Share

KRAMLER
KRAMLER
Penulis: umayyroyy

Chapter 1. Tim Marwen

Marwen segera menyesali keputusannya dalam misi ini: melewati Bukit Fars. Ia dan ketiga rekan satu timnya–Alana, Leotar, dan Gania–dikepung puluhan laba-laba golem. Mereka mencoba melarikan diri. Akan tetapi, laba-laba itu lebih cepat. Mereka terkejar dan terpojok di tepi jurang setelah Marwen memerintahkan berlari ke utara bukit.

"Kau adalah pemimpin terburuk! Keputusanmu selalu buruk!" maki Leotar sembari menyabetkan pedangnya untuk menghadang serangan laba-laba tersebut.

"Cerewet kau! Tebas saja mereka semua dan buka jalan supaya kita bisa lari dari sini!" balas Marwen sambil terus membabat setiap laba-laba yang mendekat.

Sebenarnya Leotar ingin mendebat Marwen, seperti yang biasa ia lakukan ketika Marwen bertindak bodoh atau membuat rekan-rekannya kerepotan. Namun, ia tahu perdebatan dalam situasi demikian tidak akan menghasilkan apa-apa selain kekacauan dan kematian.

Laba-laba golem sendiri adalah makhluk penghuni goa-goa di kaki Bukit Fars. Sesuai namanya, cangkang mereka yang berwarna keabu-abuan sekeras batu dan berduri sehingga kebal terhadap serangan senjata tajam. Ukuran mereka tidak sebesar laba-laba megoliath yang nyaris sebesar rumah; mereka hanya seukuran kucing rumahan. Namun, mereka sangat berbahaya karena berburu secara berkelompok. Berkat racun mereka yang hanya melumpuhkan otot dan tidak mematikan, korbannya akan merasakan sensasi dimakan hidup-hidup.

Sebetulnya Alana sudah mengingatkan agar mereka tidak melewati bukit di sebelah timur ibu kota itu, dan menyarankan agar mereka mengambil jalur yang lebih aman walaupun memakan waktu setengah hari lebih lama. Namun, seperti biasanya dengan entengnya Marwen mengabaikan saran tersebut dan bersikeras melewati jalur tersebut untuk memangkas waktu perjalanan menuju kota Hurmit. Lebih cepat sampai, akan lebih baik, pikirnya. Apalagi di misi kali ia tidak membawa banyak persediaan bir. Ia juga berpendapat bahwa laba-laba golem tidak akan keluar pada siang hari. Pendapat itu didapatnya dari seorang pedagang gerabah keliling yang ditemuinya di pasar. 

Sesungguhnya si pedagang tidak membual, hanya saja keterangan yang ia dapatkan dari seorang penggembala dungu yang tengah mabuk berat itu hanya separuh benar. Laba-laba golem bukannya tidak keluar pada siang hari, mereka tidak menyukai sinar matahari. Sial bagi Marwen, karena juga sedang sama mabuknya, ia menelan ucapan pedagang itu bulat-bulat dan langit di atas Bukit Fars sedang tertutup awan mendung saat ia dan timnya melintas.

"Gunakan sihirmu, Alana!" teriak Marwen.

"Sihir yang mana?"

"Api!"

"Sihir api yang mana? Lemparan bola-bola api atau semburan api naga!"

"Api naga!"

"Tapi aku baru belajar yang itu pekan lalu. Belum sempurna!'

"Kalau begitu yang bola-bola api saja!"

"Apa makhluk-makhluk itu takut api?!"

"Mana aku tahu! Aku belum pernah bertanya pada mereka!" Marwen berteriak sambil terus mengayunkan pedangnya. Ia tampak seperti orang gila yang mengusir lalat yang mengganggunya.

"Bagaimana jika mereka tidak takut api?"

"Daripada terus-terusan bertanya seperti orang tersesat, lebih baik kau coba saja dulu!" Hardik Marwen dengan mata melotot.

Alana mendengkus. "Lindungi aku!" Gadis bermata kehijau-hijauan itu menancapkan pedangnya ke tanah, lalu merapal mantera pemanggil api. Ketiga rekannya melingkarinya.

"Incantus vira ver virre lobapia." Begitu mengucapkan mantera itu, kedua mata Alana langsung menyala sewarna bara. Ia merentangkan kedua tangannya ke samping dengan telapak tangan terkembang. Dari tato bergambar pentagram yang terajah di kedua telapak tangannya, perlahan-lahan muncul titik-titik api yang membesar menjadi seukuran bola tolak peluru. Udara di sekitar mereka yang tadinya sedingin malam hari tiba-tiba menjadi sepanas gurun pasir.

"Minggir!" teriak Alana. Ketiga temannya cepat-cepat menyingkir sambil tetap membentuk perimeter pertahanan.

Gadis itu lantas mengarahkan telapak tangannya pada dua laba-laba golem terdekat. Lalu, dengan sekali hentakan, kedua bola api itu melesat dan menghantam sasarannya. 

Bum! Bum! Serangan Alana tepat sasaran. 

Api langsung melahap tubuh kedua laba-laba itu. Dari mulut mereka keluar suara lengkingan tinggi yang menusuk telinga. Keduanya berlarian ke sana-ke sini dan berguling-guling di rerumputan yang lembab untuk memadamkan api.

Namun, usaha mereka sia-sia. Api sihir Alana bukanlah api biasa. Panasnya tiga kali lipat panas api biasa. Api itu tidak bisa dipadamkan oleh air, dan akan terus berkobar hingga makhluk yang terkena olehnya mati.

Alana belum berpuas diri. Selagi sasarannya berkelojotan, ia kembali menembakkan bola-bola apinya kepada laba-laba lainnya. Seketika daerah itu menjadi terang benderang karena dipenuhi dua puluh opo laba-laba golem yang terbakar. Bau sangit dan asap segera memenuhi tepat itu, membuat Marwen, Leotar, dan Gania terpaksa menutup hidung. 

Melihat teman-temannya mati mengenaskan, laba-laba yang masih tersisa segera kabur. Marwen mengejar mereka, tetapi ia kalah cepat lalu berhenti setelah dua puluh langkah.

"Yah, sebaiknya kalian lari sebelum kubuat laba-laba panggang saus asparagus!" Marwen mengacung-ngacungkan pedangnya, lalu berjalan kembali ke tempat rekan-rekannya. Sambil berjalan, ia sesekali menginjaki beberapa bangkai laba-laba yang sudah menjadi arang hingga hancur.

Menyadari situasi sudah aman, Alana menyudahi sihirnya. Sinar matanya kembali seperti semula. Gadis itu tampak amat letih. Keringat membasahai sekujur pakaiannya. Tiba-tiba tubuhnya melunglai dan ia kehilangan kesadarannya. Ia pun ambruk. Gania yang sedari tadi berada di sampingnya segera menangkapnya.

"Alana!" teriak Gania. Teriakan itu membuat Marwen dan Leotar segera berlari menghampirinya dan Alana.

"Ada apa?"

"Dia keletihan. Sihir itu pasti menguras seluruh tenaganya."

"Cepat sembuhkan dia. Hari hampir gelap. Laba-laba sialan itu pasti kembali lagi dengan jumlah lebih banyak," kata Marwen pada Gania.

"Tidak bisa cepat-cepat, butuh waktu."

"Apa kau bisa menyembuhkannya sambil berjalan?" tanya Leotar pada Gania.

"Bisa."

"Bagus. Kalau begitu, kau sembuhkan Alana sambil berjalan." Leotar mengalihkan pandangannya ke wajah Marwen. "Dan kau ... kau yang akab menggendongnya."

"Aku!?" Marwen terbelalak. "Kenapa harus aku?!"

"Kita nyaris mati di sini karena ide bodohmu." Leotar mengetuk jidat Marwen. "Dan sihir bola api yang menguras tenaga Alana juga idemu. Jadi, kau yang harus bertanggung jawab."

Marwen mendengkus kesal sambil membalikkan badan. "Baiklah, naikkan dia!" 

Leotar segera menaikkan Alana ke punggung Marwen. Gania memungut pedang Marwen dan Alana lalu menyarungkannya ke pemiliknya masing-masing. Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Kali ini Leotar yang berjalan di depan, sementara Gania berjalan di samping Marwen sambil menempelkan tangannya ke kening Alana, menyalurkan energi penyembuhan. Udara kian dingin. Mereka mempercepat langkah.

Setelah berjalan selama setengah jam, mereka berhasil menjauhi Bukit Fars dengan selamat. Laba-laba itu masih ketakutan sehingga enggan membuntuti. Sepanjang jalan, Marwan terus merengut dan sesekali mengeluh.

"Demi janggut para dewa, gadis ini mungkin terlihat langsing, tapi ia lebih berat dari sapi. Pasti ini karena kebiasaannya minum susu yak dan makan manisan sebelum tidur." Marwen meneguk birnya banyak-banyak.

"Apa kau bilang?" Pertanyaan dari Alana yang sudah siuman membuat wajah Marwen sepucat mayat.

"Aku tidak bilang apa-apa," jawab Marwen. Ia terlihat salah tingkah dan ketakutan.

"Bohong. Dia bilang kau lebih berat dari sapi karena sering minum susu yak dan makan manisan," sambar Leotar. Wajah Marwen bertambah pucat.

"Dasar lelaki sialan. Rasakan ini!"

Alana langsung melingkarkan tangan kirinya ke leher Marwen lalu mengeratkannya. Sedangkan tangan kanannya memuntir telinga Marwen hingga memerah. Merasa tercekik dan telinganya perih luar biasa, Marwen panik. Ia berlari pontang-panting sambil berusaha melepaskan diri dari cekikan Alana. Melihat tingkah rekannya, Gania hanya tertawa. Di sampingnya, Leotar geleng-geleng kepala, lalu menengadah, "Wahai, Dewa, mengapa aku harus bekerjasama dengan orang-orang bodoh ini?"

***

Marwen dan anggota timnya memang belum pernah berkunjung ke Hurmit. Mereka tidak tahu kebiasaan para penduduknya. Namun, mereka langsung tahu bahwa kota itu sedang dalam masalah besar. Kota itu seperti kota mati: jalanannya sepi. Seluruh penduduknya mengurung diri di rumah, mengintip gerak-gerik Marwen dan timnya dari balik jendela.

"Gania, apa kau bisa merasakannya?" tanya Marwen.

"Auranya tipis. Aku tidak bisa menemukan di mana persisnya, tapi aku yakin ia masih berada di kota ini."

"Bersiaga," perintah Marwen. Dengan hati-hati mereka bergerak menuju arah yang ditunjukkan Gania.

Hurmit adalah sebuah kota kecil. Dulu ia masuk ke dalam wilayah Kerajaan Hoggart. Setelah Kerajaan Hoggart kalah dalam peperangan melawan Kerajaan Fargonna dan dihancurkan, Hurmit pun terpaksa menggabungkan diri ke dalam ke Kerajaan Fargonna.

Sejatinya kota itu adalah kota yang aman dan tenteram. Namun, dua minggu lalu ketenangan mereka diusik munculnya seekor honum–monster buas yang senang memangsa manusia dan bisa menyamar menjadi manusia dan makhluk apa pun. Dalam rentang waktu itu, tujuh belas warga Hurmit sudah menjadi korban.

Tiga hari lalu pihak Kerajaan menerima laporan kemunculan honum di Hurmit. Laporan itu disampaikan oleh seorang pria yang diutus Walikota Hurmit. Kerajaan pun langsung mengirim Marwen dan timnya untuk menangkap honum yang telah meneror penduduk Hurmit. 

Tim Marwen adalah salah satu dari tiga puluh tim kramler–pasukan penangkap honum. Untuk menjadi seorang kramler, seseorang harus berlatih keras selama bertahun-tahun di Akademi Kramler. Setelah lulus pun mereka tidak bisa langsung bertugas. Mereka baru bisa dipromosikan menjadi seorang kramler jika ada anggota kramler yang meninggal atau berhenti. Jumlah honum yang terus meningkat dan betapa berbahaya dan mematikannya mereka membuat proses promosi berlangsung cepat.

Umumnya, seorang kramler lebih kuat daripada prajurit biasa. Alasan mengapa orang seperti Marwen bisa dijadikan kapten tim, bukannya Leotar yang pintar atau Alana yang menguasai ilmu sihir, sebenarnya sederhana saja: ia tiga tahun lebih tua daripada ketiga rekannya dan ia adalah petarung yang cukup kuat. Ia adalah satu-satunya kramler yang selamat dari pertempuran Vargobah yang terjadi dua tahun silam. Saat itu lima tim Kramler harus menghadapi amukan lima belas honum berbintang empat. Meskipun begitu, soal prestasi, tim Marwen berada di urutan kedua puluh delapan, dan itu disebabkan kekeraskepalaan dan kemampuan Marwen dalam mengambil keputusan.

Saat mereka melewati jalan itu, tiba-tiba pintu sebuah rumah besar yang berada di tepi jalan itu terbuka. Dari balik pintu, keluar seorang pria berbadan tambun yang selalu berkeringat sehingga kulitnya tampak licin. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan janggut dan alisnya juga sudah memutih. Ia tampak ketakutan, tetapi jelas sekali tengah berusaha untuk terlihat tenang. Ia menghampiri mereka dengan langkah yang tampak berat. Marwen dan ketiga anggota timnya memasang sikap waspada.

"Salam, para ksatria-ksatria hebat, selamat datang," kata pria itu sambil menyentuh keningnya dan sedikit membungkuk, sebuah gerakan untuk memberi hormat.

"Honum?" tanya Marwen pada Gania dengan setengah berbisik.

"Bukan. Dia manusia."

"Salam juga, Pak Tua." Marwen turut memberi hormat, diikuti oleh ketiga anggota timnya. "Kami ...."

"Saya sudah tahu siapa kalian."

"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku tidak perlu repot-repot menjelaskan. Tapi, siapakah Anda?"

"Perkenalkan, saya adalah Bimer, walikota Hurmit. Sayalah yang mengutus orang untuk meminta bantuan kalian. Kami merasa terhormat dan terselamatkan atas kedatangan kalian."

"Ah, baguslah kami bisa langsung bertemu dengan Anda, Pak Walikota. Sekarang, bisakah Anda menceritakan dengan lengkap bagaimana awal mula kemunculan honum itu di kota ini?"

Bimer mengangguk. Ia lantas menceritakan semua yang ia tahu. Marwen dan anggota timnya mendengarkan dengan saksama, berusaha menangkap dan mencerna setiap informasi, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dalam menghadapi honum, informasi yang terdengar receh pun bisa sangat berharga.

"Apa kau mencurigai seseorang?" tanya Leotar.

"Ada beberapa orang yang terlihat mencurigakan, tetapi kami yakin ia menyamar menjadi Serenia."

"Apa dasar dugaanmu itu?"

"Sepuluh dari tujuh belas orang yang menjadi korban, tinggal di sekitar rumahnya."

"Di mana rumahnya?" tanya Marwen.

"Di selatan."

Marwen dan ketiga anggotanya saling pandang. Keterangan dari Bimer sesuai dengan deteksi Gania. Berbekal peta sederhana rute menuju rumah Serenia yang digambar Bimer, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan untuk menunaikan tugas.

"Tunggu. Akan kukumpulkan beberapa penduduk untuk membantu kalian."

"Tidak perlu. Kalian bukan tandingan honum. Lebih baik kalian bersiap-siap mengungsi, andaikata kami gugur di sini," kata Alana. Perkataan tadi membuat wajah Bimer kian pucat.

***

Meskipun hari masih terang, kondisi di sekitar rumah Serenia sangat sepi dan mencekam. Sebagian besar warga yang tinggal di daerah itu sudah mengungsi ke rumah kerabat mereka yang berada di bagian lain kota itu. Sisanya yang tidak bisa mengungsi memilih bertahan di rumah masing-masing dalam ketakutan. Kesunyian yang begitu hebat membuat aura kematian terasa amat kental, seolah-olah sang maut sedang bersenndung di telinga setiap orang.

Rumah Serenia sendiri tampak sangat menyedihkan. Tiang-tiangnya nyaris patah dan miring. Gentingnya berlubang. Dinding-dindingnya sudah lapuk dan memancarkan kemuraman, cocok dengan tempat tinggal yang disukai honum. Di sekelilingnya, tanaman-tanaman mengering dan mati, seperti disiram dengan obat pembasmi rumput. Fenomena itu biasanya disebabkan oleh hawa yang dipancarkan honum, kian menguatkan dugaan Marwen dan anggota timnya bahwa makhluk itu ada di dalam sana.

Semenjak kehilangan kewarasannya setelah suaminya meninggal, kehidupan Serenia dan Elenda semakin sulit. Ia tidak mampu merawat rumah dan dirinya. Para penduduk pun mengucilkannya. Dan setelah kejadian ini dan merebaknya dugaan-dugaan, mereka kian menjauhinya.

"Aku merasakan aura honum yang kuat dari rumah itu." Gania menunjuk rumah Serenia.

"Baiklah. Kita pakai formasi kedua." Sambil meneguk sisa birnya, Marwen mencabut pedangnya melangkah ke kanan, disusul oleh Leotar yang bergerak ke kiri. Alana sendiri bertahan di posisinya, sedangkan Gania mundur agak jauh ke belakang. Ini bukanlah perburuan  honum pertama mereka. Namun, tetap saja jantung mereka berdebar kencang.

Formasi kedua Kramler sebenarnya merupakan variasi ringan dari formasi standar Kramler yang terdiri dari dua orang petarung, satu orang penyegel, dan satu orang penyembuh. Di tim itu, Marwen dan Leotar bertugas sebagai petarung, Gania berperan menjadi penyembuh dan pendeteksi, dan Alana bertugas menjadi penyegel. Bedanya dengan formasi standar, di formasi kedua, penyegel memegang peran ganda: menyegel honum yang sudah dilemahkan sekaligus menyokong para petarung dengan memberikan serangan jarak jauh.

Marwen dan Leotar sudah berada di posisi masing-masing. Alana juga sudah siap dengan serangan jarak jauhnya: sihir sambaran kilat. Akan tetapi, sebelum Marwen bergerak, pintu rumah Serenia tiba-tiba terbuka.

Dari balik pintu, keluar seorang wanita berumur awal tiga puluhan berkulit sangat pucat karena jarang terkena sinar matahari dan berambut awut-awutan yang menebar bau apak. Dialah Serenia. Ia tampak tidak menyukai kehadiran Marwen dan anggota timnya. Matanya yang seperti mata orang yang kerasukan, menatap Marwen dan Leotar dengan penuh kebencian.

"Siapa kalian, apa yang kalian inginkan?"  Apakah kalian datang untuk mengsusir kami?"

Marwen dan Leotar tidak menjawab. Mereka memegang gagang pedangnya erat-erat sambil melirik Gania.

"Hei! Apa kalian tuli?! Aku bertanya pada kalian! Apakah aku harus menghajar kalian untuk mendapatkan jawabannya?!" Serenia mengambil sapu lalu menuruni tangga beranda rumahnya.

"Ganiaaa. Apa itu dia?" tanya Marwen.

Gania merentangkan telapak tangannya ke arah Serenua. "Bukan. Dia manusia."

"Apa kau yakin? Dia tidak terlihat seramah manusia lainnya."

"Aku yakin. Aku bisa merasakan honum itu masih ada di dalam sana."

"Maaf, Nyonya. Siapakah yang tinggal bersama Anda?" Kali ini Alana yang bertanya.

"Untuk apa kau menanyakan itu? Pergi!"

"Tenanglah, Nyonya. Daripada marah-marah seperti itu, lebih baik Anda ikut dengan kami ke tempat aman," bujuk Leotar sambil mengulurkan tangannya.

"Diam kau! Pergi sebelum aku menghajar mulutmu dengan ini!" Serenia mengacungkan sapunya.

Namun, sebelum Serenia sempat berbuat apa-apa. Dari pintu yang terbuka, muncul sesosok gadis kecil berumur tujuh tahun. Ia terlihat tidak terawat dengan baik. Bajunya compang camping. Rambutnya panjang dan tidak beraturan. Ia sedikit kurus, tetapi cukup manis untuk anak seusianya. Dialah Elenda.

"Siapa mereka, Mama? Aku takut." tanya Elenda. Suaranya merdu, tetapi sedikit bergetar. Ia berlari kecil menyusul Elenda sambil mengelus kepala kucing putih yang tengah digendongnya. Angin membuat rambut hitam panjangnya berkibar, juga meniupkan aromanya ke hidung Marwen dan Leotar.

Begitu melihat Elenda, wajah Gania menegang. Jantungnya berdegub kian kencang. Ia langsung berseru sambil menunjuk Elenda. "Marwen! Leotar! Hati-hati! Itu dia!

Marwen dan Leotar saling pandang memberi sinyal. Kemudian, mereka bergerak secepat yang mereka bisa ke arah Elenda. Teriakan Serenia membahana.

Buk! Trang!

Leotar menendang kucing yang ada di pelukan Elenda, lalu menangkap gadis kecil itu dan Serenia. Kucing itu melayang, lalu tiba-tiba tubuhnya membesar dan berubah menjadi makhluk menyeramkan mirip singa dengan tubuh sebesar kerbau dengan tiga tanduk, tiga mata yang merah menyala, enam kaki, dan dua buah ekor yang seperti ekor kalajengking. Makhluk itu berusaha mencakar Leotar, tetapi pedang Marwen berhasil menghalau serangannya. 

"Bagaimana kau menemukanku?" Makhluk itu menggeram dengan suara bagaikan suara halilintar.

"Kau boleh saja menyamarkan auramu menggunakan gadis itu. Tapi, kau lupa satu hal," kata Marwen.

"Apa itu!?"

"Mulutmu yang masih belepotan darah itu mengeluarkan bau amis darah manusia. Seharusnya kau mencuci mulut setelah makan."

"Sialan kau!"

Honum itu kembali menyerang Marwen dengan cakarnya yang masing-masing sebesar belati. Sungguh itu serangan yang sangat mematikan. Setiap cakarannya mampu menembus baju besi dan merobek tubuh pria dewasa dengan sekali tebas.

Selagi Marwen bertarung, Leotar segera mengantarkan Serenia dan Elenda kepada Gania untuk ditenangkan. Elenda dan Serenia tampak sangat terkejut mendapati kucing mereka ternyata seekor Honum. Keduanya hanya bisa menyaksikan pertarungan itu sambil menangis ketakutan.

Marwen menghindari setiap serangan makhluk itu dengan bergerak ke kanan dan ke kiri. Sebisa mungkin ia memancing makhluk ke tempat terbuka agar pertarungan mereka tidak menghancurkan rumah penduduk. Ia berpikir para penduduk sudah cukup menderita oleh ketakutan. Kehancuran rumah mereka tentu saja akan menambah beban dan ia tidak ingin itu terjadi. Sesekali ia menyerang balik dengan tebasan dan tusukan pedang. Beberapa serangannya berhasil melukai makhluk itu. Namun, karena ia terlalu mabuk, akurasinya menjadi berkurang, tidak cukup fatal untuk bisa melumpuhkan lawannya.

Makhluk itu kian meradang. Serangannya kian cepat dan kian ganas. Sabetan ekornya berhasil menjatuhkan Marwen. Ia pun kembali memburu Marwen dengan mengirimkan tusukan ekor.

Marwen pun terdesak. Pada saat itulah Leotar datang memberikan bantuan dengan menyerang makhluk itu dari belakang. Tebasan Leotar berhasil membuntungi kedua ekor makhluk itu. Selamat dari tusukan ekor, Marwen segera berguling ke samping, lalu bangkit untuk kembali bertempur.

Alana juga tidak tinggal diam. Setelah Serenia dan Elenda berada di titik yang aman, ia melepaskan serangan jarak jauh dengan penuh perhitungan dan akurasi tinggi. Salah satu sihir sambaran kilatnya bahkan berhasil menghancurkan salah satu kaki makhluk itu.

Makhluk itu berusaha menumbuhkan kembali bagian tubuhnya yang putus dan hancur. Akan tetapi, daya regenerasinya tidak terlalu cepat. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Marwen, Leotar, dan Alana untuk segera menyegelnya.

Marwen dan Leotar memulai dengan memantek kaki depan makhluk itu menggunakan tombak penyegel yang mereka simpan di punggung. Setelahnya, Alana langsung merapal mantera sihir penyegelan. Di tanah di tempat makhluk itu terpantek muncul gambar pentagram yang memancarkan sinar ungu yang amat terang. Makhluk itu langsung tersedot ke dalamnya seolah-olah tenggelam ke dalam tanah. Raungan kemarahannya menggelegar setinggi langit, terdengar hingga ke sudut lain dari kota itu.

Begitu makhluk itu sudah tersedot sepenuhnya, sinar ungu itu menghilang. Yang tersisa hanyalah selembar kartu berwarna perak dengan gambar tiga bintang hitam.

Marwen memungut kartu itu. Setelah melihat gambar yang tertera ia terlihat kecewa. "Ah, hanya tiga bintang. Pantas saja dia tidak terlalu kuat."

"Seharusnya kau bersyukur. Ini honum pertama yang kita tangkap dalam dua bulan terakhir." Alana merebut kartu itu dari genggaman Marwen lalu memasukkannya ke saku.

Melihat honum itu berhasil ditangkap, Elenda ditelan kesedihan yang mendalam. Gania berusaha menenangkannya, tetapi tangisan Elenda semakin menjadi-jadi.

Mendapati itu, Alana segera berlari menghampiri gadis kecil itu untuk membantu menenangkannya. Marwen dan Leotar menyusul. 

"Mengapa kau menangis, gadis cantik?" Alana mengusap kepala Elenda sambil merapikan rambut yang menutupi wajah gadis kecil itu.

Elenda sesenggukan beberapa kali sebelum menjawab. Jawabannya membuat hati Alana dan Gania terenyuh.

***

Kabar keberhasilan para kramler menyebar dengan cepat setelah salah seorang warga yang menyaksikan pertarungan itu berlari keluar rumah dan mengabarkannya dengan berteriak, "Mereka berhasil! Honum itu sudah ditangkap!" Para warga Hurmit lainnya pun keluar dari rumah mereka dengan wajah lega. Ini adalah tawa pertama mereka dalam dua minggu. Sepanjang jalan menuju rumah Bimer, Marwen dan timnya disambut dan diperlakukan seperti pahlawan.

Mendapat perlakuan demikian, Marwen menikmatinya. Ia ikut menari dan bernyanyi bersama penduduk yang mengiringinya. Ia bahkan menggendong dan mengajak Elenda menari bersamanya agar gadis kecil itu bisa melupakan sejenak kesedihannya. Namun, Alana, Gania, dan Leotar tidak bersikap serupa. Mereka masih larut dalam pilunya kisah Serenia dan Elenda. Sepanjang jalan Gania meyalurkan energi pemyembuhannya untuk memulihkan otak Serenia. Bagi mereka semua kegembiraan yang para penduduk Hurmit tunjukkan adalah sesuatu yang menjijikkan.

Bimer sudah menunggu di depan rumahnya. Senyumnya terkendang saat mendapati Marwen dan rombongannya tiba. Ia menghampiri Marwen dengan tangan terbuka, lalau memeluknya. "Bagaimana kami bisa membalas kebaikan kalian?" 

"Mudah saja, kalian bisa menyediakan lima puluh keping–" Marwen tidak bisa meneruskan kata-katanya karena perutnya dicubit Alana dan ulu hatinya disikut Leotar. 

"Honum itu bisa bersembunyi selama itu di sini karena memanfaatkan kesepian Elenda dan ketidakpedulian kalian," tukas Alana. Jawaban Elenda masih terngiang-ngiang di benaknya. Gadis kecil itu mengatakan ia akan kesepian jika para kramler membawa honum itu pergi. Ia tidak mempunyai teman karena seluruh warga Hurmit mengucilkannya karena memiliki ibu yang gila.

"Tapi, ia gila. Kami tidak ingin berurusan dengan orang gila."

"Seharusnya kalian malu! Kalian tidak jauh berbeda dengan para honum yang mengorbankan orang lain demi kenyamanan kalian sendiri," kata Leotar dengan nada dingin. "Seharusnya kami membiarkan semua orang di sini dimangsa honum saja!"

Mendengar kata-kata Alana dan Leotar. Bimer dan sebagian penduduk yang hadir di sana tertunduk dengan wajah memerah. 

Kecanggungan dan kesunyian kembali merebak, merajam batin Bimer dan penduduk Hurmit dengan rasa bersalah. Marwen pun bertindak.

"Eh, tunggu dulu, tunggu dulu, aku belum selesai bicara." Marwen kembali bersuara. "Maksudku, kalian bisa menyediakan lima puluh keping uang perak untuk memperbaiki rumah Serenia dan Elenda. Kalian juga bisa merawat Serenia agar ia bisa kembali waras, serta mengijinkan anak-anak kalian bermain dengan Elenda."

"Baiklah, kami akan melakukan apa yang kalian sarankan. Kami akan mengobati Serenia dan merawat Elenda di rumah kami hingga ibunya sembuh. Apa itu cukup?"

Alana dan anggota tim Marwen lainnya mengangguk pelan.

***

Kali ini Marwen mengalah dalam keputusan mengambil rute pulang. Mereka melewati Hutan Narnd yang tidak berbahaya. Meskipun begitu, ia tetap saja mengeluh karena harus menempuh waktu perjalanan lebih lama. Ia sudah merindukan bir jahe bar Seribu Kunang-kunang dan kamarnya yang berbau apak berkat segunung pakaian kotor.

Namun, tampaknya Marwen harus menahan kerinduannya sedikit lebih lama lagi. Ketika memasuki pertengahan hutan, mereka bertemu utusan dari petinggi kramler. Utusan itu sengaja mencari mereka untuk menyampaikan surat perintah. Marwen dan timnya ditugaskan untuk menangkap honum di Danau Bowen, sepuluh kilometer di tenggara Hurmit. 

Marwen tidak bisa menolak. Bagi kramler, penolakan sama artinya dengan pembangkangan, dan setiap pembangkang akan dihukum mati. Ia masih ingin bernapas dan minum bir jahe. Maka, berangkatlah ia menuju Danau Bowen dengan bersungut-sungut.

Sepanjang jalan, Alana, Leotar, dan Gania menutup telinga. Mereka tidak tahan dengan kelakuan Marwen. Mereka pun tidak menyadari bahwa mereka sedang diawasi oleh tiga orang berjubah dan bertudung hijau yang bersembunyi di atas pohon oak raksasa.

"Apakah kita akan melakukannya sekarang," tanya orang bertudung yang berada di dahan paling bawah.

"Tidak. Kita ikuti dulu mereka."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ryandhika Rahman
seru. salam sesama penulis fantasi. baca juga karya saya ya "Syair Singgasana"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status