LOGIN“Astaga!”
Bianca memegangi dadanya yang berdebar kencang melihat Geo menatapnya tajam.
Setelah menetralkan debar jantungnya, Bianca berjalan menghampiri ranjang. Ia berdiri di sisi Geo dan saling berbalas tatapan dengannya.
“Kamu butuh sesuatu?”
Tentu saja Geo tidak bisa menjawab pertanyaan Bianca. Matanya hanya mengerjap-ngerjap dengan wajah datar.
“Begini. Kedip satu kali kalau iya, kedip dua kali kalau tidak.” Bianca memberi perintah. “Sekarang jawab aku. Kamu butuh sesuatu?”
Mata Geo berkedip-kedip dengan sering membuat Bianca mendengus kasar.
“Kenapa nggak ngerti instruksiku barusan? Katanya kamu lulusan terbaik universitas terkenal. Bilioner termuda dan ....” Bianca berhenti mengoceh karena mendengar Geo menggeram pelan.
“Wah... sudah bisa menggeram?” Bianca bertepuk tangan. “Kemajuan. Aku harus laporkan ini.”
Lalu, Bianca melihat Geo mengedip dua kali. Kepala Bianca menggeleng. “Tidak? Kamu tidak mau orang lain tau kamu mengerti instruksi dan menggeram?”
Geo mengedip satu kali. Bianca menghela napas panjang dan mengangguk. “Baiklah.”
Bianca lalu mengambil paperbag dan mengeluarkan beberapa barang. Ia mengambil salep dan menunjukkannya kepada Geo.
“Ini salep untuk mengobati ruam punggungmu. Barusan aku beli sekalian menjenguk kakakku, Billy.”
Bianca bicara sambil perlahan membalik tubuh Geo dan dengan hati-hati mengolesi punggung yang penuh ruam itu dengan salep. Setelahnya, ia memiringkan posisi tidur Geo.
“Kamu harus tidur berganti-ganti posisi. Tenang saja. Aku cukup ahli membalik tubuh karena melakukannya juga pada Billy.”
Dahi Geo berkerut dengan mata mengerjap-ngerjap. Bianca mencoba menelaah kode tersebut.
“Kamu mau tau keadaan Billy?” Bianca menatap Geo yang mengedip satu kali, lalu mengangguk.
“Billy sudah bisa menggenggam, berkomunikasi dengan menulis pesan melalui tablet. Memang belum bisa bicara tapi aku sudah mendaftarkannya terapi bicara.”
“Kalau kamu sudah sadar begini, aku yakin kamu juga bisa pulih pelan-pelan. Tetapi, kamu perlu banyak berusaha melalui terapi otot karena sudah berbaring lama sekali.”
Bianca lalu mengambil bola terapi tangan dan meletakkannya pada telapak tangan Geo. Bianca memberi contoh untuk meremas bola tersebut.
“Lakukan terus gerakan itu untuk latihan otot tangan.” Bianca berkata sambil menguap. “Kamu nggak mengantuk? Ini sudah lewat tengah malam.”
Lalu, Bianca sadar baru saja melontarkan pertanyaan bodoh. “Ah, iya. Selama ini kamu hanya tidur saja. Pasti sekarang tidak mengantuk.”
Entah jam berapa akhirnya Bianca ketiduran di kursi di samping ranjang Geo. Ia terbangun karena Madam Ana datang untuk membilas Geo. Wanita itu menggeleng melihat cara tidur Bianca.
“Bianca! Bangun! Sudah pagi.” Madam Ana menepuk-nepuk lengan atas Bianca hingga wanita muda itu terbangun.
“Hmm... jam berapa ini, Madam?” Bianca menggumam sambil menggeliat.
“Jam tujuh! Perawan pulang tengah malam dan bangun siang itu tidak baik!” Madam Ana berkata sambil mengomel.
Saat Bianca mengumpulkan kesadarannya, ia menoleh pada Geo. Mata lelaki itu terbuka tetapi mengedip dua kali. Bianca mengangguk pelan.
“Apa Tuan Geo membuka matanya lagi?”
Bianca menatap Geo yang sudah menutup matanya. “Tidak, Madam Ana.”
Selesai membilas Geo, Bianca pun mandi dan berpakaian rapi. Ia berniat ke kantor untuk menemui Taylor dan memberikan surat pengunduran diri.
Nyonya Marissa selalu datang tiap pagi untuk menemani putranya. Kesempatan itu digunakan Bianca untuk pergi.
Dalam waktu satu jam, ia sudah berada di lobi kantor mewah milik Taylor yang diberikan oleh keluarga Willson.
“Resign?” Taylor menggeleng tegas saat Bianca bicara padanya di ruang kerja. “Kamu masih bisa bekerja. Pagi sampai sore, Geo bisa ditemani Madam Ana dan Mama, kan?”
“Tapi, Auntie Marissa bilang, tugasku sekarang hanya mendampingi Geo saja.”
“Bianca Sayang,” kata Taylor dengan suara lembut yang memuakkan, berusaha merayu Bianca. “Aku butuh bantuanmu di kantor. Kamu tau pekerjaanku banyak sekali semenjak Geo sakit. Please, tetaplah bekerja denganku, hm?”
“Kamu bisa meminta bantuan tim dan sekretaris pribadimu.” Bianca berkata dengan nada datar. “Aku hanya menuruti perintah Auntie Marissa.”
Taylor terlihat berpikir keras. Bianca tahu, lelaki itu memang sangat mengandalkannya di kantor, sementara sekretarisnya tidak berfungsi sama sekali … kecuali di ranjang.
“Apa ini karena kamu telah menerima uang banyak jadi merasa tidak perlu bekerja?” Taylor menatap Bianca penasaran.
Bianca segera menggeleng. “Tidak. Aku masih butuh uang banyak. Sebagian uang yang kamu berikan sudah aku gunakan untuk mendaftarkan terapi Billy.”
“Jadi, kamu masih butuh uang, kan? Bagaimana kalau kamu bekerja online saja padaku? Aku akan fasilitasi dengan laptop dan gaji besar meski tidak sebesar gajimu bekerja offline di kantor ini.”
Menarik. Dengan begitu, ia tidak perlu bertemu dengan Taylor setiap hari.
Tanpa berpikir lama, Bianca akhirnya mengangguk. Lagipula ia bingung melakukan apa jika hanya menemani Geo yang hanya tiduran saja.
“Baiklah. Ini karena aku masih sayang kamu, Taylor,” kata Bianca, memasang wajah sendu meski ia sangat ingin muntah mengatakan itu.
Taylor tersenyum. Senyuman manis yang penuh kepalsuan.
“Ah... iya, Bianca. Aku juga masih sayang banget sama kamu.”
Kesepakatan bersama dicapai. Blue dan Grey tetap akan belajar dengan program akselerasi yang diberikan sekolah.Geo dan Bianca cukup lega karena akhirnya melihat Blue dan Grey kembali antusias.Di atas meja ruang belajar, berserakan buku-buku matematika tingkat lanjut, laptop terbuka dengan tampilan simulasi sains, serta coretan catatan rumit khas anak-anak jenius.Blue menutup bukunya dengan bunyi plak! dan mendesah panjang.“Grey… kamu ngerasa nggak sih, pelajarannya makin rumit, tapi tetap nggak seru?”Grey yang duduk di sebelahnya, sedang menulis rumus di papan kecil, menoleh pelan. “Kamu bosen lagi, Blue?”Blue menjawab cepat, “Bukan bosen, cuma… aku udah ngerti semuanya. Tiga bab terakhir itu cuma pengulangan dari yang aku baca di buku kuliah milik Daddy.”Grey tertawa kecil, menatap kakaknya yang lebih tua beberapa menit itu. “Kamu memang aneh. Anak lain pusing, kamu malah
“Kami sudah buat presentasi kegiatan yang bisa dilakukan jika kami tidak sekolah.” Blue mengangguk pada Grey, memberi kode untuk memulai presentasi.Taylor terkekeh. “Presentasi? Waduh, pantas kalian mendesain ruangan ini seperti ruang rapat dadakan.”Grey menaruh map di atas meja. Ia membuka lembaran besar berisi coretan diagram, tabel, dan beberapa foto kebun yang mereka ambil minggu lalu. “Kami serius, Uncle. Ini laporan kami selama kami liburan di perkebunan.”Taylor melipat tangan di dada, menatap dengan penasaran. “Baiklah, aku dengarkan.”Grey memulai dengan nada bersemangat, menunjuk diagram hasil panen.“Ini hasil panen apel minggu lalu, Uncle. Dari tiga hari bantu panen, kami hitung ada sekitar dua ton apel yang bisa dijual. Kami bantu sortasi, dan Blue menghitung hasil keuntungannya.”Blue menyambung cepat, “Dan hasilnya bisa untuk beli komputer baru, bahan tanam, bahkan... buat bantu kafe Auntie Nina, kalau mau.”Taylor mengangguk, menahan senyum. “Hebat sekali. Tapi… kena
“Nina?”“Mmm... Iya.”Taylor mengerutkan kening mendengar suara yang dibuat-buat itu. Jantungnya yang tadi berdebar kencang mulai berdetak teratur. Ia menghela napas berat.“Nggak baik ngerjain Uncle sendiri lho, Grey!” sungut Taylor sambil menyandarkan punggung.Terdengar suara kekehan. Lalu deheman kecil yang membuat tawa kecil itu hilang. Taylor menggelengkan kepala.Itu pasti teguran Geo pada Grey yang barusan mengerjainya dengan berpura-pura merubah suaranya seperti suara wanita.“Ada apa, Grey?”“Kata Kakek, Uncle punya apel jenis baru? Sudah panen? Kok belum dikirim ke mansion? Aku kan mau coba. Uncle tau kan buah favoritku apel?”Sekali lagi, Taylor menggeleng mendengar rentetan pertanyaan keponakannya. “Iya. Ini Uncle sedang siap-siap mau ke mansion bawa apel.”“Yeayyy. Aku izin gak sekolah ya, Dad. Aku mau tungguin Uncle Taylor.”“Tidak!”Taylor mendengar percakapan keponakan dan kakaknya. Ia senyum-senyum sendiri mengetahui bahwa akhir-akhir ini Grey sedang malas sekolah de
Taylor menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Nina di mansion. Ruang keluarga itu langsung sunyi. Geo dan Bianca saling berpandangan begitu Taylor selesai bercerita.“Nina tidak menghubungiku sama sekali.” Bianca menggeleng sambil menatap layar ponselnya.“Nggak papa, Bi. Mungkin Nina butuh waktu sendiri untuk berpikir.” Taylor menyahut.“Tapi... Kalau kamu memang mencintai Nina, kamu harus memperjuangkannya, Taylor.”Pernyataan Geo membuat Taylor hanya bisa menghela napas. Baginya jelas, Nina keberatan dengan masa lalunya. Apalagi itu berhubungan erat dengan Bianca.“Mungkin memang sudah takdirku, Kak. Atau karma yang diberikan Tuhan. Aku pasrah saja jika pada akhirnya aku hanya sendirian tanpa pendamping.”“Kamu bicara apa, Taylor? Tuhan menciptakan mahluknya berpasangan!” Geo tak setuju dengan ucapan Taylor.“Aku hanya menduga, Kak. Cinta pertamaku pada Sel
Mendengar ucapan Bianca, Taylor segera menghubungi Nina. Mereka berjanji bertemu di kafe milik keluarga Nina.Perasaan Taylor berubah tak enak kala melihat wajah Nina. Setelah duduk berhadapan, Nina bahkan tidak memulai pembicaraan dan terlihat malas menatap wajah Taylor.“Kamu marah karena hubunganku dengan Selina dulu?” Pelan, Taylor bertanya.Nina menggeleng. “Semua orang punya masa lalu. Tetapi, aku melihat... sepertinya, kamu masih sangat perhatian pada wanita itu.”Segera, Taylor menggeleng tegas. “Tidak, kamu salah menilai. Itu hanya spontanitas membantu menenangkan. Kisah kami sudah selesai.”“Yakin? Aku juga baru tau bahwa keluarga Willson memiliki masalah pelik. Kamu dan Elara pernah akan menabung benih di rahim Bianca?” Nina menggeleng-geleng tak percaya. "Itu sangat gila!"“Saat itu kami memiliki alasan dan semua sudah berlalu. Kami sudah sama-sama saling memaafkan.”
Tepat saat Taylor berlari dan menangkap tubuh Elara yang lunglai, Nina datang. Ia terkejut melihat Taylor yang begitu perhatian. Nina segera mengalihkan pandangan dan menghampiri Bianca.“Kamu tau kami di sini?” bisik Bianca.“Aku tadi melihat pengawal Blue dan Grey di luar.” Nina melirik Taylor yang masih menemani Elara. “Siapa dia?”Bianca menghela napas panjang. “Maaf, kamu jadi melihat ini semua. Tidak perlu dipikirkan yang tidak-tidak.”Nina terdiam. Di sudut sana, Taylor dan Edgard masih menenangkan Elara. Hingga akhirnya Geo memanggil Bianca.“Bagaimana menurutmu, Sayang?” tanya Geo.“Aku baru tau niat Taylor dan Selina dulu ternyata bukan hanya untuk menguasai harta keluarga Willson, tetapi ada alasan sentimentil lain.” Bianca menghela napas berat.Geo menatap Blue dan Grey. Blue tetap dengan wajah datarnya sementara wajah Grey lebih melunak.Saat Geo dan Bianca masih berbincang, Edgard menghampiri. Lelaki tua itu dengan santun menyapa.“Salam kenal. Saya Edgard, paman Elana a







