Share

Bab 5

Saking terkejutnya, Herbert lantas duduk dan terus mencecar pertanyaan. “Apakah ada orang yang pernah datang ke rumah kita? Katakan padaku, Riley!” Herbert menghunuskan tatapan tajamnya ke arah bola mata Riley.

“Kita tinggal di tengah hutan yang tidak pernah terjamah oleh orang luar. Tidak ada orang yang tahu keberadaan kita. Aku tidak mengerti, Kak, kenapa sampai sekarang kau masih menahan kami. Janjimu kepada Kak Avraam kita akan kembali ke desa ketika Brockley sudah berumur delapan tahun seandainya mereka kalah perang. Jika mereka menang perang, tidak perlu kita berlama-lama mengasingkan diri. Tujuan kita mengasingkan diri supaya kita dan Brockley tetap aman. Sebagian penduduk desa yang mengasingkan pun sama seperti kita. Seandainya mereka menang perang, untuk apa berlama-lama tinggal di hutan ini?” Riley menumpahkan semua kekesalannya setelah hampir dua puluh tahun mengasingkan diri.

Padahal, bukan jawaban itu yang diharapkan oleh Herbert. Sebenarnya Herbert hanya ingin tahu siapa lelaki yang dicintai oleh Riley sementara hanya ada tiga orang di dalam rumah. Dia pikir, tidak mungkin anak dan keponakannya. Dan jika lelaki itu dia sendiri, kenapa Riley membalas omongannya dengan cara membentak?

Herbert kembali mengulangi pertanyaannya. “Seseorang yang pernah kau kenal sekitar dua puluh tahun lalu?”

Tidak lama Riley berpikir. “Ya, aku sudah mengenalnya hampir dua puluh tahun yang lalu.”

Herbert terkenang dengan sekumpulan lelaki yang dekat dengan Riley sewaktu di desa. Bisa jadi teman belajar di perguruan. Atau seorang pedagang di pasar. Gurunya? Tetangganya?

Tidak bisa terus-terusan Herbert menerka-nerka. “Katakan siapa lelaki yang kau cintai!” desak Herbert.

Makin tak nyaman, Riley pun tak mengindahkan omongan Herbert terakhir itu. Dia melenggang meninggalkan rumah, hanya kalimat permisi yang terucap. “Sore kami akan pulang.” Riley segera menghampiri Brockley dan Lothar.

Meskipun belakangan ini Riley memberikan perhatian besar, bukan berarti dia lantas berharap sesuatu dari Herbert. Baginya, Herbert seperti kakaknya sendiri, layaknya Avraam maupun Megan.

Namun, tidak menurut Herbert. Dia beranggapan bahwa sikap baik Riley selama ini seperti sebuah tanda, terlebih lagi selepas Yara meninggal dunia, Riley baginya bak seorang kekasih.

Tidak kehabisan cara, akhirnya suatu ketika, begitu tubuhnya agak sehat, Herbert menyuruh Brockley dan Lothar untuk pergi ke pasar. Baru kali ini dia memperbolehkan yang lain pergi jauh.

“Sudah lama kita tidak berbelanja. Gandum dan rempah-rempah kita sudah menipis. Kalian berdua juga beli daging dan buah-buahan yang banyak untuk persediaan. Pergilah!” Herbert memberikan mereka dua keping emas dan tiga puluh keping perak.

Karena untuk kali pertama keluar hutan, Brockley dan Lothar melonjak kegirangan. Mereka berdua senang nian rasanya bisa menikmati suasana luar. Parahnya, dua lelaki itu bahkan tidak pernah bertemu orang asing sekali pun.

Ketika mereka berjalan kaki menyusuri hutan sekitar lima belas menit, Lothar tiba-tiba dikejutkan sesuatu. “Adik, kita tidak bawa senjata apa pun. Bagaimana kalau kita bertemu penjahat nantinya?”

Brockley tersentak. “Benar juga Kak. Kita harus bawa senjata biar tetap aman. Baiklah, Kakak tunggu di sini, biar aku saja yang pulang sebentar.” Brockley membalik badannya lalu setengah berlari.

Begitu hampir mendekati rumah kayu itu, tiba-tiba Brockley mendengar jeritan Riley dari dalam rumah. Tidak lama berselang terdengar suara pecahan keramik.

Ctar!

“Kak Riley!” gumam Brockley menyeringai wajahnya. Begitu dekat pintu, Brockley pun melompat tinggi lalu meluruskan kaki kanannya dan menerjang pintu.

GAR!

Pintu itu langsung terbuka dan rusak meski tadi dikunci dengan rapat.

Mengagetkan, Brockley melihat pamannya mau menyergap tubuh molek Riley.

Sementara Riley sudah terpojok dan raut wajah yang sangat takut.

“Apa yang Paman lakukan pada Kak Riley?!” Brockley terbelalak dan makin menyeringai. “Menjauh dari Kak Riley!” Brockley melangkah maju sambil mengepalkan tinjunya.

Herbert mendengus marah dan menatap nyalang penuh emosi. “Kau Brockley keponakanku! Kenapa kau pulang? Apa kau mau durhaka sama pamanmu?”

“Aku pulang mau mengambil senjata karena takut bakal bertemu penjahat.” Brockley menatap mata pamannya lurus-lurus dan berkata dengan sangat dingin. “Ternyata, penjahatnya ada di sini.”

“Kau jangan pernah berpikiran yang macam-macam sama pamanmu!” sergah Herbert berang.

“Jika Paman tidak jahat, kenapa Kak Riley sampai ketakutan seperti itu?”

Riley menyeret tubuhnya yang lemah dan mendekat ke Brockley. Jika Brockley tidak pulang, asli bisa diperkosa dia oleh Herbert. Dia berkata dengan lemah, “Pamanmu jahat. Dia memasaku untuk menjadi istrinya, sementara aku tidak mau dan tidak pula cinta padanya padahal sudah sangat sering aku bilang padanya.”

Saat ini, Brockley sudah dewasa dan tentu bisa membaca situasi. Dia banyak belajar dari dua orang ini. Herbert dan Riley banyak memberikan pelajaran berarti padanya sehingga menjadikan dirinya lelaki yang matang dan cerdas.

Brockley menyesali perbuatan Riley. Kenapa Riley tidak pernah bercerita padanya selama ini? Mengetahui bahwa pamannya bermaksud jahat, apalagi bertindak mesum, Brockley sangat marah. Dia tidak peduli seberapa baik pamannya kalau ternyata punya maksud yang sangat buruk.

“Paman Herbert mau memperkosa Kak Riley?” sentak Brockley sambil menyipitkan matanya. Dia memasang kuda-kuda yang sudah sangat sering diajarkan oleh pamannya. Siap bertarung.

“Jaga sikapmu, Brockley! Dengan melakukan gerakan seperti itu dan berkata keras di hadapanku, berarti kau tidak tahu arti terima kasih dan tidak menghargai pamanmu. Kau dua puluh tahun aku besarkan dan aku didik, sementara kau menantangku? Keponakan macam apa kau?” Herbert mulai naik darahnya.

“Aku selalu menghormati dan menyayangimu, Paman. Aku sudah menganggapmu sama seperti ayah kandungku sendiri. Jangan bilang kalau aku durhaka padamu. Tapi perlu Paman ketahui juga. Aku pun sudah menganggap Kak Riley layaknya ibu kandungku sendiri. Dia pun sangat berjasa bagiku. Aku menghormati dan menyayanginya, maka dari itu kalau Paman kurang ajar padanya, wajar saja aku sangat marah. Aku tidak suka jika ada orang, siapa pun, yang mau melukai perasaan ibuku, apalagi orang itu mau menyetubuhinya.”

Menyaksikan Brockley yang begitu gagah, Herbert malah tersenyum tipis sambil menggeleng. “Kau besar karenaku, Brockley. Kau bisa seperti ini karena aku.”

“Apakah Paman mau hitung-hitungan?”

“Tidak. Aku tidak mau hitung-hitungan pada mu. Tapi, aku heran kau malah menantang pamanmu sendiri. Jaga bicara dan ekspresi wajahmu di hadapanku. Aku tidak suka kau seperti itu.”

Brockley maju dua langkah sambil menyingsingkan lengan baju. “Aku lebih tidak suka kalau Paman bersikap seperti itu kepada Kak Riley. Jika Kak Riley tidak mau menjadi istri Paman, jangan dipaksa! Tindakan Paman yang mau menyetubuhi Kak Riley adalah sebuah kejahatan besar bagiku. Karena itu, aku mau membelanya!”

“Kau mau bertarung dengan Paman?”

“Ya! Aku mau bertarung dengan mu, Paman!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status