Share

Bab 4

Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuatku membuka mata. Segera kulihat jam yang ada di samping, ternyata baru jam tujuh. Sepertinya sekarang sudah aman untuk aku keluar, semoga saja Qiera beli banyak bahan yang kemarin aku pesan.

 Usai mandi, aku kesulitan mencari baju yang akan aku pakai. Kucoba menekan beberapa angka di ponsel, yaitu nomor telepon Qiera, tapi tidak juga diangkat.

 Karena kesal, aku pun keluar kamar menuju tempat Qiera kemarin menyetrika banyak baju.  Namun, tetap saja baju yang aku cari tidak ada di tempat itu, bahkan di jemuran saja tidak ada.

 Kembali aku menelpon nomor Qiera, tapi dering ponselnya malah terdengar di dekatku. Segera aku mendekat ke arah cucian baju yang menimpuk, tempat bunyi ponsel terdengar.

 Ah, sial, ternyata dia tidak membawa ponselnya.

 Mau marah, tapi marah pada siapa. Jadi aku berinisiatif untuk mencari kaus kaki dan beberapa perlengkapan yang akan aku bawa di hari Kamis ini, tapi sialnya semua yang akan aku bawa tidak ketemu di manapun.

 Gila, masa iya Qiera menyembunyikan barang-barangku?

 Terpaksa hari ini aku memakai pakaian yang tidak seharusnya dan kaos kaki pun aku pakai bekas kemarin. Meksi sudah bau, tidak ada pilihan lain. Untung saja kemarin pintunya aku kunci, jadi Qiera tidak masuk, dan mengambil kaus kaki ini.

 Sebelum dipakai, sepasang kaus kaki ini aku semprot lebih dulu dengan minyak wangi yang banyak, baru bisa pergi dengan percaya diri. Untung saja aku pintar menyusun semuanya, kalau tidak, sudah pasti hari ini akan menjadi bahan tertawaan.

 ***

 "Kenapa baju yang anda pakai hari ini berbeda dari jadwal yang seharusnya?" Salsa menatapku dari atas sampai bawah.

 "Iya, Sa, maaf, ya. Masalahnya kemarin semua pakaian yang dijemur tekena hujan, jadinya gini." Aku mencari alasan.

 "Sa? Dia itu sekretaris saya. Panggil dia "Bu", "Ibu", atau Miss!" Bos gila itu muncul begitu saja dan menganggu kebersamaan kita.

 Dasar tidak tahu malu.

 "Iya, baik."

 "Terus kenapa hari ini baju kamu beda?" Bos itu kembali menatap baju yang aku gunakan. "Kebasahan pas dijemur?"

 "Iya, Pak, benar."

 "Alah, klise. Kamu itu kalau mau berbohong yang pintar, dong. Masa iya baju hari Kamis yang dipakai seminggu sekali baru dijemur kemarin, yang gila kamu atau saya?" Dia mulai meradang dan sikap gilanya keluar lagi.

 "Maaf, Pak."

 Aku hanya bisa mengatakan kata itu.

 "Maaf, maaf, memangnya maaf bisa mengubah segalanya? Enggak, Yasa. Kamu itu harus belajar disiplin! Bulan ini bonus kamu hanya akan diberikan setengahnya."

 Apa? Bonusnya cuman setengah?

 Aku berlari ke arah bos gila itu dan berdiri di depan pintu menghalanginya untuk masuk. "Saya mohon jangan seperti ini, Bos. Kebetulan bulan ini saya banyak keperluan, terutama anak saya sedang membutuhkan uang yang banyak untuk membeli susunya yang mahal. Di tambah istriku juga sedang membutuhkan suntikan dana, Bos. Kalau tidak, mungkin dia akan murung setiap hatinya," ucapku panjang lebar sambil mengeluarkan air mata buaya.

 Meksipun harus berbohong dengan membawa Qiera dan kedua anak itu, aku rela. Asalkan bonus bulan ini tidak dipotong. Terlebih siang ini Ibu dan adikku Yani akan datang, sudah pasti aku harus memberinya uang saku.

 "Istrimu butuh uang buat apa?" Ia kembali bertanya.

 "Banyak, Bos, katanya skincare-nya sudah habis. Susu anakku juga harus segera dibeli yang jumlahnya sangat mahal," jelasku dengan kebohongan yang semakin menjadi. Tentu saja demi bonus yang harus ada di tanganku dan bila perlu ditambah, bukan dikurangi.

 "Baik, tidak jadi saya potong. Tapi ingat, ini hanya untuk istri dan anak-anakmu, bukan untuk dirimu!" tegasnya penuh penekanan.

 ***

 "Sa, mau pulang bareng?" ajakku pada seorang gadis cantik yang selalu aku puja itu. 

 "Ti-tidak, terima kasih," tolaknya halus.

 "Baru keluar dari ruangan Pak Bos?" Aku kembali bertanya.

 "Iya." Ia menjawab tanpa melihatku. "Oh, iya, ini tempat bekalnya."

 Seperti biasa Salsa akan menyerahkan kotak bekal setiap aku pulang, karena aku memberikan bekal yang dibuatkan Qiera untuknya.

 "Jadi bekal yang diberikan Salsa untuk saya setiap hari itu dari kamu?" Suara bos gila itu mulai terdengar, seperti biasa dia suka tiba-tiba datang seperti ini, dan membuat kita terkejut.

  "Apa?" Aku menatap Salsa tidak senang.

 "Maaf, tapi Pak Bos selalu minta bekalnya sebelum saya makan." Salsa berbicara lirih.

 "Ya sudah, tidak apa. Toh, sudah terlanjur juga, kan?" Kini aku menatap Pak Bos gila ini. "Bagaimana Pak makanannya, enak?"

 Tidak ada salahnya jika aku memanfaatkan situasi, kan? Justru ini adalah hal yang bagus. Aku akan meminta bonus bulan ini ditambah.

 "Enak banget, istrimu jago masak juga, ya?" ucapnya memuji.

 "Wah, istri saya itu memang sangat ahli, Pak. Cuman sepertinya besok saya tidak akan membawa bekal lagi." Aku mulai berakting.

 "Loh, kenapa? Padahal masakannya enak banget."

 "Bahan-bahannya di rumah habis, Pak. Jadi, istri saya masak seadanya," ucapku pelan.

 "Kasih aja uang yang ada untuk istriku, nanti aku tambahkan bonusnya." Dia berbicara pelan, lalu kembali ke ruangannya.

 Sepertinya kali ini dia akan lembur lagi. Yes, akhirnya aku mendapatkan tambahan bonus lagi.

 ***

 "Yasa, kenapa kamu baru pulang?" Ibu langsung berteriak ketika melihatku turun dari mobil.

 "Aku kan kerja, Bu. Jam segini memang jadwal aku pulang, loh."

 "Kenapa di rumah sepi, ke mana anak dan istrimu?" Ibu kembali bertanya. Ke mana? Paling juga rebahan di kamar sambil makan makanan ringan. Benar, sudah pasti begitu.

 "Ada di dalam, berarti Ibu dan Yani belum makan?" 

 "Kamu sudah makan, tadi di meja ada banyak makanan, jadi kami langsung makan, dan menghabiskan semuanya." Yani menjawab tanpa dosa, padahal yang aku tanya Ibu.

 "Terus untuk aku?"

 "Suruh si Qiera masak lagi, lah!" bentak Ibu terdengar kesal, padahal aku yang seharusnya begitu.

 Aku masuk ke dalam rumah, tapi rasanya ada yang aneh.

 "Kenapa?" Ibu menatapku heran.

 "Aku merasa hari ini rumah terlihat bersih dan wangi?" tanyaku sambil mengendus sofa dan gorden. Wanginya.

 "Haruslah! Qiera kan seorang istri yang hanya diam di rumah, sudah seharusnya dia menjaga kebersihan rumah agar selalu wangi dan jauh dari kata berantakan." Ibu tersenyum bangga.

 Kalau saja Ibu tahu bagaimana kondisi rumah biasanya, sudah pasti akan memarahi Qiera habis-habisan.

 Sore ini aku tidak langsung masuk ke dalam kamar dan memilih untuk tiduran di sofa lebih lama untuk anak-anak tidak main di ruangan ini.

 Baru saja mata terpejam beberapa menit, aku langsung terbangun karena merasa ada yang aneh di sini. Tapi apa, ya? 

 Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, tiba-tiba saja aku haus, dan mengambil minum di dapur.

 Tanpa sengaja, aku melihat memo kecil berwarna kuning. Langsung saja aku ambil dan tubuhku lemas ketika membacanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status