Share

BAB >< 002

Hujan turun membasahi bumi setelah kekeringan melanda kota itu selama beberapa bulan, seolah mewakili perasaan hampa Neira yang berdiri di tepi balkon kamar tanpa menghiraukan udara dingin malam disertai percikan air hujan yang mengenai sebagian pakaian tidurnya.

Sudah beberapa menit gadis itu berdiri di sana sambil menatap datar langit tanpa bintang dengan pikiran berkecamuk. Belum selesai perkara tentang kematian papanya, yang menurut laporan terakhir polisi merupakan suatu kasus kecelakaan yang disengaja, tiba-tiba muncul lagi kabar bahwa perusahaan keluarganya sedang diambang kebangkrutan.

Perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan dan minuman itu sudah dirintis oleh papanya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, namun baru menemui kejayaan kurang lebih tiga tahun lalu ketika ia memasuki sekolah menengah atas.

Bertahun-tahun Neira menyaksikan perjuangan papanya dalam membangun bisnis itu. Lantas setelah papanya sudah tiada, apakah perusahaan itu juga harus ikut hilang direbut orang lain. Sebab menurut laporan dari salah satu karyawan papanya, pemicu utama kebangkrutan perusahaan mereka karena adanya orang yang berhasil membeli tujuh puluh lima persen saham di perusahaan itu.

Entah hal itu sudah diketahui oleh papanya sebelum meninggal atau belum. Namun satu hal yang pasti, papanya pasti tidak akan senang mendengar kabar jatuhnya perusahaan mereka.

Hujan yang semakin deras mengguyur, membuat Neira mau tidak mau harus segera masuk ke dalam kamarnya. Baju yang ia kenakan sudah basah di bagian depan terkena cipratan air dan rasanya pasti tidak nyaman untuk digunakan tidur.

Setelah mengunci rapat pintu penghubung kamar dengan balkon, Neira bergerak mengambil baju lain di lemari dan akan mengganti bajunya yang basah di kamar mandi.

Mungkin karena efek air hujan dan angin malam yang dingin, Neira menjadi flu. Untuk mencegah dirinya terserang penyakit, ia memutuskan untuk membuat teh yang akan membantu tubuhnya menjadi hangat.

Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam, tapi suasana rumahnya sudah seperti tengah malam yang menyisakan sepi. Lampu ruang tamu sudah dipadamkan yang menjadi kebiasaan baru setelah papanya meninggal. Karena sebelumnya, lampu-lampu di rumah itu tidak pernah padam di bawah jam sepuluh malam.

Seperti niat awalnya turun ke lantai bawah untuk membuat teh, gadis itupun berlalu ke dapur. Beberapa lampu kecil di ruangan itu sudah dipadamkan menyisakan lampu utama sebagai satu-satunya penerangan.

Jika malam-malam sebelumnya, Neira akan menemui mamanya di ruang keluarga sedang berkumpul bersama papa serta adiknya, kali ini ia justru menemukan mamanya di dapur. Wanita itu berdiri di depan kompor yang menyala dengan sebuah panci berisi air tengah dipanaskan.

"Ma," panggil Neira mendekat.

Wanita yang dipanggilnya dengan sebutan mama itu menoleh. Keningnya mengkerut karena baju Neira berbeda dengan yang digunakan gadis itu ketika makan malam tadi. Padahal Elvina---Mama Neira---tahu bahwa sore harinya Neira sudah mandi dan baru mengganti pakaian.

"Kamu habis mandi? Padahal di luar sedang hujan loh, Nei," kata mamanya.

Antara dapur dan ruang makan hanya dibatasi oleh meja counter. Neira menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Meja counter itu persis seperti meja-meja yang ada di Bar. Tapi tentu saja tidak ada minuman beralkohol yang tersusun di meja itu seperti di bar.

"Sebenarnya tadi Neira terkena sedikit hujan, jadi ganti baju karna basah." Tentu saja itu bukan kebohongan, tetapi Neira tidak menceritakan bahwa ia terkena hujan karena sengaja berdiam diri di balkon kamar.

"Harusnya kamu langsung keringkan rambut kamu." Elvina memeriksa airnya yang sudah mendidih. Setelah mematikan kompor, wanita itu mengambil dua cangkir teh di dalam lemari. "Kamu mau teh, kan? Biar mama yang buatkan."

Padahal Neira belum mengatakan apapun, tetapi Elvina sudah tahu apa yang ia mau. Sementara mamanya membuat teh, Neira berdiri untuk mengambil toples berisi biskuit di lemari dekat meja makan. Meski niatnya hanya untuk menghangatkan badan, teman celap-celup teh tidak boleh ketinggalan.

Dua cangkir teh disajikan Elvina di atas meja. Wanita itu menarik kursi persis di samping Neira dan ikut menikmati teh bersama biskuit rasa kelapa. Kegiatan ngeteh di dapur juga pertama kali dilakukan mereka sepanjang hidup, karena biasanya mereka akan melakukan itu di ruang keluarga, bersama kepala keluarga mereka juga tentunya. Tapi mungkin mulai sekarang mereka akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru agar tidak terlalu larut dengan kenangan yang ditinggalkan oleh Ferdinand, Papa Neira, suami Elvina.

Setelah teh di cangkirnya tersisa setengah, Neira memberanikan diri menegur Elvina. Selama kurang lebih satu minggu ini Neira membiarkan Elvina menenangkan diri, meski ia pun kadang merasa iba ketika tidak sengaja melihat mamanya tiba-tiba berdiam diri lalu menangis.

Rasa cinta Niera kepada papanya mungkin tidak sebesar rasa cinta Elvina kepada suaminya. Tetapi untuk masalah kehilangan, mungkin keduanya sama-sama merasakan sakit yang luar biasa. Bedanya sekarang, Neira perlahan sudah ikhlas. Air mata yang sering tumpah ketika mengingat sang papa, pelan-pelan ia ubah menjadi sebuah doa agar papanya bisa tenang di alam sana.

"Mama masih sedih karena kepergian papa?" tanya Neira hati-hati, tidak ingin membuat Elvina sedih.

Gerakan Elvina yang ingin meminum tehnya terhenti, dan membiarkan cangkir itu menggantung di depan mulutnya. Wanita itu melakukan gerakan meniup isi cangkir meski tehnya sendiri sudah setengah hangat.

Setelah meneguk sekali tehnya, lalu meletakkan cangkir itu di atas piring, barulah Elvina menjawab pertanyaan Neira. Wanita itu menjawab sambil memandangi putrinya itu.

"Tidak, Sayang. Mama tidak mau menyusahkan papa di sana. Jadi, mama tidak akan bersedih apalagi menyesali kepergiannya."

"Neira sering liat Mama tiba-tiba diam. Lalu menangis. Jadi, kalau bukan mikirin Papa, Mama mikirin apa?"

Mungkin sebagian anak, tidak mau ikut campur dengan urusan orangtuanya, atau memilih tidak mengetahui masalah yang tengah dihadapi keluarganya. Tetapi bagi Neira, beban keluarga, terutama mamanya sebagai satu-satunya orangtua yang ia punya saat ini merupakan bebannya juga. Ia tidak bisa berdiam diri melihat mamanya gelisah dan bersedih seorang diri.

"Sebenarnya mama memikirkan tentang pesan terakhir Papa di rumah sakit. Jadi, Papa mengatakan untuk menemui sahabatnya bernama Haidar, dan juga pengacara Papa."

Neira ingat. Waktu itu dengan kondisi yang sangat lemah, papanya masih memaksakan diri untuk bicara dan menyampaikan beberapa pesan kepada mamanya. Pesan itu hanya beberapa kata yang tidak jelas. Ia dan mamanya sendiri tidak bisa langsung mengartikan apa maksudnya. Karena saat itu papanya hanya mengatakan untuk menemui sahabatnya yang bernama Haidar, dan mencari pengacara serta menyinggung tentang wasiat.

"Mama kenal sama orang yang bernama Haidar itu?"

Elvina menggeleng. Ferdinand memiliki banyak teman. Ada teman sejak sekolah, kuliah, atau teman bisnis. Ia tidak tahu Haidar yang dimaksud ini teman dari mananya.

"Lalu bagaimana kita bertemu dengannya?"

Hal itulah yang dipikirkan Elvina beberapa hari ini. Ia berharap akan mendapat sebuah petunjuk.

"Mama akan terus mencari tahu. Mungkin petunjuk pertama akan kita dapatkan di perusahaan. Mama akan segera datang ke sana."

Neira menarik tangan Elvina ke dalam genggamannya. Karena ia tidak mengerti apapun tentang bisnis. Dukungan terbaik yang bisa ia berikan hanyalah doa.

🥀🥀🥀

Fhyfhyt Safitri

10 November 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status