Home / Romansa / KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU / 3. SUASANA HATI YANG BURUK

Share

3. SUASANA HATI YANG BURUK

last update Last Updated: 2024-09-17 21:45:40

PLAAAKKKKKK ...

Tamparan keras mendarat di pipi Rania. Saking kencangnya, sampai meninggalkan bekas merah di sana.

Rania menyentuh pipinya yang terasa nyeri, seraya menyeringai kecil.

"Sudah, Jeng Vera, cukup. Jangan, dilanjutkan. Kasian Rania, Jeng." kata wanita itu, mencoba untuk melerai pertikaian antara Vera dan Rania. Dia merasa tidak enak hati, melihat pasangan ibu dan anak itu saling melukai.

Lagi-lagi Rania tersenyum miring. "Enggak usah masang muka polos kayak gitu, Tan. Aku udah tahu, pikiran kotor kalian. Tante, membeliku, untuk dijadikan budak di club malam kan? Iya kan, Tante?" sungutnya, memberi tuduhan yang tidak dilandasi bukti kuat.

"RANIA! CUKUP!" teriak Vera kembali.

Lama-lama dia muak dengan perkataan Rania yang kurang ajar.

"Berhenti berpikir yang bukan-bukan! Minta maaf cepat, ke Tante Desi!" Vera meninggikan suaranya.

Alih-alih menuruti perintah Vera, Rania malah menyelengos, memasang wajah tidak sedap dipandang. Setelah itu, dia lari begitu saja dari ruangan tersebut, tanpa mengatakan apa-apa.

"Rania! Kembali kamu! Dasar anak tidak tahu diuntung!" teriak Vera, sampai urat-urat lehernya menegang saking kesal dan marah kepada putri sambungnya itu.

"Sudah, Jeng. Jangan marah lagi. Biarkan Rania menenangkan dirinya dulu. Mungkin, Rania belum siap dengan perjodohan ini," kata Desi, berusaha menenangkan Vera yang emosinya sedang meluap-luap itu.

Dada Vera naik turun. Dia benar-benar malu di depan Desi, atas sikap Rania yang keras kepala itu.

"Maafin aku ya, Jeng. Kamu harus lihat kejadian kayak gini. Padahal niat kamu baik, cuma ingin menjodohkan dia dengan anakmu." Vera mulai tenang, setelah berhasil mengendalikan pikirannya, yang sempat kehilangan ketenangan itu.

"Iya, Jeng. Enggak apa-apa. Aku bisa maklumin kok. Bukan kamu aja, Jeng, yang ngadepin sikap keras kepala anak-anak. Aku pun sering berdebat dengan anakku," tutur Desi, yang juga mulai enjoy kembali, setelah sempat ikut merasakan ketegangan tadi.

Vera menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. "Makasih ya, Jeng, atas pengertiannya. Rania memang gitu, sifat keras kepalanya susah dihilangkan. Dia juga susah diatur. Makanya, saya sering marah-marah, kalau ngomong sama dia."

Vera tidak ragu untuk mengungkapkan kelakuan Rania di hadapan Desi.

"Santai aja, Jeng. Jangan buru-buru. Aku sudah melihat Rania. Dia anak yang baik sebenarnya. Perjodohan ini tetap dilanjutkan, Jeng. Kamu tenang aja. Sekarang, kita tinggal mengatur waktu, supaya Rania bisa bertemu dengan anakku."

Perkataan Desi, membawa angin segar bagi Vera. Dia sempat cemas, Desi akan mengubah keputusannya, setelah melihat sikap tidak dewasa Rania.

"Aduh, makasih banget, Jeng Desi. Aku sebagai walinya Rania sekarang, merasa sangat senang dan bersyukur. Jeng Desi, masih mau melanjutkan perjodohan ini."

Desi mengulas senyuman kecil. "Tenang aja, Jeng. Perjodohan ini tetap dilanjutkan dan pernikahan keduanya akan tetap berjalan, sesuai yang kita sepakati bersama. Aku yakin, Rania akan menerima semua ini, cepat atau lambat."

"Amiin. Semoga aja ya, Jeng dan anakmu bisa menerima Rania."

***

Hari berikutnya. Rania pergi sekolah lebih awal dari biasanya. Bahkan dia tidak sarapan. Alasannya karena malas harus kontak mata dengan Vera.

Rania turun dari angkot. Padahal di rumahnya ada mobil serta supir. Namun, Rania enggan menikmati pasilitas tersebut, setelah Ayahnya tiada.

Vera selalu mengungkit soal gaji supir dan ART, kalau dirinya menikmati pasilitas.

Gadis beli berseragam putih abu-abu itu, lantas mengayunkan kakinya melewati gerbang, memasuki halaman sekolah.

"Woi, Rania tralalala!" panggil seseorang dari arah belakang.

Dari cara panggilan itu, Rania langsung mengenali sosok yang baru saja menyapanya.

Dia berbalik badan dan memasang wajah datar, lantaran suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sejak kemarin.

"Apaan si? Enggak usah pake tralalala gitu. Nama gue, Rania Mikaila Putri!" tegas gadis mungil delapan belas tahun itu, sedikit protes dan kesal, sebab temannya memanggilnya dengan seenak jidat.

"Hahaha, iya, iya. Enggak usah sewot kayak gitu juga kali. Gue juga tahu, nama lu tuh, Rania Mikaila Putri."

"Nah, itu tempe," jawab Rania masih dengan nada ketus. Kemudian, dia kembali mengayunkan kakinya.

"Gue, tebak. Lu, pasti lagi bad mood ya?"

"Hooh. Biasalah. Si Nenek Sihir itu, selalu aja bikin bad mood," aku Rania dengan nada malas.

Malas berkata panjang lebar.

"Kali ini, apa lagi yang dilakuin tuh si Nenek Sihir, ke lu? Sampai-sampai mood lu kayak gini?" tanya Eva, penasaran.

Ya, gadis belia berseragam putih abu-abu dan usianya sebaya dengan Rania itu, bernama Eva Sari. Biasa dipanggil Eva.

Rania pun menghela napas panjang, "dia ngajak Tante-tante ke rumah. Terus, tuh si Tante-tante bilang. Kalau dia mau jadiin gue menantu ..."

"Lah, gue langsung marah dong. Emang dia kira gue cewek apaan, semudah itu buat dijadiin menantu? Terus gue debat, akhirnya gue kena tampar si Nenek Sihir," beber Rania diiringi helaan napas.

"Seriusan? Dia nampar lu?" Eva menghentikan langkahnya, tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

Rania mengangguk satu kali, sebelum akhirnya mengayunkan kakinya kembali.

"Wah, parah itu. Bisa kena pasal kekerasan dalam rumah tangga. Lu bisa nuntut tuh. Apa lagi, tuh Tante-tante niat buat jadiin lu menantunya. Jangan-jangan, lu udah dijual tuh sama si Nenek Sihir ke Tante-tante itu. Makanya dia bilang kayak gitu. Dih, ngeri amat ya," cerocos Eva, ke sana kemari.

"Gue yakin, si Nenek Sihir sama Tante-tante itu, udah ngerencanain sesuatu buat lu ..."

Suasana hati Rania sudah terbakar sejak kemarin, kemudian ditambah Eva menyiraminya dengan minyak tanah. Alhasil, makin menjadi-jadi luapan emosi Rania.

"Woi, Rania tralalala! Tunggu gue!"

Rania memilih untuk mengayunkan kakinya saja, dari pada harus terus-menerus mendengarkan ocehan Eva yang semakin ngawur.

TIIITTT!

Seseorang dengan sepeda motornya, tiba-tiba mengerem mendadak, tepat di depan Rania. Jaraknya hanya beberapa sentimeter saja.

"Rania awas!" teriak Eva sangat keras.

Rania terkejut bukan main. Hanya kurang beberapa detik saja, dia hampir berakhir di rumah sakit.

"Woi, bangsat! Punya mata enggak lu!" Rania yang memang sudah emosi, kini semakin menjadi-jadi.

Dia membusungkan dada serta wajahnya, saat berbicara dengan pengendara motor yang masih mengenakan helm itu.

"Lu, mau bikin gue mati ah! Dasar bangsat lu!" Selain berteriak dan memaki, Rania juga memukul body depan motor itu cukup keras.

Remaja belia yang ada di atas motor itu, lantas membuka helmnya. Dia mengibaskan rambutnya, sehingga terlihat keren di mata para cewek-cewek yang kebetulan berada di area tersebut.

"Ran, liat deh. Ganteng banget dia," bisik Eva sambil bergelayut di tangan Rania.

"Apaan si, enggak usah lebay deh!" Rania mendorong Eva, sehingga temannya itu tidak lagi menempel seperti anak monyet.

"Dih, jangan marah gitu. Kenyataannya dia emang ganteng banget, Ran. Masa si, lu enggak bisa lihat?"

"Enggak!" tegas Rania, tidak bisa diganggu gugat.

"Tadi lu bilang apa? Gue, mau bikin lu mati?" Pemuda itu akhirnya angkat bicara. Dia menanyai Rania, yang sempat marah-marah tadi.

"Hooh! Kan emang benar. Lu pengen gue mati di sini!" sungut Rania seraya berkacak pinggang.

Remaja ganteng yang belum diketahui namanya itu, menyelengos. Sorot matanya terlihat jeles dan menganggap perkataan lawan bicaranya hanyalah bualan semata.

"Alah ... Engga usah lebay lah. Lu sendiri yang jalan enggak pake mata. Udah, tahu gue mau lewat sini, masih aja lu jalan. Dalam hal ini, bukan gue salah. Sudah jelas, lu yang salah!" tegas pemuda itu, membela dirinya sendiri.

Tentu ia mengelak dan tidak mau disalahkan

Rania semakin murka. Wajahnya yang semula merah padam, kini menjadi kelabu. Dia mengepalkan kedua tangannya, sangat-sangat marah.

BRUK!

Rania mendorong helm itu, sehingga jatuh berguling-guling di tanah.

"Woi! Lu punya masalah apa si sama gue, ah?" teriaknya sewot.

Rania menjulurkan lidahnya, balik meledek remaja belia itu. Setelahnya, Rania melenggang pergi.

"Woi, cewek aneh! Minta maaf enggak lu!" Pemuda itu kembali berteriak. Namun, Rania tidak menggubrisnya.

Dia hanya menoleh, sebelum akhirnya kembali berjalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
heheheee kyknya ini nih calon suami dingin bak es kutub ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    ERLAN & RANIA [65]

    "Ayo, pulang bareng gue!" tegas Erlan, disertai tatapan tajam. Tangan kanannya mencengkram pergelangan tangan Rania."Enggak!""Gue, enggak mau pulang bareng lu!" Rania menarik tangannya dengan kasar, sekuat tenaga, sehingga bisa lepas dari cengkraman Erlan."Gue, bakalan pulang bareng Pak Ravi!" tegasnya, lalu meraih tangan Ravi dan menjauh dari Erlan.Tepat detik itu juga, waktu seakan berjalan lambat. Erlan bisa merasakan dan melihat, bagaimana Rania melepaskan tangannya, lalu meraih tangan pria lain tepat di depan matanya.Perasaan aneh, menerobos dengan kuas, masuk ke dalam hati kecilnya.Mungkinkah itu rasa cemburu?Mungkin juga perasaan marah. Marah karena wanitanya rela pergi dengan pria lain, tepat di depan matanya."Ayo, Pak!" ajak Rania, sembari menunjukkan senyuman sinis terhadap Erlan. Ravi tersenyum simpul, "baik. Mari!" Tentu ia bersemangat dalam hal ini. Bisa dikatakan, sangat menanti. Namun, sebelum Rania bisa melangkah lebih jauh, Erlan kembali meraih tangannya."L

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    ERLAN & RANIA [64]

    Rania kembali ke kelas. Ingin rasanya ia pergi dari sekolah ini, bila perlu pindah dari planet Bumi, menetap di planet lain jika memungkinkan agar bisa jauh dari tatapan mereka, yang menatapnya heran. Berulang kali, Rania menghela napas panjang. Dia berjalan menuju tempat duduknya. Eva dengan setia menemani. Namun, gadis cantik delapan belas tahun itu, memiliki jutaan pertanyaan yang terus mengusik pikirannya."Lu, enggak apa-apa kan, Ran?" tanya Eva memastikan. Tampak oleh netranya, Rania terus saja menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahnya, dari semua pasang mata. Eva menyentuh bahu sahabatnya. Rania berusaha untuk menunjukkan senyuman yang sangat dipaksakan."Gue enggak apa-apa," jawabnya, berusaha tenang dan bersikap biasa-biasa saja, seolah apa yang baru saja terjadi, tidak pernah ada."Gue tahu lu, Ran. Gue bisa ngerasain apa yang saat ini lu rasain. Gue siap buat dengerin semua cerita lu, Ran.""Thanks, Va, tapi gue beneran, baik-baik aja kok," jawab Rania, kemudian memali

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    ERLAN & RANIA [63]

    Rania dan Eva akhirnya berdiri di pinggir lapangan basket. Sorot mata Rania tidak bisa lepas dari sosok pemuda sembilan belas tahun, berstatus suaminya itu. "Ran, kok gue takut kalau Erlan bakalan bikin si Andri kenapa-kenapa?" bisik Eva, tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya, saat melihat sorot mata Erlan yang begitu tajam."Bukan lu aja yang gemas. Gue juga ikut takut. Lu, mungkin belum kenal Erlan gimana, tapi gue udah kenal watak dia. Mungkin dari luarnya aja, kelihatan kalem, tapi aslinya enggak sekalem yang terlihat."Helaan napas, lolos begitu saja dari mulut Rania. Eva menaikkan sebelah alisnya, mencoba mengartikan maksud ucapan Rania secara detail.Sementara itu. Erlan dan Andri sudah saling menatap tajam satu sama lain. Para gadis terus bersorak, menyebut nama Erlan. Tidak sedikit juga yang memberi semangat kepada Andri."Lu, maju duluan," ucap Andri penuh percaya diri.Erlan menyeringai kecil. "Mending lu aja yang duluan. Gue takut, kalau gue duluan, lu bakalan tumbang du

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    ERLAN & RANIA [62]

    Hari berikutnya di sekolah.Sesampainya di sekolah, Eva langsung menghadang setibanya Rania di kelas."Kenapa baru sampe?" tanya Eva, tak bisa menyembunyikan kecemasan dari wajahnya."Itu ..." Sebelum Rania bisa menjelaskan, Eva sudah lebih dulu menarik tangannya. "Lu, mau ngajak gue kemana?" Rania merasa heran. Tiba-tiba Eva mengajaknya ke suatu tempat tanpa adanya penjelasan.Jangan-jangan?"Udah, lu diem aja. Entar juga lu tahu sendiri," kata Eva, terus menarik Rania.Mendadak firasat Rania menjadi buruk. Masih hangat dalam ingatannya, kejadian di hari itu, tentang scandal yang terjadi antara dirinya, Erlan dan Dokter Ravi. Hal tersebut, mambuat satu sekolah heboh. Tidak sedikit yang mengucilkan Rania. Namun, ia memilih untuk tidak memusingkan tentang berita tersebut. Toh, faktanya ia memang istrinya Erlan. Sah, secara hukum dan agama."Kita mau ngapain ke lapangan basket?" tanya Rania semakin keheranan, lantaran Eva menariknya menuju GOR olahraga.Di dalam GOR, ternyata sudah di

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    ERLAN & RANIA [61]

    "Mau pergi kemana?" tanya Erlan tanpa berkedip."Apa?" Rania mengejap cepat. Mendadak, kepalanya merasa kosong. Posisinya yang berada di atas pangkuan Erlan, membuat suasana menjadi sangat canggung. "Gue tanya. Kenapa lu balik tanya?" Erlan masih bisa mengendalikan pikirannya, sehingga bersikap datar dan biasa-biasa saja. Sementara Rania masih terpaku hingga beberapa saat kemudian.Menyadari hal aneh, Rania buru-buru beranjak bangun."Dasar cowok mesum," tuduhnya bernada sewot, memalingkan wajahnya menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.Erlan mengerutkan kening. "Lu bilang apa barusan? Gue mesum?"Kemudian beranjak bangun. "Lu aja kali yang mesum."Rania berbalik badan, menatap tajam suaminya. Deg ...Semula ingin marah, tetapi amarah itu berganti perasaan aneh saat tatapannya dan Erlan bertemu dalam satu garis lurus."Lu mau apa?" Erlan yang gemas dengan tingkah polos Rania, langsung saja menarik pinggang mungil istrinya.Kedua mata Rania seolah ingin melompat dari tempatnya.

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    ERLAN & RANIA [60]

    Di tempat terpisah, masih di hari yang sama. Di dekat pusat perbelanjaan. Sosok gadis belia, cantik, memakai jaket model jins, sedang berjalan mengendap-endap, selayaknya maling yang sedang memantau area sekitar.Dia tampak waspada. Melihat kiri kanan. Dirasa aman, dia mempercepat langkahnya. Tiba-tiba ...Bruk ...Dia menabrak seseorang karena fokusnya memang tidak ke depan.Kedua matanya terbelalak, ingin melompat keluar. "Er ... Er-lan ..." Bibirnya terbata saat menyebut nama sosok remaja tampan yang tak sengaja ditabraknya itu."Lu, enggak bisa pergi kemana-mana lagi, Fun!" Erlan menatap tajam, sekaligus menggenggam erat pergelangan tangan gadis itu, sebelum ia bisa kabur.||•||10 menit yang lalu.Di kafe, yang lokasinya di dekat pusat perbelanjaan. "Ini, uang muka buat kalian." Funny, remaja cantik 19 tahun itu, menatap tajam. Tangannya menggenggam sebuah amplop coklat, yang cukup tebal isinya. "Gue mau, kalian bikin celaka Erlan, bagaimanapun juga caranya. Gue benci yang nam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status