KSIBP 134 Laras bangkit dari lantai dengan tertatih-tatih tanpa ada bantuan dari siapapun. Dia menangis dalam diam tanpa mengatakan apapun dan Harun sama sekali tidak peduli. Dari dulu, dia memang tidak ada perasaan apapun kepada Laras. Jika bukan karena balas budi, dia juga tidak akan mau memperhatikan Laras selama ini. "Apa benar dia tidak apa-apa?" tanya Marisa khawatir. Sebenarnya dia hanya pura-pura peduli agar Harun dan kepala maid menilainya baik, tapi sayangnya niatnya itu sudah diketahui dari awal. Harun sudah tahu kalau keluarganya Diko tidak ada yang tulus, kecuali Hani. Makanya dia mau memanfaatkan wanita-wanita itu untuk dijadikan alat agar Laras tahu diri. "Kalau kau memang peduli, sana urus dia. Tapi setelah itu pergilah dari rumahku!" Harun memberikan peringatan. Marisa bergidik ngeri. Dia tidak berani mendekat sedikit saja ke arah Laras. "Kenapa dia seperti ini?" ucap Laras bertanya-tanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, tapi segera dihadang beberapa penjaga. "
KSIBP 135 "Apapun yang kita lakukan tidak ada hubungannya denganmu!" Diko menatap tajam ke arah pamannya Qiera. Saat ini dia tidak suka diganggu karena sedang bersama istri. "Ini adalah hal yang biasa, masalahku lebih penting." Om Dion duduk di dekat mereka dan membuat Qiera merasa tidak nyaman, lalu berusaha melepaskan tangan Diko, tapi gagal."Kalian belum halal, sementara kamu sudah. Jadi, siapa yang lebih penting?" Diko berucap tenang. Sebenarnya dia ingin marah, tapi tidak bisa kalau di dekatnya ada Qiera. Dia tidak ingin membuat istrinya ketakutan karena melihat sisi gelapnya.Om Dion terdiam. Apa yang dikatakan Diko memang benar. Harusnya di ini Om Dion yang membantu masalah Diko ataupun Harun, bukan malah sebaliknya karena Om Dion lebih tua. Ditambah Diko juga hanya keponakan, tapi semuanya tidak akan berjalan kalau Diko hanya diam.Om Dion berjalan ke arah luar dan duduk di bangku taman, sementara Diko masih memeluk Qiera erat."Aku malu," lirih Qiera dengan wajahnya yang m
KSIBP 136 Waktu pernikahan Mala dan Om Dion sudah ditentukan. Meksipun Pak Bagas menantangnya, tapi dia kalah dengan Pak Malik yang langsung turun tangan."Kau cukup menjadi wali nikahnya, tapi kalau tidak mau, bisa diwakilkan dengan kakakmu," ancam Pak Malik.Kakak yang dimaksudnya adalah pria yang paling ditakuti Pak Bagas. Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak sedekat Pak Malik dan Om Dion. Sangat jauh."Untuk kali ini aku memang tidak bisa melawan, tapi lihat saja, kalian tidak akan bisa hidup bahagia tanpa izin dariku," ucapnya lantang dengan penuh percaya diri."Oh, ya? Memangnya siapa kau berani berkata seperti itu? Apa kau Tuhan?" Pak Malik sudah tidak sabar untuk mencekik lehernya dan merobek bibirnya, tapi dia tahan karena bagaimanapun dia adalah ayah dari Mala.Pak Bagas tidak bicara. Dia kembali menghilang seperti ditelan bumi, begitupun dengan istrinya.Beberapa kali sudah Diko memergoki Pak Bagas yang berusaha melakukan penyuapan agar Pak Aryo dibebask
KSIBP 137 Setelah terikat pernikahan dengan Om Dion, Mala menjalani hidup normal seperti seorang istri, tapi tetap mengurus restorannya. Mala sama seperti Qiera, mengurus semua kebutuhan Zayyan dan Om Dion oleh dirinya sendiri. Sementara Harun, dia mulai mendekati Hani. Wanita yang berhasil memikat hatinya karena semua karakter wanita yang dia butuhkan ada padanya. Harun juga mendatangi keluarga kakek Diko untuk melamarnya, tapi ternyata membuat kebencian para wanita yang ada di sama membara."Mana bisa gadis kampung dan anak pelacur itu jadi bagian dari keluarga kita?""Benar, itu tidak boleh terjadi. Sudah cukup Diko salah memilih istri, sekarang kita tidak bisa membiarkan berdebah kecil itu menjadi istri Harun," geram Marisa.Marisa sengaja menyulut emosi para wanita yang ada di kediaman kakek Diko agar membenci Hani dan melakukan banyak hal untuk mencelakainya. Namun, bagi Hani semuanya tidak mempan. Dia memang bukan bagian dari keluarga besar Diko, jadi dia sama sekali tidak ke
"Mama! Ma!" "Mama!" Baru saja aku melangkah mendekat ke arah pintu, anak pertamaku sudah terdengar menjerit-jerit memanggil nama mamanya. Padahal aku pulang dari tempat kerja dengan sangat lelah dan ketika sampai di rumah aku ingin beristirahat. Akan tetapi semuanya hanyalah khayalan karena Qiera bahkan tidak mampu membuat anak-anaknya terdiam. "Iya, Sayang, sebentar!" Qiera pun ikut berteriak menyahut panggilan anaknya. Ya ampun, wanita seperti apa yang sebenarnya aku nikahi tujuh tahun yang lalu? Sepetinya aku sudah salah memilih. Setelah tidak terdengar suara teriakan, aku mulai memutar kenop pintu. Ya ampun, tepat di depan pintu dan mataku, anak kecil yang berusia dua tahun itu sedang memainkan air kencingnya di lantai. "Qiera, apa ini?" Aku mulai berteriak memanggil namanya. Lelah? Tentu saja aku lelah dan ingin istirahat dari kehidupan yang seperti ini, bila perlu selamanya agar aku tidak perlu pusing karena melihat hal-hal menjijikan. "Kenapa berteriak, Mas, bukankah
Setelah perdebatan kemarin dan dia mengatakan tidak punya uang sama sekali, pagi ini aku akan memberinya uang. Enggak usah banyak, yang penting cukup. "Ini harus cukup untuk seminggu." Aku menyerahkan dua lembaran merah kepada Qiera yang menghampiriku dengan segelas kopi. "Iya, Mas. Alhamdulillah, tapi kamu jangan marah kalau aku gak masak ayam, daging, atau ikan, ya?" Ia tiba-tiba menyebutkan semua menu yang biasanya harus ada di meja, itu pun jika aku memberikannya uang satu juta setengah untuk satu bulan. Kali ini anggap saja aku memberinya seperempat, jadi tidak apa-apa jika makanan kesukaanku tidak masuk kategori. Asalkan uang itu cukup, lagipula aku bisa beli nanti di restoran atau rumah makan. Walaupun harganya lebih mahal, yang penting perutku kenyang, dan uangku tidak disia-siakan oleh orang yang hanya tau bermalas-malasan seperti Qiera itu. Aku tidak sudi. "Bagaimana, Mas? Kamu tidak akan marah bukan?" Qiera kembali meminta jawabanku. "Tentu saja tidak akan! Apa kau pi
"Kenapa? Tidak kan?" Tatapan matanya menatapku seolah ingin melahap hidup-hidup. Aku tahu orang ini memang keras, tapi tidak tahu kalau suka mencampuri urusan orang juga. Dasar tidak tahu malu, memang dia pikir dia siapanya aku? "Maaf, Pak, tapi saya tidak punya waktu untuk membantunya mengurus pekerjaan rumah." Aku menjawab jujur. "Tidak punya waktu? Padahal kau pulang jam lima sore, kan? Harusnya ada banyak waktu untuk membantu istrimu." Dia berkata seenak jidat. "Terus apa tadi maksudnya istrimu pandai menghabiskan uang, memang kamu memberinya berapa?" tanyanya lagi. Duh, kenapa sih, nih orang, kok, ingin tahu kehidupan pribadiku? "Enggak sampai dua juta bukan? Padahal gajimu di sini hampir lima juta, tapi memberikan setengahnya saja kamu tidak?" Dia menepuk-nepuk keningnya. "Kok, bisa saya punya pekerja yang pelitnya luar biasa sama istri sendiri tapi ingin dihidangkan makanan yang mewah?" Dia tertawa miris, lalu mengeluarkan kalimat-kalimat nasihat, tapi sayangnya aku tidak
Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuatku membuka mata. Segera kulihat jam yang ada di samping, ternyata baru jam tujuh. Sepertinya sekarang sudah aman untuk aku keluar, semoga saja Qiera beli banyak bahan yang kemarin aku pesan. Usai mandi, aku kesulitan mencari baju yang akan aku pakai. Kucoba menekan beberapa angka di ponsel, yaitu nomor telepon Qiera, tapi tidak juga diangkat. Karena kesal, aku pun keluar kamar menuju tempat Qiera kemarin menyetrika banyak baju. Namun, tetap saja baju yang aku cari tidak ada di tempat itu, bahkan di jemuran saja tidak ada. Kembali aku menelpon nomor Qiera, tapi dering ponselnya malah terdengar di dekatku. Segera aku mendekat ke arah cucian baju yang menimpuk, tempat bunyi ponsel terdengar. Ah, sial, ternyata dia tidak membawa ponselnya. Mau marah, tapi marah pada siapa. Jadi aku berinisiatif untuk mencari kaus kaki dan beberapa perlengkapan yang akan aku bawa di hari Kamis ini, tapi sialnya semua yang akan aku bawa tidak ketemu