Hari-hari pertama Geo tinggal di rumah Bianca ibarat menjejakkan kaki di dunia baru. Seumur hidupnya ia terbiasa dengan mansion luas, staf yang siap sedia, dan pagar tinggi yang menjaga privasi keluarganya. Kini, setiap pagi ia harus berhadapan dengan sapaan tetangga, tawaran untuk masuk ke rumah, hingga obrolan ibu-ibu kompleks yang gemar berkumpul di gazebo taman sambil mengupas gosip.Awalnya, Geo berusaha menutup diri. Ia keluar rumah hanya ketika benar-benar diperlukan, lebih sering menunggu di dalam sembari bekerja lewat laptopnya.Tetapi, tinggal di rumah Bianca berarti ia harus ikut dalam keseharian istrinya—dan itu termasuk berhadapan dengan tetangga.Suatu pagi, Blue dan Grey ingin diantar sekolah. Dengan pakaian olahraga, Geo dan Bianca berjalan mengiringi si kembar yang naik sepeda.Pulangnya, mereka bertemu dengan gerombolan ibu-ibu yang sedang jogging di sekitar perumahan.“Pak Geo ya? Suaminya Bu Bianca?” tanya salah satu, sambil tersenyum lebar.Geo menegakkan tubuh.
Kamar suite Marissa dan Atrick terletak tak jauh dari ballroom hotel, dengan balkon yang langsung menghadap ke taman. Ketika Geo dan Bianca mengetuk pelan pintu, suara Atrick mempersilakan masuk.“Silakan,” ucapnya dengan ramah.Begitu masuk, Bianca langsung menoleh ke arah tempat tidur. Marissa tengah bersandar dengan bantal tambahan di punggungnya, mengenakan piyama tidur sutra berwarna biru muda. Wajahnya memang masih terlihat lelah, tetapi senyumnya tetap menawan ketika melihat pasangan pengantin baru itu datang.“Mommy…” Bianca mendekat cepat, lalu duduk di kursi sisi ranjang. Tatapannya dipenuhi perhatian tulus. “Bagaimana keadaan Mommy sekarang? Masih pusing?”Marissa menggeleng pelan, lalu menyentuh lembut punggung tangan menantunya itu. “Lebih baik, Sayang. Jangan khawatir. Dokter sudah bilang ini hanya kelelahan. Seharusnya aku yang bertanya, apakah kamu baik-baik saja setelah semalam begitu melelahkan?”Bianca tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Mommy.”Marissa menghela
Suasana sarapan yang semula hangat mulai tenang kembali setelah pembicaraan serius antara Geo dan Bianca. Blue dan Grey kini sibuk menyuap potongan sosis, tertawa kecil sambil saling menggoda. Geo memang sengaja memilih ruang privat agar tak harus bertemu langsung dengan tamu-tamu lain. Tapi rupanya, takdir punya rencana berbeda.“Mommy! Daddy! Itu Mr. Rafael!” suara Grey tiba-tiba memecah suasana. Si kembar menoleh ke arah pintu ruangan, di mana seorang pria muda dengan jas kasual rapi berdiri. Senyum ramah melekat di wajahnya.Bianca sontak menoleh, sedikit kaget. Geo, di sisi lain, langsung mengerutkan kening. Ia jelas tidak mengharapkan hal ini.Sebelum Geo sempat berkata apa pun, Grey sudah melambaikan tangan. “Mr. Rafael, sini! Sarapan sama kita!”Blue yang biasanya datar malah ikut mendukung. “Iya, Mr. Rafael! Masih banyak makanan!”Rafael berjalan mendekat dengan langkah percaya diri. Dengan senyum sumringah menyapa manis. “Terima kasih, Grey. Terima kasih, Blue. Kalau kalian
Bianca terbangun lebih dulu. Ia mengernyit aneh karena merasa lelah– tidak seperti biasa. Saat merenggangkan tubuh, Bianca terbelalak ketika ada tangan yang melingkari dadanya.“Akkhhh,” jerit Bianca panik. Ia duduk tegak sambil memegangi ujung selimut yang menutupi tubuhnya.“Apa? Ada apa, Bianca?” Geo pun segera bangun, menatap sekeliling dengan sikap waspada.Bianca menatap Geo. Matanya mengerjap-ngerjap dengan cepat. Lalu, mengembuskan napas panjang.“Oh. Ya ampun. Aku lupa kita sudah menikah.” Bianca menggigit bibir bawahnya. “Aku tadi panik melihatmu tidur di sampingku.”Geo memicingkan mata tak percaya mendengar pernyataan istrinya. Rahangnya sampai mengeras menahan emosi.“Apa? Bisa-bisanya kamu lupa kita menikah padahal beberapa jam yang lalu kamu menikmati penyatuan kita?”Bianca hanya merespon dengan menyeringai. “Maaf.”Geo menggeleng tak terima. “Kamu harus diingatkan kembali bahwa kita adalah pasangan suami istri!”Detik berikutnya, Bianca harus pasrah kembali menerima s
“Bagaimana perasaanmu? Sakit?” Geo terbaring dengan satu lengan merangkul tubuh Bianca yang beristirahat di dadanya. Napas keduanya mulai teratur, meski detak jantung masing-masing belum sepenuhnya tenang.Geo menatap Bianca serius kala tidak langsung mendapat jawaban, lalu menelusuri pipi istrinya dengan ibu jari. Bianca tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Tidak separah yang kubayangkan.”Geo menarik napas lega. Tapi Bianca belum selesai bicara. Ia menambahkan dengan wajah serius, “Malah, aku menemukan sesuatu yang menarik.”Kening Geo berkerut. “Menarik?”Bianca memindahkan kepalanya dari dada Geo ke bantal, matanya berbinar seperti biasanya ketika ia membicarakan angka. “Aku baru sadar… aku bisa merasakan kenikmatan penuh tepat setelah hentakanmu yang ketujuh belas.”Geo terdiam lalu ternganga. Ia menoleh cepat, seolah tak yakin dengan apa yang barusan didengar. “Tunggu… apa kamu… menghitungnya?”Bianca mengangguk polos. “Terjadi begitu saja. Aku kan selalu menghitung. Itu refl
Ballroom perlahan mulai lengang. Musik yang sejak tadi riang kini berganti menjadi iringan lembut, seolah menutup pesta megah yang baru saja berlangsung. Para tamu berjalan keluar dengan senyum puas, masing-masing menerima sebuah kotak mewah yang sudah ditata rapi di meja dekat pintu keluar.Kotak dalam balutan hitam matte dengan pita abu-abu mengilap. Di dalamnya ada satu set aromaterapi edisi khusus dari Richmont Fragrance, perusahaan wewangian terkenal dunia, lengkap dengan minyak esensial beraroma romantis. Tidak hanya itu, di sudut kotak terletak sebuah diffuser kecil berlapis emas—produksi terbatas dari Gold Dy yang merupakan perusahaan perhiasan kekinian dan memiliki cabang di beberapa negara besar.Seorang tamu berbisik kagum pada istrinya saat berjalan menuju lobi, “Souvenirnya luar biasa. Rasanya ini bukan sekadar hadiah, tapi karya seni.”Komentar itu menggambarkan kesan yang sama yang dirasakan semua tamu. Pesta ini bukan hanya megah, tetapi juga penuh perhatian pada det