Pria yang sedari tadi bersama Clarista tak lain bernama Andi, orang yang Aghata kenal dan tinggal bersamanya. Apakah pertemuan Clarista dan Andi terjadi karena kebetulan? Atau memang sudah Andi rencanakan?
Apapun itu, Aghata berpikir harus berpura-pura tidak mengenal Andi. Sebab bisa gagal semua rencana yang sudah ia buat sampai sejauh sekarang. Ia juga tak ingin kalah dari Andi dan ikut bermain dalam drama yang sedang Andi buat.
“Senang juga bertemu dengan Anda, nama saya Taina!” sapa Aghata balik.
“Kamu ingin pergi ke luar?” tanya Clarista.
“Iya, aku sedang ingin istirahat di luar. Kalau begitu ... aku pergi duluan!” pamit Aghata meninggalkan Andi dan Clarista. Dia menuju mobil miliknya yang diparkirkan di basemen gedung Alto Grup lalu pergi ke kafe terdekat. Namun Aghata berhenti di tepi yang tak jauh dari gedung Alto Grup da
Pria itu berpamitan setelah yakin sudah mendapatkan sesuatu. Dia menjauh sejauh mungkin dari wanita paruh baya pergi ke tempat yang sepi, kemudian menelepon seseorang. “Bagaimana?” Suara wanita terdengar di seberang sana saat bertanya. “Saya sudah memastikannya. Nama panggilan wanita itu benar Aghata, dia pindah ke Kota ini sekitar 5 tahun lalu. Dan saya juga sempat bertanya pada salah satu warga di sini, katanya wanita itu memiliki seorang adik pria yang usianya sebaya,” jelas pria itu. “Adik? Bagaimana dengan kehidupan sebelum dia pindah ke situ?” “Tak ada yang tahu. Banyak yang bilang si wanita ini ramah tapi dia tidak pernah berbaur dengan orang lain. Jadi sulit memastikan lebih jauh melewati orang di sekitarnya,” jawab pria itu. “Bagaimana denga
“Hei! Ini aku!” sentak orang di depan Clarista. Clarista spontan membuka mata setelah mendengar suara yang tak asing. Dia mendongak untuk melihat sosok di ketinggian. matanya terbelalak seolah merasa lega setelah tudung orang itu dilepas. “Andi? Sedang apa kamu di sini?” tanya Clarista. Andi mengulurkan tangannya dan memapah Clarista untuk berdiri. Dia membantu membersihkan tanah yang melekat di pakaian Clarista. “Kebetulan aku sedang lewat sini lalu melihatmu seperti
Aghata cukup tercengang dengan Clarista yang bertanya siapa pelaku teror di balik semua ini. Dia diam sebentar melihat mata Clarista yang sangat membutuhkan jawaban darinya. Aghata hanya tersenyum kecut lalu tertawa kecil. Dia menghela napas berat sembari menghentikan tawanya. “Entahlah! Kenapa kamu bertanya padaku?” tanya Aghata balik. “Hanya saja ... kupikir kamu mencurigai seseorang yang diduga pelaku teror-nya,” sahut Clarista. Aghata menyeringai. “Aku bukan orang yang mudah curiga. Jika aku penasaran maka aku tinggal memastikannya, tak perlu membuang waktu untuk menaruh curiga,” sindir Aghata. “Kata-katamu sangat bagus tapi terdengar menyindir.” Clarista menatap dalam mata Aghata dengan sedikit tajam. Dia hanya membalas dengan senyum kecut. Sementara Nando dan Anderson bisa merasakan
“Apakah Anda merasa ada seseorang yang menyimpan dendam pada Anda?” tanya Aghata. Ruang kerja pribadi Nando berubah menjadi hening. Glen memilih bungkam dengan pertanyaan Aghata. Sementara Nando cukup terkejut dengan pertanyaan yang Aghata ajukan. Dia berdengus. “Aku juga tidak tahu tapi ... aku berharap tidak ada yang menaruh dendam padaku,” jawab Nando tersenyum. Jawaban yang penuh dengan keraguan. Aghata bisa melihat setitik rasa takut di mata Nando, tapi Nando berusaha untuk menepisnya. Hal itu mengundang senyum pahit di bibir Aghata. “Aku juga berharap begitu ... kalau begitu saya pamit sekarang!” Aghata beranjak dari tempatnya diikuti oleh Glen. Glen memandu Aghata sampai ke ruangan dekat halaman belakang. Ruangan itu adalah kamar tamu yang sudah tak digunakan.
“Ini surat undangan pernikahan untuk Anda,” kata Aghata. Nando terkejut dan langsung merampas kertas di tangan Aghata. Dia membaca isi surat itu dan benar bahwa surat itu adalah undangan pernikahan. Teman bisnisnya yang tinggal di Kota C mengundang Nando untuk datang ke pernikahan putrinya. Acara akan diadakan besok sore di Kota C. Mau tidak mau Nando harus datang. Sia-sia Nando gelisah dengan isi surat itu. Dia pikir surat itu akan berisi ancaman dari si pelaku teror. Bahkan untuk menghela napas pun tidak merasa tenang. Sementara Aghata bisa melihat wajah Nando yang menegang sebelum tahu isi surat itu. “Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat,” tanya Aghata. “Tidak apa-apa. Apa kau akan ikut ke pesta pernikahan rekan bisnisku?” tawar Nando. “Tidak perlu. B
Kediaman pemimpin Alto Grup, 25 November 2016. Satu tahun setelah pernikahan Sang Ibu dengan pria dari keluarga terpandang, Nando Setyoko. Kala itu usia Aghata menginjak 15 tahun. Dia keluar kamar untuk mencari Sang Ibu tercinta. Sudah seharian dia tidak melihat batang hidung ibunya. Dicarilah Sang Ibu ke seluruh ruangan di dalam rumah, tapi tidak menemukannya. Sampai akhirnya mencari ke halaman depan rumah. Namun masih belum menemukannya. Aghata malah melihat seorang pria mengenakan jas hitam keluar dari mobil. Bibirnya mengulas senyum dan berlari menghampiri pria itu yang disebut sebagai Ayah. Matanya berbinar menatap lekat sosok Ayah di hadapannya. “Ayah habis dari mana?” tanya Aghata. “Bertemu dengan teman bisnis,” sahut Nando. “Oh, tapi ... kenapa wajah Ayah terlihat s
Clarista berdiri dan mengusap kepala Aghata seraya tersenyum. “Nanti akan saya jelaskan di sana,” ucapnya. Dia keluar memberi waktu Aghata untuk berkemas. Aghata kembali menurut dan cepat mengemasi barang-barangnya. Dia membawa koper besar menghampiri Clarista yang sudah menunggu di depan mobil. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Setelah tiba di bandara, Clarista mengantar Aghata hingga loker pemesanan tiket. Dia memastikan barang bawaan Aghata sudah terbawa semua. Sedangkan Aghata celingukan seperti orang bodoh yang memakai masker dan topi. “Kenapa kita ke sini? Apa kita sedang menunggu orang? Atau kita akan pergi ke suatu tempat?” tanya Aghata. “Bukan kita, tapi hanya Nona,” jawab Clarista. “Aku?” Menunjuk diri sendiri. “Kenapa aku harus pergi?” tanya Aghata.
Sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan. Belum sempat menenangkan diri setelah melihat jubah hitam dan masker yang bersimbah darah kering, Aghata kembali dikejutkan dengan berkas warisan di tangan. Dalam berkas itu tertulis perusahaan Alto Grup murni milik Bramasta, ayah kandung Mimi Yudistira. Ketentuan warisan sendiri akan diberikan secara turun temurun. Jika ada keturunan yang masih hidup maka dia berhak mendapatkan warisan. Itu artinya Aghata mempunyai hak untuk mendapatkan warisan itu. Dia langsung memasukkan berkas itu ke dalam koper dan mengambil jubah serta masker tanpa membawa kotaknya. Aghata kembali merapihkan kamar Nando yang sedikit berantakan karena ulahnya. Lalu segera keluar dari ruang kerja Nando. Aghata pergi ke kamarnya menaruh berkas, jubah, dan masker di dalam sebuah kotak yang berisi barang bukti. Kotak itu akan digunakan untuk mengembalikan semua yang seharusnya menjadi miliknya.