Rania tinggal bersama Ibu Tirinya yang kejam. Suka memerintah seenak jidat. Bahkan dia memaksa Rania untuk menikah diusianya yang masih belia. Vera menginginkan Rania menikah dengan anak temannya, semata-mata demi mendapatkan uang maskawin yang diberikan. Rania terpaksa menikah dengan Erlan. Ketua OSIS sekaligus geng motor yang ditakuti. Di lain sisi, Rania pun dicintai oleh Ravi, Dokter ganteng yang dulu merawat Ayahnya Rania ketika sakit. Lantas seperti apa kehidupan Rania? Akankah dia tetap mempertahankan pernikahannya dengan Erlan atau berpaling kepada Ravi?
View More"Ini uang lima puluh ribu! Kamu pergi ke pasar, beli daging, telor, sayur, ikan, cabe, bawang, pake uang ini!" tegas wanita itu, seraya memberikan uang kertas pecahan lima puluh ribu, kepada seorang gadis belia, berstatus anak dari mendiang suaminya.
"Apa? Belanja sebanyak itu, cuma dikasih lima puluh ribu?" Rania Mikaila, yang biasa dipanggil Rania pun menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Di tangannya sekarang, ada uang lima puluh ribu. Wanita dewasa yang lebih pantas disebut Nenek sihir itu, berstatus ibu di atas kertas baginya. Ia memberikan uang tersebut untuk membeli keperluan dapur. Ongkos ke pasarnya saja sepuluh ribu, untuk satu kali balik. Kalau bolak balik, berarti dua puluh ribu, sisa tiga puluh ribu, sedangkan uang yang diberikan lima puluh ribu dan harus bisa membeli daging, telur dan lainnya. Wanita itu masih waras atau sudah kelewat gila? "Iya! Memangnya kenapa dengan uang segitu? Bukankah cukup untuk membeli daging, telur dan lainnya? Kamu kan pintar ... Seharusnya kamu bisa menggunakan uang ini untuk membeli keperluan dapur. Mengerti?" Rania kembali memandangi uang kertas berwarna biru itu. Membeli daging, telur, sayuran dan lainnya, dengan uang lima puluh ribu, bagaimana bisa? Harga daging saja sudah seratus ribu lebih. Belum lagi, telur, satu kilonya saja sudah tiga puluh ribu, lalu sayuran, cabai, bawang dan lainnya. Saat ini harga bahan pokok sedang naik semua. Apa bisa, memenuhi kebutuhan dapur hanya dengan uang pas-pasan? Bukan pas, melainkan kurang banyak. Rania bertanya-tanya, sebenarnya wanita yang dipanggilnya ibu itu, ingin dirinya berbelanja atau merampok di pasar? Banyak maunya, tapi enggan untuk keluar modal. "Rania!" teriaknya keras. Rania tersadar dari lamunan. Memasang wajah datar dan masih terperangah. Isi kepalanya sedang berputar, mencari cara untuk memecahkan masalah ini. Bisa kah uang ini disobek-sobek, lalu diberikan ke pedagang di pasar, untuk ditukarkan daging dan bahan pokok lainnya? "Jangan diam aja! Sudah sana pergi ke pasar, mumpung masih pagi! Sayurannya juga pasti masih segar-segar!" perintahnya semudah membalikkan telapak tangan. "Satu hal lagi. Kalau masih ada sisanya, kamu beli kopi ya. Stok kopi di rumah sudah habis!" "Lagi?" Rania menganga untuk yang kedua kalinya. "Iya. Memangnya kenapa? Seharusnya uang segitu masih ada lebihnya, kalau kamu bisa menggunakan uang itu dengan baik!" tunjuknya pada selembar uang pecahan lima puluh ribu yang ada di tangan Rania. "Daging saja harganya seratus ribu. Sedangkan uang yang kubawa lima puluh ribu. Sebenarnya ibu ingin aku belanja, atau merampok bank?" Rania kehabisan kata-kata. Tidak tahu jalan pikiran ibunya seperti apa? Mungkin beli tahu tempe dan sayur, masih cukup dengan uang lima puluh ribu. Sedangkan yang dimau adalah membeli daging. Apa harus dirobek menjadi dua bagian terlebih dahulu kah, supaya nominalnya berubah menjadi seratus ribu? "Itu, bukan urusan ibu! Pokoknya kamu pulang harus mambwa daging, telor, sayur dan lainnya. Titik!" Selepas berkata demikian, dia langsung pergi. Meninggalkan Rania yang masih terpaku di posisinya. Memikirkan bagaimana caranya mendapatkan daging dengan uang lima puluh ribu saja, sudah membuat kepalanya pusing. Apa lagi harus membeli keperluan lainnya, makin tampah pusing kepalanya. Seperti balon yang sewaktu-waktu bisa saja pecah tanpa terduga. Rania menghela napas panjang. "Seandainya Ayah masih hidup, mungkin aku tidak akan bernasib sial seperti ini ..." "Dia tidak pantas disebut seorang ibu, lebih pantas disebut Mak Lampir. Nenek Sihir. Wewe Gombel, atau semacamnya. Pokoknya lebih serem dari mereka," cibirnya cukup keras. "Seandainya wanita iblis itu, masih ada di sini, mungkin ia akan mengamuk seperti gajah yang kelaparan," lanjutnya mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi tertahan di dalam hati. "Kenapa, Ayah mau nikah sama perempuan jahanam kayak dia si? Percuma punya rumah besar, kalau di dalamnya seperti berada di neraka!" Huft ... Rania merasa sangat emosional saat ini. Ingin kabur detik ini juga. Akan tetapi, kemana dia harus pergi? Ia tidak lagi memiliki siapa-siapa. Orang tua kandungnya sudah tiada semua. "Hei, anak pemalas! Kenapa belum jalan? Cepat sana pergi ke pasar!" perintah wanita itu dari lantai dua. Rania mendongak, "iya, Nenek Sihir, bawel!" jawabnya penuh kekesalan. Setelah mengatai wanita itu dengan sebutan 'Nenek Sihir' barulah Rania melenggang pergi. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini. *** DUA JAM KEMUDIAN. Rania sudah keluar dari pasar. Dia membawa tas belanja yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam tas jinjing itu, sudah ada beberapa keperluan dapur yang berhasil ia dapatkan. Ketimbang harus memikirkan semua keinginan Nenek Sihir itu, Rania lebih memilih membeli bahan pokok yang benar-benar diperlukannya. Tidak perlu mahal, asalkan bisa membuat perut kenyang. Itu sudah lebih dari cukup. "Mana ya angkotnya?" Rania melihat sisi kiri dari posisinya berdiri. Sudah lebih lima belas menit dia berdiri di sana, menunggu angkot yang tak kunjung lewat. Jalan kaki pun percuma. Jarak dari pasar ke rumahnya cukup jauh. Lebih dari tiga puluh menit dengan naik angkot. Itupun jika angkotnya tidak berhenti lama menunggu penumpang. Istilahnya 'ngetem'. BRUSSSHH! Mobil sport mewah melaju cepat. Pagi ini turun hujan cukup deras, sehingga ada genangan air tepat tidak jauh dari tempat Rania berdiri. Bekas genangan itu menyembur cukup kuat, hingga membuat baju Rania basah dan kotor setelahnya. "Woi! Orang gila! Punya mata enggak! Kencang aja bawa mobilnya!" teriak Rania mengomel. Tidak terima, pakaiannya menjadi basah dan kotor akibat genangan air yang menyiprat tadi. "Gue juga punya mobil! Enggak gitu-gitu juga kali bawa mobilnya!" "Gue, sumpahin. Biar nabrak pohon lu! Biar lu enggak bisa lagi nyetir!" Sudah saking kesalnya, sumpah pun terucap, lolos begitu saja tanpa cela dari mulutnya. Sedangkan mobil yang tadi ngebut itu, telah hilang dari pandangan. Pengemudinya pasti tidak tahu, bahwa ia telah mendapat sumpah buruk dari seorang gadis yang teraniaya. Suasana hati Rania sedang buruk saat ini. Apapun yang keluar dari mulutnya, adalah bentuk kekesalan. Selang beberapa menit, mobil angkot yang ditunggu-tunggu pun muncul juga. Kalau lagi apes, memang begitu. Kudu marah-marah dulu, baru hilang kesalnya. *** Sesampainya di rumah. Rania langsung memberikan tas belanjanya kepada wanita berstatus ibu di atas kertas itu. "Apa ini?!" Kali ini giliran wanita itu yang melotot. Tas belanja itu ia banting, sehingga isinya keluar sebagian. "Ibu minta kamu beli daging kan? Terus mana dagingnya? Kenapa kamu beli tahu?" teriaknya sangat keras, sampai urat-urat lehernya menegang. "Tahu juga kan daging ... Daging tanpa tulang ..." Rania tersenyum kecil dan menjawab dengan enteng. "Kalau ibu ingin makan telur. Makan aja tuh telor cicak. Aku udah beli ni." Kemudian dia mengeluarkan satu bungkus permen warna warni, yang bentuknya menyerupai bentuk telur cicak. BRAK! Dia menepis tangan Rania cukup keras, sehingga permen itu terlepas, terlempar dan jatuh ke lantai. Rania berdengus kesal. Matanya melotot untuk yang kesekian kalinya di pagi ini. "Kamu jangan bercanda! Ibu berikan uang itu, untuk kamu belanja! Bukan untuk main-main!" Dia membentak dan memarahi putri sambungnya itu. Rania diam. Padahal dia sudah capek-capek pergi ke pasar untuk membeli keperluan dapur, bukannya disambut dengan baik, malah dimarahi, seolah-olah dalam hal ini, dirinya yang paling bersalah. "Terserah ibu saja lah! Aku sudah pusing, mendengar keinginan gila ibu! Sebaiknya aku ke kamar dan mengganti bajuku yang kotor!" Rania menulikan pendengarannya dan melenggang pergi. Kepalanya bisa-bisa pecah beneran, kalau terus-terusan ada di dekat ibunya. "Sungguh, sial sekali nasibku hari ini. Disuruh beli daging, pake uang lima puluh ribu. Sudah dibelikan daging, malah dimarahi. Sebenarnya di mana letak kesalahanku, Ya Tuhan?" Dia menggerutu sepanjang jalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. "Ya Tuhan. Semoga Mak Lampir itu, cepat mendapatkan hidayah atau setidaknya berikan dia otak untuk berpikir," kata Rania sengaja meninggikan suaranya, supaya wanita itu dapat mendengarnya. "Apa katamu? Kamu kira, ibumu ini tidak memiliki otak, ah?" Rania berbalik badan, "ups ... Jadi, ibu mendengar perkataanku." Dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sengaja mengejek ibu tirinya. "Ya, bagus deh. Kalau ibu denger. Seenggaknya aku enggak ngomongin ibu di belakang, tapi di depan. Hahaha." Dia tertawa keras, seraya mengayunkan kakinya, menaiki anak-anak tangga. Suasana hatinya sedikit lega dan puas, saat melihat wajah kesal ibu tirinya.Rania pun sampai rumah sebelum Maghrib. Hanya dirinya, sedangkan Erlan belum menunjukkan batang hidungnya, padahal dari sekolah, keduanya pulang bersama.Langkah Rania terhenti di ruang tamu, tepat saat kedua matanya menangkap sosok wanita dewasa yang baru saja beranjak bangun dari sofa.Rania hampir menjatuhkan buku yang dibawanya, saking tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Dia seperti kehilangan lima persen kesadarannya. "Kamu sudah pulang, Sayang?" tanya Desi, tersenyum sumringah menyambut kedatangan Rania seperti biasa."Lihat, Sayang. Ibu kamu datang. Dia ingin bertemu kamu." Desi kembali berkata dengan antusias, seraya menghampiri Rania yang masih terpaku di tempatnya.Desi menggenggam tangan Rania dan diiringi full senyuman. Sementara Rania tidak menunjukkan ekspresi senang atau bahagia, malah terkesan bingung. Hati dan pikirannya tidak bisa menerima ini. "Katanya kamu kangen Ibu kan? Nah, Vera datang untuk bertemu kamu, Sayang. Ayo, temui dia," ajaknya kemudian.
Entah dari mana Erlan datang. Kedatangannya mengejutkan Rania dan Ravi.Dia secara terang-terangan mendorong hadiah tersebut dengan kasar sehingga jatuh ke tanah. Ravi terperangah untuk beberapa saat."Erlan?" Rania tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sedangkan Ravi masih diam."Erlan ... Ka-mu di si-sini. Bagaimana bi-sa?" tanya Rania terbata-bata. Wajah ketakutan tidak bisa dia sembunyikan, persis maling yang kepergok habis mencuri ayam warga.Erlan tidak menjawab, dia langsung menarik pergelangan tangan Rania sambil menjatuhkan tatapan tajam penuh kemarahan, yang bisa Rania rasakan."Tunggu!" Ravi menahan tangan Erlan yang satunya.Dia yang merasa tidak bersalah, malah sedikit kesal karena hadiahnya dibanting tanpa sebab, tampak menatap Erlan penuh tanda tanya."Minggir dari jalan gue!" tegas Erlan tanpa menyembunyikan kemarahannya."Maaf? Apa salah saya sampai-sampai kamu menjatuhkan hadiah saya?" tanya Ravi polos. Dia bukannya tidak ingat, tetapi Ravi merasa harus mengeta
"Ni! Ganti plester di jidat lu!" kata Rania sambil menyodorkan sebuah plester yang masih terbungkus rapih.Erlan melihatnya sekilas, kembali membuang pandangannya. "Gue enggak perlu itu!" tegasnya seraya mengibaskan tangan."Enggak usah sok perhatian! Gue enggak butuh. Pergi sana!" tegasnya lagi, tanpa melirik Rania.Rania masih berada di posisinya, tampak menghela napas panjang. "Mommy yang suruh gue buat kasih ini ke lu!"Erlan tak menggubrisnya. Tetap memalingkan wajahnya, seolah-olah Rania tidak ada di sana.Rania kembali menghela napas panjang. Sepagi ini, dia harus meredam emosinya, demi satu cowok ngeselin yang keras kepala. Seandainya bukan karena permintaan Desi, Rania sangat tidak mungkin memberikan sesuatu kepada cowok. Rania meletakkan plester itu di atas meja dan sedikit menggebraknya."Ni, plaster! Terserah lu mau pake atau enggak! Gue cuma ngejalanin apa yang seharusnya gue jalanin!" Selanjutnya dia melenggang pergi dari sana. Kembali duduk di kursinya. Tindakannya me
"Ni! Ganti plester di jidat lu!" kata Rania sambil menyodorkan sebuah plester yang masih terbungkus rapih.Erlan melihatnya sekilas, kembali membuang pandangannya. "Gue enggak perlu itu!" tegasnya seraya mengibaskan tangan."Enggak usah sok perhatian! Gue enggak butuh. Pergi sana!" tegasnya lagi, tanpa melirik Rania.Rania masih berada di posisinya, tampak menghela napas panjang. "Mommy yang suruh gue buat kasih ini ke lu!"Erlan tak menggubrisnya. Tetap memalingkan wajahnya, seolah-olah Rania tidak ada di sana.Rania kembali menghela napas panjang. Sepagi ini, dia harus meredam emosinya, demi satu cowok ngeselin yang keras kepala. Seandainya bukan karena permintaan Desi, Rania sangat tidak mungkin memberikan sesuatu kepada cowok. Rania meletakkan plester itu di atas meja dan sedikit menggebraknya."Ni, plaster! Terserah lu mau pake atau enggak! Gue cuma ngejalanin apa yang seharusnya gue jalanin!" Selanjutnya dia melenggang pergi dari sana. Kembali duduk di kursinya. Tindakannya me
Setengah jam kemudian. Desi sudah sampai di rumah setelah mendapat kabar dari Aldo. Buru-buru dia masuk ke rumah. Di ruang tengah, Erlan dan yang lainnya berada di sana. "Gue obatin luka lu," kata Aldo mencoba untuk memberikan obat merah ke wajah Erlan yang babak belur. "Enggak usah!" tegas Erlan sambil menepis tangan Aldo. Sementara itu. "Erlan!" teriak Desi, langsung menghampiri sang putra yang duduk di sofa. Aldo pun beranjak bangun, kemudian mundur beberapa langkah ke belakang, membiarkan ibu dan anak itu saling bertemu. "Apa yang terjadi? Kata Aldo, kamu mengalami kecelakaan. Bagaimana bisa?" tanya Desi penuh kekhawatiran sambil meraba-raba wajah Erlan yang babak belur akibat berduel dengan Aldo siang ini. "Erlan nabrak pohon, Tan," timpal Aldo cepat. "Apa? Dia nabrak pohon?" Rania menutup mulutnya dengan kedua tangan, hampir kelepasan, menertawakan Erlan yang baru saja mengalami musibah. Semua orang meliriknya sekilas, sedangkan Rania tersenyum canggung, merasa bersala
"Erlan ..." Desi memelas saat jarak antara dirinya dan sang putra kurang lebih lima meter.Erlan menoleh, tidak jadi naik motor. Tatapannya kembali menyala, menggambarkan api kemarahan yang sulit untuk dipadamkan."Ayo, Nak. Kita pulang." Desi memohon. "Mommy akan temani kamu. Kita pulang, yuk!" bujuknya kemudian mendekat.Erlan membuang pandangannya seraya menyeringai sinis dan menghela napas berat. "Mommy ngapain si ke sini segala? Ngapain Mommy nyariin aku? Selama ini, Mommy enggak pernah peduli sama aku!" "Mau aku enggak pulang satu bulan sekalipun, Mommya enggak pernah tuh nyariin aku.""Jangan ngomong gitu, Sayang. Mommy sangat menyayangi kamu, Nak. Mommy peduli. Setiap saat Mommy peduli kepada kamu, Nak. Hanya saja kamu tidak bisa merasakan kasih sayang Mommy."Rania memerhatikan pasangan ibu dan anak itu dari kejauhan. Di sini, dirinya melihat bagaimana seorang ibu sedang mengemis belas kasian dari anaknya. Meminta putranya untuk pulang ke rumah. Namun, tanggapan anaknya sep
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments