Di dalam kelas 12 A.
"Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania. "Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas. Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles. Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan. "Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ..." "Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?" Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucapan lawan bicaranya. "Gue, berharap. Tuh cowok enggak muncul lagi di hadapan gue." Rania mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan sungguh-sungguh. "Selamat pagi semuanya." Salah satu guru, dalam mata pelajaran hari ini, memasuki ruangan. "Selamat pagi, Pak." Semua murid menjawab serentak. "Bagaimana pagi kalian di hari ini? Semangat bukan?" tanyanya, membuka topik pembicaraan. "Enggak baik, Pak! Rania lagi bad mood!" celetuk Eva degan jelas dan gamblang. Bahkan dia mengangkat tangan kanannya, agar semua orang dapat melihat dirinya. "Woi, cerewet! Apa-apaan si lu!" Rania menepuk salah satu paha Eva, sebagai bentuk kekesalan serta prosesnya, atas tindakan Eva yang kurang ajar itu. Alhasil, semua orang yang ada di kelas itu, menoleh ke arah Rania dan Eva. Rania ingin menutupi wajahnya. Ah, tidak. Semua orang telah melihat dirinya. Terlebih lagi, Eva tadi berteriak. Seenggaknya, mereka sudah tahu suasana hatinya sekarang. "Rania? Kamu bad mood kenapa?" tanya Pak Anton, salah satu guru matematika di sekolah ini. Rania berusaha tersenyum lebar, "enggak, Pak. Saya enggak lagi bad mood. Eva cuma becanda aja. Enggak usah didengerin omongannya." Entah. Berkilah pun seakan tidak ada gunanya. Eva sudah mengatakan dengan gamblang tadi. Temannya itu, memang terlalu jujur. Kelewat jujur, sehingga bikin malu. Malu-maluin. "Baiklah, semuanya. Bapak harap, mood kalian hari ini baik-baik saja. Soalnya, hari ini kita kedatangan murid baru," ungkap Pak Anton, cukup antusias saat berbicara di hadapan murid-muridnya. "Pasti kalian kepo kan, siapa murid baru di kelas ini?" "Wah ... Liat deh, ganteng banget dia," ucap salah satu murid perempuan yang ada di kelas itu. Pak Anton, setengah terkejut. Padahal, rencananya dia ingin membuat semua muridnya penasaran, tetapi murid baru itu malah mengacungkan segalanya. "Halo, semuanya. Kenalin, nama gue Erlan Davian. Panggil aja gue Erlan," ucapnya dengan tatapan serta raut wajah datar. Para gadis belia yang ada di kelas ini pun, mulai heboh. "Lihat ih, ganteng banget si dia. Udah kayak aktor Korea aja deh. Siapa si itu, kayak kenal gitu?" "Hooh, ganteng banget. Kelas kita beruntung, kedatangan murid keren kayak dia. Pasti anak orang kaya," sahut cewek lainnya. Mereka saling berbisik dan memuji ketampanan Erlan. Pemuda sembilan belas tahun itu, memiliki ketampanan layaknya aktor Korea atau idola-idola KPop masa kini. Selain itu, Erlan memiliki tinggi badan yang ideal. Gaya berdirinya pun sangat cool. Begitu juga dengan cara Erlan menggendong tasnya, membuat cewek-cewek berteriak histeris. "Ran, tuh cowok yang lu omelin kan di lapangan tadi? Apa kata gue, Ran. Lu kayaknya berjodoh sama tuh cowok," goda Eva, dengan semangat. Sontak Rania pun menjatuhkan tatapan tajam kepada teman sebangkunya itu. "Diam enggak lu! Atau gue, bakalan nutup mulut lu pake lakban. Mau!" Ancamannya bukan sekedar gertakan belaka. Eva yang sudah paham betul tabeat teman sebangkunya itu, memilih diam. Dia menganggukkan kepalanya, kemudian duduk manis tanpa mengoceh lagi. Rania seakan ingin menghancurkan kepalanya ke tembok. Dia benar-benar merasa frustasi. Betapa terkejutnya ia, saat tahu cowok yang hampir menabraknya di lapangan tadi, ternyata murid pindahan dan parahnya harus di kelas yang sama. "Kenapa cowok ngeselin itu, harus ada di kelas ini si? Kenapa enggak di kelas lain aja? Emang apa yang spesial di kelas ini, sampai-sampai dia ada di sini?" gumam Rania, menggerutu. Mulutnya terus bergerak, seperti sedang melafalkan mantra. Tatapan Rania sinis, kepada Erlan yang masih berdiri di depan papan tulis. Diantara para wanita yang menyanjung serta mengagumi Erlan dalam satu kali lihat, hanya Rania saja, cewek yang tidak tertarik dengan pesona Erlan. "Baiklah, Erlan. Kamu boleh duduk di kursi yang kosong itu." Erlan tidak menggubris ucapan Pak Anton. Dia langsung saja berjalan ke kursi kosong yang ada di pojokan itu. "Sudah, anak-anak. Kalian bisa diam. Kenalan sama Erlan nanti saja, saat jam istirahat. Sekarang waktunya kalian buka buku paket halaman lima puluh." Pak Anton segera mengambil alih kelas yang sempat heboh karena kedatangan cowok ganteng, idaman wanita. Ada keluhan kekecewaan dari para gadis-gadis. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak. Sementara itu, Rania sedikit melirik ke tempat Erlan berada. Tatapan Rania begitu tajam dan menyimpan dendam yang belum dituntaskan. Sementara Erlan tidak menyadari hal tersebut. Dia malah memasang henset. Menutupi kedua telinganya dan memutar musik dari ponselnya. *** Dua hari ini menjadi hari paling menyebalkan bagi gadis belia bernama lengkap Rania Mikaila Putri itu. Dia dihadapkan dengan situasi yang membuat moodnya tidak baik. Entah kali ini, apa lagi yang harus Rania hadapi? Sesampainya di rumah, Rania melihat ada dua pria dewasa, sedang mengobrol dengan ibu tirinya. "Baiklah, Bu. Kami permisi dulu. Saya harap, Ibu segera membayar hutang-hutang almarhum, atau kami akan menjual rumah ini!" tegas salah satu pria, sangat serius. DHEK! Jantung Rania, seakan ingin copot dari tempatnya, saat dia tidak sengaja mendengar perkataan pria itu, yang hendak menjual rumah ini, kalau hutang tidak segera dibayar. Rania melotot, hutang apa yang dimaksud pria itu? Pikiran Rania mulai menelaah tentang hal-hal yang belum pasti. Kedua pria itu, segera melenggang pergi setelah berpamitan dengan Vera. Keduanya melewati Rania dan tidak berkata apa-apa. Gadis belia itu, masih diam di posisinya. "Kamu udah pulang?" tanya Vera, sesaat setelah dia menyadari kalau Rania sudah di ruangan ini. "Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan di sini? Mengapa salah satu pria itu, mengatakan akan menjual rumah ini, kalau hutang-hutang tidak segera dibayarkan? Hutang apa yang mereka maksud? Siapa yang berhutang kepada mereka? Apa Ayah yang melakukannya?" cecar Rania panjang lebar. Sudah sejak tadi, pertanyaan-pertanyaan itu, mengisi kepalanya. Baru sekarang dia bisa mengeluarkannya. Itupun belum semua. "Iya, Ayah kamu berhutang sangat banyak kepada mereka," aku Vera tanpa bisa ditutupi. Dia mengatakannya dengan gamblang dan jelas, agar Rania dapat mengetahuinya. "Berapa banyak?" tanya Rania kembali. "Sepuluh milyar." "Apa? Se-pu-luh mi-l-yar ..." Rania menganga. Dia hampir kehilangan kesadarannya setelah mendengar jumlah hutang yang dimiliki almarhum ayahnya. "Iya. Ayahmu berhutang kepada mereka sepuluh milyar dan ibu diminta untuk segera membayae hutang-hutang itu, dalam waktu satu bulan. Kamu bayangin aja, uang sebanyak itu, dapat dari mana? Seandainya rumah ini dijual sekalipun, jumlahnya tidak sebanyak itu." Kali ini Vera tidak bersikap egois, kasar ataupun kejam saat membeberkan semuanya kepada Rania. Gadis belia itu, kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa, Ayahnya harus terlilit hutang sebanyak itu? Uang sepuluh milyar bukanlah jumlah yang sedikit. Entah, kalau ditumpuk, berapa tumpukan hasilnya? Kira-kira uang sepuluh milyar itu, bentuknya seperti apa? Membayangkannya membuat Rania ngebleng. "Kita hanya memiliki waktu satu bulan, untuk segera melunasi hutang-hutang Ayahmu itu. Lebih dari satu bulan hutang itu tidak dibayarkan, maka mereka akan mengambil rumah ini berserta isinya. Bukan itu saja. Peternakan ikan lele milik ayahmu juga, akan mereka ambil." Helaan napas itu, semakin memperumit keadaan. Rania semakin kehilangan ketenangannya. Satu bulan ... Hanya satu bulan, waktu yang mereka berikan. Apakah dalam waktu singkat, uang sepuluh milyar bisa didapatkan?" *** Malam harinya. Rania diajak Vera untuk memenuhi undangan makan malam dari salah seorang teman dekat. Awalnya Rania menolak ajakan tersebut. Namun, setelah dijelaskan maksud dari pertemuan ini, akhirnya Rania menuruti kemauan Vera. Sesekali Rania membuang napas panjang, terutama saat dia mengingat, kalau almarhum ayahnya memiliki hutang sepuluh milyar dan harus segera dibayarkan dalam waktu singkat. Membayangkannya membuat tubuh Rania tidak bertenaga. "Assalamualaikum, Jeng." Vera mengucap salam lebih dulu. "Eh, Jeng Vera ..." "Waalaikumsalam," jawab Desi, seraya beranjak bangun dari tempat duduknya. Segera dua wanita yang usianya tak terpaut jauh itu, saling cipika cipiki. "Udah lama nunggunya, ya?" tanya Vera sebagai bentuk basa basi, untuk memulai pembicaraan. "Enggak, kok. Aku juga baru sampe." Setelah berbincang singkat dengan Vera, Desi pun langsung mengarahkan pandangannya kepada Rania. "Masyaallah ... Rania. Cantik banget kamu, Sayang." Desi mengikis jarak. Dia benar-benar antusias dan terpesona dengan kecantikan alami yang ada pada diri Rania. "Terima kasih, Tan. Tante terlalu memujiku," jawab Rania tersenyum canggung. Dia dan Desi tidak seakrab itu. Sehingga, cara Rania berbicara pun terbilang kaku. "Tante enggak berlebihan kok. Tante jujur, mamu memang cantik banget malam ini, Sayang. Tante sampai pangling lihatnya." Rania tersenyum kecil. Menahan diri untuk tidak berkata kasar, seperti yang dia lakukan sebelumnya. Jujur saja, hal yang membuat Rania tidak nyaman, tidak lain ketika mengingat betapa bodohnya ia kemarin yang sudah berbicara kasar kepada Desi. "Oh, iya. Di mana anak kamu, Jeng. Apa dia enggak datang?" tanya Vera, melongok, seperti sedang mencari sesuatu. "Aduh, sampai lupa, saking fokusnya ngobrol sama Rania." Desi terkekeh kecil. "Soal anakku. Dia datang kok, tadi si bilangnya izin ke toilet, tapi sampai sekarang belum balik-balik." Desi pun ikut celingak-celinguk, ke sudut yang tadi dilewati anaknya. "Nah, itu dia!" tunjuk Desi dengan semangat, saat menunjukkan sosok pemuda tampan berstatus anaknya itu. Rania menganga. Lagi-lagi dia dibuat terkejut. Entah sudah keberapa kali, dirinya dibuat spot jantung hati ini? "Maaf, Mom, aku lama. Tadi toiletnya penuh," tutur pemuda tersebut, yang tidak lain adalah anak Desi. Rania mundur beberapa langkah. Mencoba untuk menjauh. "Oh, iya. Ini Tante Vera, yang Mommy sering ceritakan ke kamu. Nah, kalau itu Rania, anaknya Tante Vera," tunjuk Desi, memperkenalkan Rania kepada putranya. "Lu? Cewek ngeselin itu kan?" Pemuda itu menunjuk wajah Rania. Dia terkejut. Begitu juga Rania. "Jadi, kalian udah saling kenal? Wah, bagus kalau begitu. Mommy enggak usah repot-repot kenalin kamu ke calon istri kamu. Sedangkan kamu, Rania ... Erlan ini, adalah calon suami kamu." "A-pa?""Ran ..." Rania langsung menepis tangan suaminya."MENYINGKIR DARI HADAPAN GUE!" tegasnya, tajam. "Gue enggak sudi, disen-tuh cowok pembohong kayak lu, Lan!" sambungnya, penuh penekanan dan kekecewaan yang mendalam.Erlan memijat keningnya, semakin sakit. Menatap Rania, lalu mengusap wajahnya, merasa frustasi."Ran, dengerin dulu penjelasan gue ..."Rania menatapnya nyalang, "enggak ada lagi yang perlu lu, jelasin!""Tempo hari, gue tanya soal kecelakaan bokap gue, tapi lu ... Bilangnya enggak tau apa-apa ...""Terus sekarang, kenapa wartawan itu bilang, kalau bokap gue penghianat?!"Lagi-lagi, Rania mengungkit soal perkataan wartawan beberapa waktu lalu. Erlan benar-benar kehabisan kata-kata. Entah harus memulainya dari mana? Bagaimana menjelaskannya? Soal kecelakaan itu, semuanya terjadinya diluar kendalinya."JAWAB GUE, LAN!""GUE BUTUH JAWABANNYA, LAN!"Tubuh Rania duduk terkulai lemas. Kedua kalinya tak mampu menopang berat badannya. Sungguh, jika menyangkut soal sang ayah, dun
"Lepasin tangan gue, Lan!" Rania sedikit menjerit, menarik tangannya dengan paksa.Erlan menghentikan ayunan kakinya. Keduanya saling menatap. Rania tak bisa menyembunyikan kekesalannya, sementara Erlan datar, tapi hatinya merasa dongkol, selalu ada saja biang kerok yang mengusiknya saat sedang bersama wanita yang sangat dicintainya itu."Bisa enggak si, kalau di sekolah enggak usah posesif kayak gini?" Rania sedikit meninggikan suaranya, kesal dan jengkel.Erlan diam."Gue enggak mau, yang lain tau kalau kita punya hubungan serius. Gue belum siap, kalau semua orang tau, kalau gue ini istri dari Erlan Davian," dengus-nya, memalingkan wajah.Rania memelankan suaranya, tak mau orang lain mendengar pengakuannya barusan. "Terus?" tanya Erlan datar, melipat kedua tangannya di dada. Rania terperangah, selanjutnya, "Iya ..." Dia tergagap, tidak tau harus menjawab apa?Erlan tersenyum mengejek, "iya apa?"Dia menghela napas panjang, "buat apa lu malu kayak gini ah? Toh, kenyataannya emang l
Hari berikutnya ...Erlan tersenyum lembut, sembari memandangi wajah polos istrinya yang masih terlelap. Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB, tapi Rania seakan enggan untuk meninggalkan dunia mimpi.Cukup lama Erlan memandangi Rania, kira-kira sudah setengah jam. Kendati demikian, dirinya tidak merasa bosan sama sekali. Tidak ada niatan untuk membangunkannya juga.Waktu telah berlalu hingga lima belas menit. Tampak, kedua mata Rania mulai berkedut-kedut. Erlan masih setia pada posisinya, menunggu sang istri benar-benar membuka matanya.Rania sedikit menggeliat, perlahan-lahan kedua matanya mulai terbuka.Kali ini, hal pertama yang Rania lihat, iyalah wajah tampan semuanya, sedang tersenyum lembut, begitu hangat."Morning, Sayang," ucap Erlan lembut, disertai senyuman berseri-seri.Rania melotot, kaget.Segera, dia menutupi wajahnya dengan selimut. Sangat malu. Erlan terkekeh kecil, melihat tingkah malu-malu istrinya.Kali ini, Erlan tidak kalu sungkan untuk menunjukkan cinta dan perhat
Malam harinya ...Rania, tertidur pulas, di samping ranjang, tempat Erlan berada. Tubuhnya duduk telungkup, kedua tangan dijadikan sebagai bantal. Erlan terbangun. Kedua matanya mengerjap, ketika menatap sang istri yang tertidur pulas di sampingnya. Helayan rambut, hitam legam itu, sedikit menutupi wajah Rania. Erlan menggerakkan jari jemarinya untuk menyingkirkan rambut yang mengganggu itu.Erlan tersenyum tipis, wajah polos istrinya tanpa polesan make terlihat begitu indah. Wajah tenang Rania, seakan membawa ehangatan dalam raganya. Erlan melihat jam dinding yang terpajang di sana. Waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Rania sedikit menggeliat. Erlan diam, terus memandanginya tanpa lelah.Perlahan-lahan, Erlan beranjak, turun dari ranjang. Sesekali dia melihat Rania, memastikan gerakannya tak membuat sang istri terbangun.Erlan telah menapak pada lantai. Dia berjalan menuju sofa. Tangannya mengambil selimut yang masih terlipat rapih.Erlan kembali ke tempatnya. Tidak merebahkan tub
DOOORRRR "EERRRLANNN!"BRUK! Tubuh Erlan ambruk. Rania memangkunya. Tubuhnya sangat berkeringat, bercampur air mata yang mengalir deras. "Lan, bangun, Lan! Jangan tinggalin gue sendiri di sini! Kalau lu pergi, nanti gue sama siapa?" Tangis Rania pecah seraya memeluk Erlan yang sudah tidak sadarkan diri, bersimbah darah. "Nanti siapa yang ngajak gue ribut, Lan, kalau bukan lu?" Dia menepuk-nepuk pipi suaminya, berharap ini hanya halusinasi saja. "Please! Bangun, Lan.""Gue mohon." "Jangan bikin gue kesepian lagi, Lan. Gue baru sebentar ngerasain bahagia, bareng lu. Kalau lu pergi, nanti gue sama siapa? Enggak ada yang bikin bikin gue bahagia selain lu, Lan."Rania meraung seraya memeluk wajah Erlan. Setiap detik yang terlewat, ia merasakan kesedihan begitu dalam. BRAK!"ERLAN!" "TUAN MUDA!"Aldo, Boy dan yang lainnya, akhirnya datang. Mereka berlari, segera mengangkat tubuh Erlan yang sudah tak sadarkan diri.||•||"AAAAAAAAA!!!!!" Pemuda itu, dengan penuh kemarahan, ia menya
Erlan menggenggam kedua pergelangan tangan istrinya, menekannya dan tersenyum penuh kemenangan. Sementara Rania terpejam, pasrah.Ekspresi takut istrinya membuat Erlan ingin tertawa. Terlihat lucu."Ayo, gue siap," kata Rania, sedikit meringis.Erlan menahan tawa. Kemudian dia melepaskan istrinya, turun dari ranjang.Rania membuka matanya, heran. Dia lantas beranjak bangun, menatap suaminya yang berdiri di hadapannya sambil melipat kedua tangan di dada.Suasana menjadi canggung. Rania bingung harus bicara apa?"Gue bakalan tagih janji itu nanti. Buat gue, enggak masalah kalau harus menunggu ..." Erlan menjeda kaliamatnya, lalu mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan Rania, "karena menunggu itu, akan terasa menyenangkan." Dia tersenyum tipis, penuh makna.Rania bergidik ngeri. Tau, maksud dari 'Menunggu itu terasa menyenangkan?' Bayangkan saja ... Hahaha....Rania buru-buru bangun dari ranjang."Gue pergi dulu," katanya, canggung, hanya menatap sekilas suaminya."Mau pergi kema