Seorang gadis yang masih berseragam SMA lengkap dengan tas menggantung di punggung, berlarian menyusuri lorong sebuah rumah sakit. Tempat itu sudah rutin ia datangi selama tiga hari terakhir ketika pulang sekolah. Namun, kali ini kedatangannya begitu terburu-buru terlihat bagaimana ia tidak sempat untuk sekedar berganti pakaian.
Dengan napas terengah gadis itu berhasil tiba di depan sebuah ruang rawat bertuliskan VIP kelas satu. Sebelum masuk, ia harus menyingkirkan gurat khawatir juga menghapus bercak air mata yang sempat lolos membasahi pipinya ketika dalam perjalanan menuju ke sana.
Setelah menghirup napas beberapa kali dan kembali memasang topeng baik-baik saja, tangannya terulur untuk menarik handle pintu.
Ketika pintu berhasil terbuka setengah, di depannya kini berdiri dua orang berbeda gender. Sang pria adalah dokter di rumah sakit itu, dan yang wanita tidak lain adalah mamanya sendiri. Terlihat keduanya sedang bicara sehingga tidak menyadari kehadiran gadis itu di sana.
"Ibu harus lebih banyak berdoa kepada Allah."
"Serahkan semua ini kepada Sang Pencipta."
"Sesungguhnya, hidup dan mati hanya milik-Nya."
"Tidak ada salahnya mengharapkan sebuah keajaiban."
Begitulah petuah sang dokter yang disampaikan kepada wanita yang berdiri di hadapannya.
Masih dari tempatnya berdiri, gadis itu melihat seseorang sedang terbaring tidak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya.
Pria yang tidak lain adalah papanya memang sudah tidak pernah sadarkan diri selain tiga hari yang lalu ketika pertama kali dibawa ke rumah sakit usai mengalami kecelakaan. Kondisi luka yang parah membuat dokter tidak bisa memastikan kapan pasiennya akan sadar. Terlebih, tadi papanya sudah mengalami kejang. Alasan utama mengapa ia rela meninggalkan pelajaran sekolah meski belum waktunya pulang.
Hal yang sempat membuat mama serta dirinya panik luar biasa kembali terjadi. Papanya kembali mengalami kejang dan dokter bergerak untuk memberi pertolongan. Dengan keahlian seorang dokter, akhirnya kejang yang dialami papanya berakhir bersamaan dengan mata pria itu yang perlahan terbuka.
Gadis itu sekuat tenaga menahan diri untuk tidak segera berlari memeluk papanya yang sudah sadarkan diri. Selain karena dokter masih melakukan pemeriksaan, ia juga tidak mau menemui sang papa dalam kondisi menangis. Berbeda dengan mamanya yang memiliki pengendalian diri menutupi kesedihan cukup baik, ia justru sangat payah dalam hal itu.
Meski di hadapan dokter, mamanya bisa menangis tersedu-sedu, ketika berhadapan dengan papanya tidak ada ekspresi selain kebahagiaan seakan semua baik-baik saja. Wanita itu bahkan bisa dengan mudah tersenyum cerah ketika meraih tangan suaminya yang terpasang selang infus.
"M-ma."
Air mata gadis itu kembali jatuh mendengar suara papanya setelah tiga hari tak sadarkan diri. Ada harapan terselip bahwa sebentar lagi papanya akan sembuh.
"M-ma."
"Iya, Pa. Mama di sini."
Meski dalam kondisi lemah, tetapi pria itu masih bisa menyunggingkan senyum walau sangat tipis hampir tidak terlihat.
"Ha-Haidar. Tem-temui d-dia."
"Pe-nga-ca-ra, su-rat wa-si-at."
"Se-lam-atkan pe-ru-sa-haan kit-ta."
Senyum nyaris tidak terlihat itu kembali terukir bersamaan dengan matanya yang perlahan tertutup. Tangan dalam genggaman mamanya juga terkulai hingga jatuh di sisi tubuhnya.
Dokter kembali memeriksa kondisi pria itu. Berbagai cara dilakukannya termasuk mencoba untuk membantu mengontrol ritme jantung pasien dengan defribrilator. Tiga kali percobaan tetap tidak ada perubahan. Bersamaan dengan monitor yang menampilkan garis lurus, dokter menyatakan bahwa pria itu sudah tiada.
"Maaf, nyawa Pak Ferdinand tidak tertolong."
Mendengar keputusan terakhir sang dokter, saat itulah gadis yang sejak tadi hanya bisa memperhatikan segalanya dari depan pintu berjalan mendekat. Ia menghampiri mamanya yang terdiam memperhatikan dokter dan perawat yang baru masuk tengah melepaskan segala alat medis yang menempel di tubuh pria itu.
"Ma," panggilnya.
Wanita itu menoleh dan tersenyum penuh kesedihan kepada sang anak. "Papa sudah tiada."
"Papa meninggalkan kita."
"Papa." Saat itulah air mata yang sudah dipendam mamanya beberapa hari kemarin mulai tumpah. Tubuhnya hampir jatuh jika saja gadis itu tidak segera memeluk mamanya.
Gadis itu mengusap punggung mamanya tanpa kata-kata. Membiarkan wanita itu untuk menumpahkan segala kesedihan. Mereka memang sama-sama kehilangan, namun tidak ada luka paling dalam selain luka mamanya. Wanita yang selalu berusaha terlihat tegar kini menjadi begitu rapuh.
Dokter dan perawat sudah keluar dari ruangan itu setelah menutup jasad papanya dengan kain putih. Gadis itu terlebih dahulu mendudukkan mamanya di kursi sebelum menghampiri ranjang di mana papanya terbaring.
Untuk beberapa saat ia menyesali dirinya yang tidak berada di samping papanya, tidak menggenggam tangan pria itu di detik-detik terakhir hembusan napasnya.
Dengan perlahan ia menarik kain putih yang menutup seluruh tubuh papanya. Air matanya ikut luruh meski tanpa isakan. Ia mendekat, memberi kecupan terakhir di dahi pria hebat selama hidupnya sambil membisikkan kata-kata yang selalu ingin ia katakan namun sekarang sudah terlambat.
"Aku sayang Papa."
🥀🥀🥀Fhyfhyt Safitri10 November 2021Bel panjang penanda jam istirahat telah berakhir membawa langkah seorang gadis yang baru saja keluar dari ruang guru, kini berjalan menyusuri koridor lantai dua untuk kembali ke kelasnya. Gadis itu mengambil arah sebelah kanan untuk menaiki tangga menuju lantai tiga di mana kelas dua belas berada. Ketika sampai di anak tangga terakhir langkahnya terhenti setelah hampir bertabrakan dengan seseorang yang tiba-tiba melintas di depannya. Orang itu yang ternyata adalah seorang siswa tidak berhenti sama sekali, justru terus berjalan ke sisi kanan di mana jalanan itu mengarah ke gudang dan rooftop. Mengabaikan tentang rasa penasarannya mengenai siapa siswa itu dan mau ke mana perginya, ia pun berbelok ke arah berlawanan menuju kelas dua belas IPA 3. Pintu kelas itu tertutup serupa dengan kelas lain. Tetapi ia tahu bahwa tidak ada aktivitas belajar mengajar di dalam sana. Karena tujuan ia dipanggil oleh wali kelasnya adalah untuk
Hujan turun membasahi bumi setelah kekeringan melanda kota itu selama beberapa bulan, seolah mewakili perasaan hampa Neira yang berdiri di tepi balkon kamar tanpa menghiraukan udara dingin malam disertai percikan air hujan yang mengenai sebagian pakaian tidurnya. Sudah beberapa menit gadis itu berdiri di sana sambil menatap datar langit tanpa bintang dengan pikiran berkecamuk. Belum selesai perkara tentang kematian papanya, yang menurut laporan terakhir polisi merupakan suatu kasus kecelakaan yang disengaja, tiba-tiba muncul lagi kabar bahwa perusahaan keluarganya sedang diambang kebangkrutan. Perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan dan minuman itu sudah dirintis oleh papanya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, namun baru menemui kejayaan kurang lebih tiga tahun lalu ketika ia memasuki sekolah menengah atas. Bertahun-tahun Neira menyaksikan perjuangan papanya dalam membangun bisnis itu. Lantas setelah papanya sudah tiada, apakah perusahaan itu
Motor metik berwarna pink hasil modifikasi berhenti di sebuah halaman rumah bertingkat namun tidak begitu besar. Neira yang mengendarainya melepas helm berwarna senada dari kepala lalu menggantung benda itu di spion motor. Terik matahari di siang hari menjadi alasan utama gadis itu tidak berlama-lama di atas motor dan segera berteduh di dalam rumah. Pemandangan pertama yang Neira temui ketika membuka pintu adalah kehadiran Yasmin di ruang tamu. Gadis kecil berusia hampir tujuh tahun yang tak lain adalah adiknya itu sedang bermain barbie di lantai beralaskan karpet bulu. Dengan senyum mengembang Neira berjalan menghampiri Yasmin. "Wah, cantik sekali rambut barbie-nya, panjang seperti rambut Yasmin, yah." Ia pun ikut duduk di sana setelah melepas sepatunya. "Iya dong, kan barbie-nya rajin pakai sampo kayak Yasmin." Ucapan Yasmin disambut senyuman hangat oleh Neira. Gadis itu beralih mengelus rambut sang adik yang terasa begitu lembut di t
Tok ... Tok ... Tok ... Ketukan pada pintu menghentikan gerakan Neira yang ingin menyampirkan tas di punggung. Ia pun berjalan ke arah pintu untuk membukanya lalu mendapati seorang gadis kecil sudah rapi dengan seragam khas PAUD. Yasmin berdiri menghadap Neira dengan senyum lebar menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Halo Putri Yasmin, ada apa?" sapa Neira sambil berjongkok mensejajarkan tinggi dengan sang adik. "Mama panggil buat sarapan, Kak," kata gadis kecil itu. Dengan tinggi yang sudah sejajar, Yasmin bisa dengan mudah memeluk Neira. Tidak ingin bertanya alasan mengapa Yasmin memeluknya secara tiba-tiba, Neira pun membalas pelukan itu sambil mengelus rambut adiknya yang kali ini dibiarkan terurai dan hanya diberi jepitan pita di bagian atas kepala. Pelukan itu pun terurai setelah beberapa detik. Neira kembali berdiri lalu masuk ke kamar untuk mengambil tas kemudian mengajak Yasmin turun. "Ayo tu
Kondisi jalanan yang lenggan, membuat Neira bisa melajukan motornya dengan kecepatan dua kali lipat dari biasanya. Hal yang ia lakukan agar tidak terlambat sampai sekolah. Alhasil dua puluh menit kemudian, ia pun berhasil tiba di depan gerbang SMA Pelita Husada. Baru saja ia berseru senang karena berhasil sampai tepat waktu, tiba-tiba sebuah mobil jenis sport melaju cukup kencang dan hampir membuat motornya kehilangan keseimbangan. Untung saja Neira bukan pengguna motor pemula, sehingga meski dengan susah payah ia berhasil menguasai motornya tetap seimbang. Beberapa orang yang melewati gerbang sempat berhenti untuk melihat kondisi Neira. Bahkan, security sekolah juga menghampirinya. "Astaghfirullah. Neng, gak apa-apa?" Pak Joko, nama yang tertera di name tag seragam security itu bertanya dengan khawatir. Neira yang berhasil menguasai motor, menepikan kendaraan itu ke pos security. Ia melepas helm untuk menghirup oksigen sebanyak-banyakn
Dari sekian banyak hobi, untuk ukuran seorang remaja yang hidup di jaman milenial, bermain bola mungkin akan menjadi pilihan terakhir. Ketika sekarang, dunia sudah mulai bergantung pada digital terutama ponsel. Sebut saja Tiktok. Aplikasi yang hampir dimiliki setiap orang di ponsel mereka. Segala hal bisa ditemukan di sana. Mulai dari sekedar berjoget, turorial memasak, atau menjual barang dagangan. Atau kalau mau bermain game. Banyak jenis game online yang bisa dimainkan di ponsel. Free Fire, PUBG, atau Mobile Legend sudah mulai dimainkan anak usia lima tahun. Tapi, untuk seorang Keanu Atlan Bumi, hobi yang selalu ia senangi sejak kecil hingga berusia tujuh belas tahun tidak pernah berubah, yaitu bermain bola. Dengan cita-cita serupa, yaitu menjadi pemain bola. Meski kata orang kebanyakan, menjadi seorang pemain bola tidak menjamin masa depan yang cerah. Atlan, sapaan akrab cowok bertubuh tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter itu sudah dua puluh
Selepas dari kantin, Atlan tidak langsung kembali ke kelas. Setelah tiba di anak tangga terakhir lantai tiga, cowok itu berbelok ke kanan. Di mana jalanan itu mengarah ke gudang dan rooftop. Lorong itu jarang terjamah, bahkan merupakan area bebas siswa-siswi. Karena gudang adalah tempat penyimpanan benda-benda penting sekolah. Siswa-siswi dilarang berkeliaran di sana untuk menghindari adanya oknum yang iseng merusak peralatan sekolah.Tetapi meski sudah ada aturan agar menjauhi area itu, tetap saja ada siswa yang suka melanggar peraturan. Contoh kecilnya adalah Atlan. Cowok itu memang tidak ingin masuk ke gudang, melainkan ke tempat yang hampir tidak pernah didatangi siapapun selain dirinya, yaitu rooftop.Atlan menaiki satu per satu tangga menuju rooftop tanpa halangan berarti hingga dirinya tiba di depan sebuah pintu. Dulunya pintu itu terkunci agar tidak ada seorang pun yang bisa masuk. Tetapi sekali lagi, Atlan selalu punya cara agar apa yang ia ingin
Hal apa yang paling menyenangkan dari menjadi anak tunggal di keluarga kaya raya? Harta warisan yang sangat banyak bahkan lebih dari cukup untuk tujuh turunan?Tapi, apa gunanya semua itu jika hidup tetap kesepian. Anak yang selalu ditinggal sendiri oleh orangtuanya karena sibuk bekerja akan menjadi anak yang penyendiri dan hilang kasih sayang.Kebanyakan mungkin begitu, tapi bagi Atlan semua itu tidaklah ada bedanya.Selama ini Atlan tidak pernah mempermasalahkan jika kedua orangtuanya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, sehingga jarang berada di rumah dan hampir tidak pernah menemani Atlan bermain.Dari kecil Atlan diasuh penuh oleh mamanya hanya sampai usia tiga tahun. Ketika Atlan kecil mulai masuk sekolah PAUD, segala keperluannya diambil alih oleh asisten rumah. Mulai dari memandikan, memberi makan, mendongengkan sebelum tidur, mengantar ke sekolah, sampai bermain semua dilakukan oleh asisten bundanya.Tapi, tentu F