"Aku pulang ke rumah Mama dulu ya, Mas. Uang dua ratus yang kamu kasih kemarin sudah aku belikan makanan kesukaan Ibu dan Yani, sisanya aku simpan di atas kulkas. Maaf kalau aku tidak izin, ya, aku harap Mas bisa hidup tanpa aku dan anak-anak."
"Pulang? Di saat ada Ibu sama Yani dia malah pulang? Dasar mantu durhaka. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran!" Ibu langsung murka ketika tidak sengaja membuka memo yang sedang aku pegang.
Qiera memang benar-benar sudah keterlaluan. Kalau memang dia tidak keberatan dengan kedatangan Ibu dan adikku, kenapa dia baru pulang sekarang? Kenapa tidak sebelum-sebelumnya?
Aku kembali teringat dengan ponsel yang ada di keranjang baju kotor, tapi tidak ada.
"Cari apa kamu di situ?" Ibu bertanya sambil menatapku jijik.
"Tadi aku menemukan ponsel Qiera di sini, Bu, jadi kalau sekarang tidak ada, dia pasti bawa ponsel!" Aku terus mencarinya sampai bajunya aku lempar ke sembarang arah.
Akan tetapi lagi-lagi yang aku temukan hanya kertas memo kecil ditempel di dalam keranjang.
"Maaf, ponselnya memang sengaja aku sembunyikan agar aku tidak menerima telpon darimu, Mas. Jangan coba cari, karena kamu tidak akan menemukan apapun di rumah, Mas.
Kalau kamu ingin aku segera kembali pulang, jagalah kebersihan rumah. Jangan biarkan rumah kotor dan berantakan, kalau tidak, aku tidak akan pernah pulang.".
"Dasar istri tidak tahu diri!" Aku meremasnya kedua memo yang dia tinggalkan.Kalau dia mau pergi memangnya kenapa? Toh, keadaan rumah justru akan semakin baik tanpa kehadiran mereka. Tanpa ada teriakan Qiera dan Ziro, juga tanpa tangisan Zihan.
Rumah akan menjadi aman, tentram, dan damai. Inilah kehidupan yang sudah lama aku inginkan dan akhirnya tercapai juga.
"Kenapa? Istrimu meninggalkan kata-kata yang tidak penting lagi?" Ibu kembali berbicara.
"Tidak apa, Bu, toh, rumah akan menjadi nyaman tanpa kehadiran mereka. Sekarang kita nikmati saja, nanti dia juga pulang.
"Benar apa yang Mas Yasa katakan, Bu, kita istirahat saja." Yani ikut bicara.
"Memang benar apa yang kalian berdua katakan, tapi bagaimana kalau Qiera mengatakan yang buruk-buruk tentang kita, dan menyebabkan nama kita jadi jelek di mata mertua kamu?" Ibu menatapku bingung.
Benar juga apa yang Ibu katakan, nanti aku tidak akan bisa melangkah kalau sudah menyinggung mertuaku itu. Aduh, sepertinya aku banyak melupakan hal-hal yang penting.
"Kalau orang tua Qiera miskin sih, gak masalah. Tapi kan enggak, mereka bukan hanya kaya, tapi gemar bersedekah juga. Bisa-bisa nanti kita gak kebagian apapun lagi." Kini Ibu semakin bingung, begitupun aku.
"Ya sudah, nanti saja kita pikirkan lagi, sekarang aku lelah, dan ingin istirahat!" Tanpa bicara lagi, aku langsung ke kamar, dan tidur.
Selama tidak ada Qiera, tidak ada yang mengingatkan aku tentang salat, ataupun ibadah yang lainnya. Rutinitas yang aku lakukan hanya kerja, kerja, lalu tidur, dan tidur.
Sementara Qiera, dia sering salat meksipun Zihan selalu berlarian di depannya, ataupun duduk di punggung ketika dia sujud. Kadang aku tersenyum ketika melihat hal itu, karena dipisahkan pun percuma, nanti Zihan akan menangis.
***
Untuk pakaian Jum'at, untung saja pakai pakaian bebas karena lembur. Kalau tidak, habislah aku.
"Pak Yas, mana makanan hari ini?" Salsa berdiri di depan meja kerjaku.
"Hari ini istriku gak masak." Aku menjawabnya lemas, karena aku sendiri belum sarapan, dan kondisi dompet begitu memprihatinkan.
"Gak masak?" Suara bos gila langsung terdengar, padahal aku hanya mengeluarkan lima kata saja, sungguh ajaib.
"Iya, Bos. Istri saya sakit dan gak bisa masak." Aku mulai mengarang cerita.
"Ya sudah, gapapa, semoga cepat sembuh. Tapi awas kalau kau bohong, ya, nanti aku potong gajinya!" tegasnya yang selalu saja membawa potongan, enggak gaji, ya, bonus. Dasar bos gila!
"Iya, Bos."
"Istri kamu beneran sakit?" Angga dan Jordi bergegas datang ke tempatku untuk mencari tahu lebih lanjut tentang apa yang aku hilang tadi sama bos.
Aku meletakkan telunjuk di ujung bibir. "Jangan berisik, nanti aku kasih tahu pas istirahat!"
"Okelah."
Mereka berdua pun menurut dan tidak bicara lagi, tapi ketika waktu istirahat tiba, mereka sibuk menarikku sampai ke kantin.
"Jadi ke mana perginya istrimu?" Jordi langsung bertanya demikian. "Jangan-jangan dia lelah dengan sikapmu yang suka marah-marah, lalu pergi?" Dia mulai menebak.
"Omong kosong apa itu, tidak mungkin Qiera meninggalkan aku. Apalagi dia itu cinta mati sama aku sampai kita punya anak dua, jadi apanya yang lelah?" Aku marah padanya, agar kelak tidak berbicara sembarangan.
"Bisa jadi begitu. Soalnya kata istriku, 'Seorang wanita itu akan selalu ingat kesalahan pria, sekecil apapun itu. Apalagi kalau marah-marah, kamu tinggal menunggu waktu kapan akan ditinggalkan." Jordi kembali melantur.
"Sudahlah, aku tidak mau mendengar omong kosongmu! Intinya dia tidak mungkin pergi!" Aku kembali membentaknya, tapi dia tidak kunjung jera dan kembali bicara.
"Aku hanya kasih tahu kamu agar nanti tidak ada penyesalan. Istri sebaik Qiera, rasanya terlalu berharga jika disia-siakan. Jika melihat dari kacamata seorang lelaki, aku rasa kamu tidak pantas menjadi suaminya," ucapnya lagi semakin tidak tahu malu.
"Diam, kau! Percuma bicara kalau hanya untuk menyudutkan aku. Gak bermutu!" Aku semakin berapi-api.
"Aku hanya mengingatkan, karena kalau hati wanita sudah terluka, apalagi berarah, itu tandanya dia tidak akan bisa menerimamu lagi walaupun bibirnya mengatakan 'Gapapa'. Aku bilang ini karena peduli padamu, tapi kalau kau keberatan, ya, sudah. Aku hanya tidak ingin kau menyesal," jelasnya panjang lebar. Kali ini dia terlalu cerewet, bahkan emak-emak pun kalah.
"Alah, mana ada seorang Yasa menyesal? Enggak akan pernah! Kalau memang Qiera memilih pergi dari hidupku, gak masalah. Justru ini bagus, karena aku bisa menjalin hubungan dengan Salsa tanpa harus memikirkan perasaan orang lain lagi." Aku semakin membanggakan diri sendiri.
"Masalahnya salsa mau gak sama kamu?" Jordi kembali melemparkan pertanyaan yang membuat nyaliku kembali lembek seperti kerupuk.
Ah, iya, sepetinya aku harus segera menjemput Qiera sebelum dia menceritakan tentangku ke orang tuanya. Mending yang diceritakan hanya yang baik, tapi kalau yang buruk juga termasuk? Ini yang bahaya.
***
"Bu, aku mau langsung jemput Qiera, ya?" izinku sama Ibu.
"Bagus, memang harus seperti itu. Bisa-bisanya istri meninggalkan rumah di saat mertuanya akan datang. Dasar istri durhaka!" Ibu kembali emosi.
"Sudahlah, Bu, yang jelas sekarang kita harus menjemputnya. Baru pikirkan pelajaran apa yang akan diberikan padanya agar jera." Aku tersenyum menyeringai.
Baru saja setengah perjalanan menuju rumah orang tua Qiera, mobilku mogok, untungnya tepat di depan bengkel, jadi aku mampir lebih dulu, terus ikut makan di restoran yang ada di sampingnya.
Semoga saja harganya bersahabat.
"Bu, pesanan saya totalnya berapa?"
Ketika makan, aku mendengar suara Qiera.
"Qiera?" Aku terus memanggilnya, tapi wanita itu malah berjalan cepat tanpa memedulikan aku.
"Siapa Qiera?" Seorang pria baru gede menghampiriku.
"Dia istriku yang sejak kemarin pergi dari rumah."
Beberapa pria muda malah tertawa ketika mendengar jawabanku.
"Sejak kapak Dewi Qiera sudah punya suami? Lagipula aku sudah tahu tampannya suaminya itu," ucap salah satu dari mereka. "Dasar penipu!"
Orang-orang gila, sejak kapan aku suka menipu?
Aku terus mengejar Qiera, benar dia Qiera. Dia masuk ke dalam mobil mewah dan melihat ke arahku sebentar, lalu tersenyum sinis.
"Kau!" Aku berteriak dan berlari ke arahnya, tapi beberapa pemuda itu kembali menahanku dan memperolok.
Awas ... Qiera, aku akan membalas hari ini dengan berkali-kali lipat!
"Kenapa pulang lagi? Tidak jadi 'kah?" Ibu duduk di sampingku yang menghempaskan diri di sofa. "Sepertinya Qiera memang harus diberikan pelajaran, Bu." Aku menceritakan tentang apa yang terjadi barusan dan Ibu menjadi lebih emosi. "Sudah aku bilang dari dulu, Mas, kalau wanita itu memang bukan perempuan baik-baik." Yani ikut bicara dan duduk di samping kiriku. Kami pun mulai menyusun rencana untuk membuat Qiera kembali, pokoknya dia harus pulang tanpa dijemput, dan tanpa diantar keluarganya. "Nah, sekarang coba kamu telpon bapaknya!" titah Ibu dan aku langsung melakukannya. "Assalamu'alaikum, Yas, ada apa?" Suara Bapak mertua langsung terdengar, dapat aku pastikan kalau aku memang selalu menjadi menantu kesayangan karena Qiera adalah anak satu-satunya. Tentu saja aku juga termasuk ke dalam menantu satu-satunya, apalagi mamanya Qiera sudah menganggapku seperti anak sendiri. Jadi, dapat aku pastikan kalau kali ini Qiera tidak akan pernah bisa kabur lagi seperti ini. Aku akan mem
Aku mengerjapkan mata ketika melihat Mama dan Papa mertua juga turun dari mobil. Bukan hanya aku, Yani dan Ibu pun langsung kehilangan kata-kata. Pukulan yang tadi mendarat cukup keras di bahu Qiera, kini berubah menjadi elusan penuh kasih sayang. "Kamu capek 'kan, Sayang? Masuk dulu, yuk, nanti Ibu siapkan makanan yang paling enak," ucap Ibu dengan suara yang sangat berbeda dari tadi. "Masak? Kan di dalam masih berantakan, apa tidak apa-apa menyuruh mereka masuk?" bisikku di telinga Ibu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mama dan Papa melihat dalam rumah yang begitu berantakan, bahkan lebih parah dari kapal pecah. Aku sendiri langsung pusing ketika melihatnya, apalagi mereka. Bisa-bisa kami bertiga langsung dibenci oleh mertuaku. "Gapapa, biar orang tuanya tahu kalau anaknya sudah pergi terlalu lama, dan menelantarkan suaminya begitu saja." Ibu bersikap percaya diri. Ya sudah, kalau Ibu sudah berkata begitu, aku tidak punya pilihan lain. Hanya bisa berdoa semoga apa sem
"Tidak!" Ibu menjerit-jerit histeris selama beberapa saat, lalu berlari ke arah Qiera, dan dan handak menamparnya. Aku tidak terkejut, Ibu memang sering melakukan itu kepada Qiera, tapi aku sangat berbeda ketika melihat Qiera menahan tangan ibu dan menjatuhkannya. "Kenapa? Mau jadi mantu durhaka ya, kamu?” Ibu kembali menjerit. "Aku tidak akan seperti ini kalau Ibu tidak mencari masalah lebih dulu. Dari awal aku memang selalu melakukan apapun yang Ibu perintahkan, karena aku sadar kalau Ibu adalah wanita yang harus aku hormati. Tapi apa yang aku dapatkan?" Qiera mengungkapkan isi hati yang selama ini selalu dia pendam. Aku sendiri tidak tahu kalau dia tertekan dengan keadaan ini. Aku pikir selama ini dia baik-baik saja, karena selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Ternyata aku salah. "Baik, maafkan Ibu, Qiera." Aku berkata tanpa sadar, sampai membuat Ibu menatap geram ke arahku. "Maafkan Ibu juga, apa yang seorang Ibu lakukan tidak pernah salah." Qiera yang awalnya terkej
"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak. "Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada." "Apa? Kok, bisa?" "Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal. "Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?" "Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat. Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini. Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari
"Jawab!" bentaknya membuat kami bertiga semakin tidak berdaya. Entah apes atau apa, yang jelas hari ini kami selalu dipenuhi kesialan. Apa jangan-jangan ini gara-gara Qiera yang kembali, ya? Apa yang aku harus jawab, sama sekali tidak kepikiran untuk berbohong di hadapan lelaki ini. Apalagi Ibu dan Yani. Sepetinya kita hanya bisa menunggu amarahnya mereda. "Oh ... jadi kalian mau main diam-diaman?" Lelaki itu memilih duduk tepat di depan kami, "tapi mau sampai kapan?" Keadaan menjadi semakin hening karena beberapa pengunjung mulai fokus ke arah kita, sepertinya mereka sangat ingin tahu dengan urusan orang lain. Keringat mulai membasahi bajuku, sepertinya sebentar lagi baju ini akan basah. Aku lihat Ibu dan Yani pun sama, memang menakutkan. "Mas, saya mau menu yang paling mahal di sini, dong. Pake nasi, ya, jangan lupa dikemas dengan box," pintanya pada pelayan kafe. Aku dan Ibu saling tatap karena sama-sama punya firasat yang tidak baik setelah lelaki itu memesan. "Berapa, Pa
Qiera Awalnya keluarga Mas Yasa sangat baik padaku, terutama Bapak. Namun, semenjak kami pisah rumah, Mas Yasa mulai menunjukkan sikapnya. Suka marah-marah dalam segala hal, bahkan menyangkut hal kecil sekalipun. Hinaan dan kata-kata kasar menjadi makanan sehari-hari untukku. Ingin rasanya aku menyerah, tapi kembali ingat kalau setiap rumah tangga pasti akan ada ujian, apapun itu. Kalau tidak diuji keturunan, pasti ekonomi, kalau tidak keduanya, diuji dengan sikap suami dan anak-anak. Selama ini aku berusaha sabar, tapi sampai ketika Mas Yasa mengatakan ibunya dan adik ipar akan datang, aku menyerah. Aku memilih untuk pergi ke rumah orang tuaku dan bersantai sejenak dari kehidupan yang hanya aku lalui penuh luka dan air mata. "Jangan khawatir, Bapak tidak akan pernah membiarkan anak sebaik kamu terluka." Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu berusaha untuk menguatkan aku. "Nanti kalau dia berbuat macam-macam lagi, laporkan segera sama Bapak," lanjutnya. Aku hanya menganggu
Qiera Aku benar-benar puas dengan cara Bapak mertua mendidik istri dan anak-anaknya. Sebagai kepala rumah tangga memang harus tegas seperti itu. Apalagi jika sikapnya begitu semua. Aku saja rasanya sangat pusing. Ingin marah, tapi coba kutahan. Karena bagaimanapun mereka adalah suami dan mertuaku. "Kita gak akan bisa bernapas dengan tenang kalau Bapak ada di ini!" Tidak sengaja aku mendengar Mas Yasa berbicara, tapi di mana, dan apa yang mereka bicarakan jam dua belas malam begini. Aku berjalan pelan ke arah sumber suara yang kupikir ada di sebelah kiri, berarti mereka di dapur. Tapi aku salah, ternyata di dapur tidak ada apapun. Aku kembali ke depan pintu kamar dan mencoba untuk tenang dulu sambil memastikan mereka ada di mana. "Justru kita semakin akan dimarahi Bapak kalau masih ada Qiera, jadi sebaiknya kita berikan Qiera pelajaran dulu. Kalau tidak kunjung jera, terpaksa kita gunakan cara terkahir," jelas seorang wanita yang aku tahu ini adalah suara Ibu. Spontan tangan
KSIBP 13 "Tin! Tin!" "Tin! Tin!" Bunyi klakson terdengar bersahutan ketika aku mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi seperti pembalap. Sebenarnya aku punya trauma, makanya gak berani ngebut, tapi karena anakku sedang dalam bahaya, rasa takut ikut lenyap seketika, dan tergantikan dengan rasa berani tidak takut mati yang penting anak semangat. Beberapa mobil pun pada akhirnya ikut ngebut seperti aku. Sekarang bukan hanya trauma yang hilang, tapi kantuk juga musnah. "Abang takut gak Mama ngebut gini?" tanyaku pada bocah yang selalu melakukan apapun yang aku inginkan. Katanya dia ingin menjadi orang pertama yang bertahta di hatiku, yang kedua baru Zihan, adiknya. Anak kecil itu malah tersenyum lebar, lalu tertawa kecil. "Kenapa, Bang? Kok, malah ketawa?" Ingin aku melihat ekspresinya lebih lama, tapi untuk sekarang jalanan lebih harus aku perhatikan. "Apa jangan-jangan Abang takut?" "Enggak, dong, Ma. Mana mungkin Abang takut kalau Mama saja gak takut. Lucu, Mama ini." Ziro