sebagian orang mungkin berlebihan, tetapi sebagai orang yang mengenal Geo, hal tersebut pasti wajar.“Rumah dan para asistennya merupakan fasilitas dari Daddy Blue dan Grey.” Bianca berkata sambil masuk ke dalam rumah. "Memang begitu cara mereka memanggil kami."“Ooh, dari mantanmu, ya?” R