Sepanjang jalan, desa-desa yang mereka lewati menjadi lebih sepi. Penduduknya semakin berkurang seiring semakin jauhnya dari ibukota. Terkadang, rombongan itu tak bisa menemukan penginapan satu pun sehingga mereka harus membangun tenda.
Nampaknya Sheira dan Ditrian tak banyak bicara. Ditrian berada di posisi semula, dimana dia diacuhkan oleh wanita itu.
"Yang Mulia ...," Sir George berhenti. Rombongan itu pun ikut berhenti.
Dari jarak itu mereka bisa melihat kabut tebal yang membentang di balik desa. Wajah Sir George ngeri. Ia menelan ludah.
Ditrian melangkahkan kudanya ke barisan depan. Wajah semua orang tegang, termasuk Putri Sheira.
"Ayo," perintah Ditrian.
Rombongan itu melangkah menghampiri desa. Hanya ada beberapa bangunan di sana. Warganya sangat sedikit, bisa dihitung jari.
"Lihat! Direwolf datang lagi!" seru seorang anak kecil. Ia menunjuk pada mereka.
Sir George turun dari kudanya dan menghampiri seorang
"AAAAAKK!"Sesosok mahluk bersayap kelelawar melintas di atas kepala-kepala mereka. Ia menjerit keras sampai memekakkan telinga. Tak ada yang tahu seperti apa rupanya. Semua orang sibuk menunduk menyelamatkan kepala masing-masing. Lalu mahluk itu ditelan kabut. Tidak tahu terbang ke arah mana. Tapi ia masih berteriak-teriak."Apa itu tadi?!" ucap Sir George dengan suara bergetar."Diam!" desis Ditrian.Mereka menengadahkan pandangan ke atas, waspada sekaligus takut akan apa yang sedang mengintai di balik kabut.Sheira merapal mantra lagi. Kulit wajahnya tergambar pola-pola aneh bercahaya keemasan kont
Lipan yang lain, berwajah seperti Sir Alan Marken yang telah meninggal. Satunya lagi, Ditrian juga kenal. Itu Sir Phillip Marken. Saat kembali ke istana, wajah keduanya sudah tidak ada. Sir George bilang, dimakan lipan raksasa berwajah manusia.Kini ... Ditrian melihatnya dengan mata kepala sendiri. Lipan berwajah manusia. Lipan dengan wajah Alan dan Phillip sahabatnya semasa muda dulu. Dua lipan itu tengah mengunyah bangkai lipan yang mati. Tubuh lipan-lipan itu setebal pepohonan yang mereka lalui. Panjangnya mungkin lima belas meter.Gigi-gigi mereka tajam seperti mata ujung tombak. Mereka berdua masih lahap mengunyah-kunyah bangkai lipan raksasa itu."Alan ... Phillip ...," ucap Ditrian parau.Dua mahluk itu berh
Sebuah pintu tua tertutup rapat di menara bagian bawah. Pintu itu cukup tinggi, dilapisi akar-akar tanaman yang kering.Ditrian dan Sheira, keduanya sudah berada di depan pintu.Sheira menarik akar-akar tanaman. Pasukan lainnya juga ikut membantu, tak terkecuali Ditrian. Sementara di angkasa, mahluk-mahluk kelelawar aneh dan menyeramkan masih mengamuk, berusaha melampaui perisai dari Sheira."Sepertinya pintu ini terkunci," gumam Ditrian.Lalu pria itu berusaha menarik pegangan dari besi berbentuk cincin yang tersambung pada pintu, sudah lapuk. Nihil. Seperti tidak bergeser seinci pun. Ditrian dan pasukannya juga bersama-sama mendorong pintu. Sama saja."Hah. T
"Aku sudah jatuh cinta padamu, Sheira.""Lalu? Apa yang kau inginkan? Bukankah aku juga sudah menjadi istrimu? Apa itu tidak cukup?"Ditrian mengulum bibirnya. Ia beralih, kini tubuhnya sudah berada di atas Sheira, hanya lengannya saja yang menopang. Pemandangan malam itu terhalang oleh Ditrian dan mata emasnya."Aku belum mendapatkanmu seluruhnya. Kau mungkin akan mengira aku adalah pria yang egois. Itu memang benar. Aku ingin memilikimu seutuhnya hanya untuk diriku sendiri, Sheira.""Kau tidak mengerti.""Kalau begitu buat aku mengerti! Apa yang kau inginkan dariku? Bagaimana membuatmu jatuh cinta padaku?! Bagaimana agar aku bisa memikatmu?! Buat aku mengerti
Ditrian tak mengira ... ruang di balik pintu besar itu sangat besar. Lebih besar dari aula pesta istananya. Ada stalaktit yang menggantung di atap-atap ruang ini.Yang paling mencengangkan, ia bisa melihat gunungan emas dan permata di lantai ruangan. Membumbung tinggi sekali seperti persediaan gandum untuk musim dingin di lumbung. Koin-koin emas, perhiasan, tiara, mahkota, tongkat emas, emas batangan, semuanya ada di sana. Semua jenis benda yang bisa dicetak memakai emas, ada di sana. Bahkan ada kereta kuda dari emas dan permata juga.Ia dan Sheira ternganga. Cahayanya terpantul terang oleh emas itu. Di salah satu sudut ruangan, ada ratusan gaun yang berjejer digantungan pakaian. Tapi mereka seperti sudah lapuk dimakan rayap. Kain-kainnya telah hancur dan ditutupi debu tebal.
Ditrian tidak menyangka... hari itu dia akan berpisah dengan wanitanya. Kalau dia tahu, dia tidak akan pernah menginjakkan kakinya kemari.Sudah sebulan lamanya Ditrian menunggu pintu itu terbuka. Ia berada di ruang kosong yang hanya terhubung dengan lorong. Ujung ke ujungnya sudah terkunci. Dia terjebak di sini. Tidak makan, tidak minum selama sebulan.Ia menebas-nebas pintu dengan Pedang Orion, dan menggigit dengan taring serigalanya pun percuma. Cuma menyisakan sayatan-sayatan tak berarti pada pintu besar itu. Dia dikunci oleh Magi seekor naga bernama Aragon.Ia telah melepas zirahnya. Luka yang tidak terlalu parah itu, kini membusuk. Mereka menggerogoti tubuh Ditrian.Dia juga sudah tidak tahu apa yang akan terj
"Si brengsek!" geram Ditrian. Tangannya mengerat pada pegangan Pedang Orion.Ini adalah hari yang paling buruk baginya. Si brengsek Alfons datang. Putra Mahkota Kekaisaran Revendel yang paling picik. Dia jauh lebih buruk dari Kaisar Julius. Hal-hal merugikan terjadi semenjak si ceking itu dinobatkan sebagai Putra Mahkota sekaligus mendapat porsi kekuasaan sebagai tangan kanan kaisar."Panggil Tuan Putri kemari!" perintah Raja Ditrian dari atas kursi makannya.Mata 'hantu' Ditrian beralih pada dirinya di meja itu. Hatinya mencelos.'Ini gara-gara aku," batinnya.Tak berapa lama kemudian, selir Raja Ditrian hadir di ruang makan. Wajahnya pucat seperti tiang puala
"Raja telah mangkat! Raja telah mangkat!" seru suara di koridor.Mata perak Sheira terbuka, ia terjaga dari tidur nyenyaknya. Tubuhnya bangkit terduduk, telinganya berusaha memastikan kalau itu bukanlah mimpi buruk."Raja telah mangkat!" seru orang-orang di luar sekali lagi. Gemuruh langkah kaki dan seruan orang-orang di istana, samar terdengar.Sheira langsung melompat dari kasur. Ia meraih selendang di kursi untuk menutupi tubuhnya yang cuma memakai gaun tidur. Rambutnya acak-acakan. Kakinya setengah berlari menuju pintu.Saat ia membuka pintu itu, para pelayan, dayang, ajudan, serta beberapa pengawal berlarian menuju ke arah yang sama. Tanpa ragu, Sheira juga ikut. Ia tahu kemana mereka pergi, wajahnya cemas.