Share

Bab 4

Raja Avraam berulang kali melakukan pencarian anaknya dan rombongan tapi hasilnya nihil. Selama belasan tahun lamanya dia menunggu kehadiran putra sulungnya itu. Dan Megan, selama belasan tahun pula dia merindukannya. Suami istri itu resah mencari dan menunggu Brockley.

Paman Herbert punya kebijakan lain. Dia memutuskan untuk mengembalikan Brockley kembali ke desa pada saat Brockley sudah dewasa disertai dengan ilmu dan skill bela diri yang luar biasa. Alasan lain adalah dia berpikir bahwa Kekaisaran Omra pasti menang perang dan telah menguasai desa.

Jika pulang sekarang, tentunya dia dan lainnya hanya akan menjadi budak, atau setidaknya menjadi masyarakat biasa yang harus bekerja bagi Imperium Omra dan membayar pajak setiap bulan. Bagi Herbert, dia harus menjadikan Brockley setara dengan Jenderal Perang, bahkan kalau bisa lebih dari itu.

“Kapan kita pulang, Paman?” tanya Brockley setelah baru saja latihan bela diri. Masa remajanya dipenuhi dengan latihan fisik setiap hari. Tiada hari tanpa latihan.

“Ketika kau bisa menjadi pemimpin perang! Bukankah kau mau jadi jagoan?” Hebert tersenyum lebar sambil mengelus kepala keponakannya.

“Tentu aku mau jadi pemimpin perang!” jawab Brockley penuh semangat.

Lothar menepuk-nepuk bahu adik sepupunya. “Biarkan aku menjadi komandan atau penasehatmu, Jenderal!” sahutnya sambil nyengir.

Brockley mencak-mencak memperagakan gerakan-gerakan bela diri. Dia meninju-ninju batang pohon pisang. “Tentu, Kak Lothar! Kita akan berjuang bersama menjadi pahlawan bagi desa!”

Selain itu, Herbert juga mengajarkan Brockley berlari, memanjat, merangkak di lumpur, berenang di sungai, dan semua latihan ala militer. “Fisikmu harus kuat, Brockley. Kau juga, Lothar! Jangan kalah dari adikmu!” perintah Herbert dengan sangat tegas.

Lothar merengek. “Tapi aku selalu kalah dari Brockley, Ayah. Dia kuat dan pintar. Pukulan dan tendangannya sangat kuat.”

“Makanya kau harus belajar banyak darinya!”

Ayahnya Herbert seorang petarung, jago gulat, berpedang, dan memanah. Semua keahlian tersebut diwariskan kepada Avraam dan Herbert sejak kecil. Meskipun tidak pernah berperang, keahlian tersebut mereka gunakan untuk bertahan hidup, menghadapi penjahat, dan berburu di hutan.

Herbert berjanji akan mewariskan semua kepada anak dan keponakannya, demi keluarga dan desa.

“Paman, apakah kita menang perang?” tanya Brockley penasaran.

Herbert tak mau menjawab. Sebab, hal yang ada dalam pikirannya waktu itu adalah Kekaisaran Omra pasti menang dan akan banyak warga desa yang mati karena dibantai. Semua prediksi demikian muncul dikarenakan banyak alasan yang jelas. Herbert paham seberapa kuat militer Kekaisaran Omra.

Tapi itu menurut Herbert, nyatanya sekarang kakanya telah belasan tahun menjadi raja. Jika Herbert pulang, dia pasti akan sangat takjub dengan semua perubahan di sana. Hanya saja, dia masih membutuhkan banyak waktu lagi sebelum nanti pulang ke sana.

“Apakah ayahku masih hidup?” tanya Brockley dengan ekspresi yang penuh tanda tanya. Betapa tidak, selama belasan tahun dia memikirkan nasib keluarga dan desa tempat tinggalnya yang tidak tahu seperti apa. Kecuali, dia mendengar banyak cerita dari Herbert, Yara, dan Riley tentang indahnya Desa Arbilis. Ketika Riley menceritakan sosok Avraam dan Megan, keinginan Brockley mau pulang semakin besar, betapa inginnya dia bertemu dengan kedua orang tuanya. Jadi, wajar jika dia bertanya seperti itu.

Herbert memberikan semangat kepada Brockley meski omongan itu tidak sejalan dengan isi hatinya. “Ayahmu masih hidup. Paman tahu betul siapa ayahmu. Dia sangat pintar, berani, dan jago bertarung. Paman yakin, ayahmu memerangi pertempuran lalu menjadi pemimpin desa!”

“Benarkah, Paman?” Brockley sangat senang mendengarnya. Matanya berbinar bahagia. “Aku tidak sabar ingin segera pulang ke desa, menemui ayah dan ibu. Paman, cepatlah kita pulang!” rengek Brockley dengan wajah memelas penuh harap.

Untuk ke sekian kalinya, jika diminta untuk pulang, Hebert pasti menggeleng lalu meninggalkan Brockley meskipun remaja itu sampai menangis karena saking sedihnya.

***

Dalam sebuah kesempatan, Brockley diajarkan menggunakan pedang. “Coba kau tebas bambu itu!” perintah Herbert.

Brockley mengambil kuda-kuda, menggenggam pedang dengan dua tangan dan mengangkatnya cukup tinggi, kemudian mengayunkannya dengan sekuat tenaga.

Bruuukk!!

Lima bambu yang berjejer semuanya terpotong rapi.

Herbert terkesima.

Penasaran, akhirnya Herbert menantang keponakannya untuk berduel satu lawan satu. Di awal latihan, Hebert sengaja mau melihat setangguh apa Brckley dan membiarkannya terus mengeluarkan serangan. Tak dinyana, bahkan Brockley lebih mahir dari pada Avraam ketika usia seperti ini.

Wush!

Wush!

Jika Herbert tak pandai mengelak, kepalanya bisa lepas dari badan. Di luar perkiraan, Brockley dengan cepat menguasai beberapa teknik penggunaan pedang. Hebatnya, Brockley bisa menggunakan pedang dengan kedua tangannya. Luar biasa!

Ketika latihan memanah, Brockley pun sangat mahir dan Hebert tidak memerlukan waktu lama untuk memberikan pengajaran kepada keponakannya. Maka sejauh ini Brockley sudah menguasai teknik bela diri, menggunakan pedang, dan memanah, serta paham taktik peperangan.

***

Hari pun berganti hari dan seiring berjalannya waktu yang sangat lama. Sekitar dua puluh tahun sudah mereka menetap di salah satu hutan yang agak jauh dari Desa Manton.

Sudah delapan tahun semenjak ditinggal Yara yang meninggal karena sakit, kesehatan Herbert mulai agak terganggu sehingga dia sudah sangat jarang melatih Brockley. Herbert lebih sering berada di rumah dan terbaring lemah di atas tempat tidur.

Riley meletakkan ramuan di dekat tempat tidur Herbert. “Kak Herbert, silakan diminum ramuanny Semoga lekas sembuh.”

Ketika Riley beranjak dan kembali mengawasi Brockley dan Lothar latihan di hutan, tiba-tiba Herbert memanggilnya. “Sudah berbulan-bulan kau merawatku di sini. Kau sangat baik, Riley. Usiamu sudah lebih dari empat puluh. Bagaimana pun, perempuan juga punya kebutuhan seks.”

Dilempar pertanyaan seperti itu, Riley tidak bisa untuk tidak melirik wajah Herbert. Dia membaca mata Herbert. Riley peka apa maksud dari perkataan Herbert barusan. Dia mengangguk sebentar lalu menjawab, “Jika kau membiarkan kami pergi dari hutan ini, seperti ke desa sebelah, ke pasar, atau kembali ke desa kita, tentu aku tidak akan menjadi gadis tua seperti ini.” Riley memberengut kesal setelah belasan tahun terkurung di rumah dan sekitar hutan saja.

Sudah berulang kali Riley menyampaikan pada Herbert bahwa dia harus pulang, namun Herbert tak kunjung memenuhi kemauannya. Anehnya, alasan yang dilontarkan oleh Herbert kadang sulit dimengerti. Padahal, ada alasan lain, yakni dia sebenarnya ada keinginan untuk menikahi Riley karena sebagai laki-laki yang sendiri, tentu dia punya hasrat sebagaimana laki-laki pada umumnya, apalagi terhadap perempuan secantik dan seanggun Riley.

“Kita akan pulang ke desa setelah kita menjadi suami istri.”

Riley berdiri dengan raut wajah yang amat kesal. “Tidak akan!”

“Kenapa?” tanya Herbert heran

“Aku sudah mencintai seseorang!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status