LOGINHari berikutnya. Rania keluar kamar dengan menghela napas panjang. Hari libur sekolahnya hanya dihabiskan dengan keluar masuk kamar saja.
"Ini, uang belanja hari ini!" tegas Vera, wanita empat puluh tahun, yang berkuasa di rumah ini. "Kamu beli daging, telor sama sayuran di pasar! Uang ini harus cukup membeli semua keperluan dapur. Jangan sampai tidak! Mengerti kamu!" tambah Vera menjatuhkan perintah disertai tatapan serius. Rania menganga saat Vera menyodorkan uang lembaran pecahan lima puluh ribu dan segudang keinginan yang harus diwujudkannya. "Kali ini kamu jangan main-main lagi! Sampai kamu mempermainkan Ibu lagi, maka Ibu akan memotong uang jajan sekolah kamu!" ancam Vera. Kali ini, dia lebih ngotot dari sebelumnya. Semata-mata untuk bisa mengatur Rania agar mau menuruti kemauannya. Rania menggenggam uang lima puluh ribu itu. Lagi-lagi, dia harus dihadapkan dengan situasi yang sama seperti kemarin. Kenapa harus serumit ini nasibnya? Kehidupan yang harus dijalani seperti di novel-novel saja. Tinggal bersama Ibu Tiri kejam, yang menikah dengan Ayah hanya demi hartanya saja. "Rania! Apa kamu mendengar perkataan Ibu?" Vera meninggikan suaranya, hal tersebut membuat Rania tersadar dari lamunannya. "Iya, baiklah, Nenek Sihir yang kejam," jawab Rania dengan nada mengejek. "Apa katamu?" erang Vera sangat kesal. "Bukan apa-apa." Rania mengelak. Dia sudah muak dengan drama yang selalu terjadi setiap harinya, sehingga Rania memutuskan untuk pergi sebelum Ibu tirinya mengamuk dan melontarkan kata-kata yang membuat gendang telinganya pecah. "Awas kamu anak nakal. Bakalan aku buat kamu tunduk dan enggak macam-macam lagi," gumam Vera seraya melotot horor. *** Rania pun turun dari angkot, kemudian menghela napas panjang setelah membayar ongkos. Uang lembaran lima puluh ribu, kini telah berubah menjadi pecahan lembaran dua puluh ribu, sepuluh ribu dan lima ribu. Supir angkot itu, baik sekali kepadanya. Rania memberi satu lembar uang, lalu supir itu mengembalikannya empat lembar. Hahaha... Rania rasanya ingin tertawa, tetapi dadanya terasa sesak. Entah sampai kapan, cobaan hidup ini berakhir? "Rania?" Tiba-tiba ada yang memanggilnya. Rania pun menoleh. Suara serak-serak basah itu, menyadarkan Rania dari ratapan nasibnya. "Eh, Dokter Ravi?" Dalam satu kali lihat, Rania mengenali sosok pria tampan dua puluh tujuh tahun itu. "Jangan panggil, Dokter. Panggil aja Pak, atau Mas. Kita kan bukan lagi di rumah sakit. Jadi, tidak perlu formal kepada saya," kata Ravi, mencoba mencairkan suasana pada pertemuan tak terduga ini. "Ah, iya, Pak Ravi. Maafkan aku, Pak. Kaget aja, tiba-tiba Pak Ravi ada di sini. Apa Pak Ravi, mau belanja juga?" tanya Rania kemudian. "Iya ni, Rania. Katanya lagi ada diskon besar-besaran di sini," beber Ravi cukup antusias. "Sungguh? Diskon apa itu, Pak?" Rania pun penasaran dibuatnya. Mendengar kata diskon membuat jiwa emak-emaknya meronta-ronta. "Katanya si, ada diskon daging, tapi saya juga enggak tahu, harganya berapa. Ya, setidaknya turun harga. Tahu sendiri kan, harga daging sekarang tuh berapa? Benar kan, Rania?" Gadis belia itu, termangu saat mendengar penuturan Ravi. Rania berpikir, ini kesempatannya untuk mendapatkan daging dengan harga miring, dengan begitu Nenek Sihir yang tinggal di rumahnya, tidak lagi nyap-nyap seperti burung beo yang kelaparan. "Kesempatan bagus ini, Pak. Di mana yang jual daging diskon itu?" tanya Rania dengan semangat dan antusias. "Ah, iya ..." Ravi sedikit tersentak dan tersadar dari lamunannya. "Oh, ada di dalam. Mari, kita pergi sama-sama!" ajak Ravi kemudian, setelah berhasil mengendalikan pikirannya yang sempat memikirkan hal lain itu. Rania mengangguk. Kesempatan emas, tidak datang untuk kedua kalinya. Maka dari itu, ia harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin dan tidak akan menyia-nyiakannya. Rania dan Ravi mendatangi salah satu pedagang daging, yang disinyalir menjual daging dengan harga miring. "Dagingnya, Neng. Sekilonya lima puluh ribu aja, mungpung lagi diskon ni, Neng," kata pedagang itu, menawarkan dagangannya kepada Rania yang baru saja datang. Rania terperangah saat pedang itu, mengatakan harga daging yang dijualnya. Sepertinya Dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya sekarang. "Lima puluh ribu satu kilo?" Rania mengulangi perkataan pedang itu, guna meyakinkan dirinya kalau yang didengar tidaklah salah. "Iya, Neng. Mau berapa kilo? Cuma hari ini aja diskonnya. Besok mah belum tentu ada. Dagingnya masih seger. Baru dipotong subuh tadi. Tenang aja, Neng. Ini daging sapi asli. Bukan daging celeng," kata penjual itu mulai merayu serta meyakinkan Rania untuk memborong dagangannya. Di tangan Rania sekarang, tersisa uang empat puluh ribu lagi. Kalau dia beli satu kilo uangnya tidak mencukupi. "Setengah kilo aja, Pak," kata Rania meminta. Dia sebenarnya malu dengan Ravi, yang berada di sebelahnya. Sebegitu miskinnya ia, membeli daging yang harganya miring saja, hanya mampu membeli separuh. "Siap, Neng. Setengah kilo aja? Apa enggak kurang itu?" kata si penjual daging, mencoba merayu agar suasana tidak tegang banget. "Enggak, Pak. Di rumah cuma ada dua orang aja. Cukup lah setengh kilo," jawab Rania beralasan. Ravi yang mendengarkan percakapan dua orang di sampingnya, hanya bisa mengulas senyuman tipis. "Kalau Mas-nya, mau beli berapa kilo?" tanya si pedagang, yang kali ini Ravi menjadi sasaran obrolannya. "Sekilo aja, Pak. Cuma saya aja yang makan." Ravi menjawab dengan santai. Rania tersenyum canggung saat Ravi menatapnya. Pria berstatus dokter itu, sudah tentu mampu membeli daging. Bahkan daging dengan harga tinggi sekalipun, Rania yakin Ravi mampu membelinya. Entah kenapa, Dokter Ganteng ini memilih daging diskon ketimbang daging mahal? Sekedar membeli daging satu kilo, tidak mungkin menghabiskan seluruh gajinya. . Rania pun telah mendapatkan daging yang diinginkannya. Begitu juga dengan Ravi. "Makasih ya, Pak. Seandainya tidak ada Pak Ravi, mungkin aku enggak bakalan tahu kalau ada diskon daging di sini," ungkap Rania tulus. "Heum, iya. Kebetulan aja tadi, teman saya bilang, kalau ada diskon di tempat itu. Untungnya masih ada daging buat kita." "Iya, Pak. Pastinya kalau diskon udah diserbu emak-emak ya kan. Bisa aja udah kehabisan. Alhamdulillah, masih kebagian." Rania mengangkat keranjang belanjanya dengan penuh semangat dan antusias. Dia senang, akhirnya bisa membeli daging, sesuai yang Nenek Sihir itu minta. Setidaknya, uang jajan sekolahnya tidak akan dipotong oleh wanita kejam itu. Rania cengengesan sendiri, seperti orang gila. Hahaha ... Ya, dia memang sudah gila. Gila karena nasib baik, sedang berpihak kepada dirinya hari ini. "Kok, aku rasanya agak aneh ya. Pas kita beli daging tadi, kenapa sepi di situ? Seharusnya kalau memang diskon, sudah pasti rame banget itu?" Tiba-tiba dia kepikiran hal janggal yang terjadi saat membeli daging tadi. Pertanyaan itu, sontak membuat Ravi sedikit terkejut. Namun, dia segera memasang wajah manis dan tersenyum. "Mungkin yang lain sudah belanja sebelum kita datang tadi. Ah, sudahlah. Tidak perlu kamu pikirkan, hal seperti itu. Setidaknya kita mendapatkan daging dengan harga murah." "Heum, iya, Pak. Sekali lagi terima kasih. Kalau enggak ada Pak Ravi, mungkin uang jajan sekolahku akan dipotong." Rania tertawa kecil setelahnya. Ravi tidak menanggapi. Namun, dia paham maksud ucapan Rania. Curhatan dibalut candaan. Sekiranya itu yang Ravi tangkap. Keduanya sudah berdiri di depan gerbang masuk pasar. "Oh iya, Pak. Aku pulang duluan. Tuh, angkotnya udah datang," kata Rania. "Baiklah. Hati-hati di jalan," pesan Ravi, yang sebenarnya berat untuk melepas Rania pulang sendiri. Rania pun menyetop angkot, selanjutnya dia menaiki angkot tersebut. Ravi hanya tersenyum lembut sambil melambaikan tangan. *** Rania telah sampai di rumah. Di ruang tamu, si Nenek Sihir yang kejam itu, sedang ngobrol asyik dengan seorang wanita yang usianya sebaya. Agaknya seperti itu, Rania melihatnya. "Itu, Rania." kata Vera, menunjuk putri sambungnya yang memasuki ruangan. Raut wajahnya terlihat berbeda, seperti biasanya. Firasat Rania mulai tidak enak. Rania memasang senyuman lebar yang terkesan dipaksakan. Sebenarnya dia malas banget menanggapi sambutan Vera. Wanita dewasa yang bergaya modern itu, meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Oh, ini yang namanya Rania? Cantik banget kamu, Sayang," ucapnya memuji. Rania menghentikan langkahnya, kemudian menoleh. "Makasih pujiannya, Tante." Wanita yang baru pertama kali Rania lihat itu, beranjak bangun. Dia tampak antusias saat bertatapan langsung dengan gadis belia sembilan belas tahun tersebut. "Baru pulang dari pasar ya, Sayang? Tante seneng deh ketemu sama kamu, udah cantik, rajin bantu orang tua juga. Enggak salah, kalau kamu jadi menantu, Tante." Rania langsung menganga, saat wanita itu mengatakan soal 'Menantu' pada kalimat terakhirnya. "Apa, Tan? Menantu? Aku, jadi menantu, Tante?" Rania mengulang ucapan wanita itu, dengan terbata-bata. Dia menunjuk dirinya sendiri dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu. "Iya, Sayang. Mau ya. Jadi, menantu, Tante," pintanya dengan enteng. Dia seperti menawarkan permen kepada bocah lima tahun. Rania kehabisan kata-kata. Dia melihat Vera, yang sedang tersenyum penuh makna. Rania diam untuk sesaat, sebelum akhirnya dia tertawa. "Hahaha ... Jadi, Ibu menjualku ke Tante-tante ini. Begitu kan?" tuduhnya dengan jelas dan lantang. "Ibu, ingin aku pergi dari rumah ini dan menikmati seluruh harta Ayah, dan juga uang dari hasil menjual diriku kepada Tante-tante ini," lanjutnya terdengar pilu. "RANIA! JAGA UCAPANMU!" teriak Vera sangat keras, sampai bergema seisi ruangan. Rania tersenyum miring dan kembali tertawa keras. "Jadi, benar. Kalau aku sudah dijual kepada Tante-tante hedon ini." "RANIA!!!" PLAAAKKKKKK! "Jaga, ucapanmu, RANIA!!!" teriak Vera, semakin keras."Erlan! Kamu mau pergi kemana, Sayang?" tanya Desi, cemas. Mengikuti langkah putranya yang tergesa-gesa. "Jangan masuk, Erlan!" perintahnya, tapi Erlan diam. Petugas pemadam kebakaran, telah datang dan sedang berusaha untuk memadamkan kobaran api yang berasal dari lantai dua. Erlan seakan tak peduli itu. Dia tetap masuk ke rumah, untuk mengambil kunci mobil agar bisa mengejar Rania. "Di mana Rania?" tanyanya lagi, tapi Erlan tidak peduli. Sikapnya kembali dingin, menulikan pendengarannya, seakan Desi tak ada di sana. "Jawab Mommy, Erlan!" teriaknya. Sekuat tenaga untuk menggantikan putranya. Seorang penjaga menghampiri Desi."Nyonya! Seseorang telah membawa Nona pergi. Para penjaga dihajar beberapa orang tidak dikenal, Nyonya," lapor penjaga itu, tertunduk."Apa?" Desi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, saking terkejutnya, dia hampir kehilangan kesadarannya. Tubuhnya lunglai, kedua kakinya tak mampu menopang berat badannya. Dia hampir jatuh, seandainya Roy tidak langsun
"Suapin gue," pinta Erlan lembut, menatap teduh istrinya.Rania mengangkat kepalanya, sponta, dia melotot, menelan ludahnya berat-berat. Permintaan Erlan membuatnya merasa tegang. "Kenapa diem? Tadi, katanya suruh gue makan. Ayo, suapin gue," pintanya lagi, terdengar memaksa, ditambah dia sudah membuka mulutnya lebar-lebar.Rania tampak ragu-ragu, menyiuk nasi menggunakan sendok. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya, Erlan berlagak selayaknya bocah yang minta disuapi ketika makan. Erlan menunggu, disertai senyuman menggoda.Rania menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya cepat. Berusaha untuk tersenyum, meskipun bibirnya terasa sangat kaku untuk digerakkan. Perlahan-lahan, Rania mengarahkan sendok itu ke mulut suaminya. Hap!Dalam sekali hap. Erlan melahap makanan yang disuapi langsung oleh istrinya.Rasanya terasa sangat nikmat dari biasanya. Semua rasa menjadi satu di dalam mulut.Rania tersenyum tipis. Ini kali pertama dirinya menyuapi pria lain, selain Ayahnya dulu
"Erlan!!!" teriak Rania dari kejauhan sambil berlari melewati koridor.Erlan berbalik badan. Matanya berseri-seri, tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya ketika bisa melihat sang istri kembali.Rania menghambur dalam pelukan suaminya. Erlan mendekapnya erat. Keduanya melepas rasa rindu sekaligus perasaan lega yang membumbung tinggi di hati masing-masing."Gue takut banget kehilangan lu, Lan," ucap Rania, terisak, tak mampu memendam perasaannya yang kian hari makin besar saja. Erlan memejamkan matanya. Napasnya begitu memburu. Rasa takut Rania, mampu ia rasakan, sama seperti yang dirasakan dirinya ketika melihat sang istri diculik. Erlan membuka matanya, melepaskan pelukannya kemudian, menatap teduh kedua mata Rania penuh cinta, "gue enggak akan pergi, Ran. Gue udah janji, bakalan balik lagi ...""Sekarang, gue menempati janji itu."Alih-alih tersenyum, tangis Rania semakin pecah, dia kembali memeluk suaminya dengan erat. "Jangan pernah tinggalin gue, Lan. Gue takut, lu pergi jauh
"Gue harus pergi dari sini secepatnya," gumam Leni, cemas, sembari memasukkan beberapa pasang pakaian ke dalam koper.Tindakannya begitu tergesa-gesa, seperti orang yang sedang dikejar-kejar penagih hutang."Gue enggak mau mati konyol di sini," gumamnya lagi, menarik resleting koper. Semua barang yang diperlukan telah ia masukkan. Leni menyambar jaket yang hitam yang tergeletak di kasur. Memakai jaket tersebut, lalu menutupi kepala dengan topi, serta memakai masker demi menyamarkan identitas.Leni bergegas pergi, meninggalkan apartemen yang disewanya. Menarik koper berukuran sedang, berisi barang-barang keperluannya.||•||Satu setengah jam kemudian ...Leni sampai di bandara internasional. Langkahnya begitu cepat, sambil memperhatikan sekitarnya, penuh waspada.Dia mempercepat langkahnya, menuju area pemeriksaan.DEG!Seseorang menabrakkan dirinya. Leni gelagapan saat topinya terlepas. "Mau coba-coba pergi?" kata orang itu, berbalik badan, terdengar seperti seseorang pria. Dia me
"Ran ..." Rania langsung menepis tangan suaminya."MENYINGKIR DARI HADAPAN GUE!" tegasnya, tajam. "Gue enggak sudi, disen-tuh cowok pembohong kayak lu, Lan!" sambungnya, penuh penekanan dan kekecewaan yang mendalam.Erlan memijat keningnya, semakin sakit. Menatap Rania, lalu mengusap wajahnya, merasa frustasi."Ran, dengerin dulu penjelasan gue ..."Rania menatapnya nyalang, "enggak ada lagi yang perlu lu, jelasin!""Tempo hari, gue tanya soal kecelakaan bokap gue, tapi lu ... Bilangnya enggak tau apa-apa ...""Terus sekarang, kenapa wartawan itu bilang, kalau bokap gue penghianat?!"Lagi-lagi, Rania mengungkit soal perkataan wartawan beberapa waktu lalu. Erlan benar-benar kehabisan kata-kata. Entah harus memulainya dari mana? Bagaimana menjelaskannya? Soal kecelakaan itu, semuanya terjadinya diluar kendalinya."JAWAB GUE, LAN!""GUE BUTUH JAWABANNYA, LAN!"Tubuh Rania duduk terkulai lemas. Kedua kalinya tak mampu menopang berat badannya. Sungguh, jika menyangkut soal sang ayah, dun
"Lepasin tangan gue, Lan!" Rania sedikit menjerit, menarik tangannya dengan paksa.Erlan menghentikan ayunan kakinya. Keduanya saling menatap. Rania tak bisa menyembunyikan kekesalannya, sementara Erlan datar, tapi hatinya merasa dongkol, selalu ada saja biang kerok yang mengusiknya saat sedang bersama wanita yang sangat dicintainya itu."Bisa enggak si, kalau di sekolah enggak usah posesif kayak gini?" Rania sedikit meninggikan suaranya, kesal dan jengkel.Erlan diam."Gue enggak mau, yang lain tau kalau kita punya hubungan serius. Gue belum siap, kalau semua orang tau, kalau gue ini istri dari Erlan Davian," dengus-nya, memalingkan wajah.Rania memelankan suaranya, tak mau orang lain mendengar pengakuannya barusan. "Terus?" tanya Erlan datar, melipat kedua tangannya di dada. Rania terperangah, selanjutnya, "Iya ..." Dia tergagap, tidak tau harus menjawab apa?Erlan tersenyum mengejek, "iya apa?"Dia menghela napas panjang, "buat apa lu malu kayak gini ah? Toh, kenyataannya emang l







