Hujan turun membasahi bumi setelah kekeringan melanda kota itu selama beberapa bulan, seolah mewakili perasaan hampa Neira yang berdiri di tepi balkon kamar tanpa menghiraukan udara dingin malam disertai percikan air hujan yang mengenai sebagian pakaian tidurnya.
Sudah beberapa menit gadis itu berdiri di sana sambil menatap datar langit tanpa bintang dengan pikiran berkecamuk. Belum selesai perkara tentang kematian papanya, yang menurut laporan terakhir polisi merupakan suatu kasus kecelakaan yang disengaja, tiba-tiba muncul lagi kabar bahwa perusahaan keluarganya sedang diambang kebangkrutan.
Perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan dan minuman itu sudah dirintis oleh papanya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, namun baru menemui kejayaan kurang lebih tiga tahun lalu ketika ia memasuki sekolah menengah atas.
Bertahun-tahun Neira menyaksikan perjuangan papanya dalam membangun bisnis itu. Lantas setelah papanya sudah tiada, apakah perusahaan itu juga harus ikut hilang direbut orang lain. Sebab menurut laporan dari salah satu karyawan papanya, pemicu utama kebangkrutan perusahaan mereka karena adanya orang yang berhasil membeli tujuh puluh lima persen saham di perusahaan itu.
Entah hal itu sudah diketahui oleh papanya sebelum meninggal atau belum. Namun satu hal yang pasti, papanya pasti tidak akan senang mendengar kabar jatuhnya perusahaan mereka.
Hujan yang semakin deras mengguyur, membuat Neira mau tidak mau harus segera masuk ke dalam kamarnya. Baju yang ia kenakan sudah basah di bagian depan terkena cipratan air dan rasanya pasti tidak nyaman untuk digunakan tidur.
Setelah mengunci rapat pintu penghubung kamar dengan balkon, Neira bergerak mengambil baju lain di lemari dan akan mengganti bajunya yang basah di kamar mandi.
Mungkin karena efek air hujan dan angin malam yang dingin, Neira menjadi flu. Untuk mencegah dirinya terserang penyakit, ia memutuskan untuk membuat teh yang akan membantu tubuhnya menjadi hangat.
Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam, tapi suasana rumahnya sudah seperti tengah malam yang menyisakan sepi. Lampu ruang tamu sudah dipadamkan yang menjadi kebiasaan baru setelah papanya meninggal. Karena sebelumnya, lampu-lampu di rumah itu tidak pernah padam di bawah jam sepuluh malam.
Seperti niat awalnya turun ke lantai bawah untuk membuat teh, gadis itupun berlalu ke dapur. Beberapa lampu kecil di ruangan itu sudah dipadamkan menyisakan lampu utama sebagai satu-satunya penerangan.
Jika malam-malam sebelumnya, Neira akan menemui mamanya di ruang keluarga sedang berkumpul bersama papa serta adiknya, kali ini ia justru menemukan mamanya di dapur. Wanita itu berdiri di depan kompor yang menyala dengan sebuah panci berisi air tengah dipanaskan.
"Ma," panggil Neira mendekat.
Wanita yang dipanggilnya dengan sebutan mama itu menoleh. Keningnya mengkerut karena baju Neira berbeda dengan yang digunakan gadis itu ketika makan malam tadi. Padahal Elvina---Mama Neira---tahu bahwa sore harinya Neira sudah mandi dan baru mengganti pakaian.
"Kamu habis mandi? Padahal di luar sedang hujan loh, Nei," kata mamanya.
Antara dapur dan ruang makan hanya dibatasi oleh meja counter. Neira menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Meja counter itu persis seperti meja-meja yang ada di Bar. Tapi tentu saja tidak ada minuman beralkohol yang tersusun di meja itu seperti di bar.
"Sebenarnya tadi Neira terkena sedikit hujan, jadi ganti baju karna basah." Tentu saja itu bukan kebohongan, tetapi Neira tidak menceritakan bahwa ia terkena hujan karena sengaja berdiam diri di balkon kamar.
"Harusnya kamu langsung keringkan rambut kamu." Elvina memeriksa airnya yang sudah mendidih. Setelah mematikan kompor, wanita itu mengambil dua cangkir teh di dalam lemari. "Kamu mau teh, kan? Biar mama yang buatkan."
Padahal Neira belum mengatakan apapun, tetapi Elvina sudah tahu apa yang ia mau. Sementara mamanya membuat teh, Neira berdiri untuk mengambil toples berisi biskuit di lemari dekat meja makan. Meski niatnya hanya untuk menghangatkan badan, teman celap-celup teh tidak boleh ketinggalan.
Dua cangkir teh disajikan Elvina di atas meja. Wanita itu menarik kursi persis di samping Neira dan ikut menikmati teh bersama biskuit rasa kelapa. Kegiatan ngeteh di dapur juga pertama kali dilakukan mereka sepanjang hidup, karena biasanya mereka akan melakukan itu di ruang keluarga, bersama kepala keluarga mereka juga tentunya. Tapi mungkin mulai sekarang mereka akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru agar tidak terlalu larut dengan kenangan yang ditinggalkan oleh Ferdinand, Papa Neira, suami Elvina.
Setelah teh di cangkirnya tersisa setengah, Neira memberanikan diri menegur Elvina. Selama kurang lebih satu minggu ini Neira membiarkan Elvina menenangkan diri, meski ia pun kadang merasa iba ketika tidak sengaja melihat mamanya tiba-tiba berdiam diri lalu menangis.
Rasa cinta Niera kepada papanya mungkin tidak sebesar rasa cinta Elvina kepada suaminya. Tetapi untuk masalah kehilangan, mungkin keduanya sama-sama merasakan sakit yang luar biasa. Bedanya sekarang, Neira perlahan sudah ikhlas. Air mata yang sering tumpah ketika mengingat sang papa, pelan-pelan ia ubah menjadi sebuah doa agar papanya bisa tenang di alam sana.
"Mama masih sedih karena kepergian papa?" tanya Neira hati-hati, tidak ingin membuat Elvina sedih.
Gerakan Elvina yang ingin meminum tehnya terhenti, dan membiarkan cangkir itu menggantung di depan mulutnya. Wanita itu melakukan gerakan meniup isi cangkir meski tehnya sendiri sudah setengah hangat.
Setelah meneguk sekali tehnya, lalu meletakkan cangkir itu di atas piring, barulah Elvina menjawab pertanyaan Neira. Wanita itu menjawab sambil memandangi putrinya itu.
"Tidak, Sayang. Mama tidak mau menyusahkan papa di sana. Jadi, mama tidak akan bersedih apalagi menyesali kepergiannya."
"Neira sering liat Mama tiba-tiba diam. Lalu menangis. Jadi, kalau bukan mikirin Papa, Mama mikirin apa?"
Mungkin sebagian anak, tidak mau ikut campur dengan urusan orangtuanya, atau memilih tidak mengetahui masalah yang tengah dihadapi keluarganya. Tetapi bagi Neira, beban keluarga, terutama mamanya sebagai satu-satunya orangtua yang ia punya saat ini merupakan bebannya juga. Ia tidak bisa berdiam diri melihat mamanya gelisah dan bersedih seorang diri.
"Sebenarnya mama memikirkan tentang pesan terakhir Papa di rumah sakit. Jadi, Papa mengatakan untuk menemui sahabatnya bernama Haidar, dan juga pengacara Papa."
Neira ingat. Waktu itu dengan kondisi yang sangat lemah, papanya masih memaksakan diri untuk bicara dan menyampaikan beberapa pesan kepada mamanya. Pesan itu hanya beberapa kata yang tidak jelas. Ia dan mamanya sendiri tidak bisa langsung mengartikan apa maksudnya. Karena saat itu papanya hanya mengatakan untuk menemui sahabatnya yang bernama Haidar, dan mencari pengacara serta menyinggung tentang wasiat.
"Mama kenal sama orang yang bernama Haidar itu?"
Elvina menggeleng. Ferdinand memiliki banyak teman. Ada teman sejak sekolah, kuliah, atau teman bisnis. Ia tidak tahu Haidar yang dimaksud ini teman dari mananya.
"Lalu bagaimana kita bertemu dengannya?"
Hal itulah yang dipikirkan Elvina beberapa hari ini. Ia berharap akan mendapat sebuah petunjuk.
"Mama akan terus mencari tahu. Mungkin petunjuk pertama akan kita dapatkan di perusahaan. Mama akan segera datang ke sana."
Neira menarik tangan Elvina ke dalam genggamannya. Karena ia tidak mengerti apapun tentang bisnis. Dukungan terbaik yang bisa ia berikan hanyalah doa.
🥀🥀🥀
Fhyfhyt Safitri
10 November 2021Motor metik berwarna pink hasil modifikasi berhenti di sebuah halaman rumah bertingkat namun tidak begitu besar. Neira yang mengendarainya melepas helm berwarna senada dari kepala lalu menggantung benda itu di spion motor. Terik matahari di siang hari menjadi alasan utama gadis itu tidak berlama-lama di atas motor dan segera berteduh di dalam rumah. Pemandangan pertama yang Neira temui ketika membuka pintu adalah kehadiran Yasmin di ruang tamu. Gadis kecil berusia hampir tujuh tahun yang tak lain adalah adiknya itu sedang bermain barbie di lantai beralaskan karpet bulu. Dengan senyum mengembang Neira berjalan menghampiri Yasmin. "Wah, cantik sekali rambut barbie-nya, panjang seperti rambut Yasmin, yah." Ia pun ikut duduk di sana setelah melepas sepatunya. "Iya dong, kan barbie-nya rajin pakai sampo kayak Yasmin." Ucapan Yasmin disambut senyuman hangat oleh Neira. Gadis itu beralih mengelus rambut sang adik yang terasa begitu lembut di t
Tok ... Tok ... Tok ... Ketukan pada pintu menghentikan gerakan Neira yang ingin menyampirkan tas di punggung. Ia pun berjalan ke arah pintu untuk membukanya lalu mendapati seorang gadis kecil sudah rapi dengan seragam khas PAUD. Yasmin berdiri menghadap Neira dengan senyum lebar menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Halo Putri Yasmin, ada apa?" sapa Neira sambil berjongkok mensejajarkan tinggi dengan sang adik. "Mama panggil buat sarapan, Kak," kata gadis kecil itu. Dengan tinggi yang sudah sejajar, Yasmin bisa dengan mudah memeluk Neira. Tidak ingin bertanya alasan mengapa Yasmin memeluknya secara tiba-tiba, Neira pun membalas pelukan itu sambil mengelus rambut adiknya yang kali ini dibiarkan terurai dan hanya diberi jepitan pita di bagian atas kepala. Pelukan itu pun terurai setelah beberapa detik. Neira kembali berdiri lalu masuk ke kamar untuk mengambil tas kemudian mengajak Yasmin turun. "Ayo tu
Kondisi jalanan yang lenggan, membuat Neira bisa melajukan motornya dengan kecepatan dua kali lipat dari biasanya. Hal yang ia lakukan agar tidak terlambat sampai sekolah. Alhasil dua puluh menit kemudian, ia pun berhasil tiba di depan gerbang SMA Pelita Husada. Baru saja ia berseru senang karena berhasil sampai tepat waktu, tiba-tiba sebuah mobil jenis sport melaju cukup kencang dan hampir membuat motornya kehilangan keseimbangan. Untung saja Neira bukan pengguna motor pemula, sehingga meski dengan susah payah ia berhasil menguasai motornya tetap seimbang. Beberapa orang yang melewati gerbang sempat berhenti untuk melihat kondisi Neira. Bahkan, security sekolah juga menghampirinya. "Astaghfirullah. Neng, gak apa-apa?" Pak Joko, nama yang tertera di name tag seragam security itu bertanya dengan khawatir. Neira yang berhasil menguasai motor, menepikan kendaraan itu ke pos security. Ia melepas helm untuk menghirup oksigen sebanyak-banyakn
Dari sekian banyak hobi, untuk ukuran seorang remaja yang hidup di jaman milenial, bermain bola mungkin akan menjadi pilihan terakhir. Ketika sekarang, dunia sudah mulai bergantung pada digital terutama ponsel. Sebut saja Tiktok. Aplikasi yang hampir dimiliki setiap orang di ponsel mereka. Segala hal bisa ditemukan di sana. Mulai dari sekedar berjoget, turorial memasak, atau menjual barang dagangan. Atau kalau mau bermain game. Banyak jenis game online yang bisa dimainkan di ponsel. Free Fire, PUBG, atau Mobile Legend sudah mulai dimainkan anak usia lima tahun. Tapi, untuk seorang Keanu Atlan Bumi, hobi yang selalu ia senangi sejak kecil hingga berusia tujuh belas tahun tidak pernah berubah, yaitu bermain bola. Dengan cita-cita serupa, yaitu menjadi pemain bola. Meski kata orang kebanyakan, menjadi seorang pemain bola tidak menjamin masa depan yang cerah. Atlan, sapaan akrab cowok bertubuh tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter itu sudah dua puluh
Selepas dari kantin, Atlan tidak langsung kembali ke kelas. Setelah tiba di anak tangga terakhir lantai tiga, cowok itu berbelok ke kanan. Di mana jalanan itu mengarah ke gudang dan rooftop. Lorong itu jarang terjamah, bahkan merupakan area bebas siswa-siswi. Karena gudang adalah tempat penyimpanan benda-benda penting sekolah. Siswa-siswi dilarang berkeliaran di sana untuk menghindari adanya oknum yang iseng merusak peralatan sekolah.Tetapi meski sudah ada aturan agar menjauhi area itu, tetap saja ada siswa yang suka melanggar peraturan. Contoh kecilnya adalah Atlan. Cowok itu memang tidak ingin masuk ke gudang, melainkan ke tempat yang hampir tidak pernah didatangi siapapun selain dirinya, yaitu rooftop.Atlan menaiki satu per satu tangga menuju rooftop tanpa halangan berarti hingga dirinya tiba di depan sebuah pintu. Dulunya pintu itu terkunci agar tidak ada seorang pun yang bisa masuk. Tetapi sekali lagi, Atlan selalu punya cara agar apa yang ia ingin
Hal apa yang paling menyenangkan dari menjadi anak tunggal di keluarga kaya raya? Harta warisan yang sangat banyak bahkan lebih dari cukup untuk tujuh turunan?Tapi, apa gunanya semua itu jika hidup tetap kesepian. Anak yang selalu ditinggal sendiri oleh orangtuanya karena sibuk bekerja akan menjadi anak yang penyendiri dan hilang kasih sayang.Kebanyakan mungkin begitu, tapi bagi Atlan semua itu tidaklah ada bedanya.Selama ini Atlan tidak pernah mempermasalahkan jika kedua orangtuanya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, sehingga jarang berada di rumah dan hampir tidak pernah menemani Atlan bermain.Dari kecil Atlan diasuh penuh oleh mamanya hanya sampai usia tiga tahun. Ketika Atlan kecil mulai masuk sekolah PAUD, segala keperluannya diambil alih oleh asisten rumah. Mulai dari memandikan, memberi makan, mendongengkan sebelum tidur, mengantar ke sekolah, sampai bermain semua dilakukan oleh asisten bundanya.Tapi, tentu F
🥀 KISAH DI PENGHUJUNG SMA (9)Frida tidak pernah mengingkari janjinya. Apalagi jika itu berhubungan dengan Atlan. Sore hari di jam lima, Frida dan Haidar tiba di rumah bertepatan dengan Atlan yang baru bangun tidur akibat kekenyangan.Di atas meja ruang tamu, sudah tertata rapi beberapa kotak kue dengan merek toko ternama di Jakarta Pusat, dan semua itu adalah kesukaan Atlan."Lain kali Bunda gak usah repot-repot begini. Belinya banyak banget lagi, siapa yang bakal habisin," ujar Atlan ketika tiba di ruang tamu.Frida yang sedang dibantu Bi Rumi dan dua asisten lain membereskan belanjaan untuk dibawa ke dalam menoleh lalu menghampiri Atlan dan memeluk putranya itu."Bunda kangen banget loh sama kamu. Kangen gak sama bunda?" Pelukan Frida sudah seperti mereka tidak bertemu berbulan-bulan."Iya, Bunda. Sama Ayah juga kangen," balas Atlan memeluk sama eratnya.Baru saja namanya disebut, Haidar tiba-tiba muncul di balik pintu. "Sep
Menjadi siswa peraih juara umum satu jurusan IPA seangkatan kelas dua belas bukan berarti Atlan selalu suka berurusan dengan buku apalagi perpustakaan. Selama hampir tiga tahun bersekolah di Pelita Husada, bisa dihitung jari berapa kali Atlan menginjakkan kaki di ruangan itu. Jangankan di perpustakaan sekolah, perpustakaan di rumahnya saja jarang ia masuki. Dan sekarang jika bukan karena Ibu Tiwi yang meminta tolong mengembalikan buku paket fisika yang mereka ambil tadi untuk belajar, mungkin Atlan tidak akan berada di sana. Mengantri untuk bertanda tangan sebagai bukti bahwa buku yang kelas dua belas IPA 1 pinjam telah dikembalikan. Prinsip Atlan ini tentu berbanding terbalik dengan kebanyakan siswa yang justru suka berada di perpustakaan. Selain untuk membaca buku, tujuan lain mereka pasti untuk menikmati WiFi gratis, juga sejuknya AC yang tentu tidak didapatkan di kelas. Atlan sudah mengantri cukup lama, jika siswi yang berdiri di depannya t