Pagi harinya sesuai kesepakatan, Sapta datang ke kantor MLN Groub.Kantor yang dulunya adalah pesaing bisnisnya, kini akan menjadi tempat dia mengais rupiah demi menutupi kebutuhannya sehari harinya. Tatapan bingung, mencemooh, simpati, Sapta dapatkan dari banyaknya pekerja yang berpapasan tadi. Jika dia dulu masuk dengan setelah jas mahal, dan wajah angkuh kini ia harus membiasakan diri dengan menyapa beberapa orang di sekitarnya. Tidak papa, ini hanya permulaan. Semua yang ingin berkembang, pasti harus berani memulainya dengan berbagai resiko yang berbeda. "Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya seorang perempuan berhijab yang tak lain adalah sekretaris Galih. "Pak Galihnya ada?" "Ada, beliau baru saja tiba. Apakah bapak sudah membuat janji?" "Sudah, Pak Galih sendiri yang meminta saya untuk datang hari ini." "Baik Pak, kalau begitu silahkan duduk dulu!" Sapta menurut, dia duduk sambil mengamati ketika wanita berhijab itu begitu lincah dengan tablephone nya. Dia jadi teringa
Hallooo Adikkk...!" Suara riang Reina membuat mereka yang sedang duduk di ruang tamu menerka nerka. "Siapa sih sayang yang datang?" Tanya Hardian menyusul putrinya. "Loh Pak Sapta, tumben, udah lama sekali lo gak main ke sini. Mari silahkan masuk!" "Pak Galihnya ada Mas?""Ada Pak, kebetulan sedang santai di ruang tamu. Langsung masuk aja, silahkan Bu! sama siapa ini?" "Kalila Om," jawab bocah berkuncir dua itu. "Oh iya, makanya Reina senang sekali, ternyata kedatangan adiknya toh. Ayo Sayang adiknya diajak masuk ke dalam!" Sapta beserta istri dan cucunya mengekor langkah Hardian masuk ke dalam rumah."Loh Pak Sapta mari duduk, silahkan Bu!" Ujar Galih saat melihat siapa tamunya. "Maaf menganggu waktu bersantai anda bersama keluarga Pak," Ucap Sapta merasa tidak enak. "Tidak Pak, ini hanya kebetulan anak, cucu sedang berkunjung.""Iya Bu Lili, kok gak pernah main ke sini. Terakhir 3 bulan yang lalu kan? Sekarang bagaimana kabarnya?" Alina ikut bertanya. "Kabar baik Bu, hanya
"Ma, apa tidak papa jika kita meminta pekerjaan kepada pak Galih?" Liliana yang sedang menemani cucunya menonton televisi menoleh. Ditatapnya sang suami dengan prihatin. Mau bagaimana pun ia tidak bisa memaksa suaminya itu untuk kerja serabutan layaknya tukang atau kuli bangunan. Bahkan caranya saja dia tidak tahu. Ini adalah bulan ketiga Sapta menganggur, keseharian Liliana yang hanya membuat kue serta jajanan ringan untuk dititipkan di warung-warung ternyata tidak mampu menutup perekonomian mereka. Hasil penjualan rumahnya dulu, Sapta gunakan untuk menutup gaji para pegawai, dan membeli rumah kecil yang kini mereka huni. Sisanya dia simpan sebagi pegangan jika ada kebutuhan mendadak serta modal jualan sang istri. "Jika kamu tidak malu tak apa mas, kemarin juga pak Galih sudah menawarkan kepada kita kan? Namun aku juga tidak memaksa, karena di sini menyangkut harga dirimu juga." Jawab Liliana atas pertanyaan sang suami. Sapta terdiam, ia kembali menimang nimang keputusannya itu
"Mas Sapta," Sapta yang tengah terduduk dengan tatapan kosongnya seketika berbinar. Dicarinya dari mana suara itu berasal, hingga tatapannya terkunci pada sosok perempuan yang berhasil menjungkir balikkan hidupnya beberapa hari ini. Perempuan yang masih saja terlihat anggun di usianya yang menginjak kepala lima. Perempuan yang sedang menggendong seorang anak kecil yang kini telah kehilangan ibunya. "Li, kamu kembali?" tanya Sapta ragu. Galih yang merasa tidak berhak mendengar pun pamit undur diri, begitu juga dengan Hardian dan Adinda. "Kami pamit ya pak," Sapta tidak menggubris, fokusnya masih kepada kedatangan istrinya. "Terimakasih ya Bapak, ibu, nak." Melihat tidak ada respon dari suaminya, akhirnya Liliana yang menjawab. Setelah Galih dan sekeluarga pulang, keadaan rumah kembali sepi. Apalagi jenazah sudah dimakamkan tadi pagi. Hanya saja kedua orang tua Laura yang belum datang sekedar melihat anaknya untuk yang terakhir kali. "Li, kamu kembali?" "Iya mas."
"Braaakkkk" Pintu utama terbuka dengan kasar. Hardian berlari menuju tempat dimana istri dan anak anaknya berada. "Sayang are you okay?" "Mas kamu udah pulang?" tanya Dinda masih dengan pipi yang basah dengan air mata. "Aku pulang setelah melihat berita di televisi. Kamu nangis?" Pertanyaan Hardian berhasil membuat dua bocah yang sedang asyik bermain itu menoleh. "Bunda nangis?" "Enggak kok nak, ini bunda hanya kelilipan aja." Bohong Dinda. Mendengar jawaban bundanya, mereka fokus kepada itu mainannya lagi. Sedangkan Hardian duduk di sebelah sang istri. "Kamu kenapa hem?" "Aku gakpapa mas, aku cuma sedang takut aja. Melihat tingkah mas Hendra, sebenarnya aku khawatir dengan masa depan mereka." Hardian mengangguk paham. Diraihnya tangan sang istri, "aku kan udah bilang beberapa kali sama kamu, mereka itu anak-anaku. Aku yang akan mendidiknya kelak dengan caraku. Cukup kamu doakan saja yang terbaik untuk mereka, kamu tidak lupakan? bahwa doa seorang ibu itu dahsyatnya bisa
"Apa yang kamu katakan? Kamu membandingkan ibu dengan perempuan yang tidak jelas asal usulnya itu?""Aku lelah bu, ingin beristirahat." Diana mendengus, ia tahu jika putranya itu mencoba mengusirnya dengan cara halus. "Okeee, ibu akan pulang. Mungkin mampir ke kentor sebentar, memastikan jika semuanya baik-baik saja." Ucap Diana sambil berlalu keluar dari ruangan. Sapta memandang punggung ibunya yang menghilang dibalik tertutupnya pintu. Sebagai anak kandung saja, ia mengakui jika ibunya itu bermulut tajam. Berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain. **********Diana masuk ke dalam kantor dengan angkuh. Wajahnya ia tonggakkan, mengabaikan setiap sapaan karyawan. "Selamat siang bu Diana, lama tidak berjumpa." Sapa Karen, sekretaris Hendra. "Masuk! ada yang ingin saya bicarakan kepadamu." "Baik bu," Wanita berpakaian ketat itu mengikuti langkah Diana ke dalam ruangan. "Ada yang bisa saya bantu bu Diana?""Apakah ada keluhan tentang perusahaan?" tanya Diana to the point. "E