Share

Bab 5

"Aku pulang ke rumah Mama dulu ya, Mas. Uang dua ratus yang kamu kasih kemarin sudah aku belikan makanan kesukaan Ibu dan Yani, sisanya aku simpan di atas kulkas. Maaf kalau aku tidak izin, ya, aku harap Mas bisa hidup tanpa aku dan anak-anak."

 "Pulang? Di saat ada Ibu sama Yani dia malah pulang? Dasar mantu durhaka. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran!" Ibu langsung murka ketika tidak sengaja membuka memo yang sedang aku pegang. 

 Qiera memang benar-benar sudah keterlaluan. Kalau memang dia tidak keberatan dengan kedatangan Ibu dan adikku, kenapa dia baru pulang sekarang? Kenapa tidak sebelum-sebelumnya?

 Aku kembali teringat dengan ponsel yang ada di keranjang baju kotor, tapi tidak ada.

 "Cari apa kamu di situ?" Ibu bertanya sambil menatapku jijik.

 "Tadi aku menemukan ponsel Qiera di sini, Bu, jadi kalau sekarang tidak ada, dia pasti bawa ponsel!" Aku terus mencarinya sampai bajunya aku lempar ke sembarang arah.

 Akan tetapi lagi-lagi yang aku temukan hanya kertas memo kecil ditempel di dalam keranjang.

 "Maaf, ponselnya memang sengaja aku sembunyikan agar aku tidak menerima telpon darimu, Mas. Jangan coba cari, karena kamu tidak akan menemukan apapun di rumah, Mas.

 Kalau kamu ingin aku segera kembali pulang, jagalah kebersihan rumah. Jangan biarkan rumah kotor dan berantakan, kalau tidak, aku tidak akan pernah pulang.".

 

 "Dasar istri tidak tahu diri!" Aku meremasnya kedua memo yang dia tinggalkan.

Kalau dia mau pergi memangnya kenapa? Toh, keadaan rumah justru akan semakin baik tanpa kehadiran mereka. Tanpa ada teriakan Qiera dan Ziro, juga tanpa tangisan Zihan.

 Rumah akan menjadi aman, tentram, dan damai. Inilah kehidupan yang sudah lama aku inginkan dan akhirnya tercapai juga.

 "Kenapa? Istrimu meninggalkan kata-kata yang tidak penting lagi?" Ibu kembali berbicara.

 "Tidak apa, Bu, toh, rumah akan menjadi nyaman tanpa kehadiran mereka. Sekarang kita nikmati saja, nanti dia juga pulang.

 "Benar apa yang Mas Yasa katakan, Bu, kita istirahat saja." Yani ikut bicara.

 "Memang benar apa yang kalian berdua katakan, tapi bagaimana kalau Qiera mengatakan yang buruk-buruk tentang kita, dan menyebabkan nama kita jadi jelek di mata mertua kamu?" Ibu menatapku bingung.

 Benar juga apa yang Ibu katakan, nanti aku tidak akan bisa melangkah kalau sudah menyinggung mertuaku itu. Aduh, sepertinya aku banyak melupakan hal-hal yang penting.

 "Kalau orang tua Qiera miskin sih, gak masalah. Tapi kan enggak, mereka bukan hanya kaya, tapi gemar bersedekah juga. Bisa-bisa nanti kita gak kebagian apapun lagi." Kini Ibu semakin bingung, begitupun aku.

 "Ya sudah, nanti saja kita pikirkan lagi, sekarang aku lelah, dan ingin istirahat!" Tanpa bicara lagi, aku langsung ke kamar, dan tidur.

 Selama tidak ada Qiera, tidak ada yang mengingatkan aku tentang salat, ataupun ibadah yang lainnya. Rutinitas yang aku lakukan hanya kerja, kerja, lalu tidur, dan tidur.

 Sementara Qiera, dia sering salat meksipun Zihan selalu berlarian di depannya, ataupun duduk di punggung ketika dia sujud. Kadang aku tersenyum ketika melihat hal itu, karena dipisahkan pun percuma, nanti Zihan akan menangis.

 ***

 Untuk pakaian Jum'at, untung saja pakai pakaian bebas karena lembur. Kalau tidak, habislah aku.

 "Pak Yas, mana makanan hari ini?" Salsa berdiri di depan meja kerjaku.

 "Hari ini istriku gak masak." Aku menjawabnya lemas, karena aku sendiri belum sarapan, dan kondisi dompet begitu memprihatinkan.

 "Gak masak?" Suara bos gila langsung terdengar, padahal aku hanya mengeluarkan lima kata saja, sungguh ajaib.

 "Iya, Bos. Istri saya sakit dan gak bisa masak." Aku mulai mengarang cerita.

 "Ya sudah, gapapa, semoga cepat sembuh. Tapi awas kalau kau bohong, ya, nanti aku potong gajinya!" tegasnya yang selalu saja membawa potongan, enggak gaji, ya, bonus. Dasar bos gila!

 "Iya, Bos."

 "Istri kamu beneran sakit?" Angga dan Jordi bergegas datang ke tempatku untuk mencari tahu lebih lanjut tentang apa yang aku hilang tadi sama bos.

 Aku meletakkan telunjuk di ujung bibir. "Jangan berisik, nanti aku kasih tahu pas istirahat!"

 "Okelah."

 Mereka berdua pun menurut dan tidak bicara lagi, tapi ketika waktu istirahat tiba, mereka sibuk menarikku sampai ke kantin.

 "Jadi ke mana perginya istrimu?" Jordi langsung bertanya demikian. "Jangan-jangan dia lelah dengan sikapmu yang suka marah-marah, lalu pergi?" Dia mulai menebak.

 "Omong kosong apa itu, tidak mungkin Qiera meninggalkan aku. Apalagi dia itu cinta mati sama aku sampai kita punya anak dua, jadi apanya yang lelah?" Aku marah padanya, agar kelak tidak berbicara sembarangan.

 "Bisa jadi begitu. Soalnya kata istriku, 'Seorang wanita itu akan selalu ingat kesalahan pria, sekecil apapun itu. Apalagi kalau marah-marah, kamu tinggal menunggu waktu kapan akan ditinggalkan." Jordi kembali melantur.

 "Sudahlah, aku tidak mau mendengar omong kosongmu! Intinya dia tidak mungkin pergi!" Aku kembali membentaknya, tapi dia tidak kunjung jera dan kembali bicara.

 "Aku hanya kasih tahu kamu agar nanti tidak ada penyesalan. Istri sebaik Qiera, rasanya terlalu berharga jika disia-siakan. Jika melihat dari kacamata seorang lelaki, aku rasa kamu tidak pantas menjadi suaminya," ucapnya lagi semakin tidak tahu malu.

 "Diam, kau! Percuma bicara kalau hanya untuk menyudutkan aku. Gak bermutu!" Aku semakin berapi-api.

 "Aku hanya mengingatkan, karena kalau hati wanita sudah terluka, apalagi berarah, itu tandanya dia tidak akan bisa menerimamu lagi walaupun bibirnya mengatakan 'Gapapa'. Aku bilang ini karena peduli padamu, tapi kalau kau keberatan, ya, sudah. Aku hanya tidak ingin kau menyesal," jelasnya panjang lebar. Kali ini dia terlalu cerewet, bahkan emak-emak pun kalah.

 "Alah, mana ada seorang Yasa menyesal? Enggak akan pernah! Kalau memang Qiera memilih pergi dari hidupku, gak masalah. Justru ini bagus, karena aku bisa menjalin hubungan dengan Salsa tanpa harus memikirkan perasaan orang lain lagi." Aku semakin membanggakan diri sendiri.

 "Masalahnya salsa mau gak sama kamu?" Jordi kembali melemparkan pertanyaan yang membuat nyaliku kembali lembek seperti kerupuk.

  Ah, iya, sepetinya aku harus segera menjemput Qiera sebelum dia menceritakan tentangku ke orang tuanya. Mending yang diceritakan hanya yang baik, tapi kalau yang buruk juga termasuk? Ini yang bahaya.

 ***

 "Bu, aku mau langsung jemput Qiera, ya?" izinku sama Ibu.

 "Bagus, memang harus seperti itu. Bisa-bisanya istri meninggalkan rumah di saat mertuanya akan datang. Dasar istri durhaka!" Ibu kembali emosi.

 "Sudahlah, Bu, yang jelas sekarang kita harus menjemputnya. Baru pikirkan pelajaran apa yang akan diberikan padanya agar jera." Aku tersenyum menyeringai.

 Baru saja setengah perjalanan menuju rumah orang tua Qiera, mobilku mogok, untungnya tepat di depan bengkel, jadi aku mampir lebih dulu, terus ikut makan di restoran yang ada di sampingnya.

 Semoga saja harganya bersahabat.

 "Bu, pesanan saya totalnya berapa?"

 Ketika makan, aku mendengar suara Qiera. 

 "Qiera?" Aku terus memanggilnya, tapi wanita itu malah berjalan cepat tanpa memedulikan aku.

 "Siapa Qiera?" Seorang pria baru gede menghampiriku.

 "Dia istriku yang sejak kemarin pergi dari rumah."

 Beberapa pria muda malah tertawa ketika mendengar jawabanku.

 "Sejak kapak Dewi Qiera sudah punya suami? Lagipula aku sudah tahu tampannya suaminya itu," ucap salah satu dari mereka. "Dasar penipu!"

 Orang-orang gila, sejak kapan aku suka menipu?

 Aku terus mengejar Qiera, benar dia Qiera. Dia masuk ke dalam mobil mewah dan melihat ke arahku sebentar, lalu tersenyum sinis.

 "Kau!" Aku berteriak dan berlari ke arahnya, tapi beberapa pemuda itu kembali menahanku dan memperolok.

 Awas ... Qiera, aku akan membalas hari ini dengan berkali-kali lipat!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status