Share

Chapter 2. Pertempuran Di Desa Lowe

Desa Lowe, dekat Danau Bowen, sepuluh hari yang lalu.

Suara derap langkah dan derak ranting patah karena terinjak memecah kesunyian di hutan di sekitar Danau Bowen. Suara langkah-langkah itu berasal dari kaki-kaki Garvain. Ia berlari secepat yang kedua kaki kurusnya mampu, melintasi jalan setapak yang basah dan ditutupi tumpukan daun kering. 

Bocah lelaki sebelas tahun itu berlari untuk meyelamatkan diri dari Homus dan gengnya. Napasnya sudah tersengal, seperti ada yang mengganjal di paru-parunya, tetapi ia terus saja berlari. Baginya, ini adalah sebuah pertaruhan: terus berlari dan selamat, atau menyerah lalu terkejar, dipukuli, diinjak-injak, dan akhirnya basah kuyup lantaran dikencingi oleh para pengejarnya.

Sesungguhnya, jika saja tadi Garvain tidak melawan ketika Homus mengambil ukiran kuda kayunya, ia akan baik-baik saja. Paling parah ia hanya akan benjol lantaran dijitak Homus. Namun, bagi Garvain benda seukuran telapak kaki itu adalah harta karun, sebuah memento dari ayahnya sebelum pria itu pergi ke medan perang. Maka, ia pun mempertahankannya itu dengan segenap keberaniannya. Ketika Homus fokus untuk merebut benda itu, ia pun menghadiahinya dengan tendangan ke selangkangan, lalu segera berlari seperti dikejar setan.

Garvain mulai merasakan paru-parunya seperti hendak meledak. Kaki-kakinya sudah tak mampu lagi diayunkan. Dalam pandangannya, bumi menjadi miring, dan pohon-pohon serta bebatuan seperti bergerak-gerak ke sana kemari. 

Bocah itu pun limbung, lalu terjatuh di dekat sebatang pohon oak dengan muka membentur lantai hutan. Aroma daun yang membusuk dan butiran tanah menyeruak ke lubang hidungnya. Namun, ia tetap menolak menyerah. Dengan sisa tenaganya, ia merangkak ke balik pohon, membelakangi arah kedatangannya, merapatkan punggungnya ke batang pohon, lalu berdoa.

"Di mana dia!?" Teriakan itu berasal dari mulut seorang remaja laki-laki yang berhenti sepuluh meter dari pohon tempat Garvain bersembunyi. Tubuhnya sudah setinggi pria dewasa dan sedikit berotot. Rambutnya merah dan ikal. Wajahnya dipenuhi bintik kemerahan. Ia mengedarkan pandangan dengan beringas. Dialah Homus.

Homus adalah putra sulung kepala Desa Lowe. Di desa itu, ia kerap disanjung-sanjung dan diistimewakan. Ia gemar menindas anak-anak yang lebih lemah untuk menunjukkan superioritasnya. Itu semua bentuk interpetasinya dari ajaran ayahnya: "ditakuti akan membuat seseorang berkuasa."

"Entahlah," jawab salah seorang remaja berhidung pesek dan bermata bulat yang menjadi anak buah Homus.

"Bodoh!" Homus mendorong kepala anak itu, "cepat cari! Jangan berhenti sampai ia ditemukan. Si tubuh ranting kering itu tidak mungkin bisa berlari jauh."

Enam anak yang ikut dalam pengejaran pun segera menyebar. Mereka menyibakkan setiap semak-semak dan melihat ke balik setiap batu untuk mencari Garvain. Mereka juga menengadah ke pepohonan. Siapa tahu Garvain bersembunyi di sana, pikir mereka.

Garvin sempat melongokkan kepalanya untuk melihat, dan ia pun segera menyesali tindakannya. Semakin para pengejarnya mendekat, detak jantungnya semakin cepat dan semakin tidak beraturan. Ia pun memejamkan mata, sambil mempercepat doanya.

"Wahai, Dewa yang Agung, tolonglah hamba. Hamba tidak mau mati konyol di sini."

Sayangnya, hari itu pintu langit sedang tertutup dan para Dewa sedang tidak menerima doa siapa pun. Salah seorang anak buah Homus melihat kaki Garvain menyembul dari balik batang pohon, lalu menariknya. Garvain pun terjengkang dengan dengan belakang kepala menghantam batang pohon.

"Aku menemukan bajingan ini!" teriak bocah itu sambil menginjak perut Garvain.

Garvain merasakan perutnya seperti pecah dan napasnya putus. Namun, belum sempat ia mengaduh, tengkuknya sudah dicengkeram Homus.

"Wah, wah, wah. Lari bajingan kecil ini ternyata cukup cepat juga, ya, Kawan-kawan." Usai mengatakan itu, Homus meninju perut Garvain hingga bocah itu terbatuk-batuk, lalu  membantingnya ke tanah. "Pegangi tangannya dan rentangkan kakinya."

Pukulan Homus membuat Garvain merasakan usus, ginjal, dan lambungnya seperti bertukar tempat. Ia kesulitan bernapas, tetapi tetap memaksakan diri untuk berbicara. "Ampun, Homus. Aku tidak–"

"Tidak membutuhkan bijimu lagi?" Homus melangkah mendekati Garvain dan berhenti di antara kaki Garvain yang sedang dibentangkan.  Seringainya terkembang saat ia mengangkat kaki kanannya. Kawan-kawannya yang tahu apa yang ada di pikirannya segera tertawa.

"Jangan, Homus. Jangan ...! Aku mohon ...!" isak Garvain.

"Terlambat, Kurus. Ucapakan selamat tinggal pada pernikahan."

Homus menghunjamkan kakinya kuat-kuat ke arah selangkangan Garvain. Namun, sebelum telapak kakinya sempat menyentuh celana Garvain, satu bayangan putih menabraknya hingga anak kepala desa itu terpental sejauh belasan depa.

Garvain dan anak buah Homus sama-sama terkejut melihat wujud makhluk yang menghantam Homus. Bagian kepala sampai perut makhluk itu seperti kuda, tetapi memiliki satu tanduk di keningnya, dan dua kaki depan yang sekokoh dahan pohon jati. Akan tetapi, bagian perut ke bawah hingga ekor menyerupai bagian belakang ular. Anehnya lagi, ia tidak berjalan maupun melata, melainkan melayang dengan ekor meliuk-liuk seperti selendang putih yang tertiup angin.

Selagi mereka terpana, kuda aneh itu kembali beraksi. Ia menabrak dan menendangi anak buah Homus hingga terpental ke sembarang arah. Begitu anak-anak itu bisa bangkit, tanpa dikomandoi, mereka dan Homus segera berhamburan kembali ke desa, meninggalkan Garvain sendirian.

Garvain sendiri sama takutnya dengan anak-anak itu, malah lebih takut. Ia pernah mendengar kisah tentang para honum yang senang memangsa manusia atau makhluk yang sedang dalam keadaan tidak berdaya. Berdasarkan bentuk yang tidak lazim, ia segera meyakini bahwa makhluk di hadapannya adalah honum. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Lututnya goyah seperti agar-agar. 

Kuda itu menghampiri Garvain dengan mulut menganga. Sinar matanya lebih merah dari cahaya matahari senja. Teriakan Garvain pun menyeruak ke seluruh penjuru hutan melalui celah-celah pepohonan, membuat burung-burung gagak yang sedang bertengger di pohon-pohon yang berdiri tak jauh dari sana terbang kocar-kacir sambil berkoak-koak.

***

Marwen tidak pernah segembira ini saat menjalankan tugas. Di hadapannya kini tersaji beraneka ragam makanan mewah: bebek panggang yang dilumuri mentega, kambing guling yang dicelup ke dalam minyak zaitun, sekeranjang besar roti manis, dan satu gentong bir jahe yang menebar wangi jahe bercampur aroma manis. Selera makannya terbit. Seperti orang yang kerasukan arwah babi yang mati kelaparan, ia semuanya ke mulutnya hingga nyaris tak bisa dikatupkan. Semua jamuan itu disediakan oleh Homer, kepala Desa Lowe.

Berbeda dengan Marwen, ketiga anak buahnya tidak terlalu berselera meskipun selama perjalanan hanya memakan roti kering. Mereka merasakan ketidaknyamanan atas keramahan yang tidak wajar ini, terutama Alana. Selain merasa bahwa Homer harusnya berduka setelah dua warganya menjadi korban honum, ia juga merasa risih karena kepala desa beristri empat itu terus berusaha merayunya.

"Ayolah, Nona cantik. Makanlah yang banyak. Cobalah roti oles madu ini, sangat baik untuk kulitmu yang putih dan mulus itu." Jakun Homer naik-turun saat mengatakannya. Itu membuat Alana semakin jijik padanya.

Di sisi lain, Leotar yang sudah tidak sabar segera saja mengajukan pertanyaan kepada Homer. "Maaf, Pak Kepala Desa, soal honum itu, apakah ada petunjuk yang–"

"Sabar, Anak Muda," potong Homer sambil menepuk paha Leotar yang duduk di sebelahnya. "Sebaiknya kita makan saja dulu. Tidak baik membicarakan soal seperti itu dengan perut kosong."

"Betul itu!" sahut Marwen dengan mulut belepotan bir jahe dan minyak dari daging bebek. "Kita tidak bisa bertugas dengan baik jika lapar."

"Karena bisa masuk angin kan, Kapten?" tanya Homer sambil melayangkan senyum pada Alana.

"Bukan!" Marwen menepuk dada agar daging bebek yang tadi dikunyahnya bisa cepat turun ke perut. "Tapi, lebih memalukan lagi, perutmu bisa berbunyi saat sedang bertarung melawan honum. Kau bisa ditertawakan oleh honum nanti. Seperti yang dialami Alana di Nortengart."

Usai mengatakan itu Marwen tertawa seperti orang gila. Melihat Marwen tertawa begitu rupa, Homer ikutan tertawa. Keduanya terus tertawa dan tertawa hingga mata mereka berair.

"Lebih memalukan mana dengan perut mulas saat sedang melawan honum?" ucap Alana dengan nada sinis. Ia menyindir kelakuan Marwen tiga bulan lalu. Saat sedang menghadapi honum, tiba-tiba saja pria yang sering mengaku sebagai lulusan terbaik Akademi Kramler di angkatannya itu berlari ke semak-semak terdekat untuk buang air besar, meninggalkan ketiga anggotanya berjibaku habis-habisan tanpa pemimpin.

Yang lebih memalukan lagi honum itu malah berlari ke arah Marwen yang sedang asyik mengeluarkan isi perutnya. Keadaan pun menjadi kacau. Marwen sudah keburu membuka celananya, dan ia tidak bisa memakainya dengan cepat. Ia pun terpaksa melanjutkan pertarungan sambil menutupi bagian bawah tubuhnya dengan jubah. 

"Hey, apa kita perlu mengingat-ingat kejadian sialan itu?" Marwen kehilangan selera untuk tertawa. Wajahnya yang tadi ceria berubah menjadi masam.

"Bukankah obrolan seperti itu cocok untuk acara perjamuan semacam ini? Dan kita punya banyak cerita semacam tadi, yang dibintangi olehmu tentunya," tukas Leotar.

"Oh iya, kita punya banyak sekali. Aku sampai bingung harus mulai dari mana," Alana menyahut, masih dengan nada sinisnya.

"Ayo, ceritakan! Ceritakan!" Homer tampak bersemangat.

"Yang mana, ya?" Alana, mengetuk-ngetuk keningnya, berpura-pura mengingat. "Ah, yang ini saja. Empat bulan lalu, di pesisir selatan, kami–"

"Sudah, cukup!" Marwen menggebrak meja. Gania yang sedari tadi diam saja sontak tertawa geli. "Baiklah, aku paham maksud kalian. Mari kita bicarakan soal honum itu saja."

"Yah, padahal suasana baru mulai hangat dan seru." Homer terlihat kecewa.

"Kita bisa tertawa lagi setelah tugas ini selesai."

Homer mengangguk-angguk, menenggak bir jahenya hingga tandas, mengelap janggutnya yang basah, barulah mulai bercerita.

"Apakah ada wargamu yang terlihat mencurigakan?" tanya Marwen.

Homer berpikir sejenak, kemudian membalas pertanyaan Marwen dengan menggeleng.

"Tidak masalah. Gania akan mendeteksinya."

"I-i-itulah masalahnya, Kapten." Gania terlihat ragu-ragu saat mengatakannya.

"Masalah apa?" tanya Leotar dengan raut wajah serius. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

"Sejak kita tiba, aku tidak bisa merasakan aura honum." Semua mata langsung tertuju pada Gania. Selama bertugas dengan mereka, tidak pernah sekali pun ia mengatakan hal semacam itu. Mendapat perhatian begitu, gadis itu terlihat malu-malu sekaligus salah tingkah.

"Jangan bercanda, Gania. Kalau kau mau bercanda, mengapa tidak dari tadi saja!"

"Aku tidak bercanda, Kapten." Wajah Gania memerah.

"Dia serius," timpal Alana.

Marwen langsung terdiam.

"Maaf, apa maksudnya ini, Kapten?" tanya Homer yang sedari Gania bersuara tampak kebingungan.

"Entahlah. Bagaimana pendapatmu, Muka Dingin?" Marwen mengalihkan pandangannya kepada Leotar. 'Muka Dingin' adalah satu dari sekian banyak julukan darinya untuk menggoda Leotar, kadang-kadang ia memanggilnya dengan sebutan 'Bocah Es' atau 'Es Batu Berjalan'. Leotar tidak menyukainya, tetapi Marwen tidak peduli.

"Menurutku ada beberapa kemungkinan." Leotar melipat tangannya di depan dada. Kedua alisnya menukik tajam. "Pertama, pelakunya bukan honum. Kedua, kita berhadapan dengan honum jenis baru."

"Maksudmu?"

"Honum yang bisa menghilangkan auranya. Entah karena dia terlalu lemah, atau terlalu kuat. Mungkin bintang sepuluh."

Wajah Marwen tiba-tiba saja mengelam. Rahangnya mengeras. Ia meremas gelas kayunya hingga gelas itu retak. 

Diam-diam seluruh anggota timnya terkejut dan merasakan ada sesuatu yang salah. Selama mengenal Marwen, mereka tidak pernah melihatnya seperti ini. Keheningan pun meraja di ruangan itu, merayapi benak masing-masing penghuninya.

Marwen sepertinya bisa membaca keterkejutan anggotanya. Ia mengatasi emosinya dan menetralisir suasana dengan melontarkan tawa yang dipaksakan.

"Oke, oke, ini terlalu jauh. Selama lima belas tahun belum pernah ada yang melihat Ibu Para Honum, bukan? Tahan dulu imajinasi kalian. Mungkin itu memang perbuatan honum, tapi mungkin juga itu cuma perbuatan serigala. Tapi, apa pun itu, kita harus tetap menyelidikinya."

"Kami tidak menemukan jejak serigala. Dan selama puluhan tahun, di sekitar daerah ini tidak pernah ada seekor pun serigala," sambar Homer.

"Yah, mungkin sekarang ada satu atau dua ekor yang pindah dari wilayah lain dan mereka sangat-sangat lapar. Apa kalian pernah memeriksanya ke pelosok hutan?"

Homer menggeleng dengan ekspresi seperti orang bodoh.

"Nah, daripada berspekulasi yang aneh-aneh, sebaiknya kita mulai bekerja. Kita akan memakai cara lama sebelum para tesser ada."

"Apa itu?" tanya ketiga anggota tim Marwen serempak.

***

Sudah setengah hari Marwen dan timnya berkeliling desa bersama Homer. Mereka mengunjungi rumah penduduknya satu per satu, mengajak mengobrol setiap orang dan menanyakan ini dan itu yang jawabannya hanya diketahui oleh penduduk asli desa itu. Seekor honum mungkin bisa menyamar dengan sama persis, tetapi mereka tidak bisa mengetahui isi kepala korbannya.

Delapan puluh persen penduduk telah diinterogasi. Sejauh itu, tidak ada satu pun warga yang mencurigakan. Mereka semua bisa menjawab semua pertanyaan dengan tepat, dan tidak ada satu pun dari mereka yang mulutnya menguarkan aroma darah manusia. Leotar mulai merasa ini cuma membuang-buang waktu. Namun, ia tak punya cara lain dan hanya bisa menyabarkan hati.

Menjelang sore rombongan Marwen bergerak ke bagian timur desa. Daerah itu berbatasan langsung dengan hutan di dekat Danau Bowen. Ketika sedang menuju ke sana, ia melihat beberapa remaja sedang mengintai salah satu rumah yang ada di sana. Remaja-remaja itu membawa pentungan kayu, kapak, garpu jerami, dan salah seorang di antaranya membawa pedang.

"Siapa mereka?"

"Ah, mereka pemuda desa ini. Yang berbadan besar, berambut merah, dan membawa pedang itu putraku, Homus. Hei, Homus, kemarilah. Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang!"

Panggilan dari Homer barusan yang sebenarnya lebih mirip sebuah teriakan mengagetkan Homus dan gengnya. Setelah keterkejutan mereka berkurang, kini mereka terlihat kesal pada Homer. Namun, tak urung mereka melakukan apa yang Homer minta.

"Apa yang kaulakukan, Ayah?! Aku sedang mengawasi Garvain." Homus mengucapkannya dengan suara sepelan yang ia bisa dan sambil menahan emosinya.

Homer tidak memedulikan keluhan Homus. Seenaknya saja ia merangkul putrnya itu dan berkata, "Nah, putraku, perkenalkan, mereka para kramler dari Ibu Kota. Mereka akan membantu kita menangkap honum itu."

"Hai, anak-anak," sapa Marwen. "Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Kami ke sini untuk memburu honum," jawab Homus setengah jengkel.

"Dengan pentungan, peralatan berkebun, dan pedang berkarat?" ledek Leotar.

"Nyali adalah senjata terbaik," sambar salah seorang anak buah Homus yang berbadan tambun.

"Hahaha, kalian lucu sekali." Marwen menjawil pipi pemuda itu.

"Kami tidak sedang bercanda. Kami sedang mengawasi Garvain. Kami yakin dia adalah honum."

"Apa alasanmu mencurigainya?" tanya Alana.

Homus pun langsung menceritakan kejadian sepuluh hari lalu di hutan di sekitar Danau Bowen. Tentu saja ia mengurangi bagian di mana ia dan gengnya merundung Garvain, dan menggantinya dengan cerita bahwa ia mengejat Garvain karena bocah itu mencuri mainan salah satu anggota gengnya. Marwen dan anggota timnya merasa mulai mendapatkan titik terang.

"Bisa jadi setelah memangsa Garvain, honum itu menyamar menjadi bocah itu," kata Alana pada Marwen.

"Dasar bodoh! Kenapa kau tidak bilang dari kemarin?!" Homer menepuk kepala Homus.

"Maaf, Ayah, aku baru ingat sekarang."

Tidak lama kemudian, Garvain keluar dari rumahnya. Ia menggenggam sebuah kapak dan menggunakannya untuk membelah kayu bakar. 

Sekilas tidak ada yang aneh. Namun, Homus berkata bahwa sebelum honum muncul, Garvain adalah bocah yang lemah. Jangankan membelah kayu dengan sekali ayunan, mengangkat kapak saja ia tidak mampu. Mendengar keterangan tersebut kecurigaan Marwen bertambah.

"Gania." Marwen melirik Gania dan menggerakkan dagunya ke arah Garvain. Sebuah kode bagi Gania untuk memulai pendeteksian. "Coba konsentrasi penuh dan pusatkan energimu di ujung-ujung jari."

Gania merentangkan telapak tangannya ke arah Garvain. Ia mengerahkan seluruh kemampuan deteksinya. Namun, ia tetap tidak merasakan apa-apa.

"Bagaimana ini, Kapten?" tanya Gania. Ia tampak kelelahan.

"Kita sapa dia."

Tanpa berunding dengan timnya, Marwen segera saja menghampiri Garvain. Alana menggerendeng sambil menyumpah, sedangkan Leotar geleng-geleng kepala. Namun, keduanya segera menyusul pimpinan mereka tersebut, disusul Gania, dan Homer. Homus dan gengnya juga ikut menyusul, tetapi mereka berhenti sepuluh langkah di belakang.

"Hai, Nak. Siapa namamu?" tanya Garvain sambil tersenyum.

"Garvain."

"Kau tinggal sendiri saja di sini?"

"Tidak, aku tinggal bersama pamanku."

"Betul itu?" Marwen melirik Homer.

"Betul, aku masih melihat pamannya tadi pagi."

Marwen kembali mengalihkan perhatiannya kepada Garvain. "Begini, kami sedang melakukan penyelidikan. Bolehkah aku menanyakan beberapa hal padamu?"

Garvain menjawab dengan anggukan.

"Baiklah, tanya dia," kata Marwen kepada Homer.

"Apa yang aku kenakan saat aku dinobatkan menjadi kepala desa?" tanya Homer.

Garvain terdiam sesaat, lalu menggeleng dengan ekspresi datar. Wajah Leotar, Alana, dan Gania menegang. Tangan mereka bersiaga di gagang senjata masing-masing.

"Nah, dia tidak tahu. Dia pasti honum!" Homus berseru histeris.

"Ayo ingat-ingat lagi, Nak. Ini penting untukmu."

"Aku benar-benar tidak ingat."

"Kalian tunggu apa lagi? Dia tidak tahu dan keterangan dari putraku sangatlah bisa dipercaya."

"Tahan dulu." Marwen memberi kode agar mereka tetap tenang, lalu kembali bertanya kepada Garvain. "Berapa umurmu, Nak?"

"Sebelas tahun."

"Kapan penobatanmu sebagai kepala desa?"

"Dua belas tahun lalu."

Jawaban Homer membuat Marwen memutar bola mata, sedangkan anggota timnya menggerendeng seperti banteng murka.

"Tanyakan pertanyaan lainnya," tukas Marwen.

"Baiklah." Homer menatap Garvain lekat-lekat. "Siapa nama istri pertamaku?"

"Mirnea."

"Nama istri keduaku?"

"Gwenn."

"Nama putri kedua dari istri ketigaku?"

Garvain berpikir sejenak. "Lola."

"Apa kau juga tahu minuman kesukaannya?" tanya Leotar.

"Bir jahe, terutama buatan Nyonya Gwenn."

"Ah!" seru Marwen dan timnya secara bersamaan.

"Tampaknya kita hanya buang-buang waktu dengan mencurigai orang yang salah di sini. Ayo kita lanjutkan penyelidikan."

Usai mengucapkan terima kasih atas waktu Garvain dan berpamitan dengan bocah itu, Marwen dan timnya segera melanjutkan penyelidikan mereka.

"Hei! Tunggu dulu!" Homus mencegat Marwen. Aku yakin dia adalah honum itu. Maksudku, lihat matanya, itu mata yang memancarkan kemarahan."

"Dengar, Nak!" Marwen menepuk pundak Homus. "Gania tidak merasakan aura honum dari bocah itu, dan ia bisa menjawab semua pertanyaan. Dia warga desa ini. Titik."

"Lalu, bagaimana dengan kuda iblis yang menabrak kami?!"

"Mungkin itu arwah penunggu hutan yang tidak menyukai warna rambutmu." Marwen meninggalkan Homus. Baru beberapa langkah berjalan, ia ingat bahwa ia melupakan sesuatu. Masalahnya, ia tidak bisa mengingat apa yang ia lupakan. Meskipun begitu, ia terus saja berjalan, dan berharap akan bisa mengingatnya nanti.

***

Dengan kasar Alana membuka pintu ruangan tempat mereka menginap. Wajah dan rambutnya sama kusutnya. Ia melepaskan seluruh senjata dan pelindung badannya sambil mengeluhkan kelakuan dan bau tubuh Homer yang dinilainya lebih prengus daripada kambing, lalu menaruhnya di meja, lalu mengempaskan tubuhnya ke ranjang. Di sampingnya, Gania melakukan hal yang serupa, tetapi dengan gerakan yang jauh lebih lembut dan tidak pakai acara mengeluh. Di ranjang di seberang mereka, Leotar hanya duduk dan menyandarkan tubuh di dinding. Mulutnya terkatup rapat. Matanya terpejam. Pikirannya mengembara, menyusuri ingatan tentang apa yang telah mereka lakukan seharian tadi.

Ketiga anggota tim Marwen itu sangat lelah dan kesal. Mereka sudah menyambangi semua rumah di Desa Lowe, sudah menginterogasi semua penduduk Namun, mereka tidak menemukan satu petunjuk pun tentang keberadaan honum. Itu belum ditambah rapat yang menjemukan dan hanya diisi cerita Homer dan bau bir jahe.

Ketiganya mulai meyakini bahwa semua pembunuhan ini dilakukan oleh serigala, dan berpikir untuk langsung pulang saat cahaya fajar menyentuh langit dan menyerahkan urusan perburuan serigala pada penduduk Desa Lowe saja. Mereka tidak ingin tinggal lebih lama lagi di desa itu meskipun Homer berkata akan membayar mereka jika bersedia ikut perburuan serigala.

Marwen juga ingin begitu. Ia ingin meninggalkan desa itu karena alasan lain. Namun, hati kecilnya merasa ada sesuatu yang salah. Alih-alih ikut merebahkan diri, ia tertahan di depan pintu, mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah ia lupakan. Namun, semakin keras usahanya, kepalanya semakin serasa akan meledak. Ia pun memutuskan keluar dari ruangan yang disediakan Homer sebagai tempat menginap, untuk mencari udara segar dan sisa bir jahe.

Untuk menuju dapur, Marwen harus melewati sebuah koridor. Di dinding koridor terdapat tiga buah jendela yang masing-masingnya bisa dimasuki pria dewasa. Salah satu jendela belum tertutup sempurna. Ia berpikir bahwa bisa saja serigala itu masuk ke rumah ini lewat sana. Maka, sambil lewat ia berinisiatif menutupnya.

Namun, saat hendak menutup jendela itu, Marwen melihat sesuatu yang mencurigakan. Ia melihat Garvain berjalan sendirian. Sesungguhnya, seorang bocah yang berjalan sendirian di tengah malam yang dingin adalah pemandangan yang lumrah baginya. Adalah tatapan bocah itu yang menarik perhatiannya; tatapan mata yang lebih tajam dan lebih menusuk daripada mata tombak yang baru selesai diasah. Sebagai seorang ksatria yang berpengalaman, ia tahu bahwa tatapan mata itu adalah tatapan dari seseorang yang tengah mendendam. 

Marwen langsung teringat bahwa tatapan itulah salah satu keanehan yang ia lupakan. Ia ingat bahwa Garvain hanya melontarkan tatapan itu kepada Homus dan gengnya, bukan kepadanya atau siapa pun. Maka, ia pun keluar rumah dan membuntuti Garvain.

Rupanya Garvain tengah membuntuti Homus dan Larzo–anggota geng Marwen yang berpipi tembam yang siang tadi dijawil Marwen. Kecurigaan Marwen padanya pun bertambah.

Homus dan Larzo terus berjalan hingga melewati perbatasan desa dengan hutan. Larzo ingin mengajak Homus terus berjalan. Namun, Homus yang kesal karena diajak meninggalkan kamarnya yang hangat, memutuskan untuk berhenti.

"Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Homus berkata sambil melipat tangannya di depan dada.

"Garvain. Aku melihatnya melakukan sesuatu yang mencurigakan di hutan."

"Kalau begitu kita harus lapor ayahku."

"Tidak perlu. Kita bisa meringkusnya berdua saja."

"Kau gila! Dia itu honum. Dia akan membunuh kita."

"Apa kau tidak tahu, honum lemah saat bulan gelap begini. Kekuatannya menjadi seperti manusia biasa. Makanya dia bersembunyi di hutan. Jika kita bisa menangkap dan membawanya ke desa, bukankah kau akan menjadi pahlawan?"

Homus tampak berpikir. Sejurus kemudian ia merasa bahwa pemikiran Larzo masuk akal. Ia menengok ke kanan dan kiri, lalu mengambil sepotong kayu bakar yang tertumpuk di samping rumah salah satu penduduk.

"Ayo kita lakukan."

Larzo tersenyum. Keduanya kembali berjalan menuju hutan. Namun, sebelum mereka meninggalkan desa, Garvain muncul.

"Jangan melangkah lebih jauh lagi," kata Garvain sambil merentangkan kedua tangannya ke samping. Tatapan matanya menajam.

"Kau!" seru Larzo dengan tatapan yang sama tajamnya.

"Akhirnya aku bisa menemukanmu. Sekarang aku akan mengakhiri semua ini." Garvain maju dua langkah.

"Bagaimana ini?" tanya Homus kepada Larzo. Ia tampak gugup. Dengkulnya bergetar, tetapi bukan karena kedinginan. Akan tetapi, yang ditanya tidak menjawab, perhatiannya terpusat pada Garvain.

"Kau selalu saja menggangguku."

"Lepaskan dia!"

Larzo menyeringai. "Lepaskan? Maaf, sepertinya aku akan menghabisi kalian berdua di sini."

"Kalian berdua? Apa maksudmu?" Homus terlihat kebingungan.

Larzo tersenyum. Namun, senyumannya terlihat sangat menakutkan. Ujung bibirnya tertarik hingga mendekati telinga. Tubuhnya bergetar dan ia menjadi bertambah tinggi tiga kali lipat hingga bajunya robek-robek. Tangan dan kakinya membesar, dan semua kukunya memanjang hingga sepanjang belati. "Penyamaran pertamaku sudah diketahui. Jadi, aku akan membunuhmu dan bocah itu, lalu mengambil wujudmu untuk penyamaran berikutnya."

Larzo yang ternyata adalah honum segera memburu Homus. Karena ketakutan, Homus tidak mampu bergerak dengan cepat. Kedua kakinya seperti diganduli bola-bola besi. Ia hanya bisa memejamkan mata dan pasrah menerima nasib.

Marwen yang sedari tadi menyaksikan semua itu dari balik sebatang pohon segera bergerak. Sayangnya, ia berada terlalu jauh. "Terlambat," rutuknya.

Namun, sejengkal sebelum cakar itu menyentuh kulit Homus, dari tubuh Garvain melesat keluar satu bayangan putih berkepala kuda. Bayangan itu membawa Homus menjauh. Putra Homer itu pun luput dari maut.

"Kau! Kau selalu menghalangiku! Sekarang aku akan menghancurkanmu untuk selamanya!" Honum menggeram murka. Ia melepaskan seluruh kekuatannya. Tubuhnya semakin besar. Tulang punggungnya mencuat keluar dan membentuk semacam sirip punggung. Moncongnya memanjang dan membuat kepalanya tampak seperti kadal. Dari bagian belakangnya, muncul ekor sebesar batang pohon mangga sepanjang tiga meter. Pada bagian ujung ekor terdapat belasan duri setajam mata tombak. Seluruh kulitnya ditutupi sisik sekeras baju zirah. 

Bayangan itu mengira honum akan bergerak menyerangnya. Namun, ia salah. Honum justru berbalik arah dan bergerak ke arah Garvain yang sedang terbaring di tanah. Setelah bayangan itu keluar dari tubuhnya, Garvain pun ambruk tak sadarkan diri.

"Garvaiiin! Banguuun!" teriak bayangan putih itu.

Cakar honum berkelebat secepat sambaran elang, menimbulkan suara siuran angin yang menggetarkan hati. Dalam sepersekian detik, tubuh Garvain bisa terpotong-potong. Namun, sebelum itu terjadi, Marwen menangkis serangan honum dengan pedangnya.

"Maaf, Bung. Dilarang makan sebelum mencuci tangan."

Sang honum menggembor. "Kalau begitu aku akan mencuci tangan dengan darahmu!" Ia mengayunkan tangan yang satunya lagi ke arah Marwen.

Marwen menyambut serangan itu dengan menyabetkan pedangnya berkali-kali. Gerakan pedangnya terlampau untuk diikuti oleh mata sehingga tampak hanya menyerupai kelebatan sinar.

Honum itu meraung kesakitan. Jari-jarinya hancur terkena sabetan pedang Marwen. Darah yang menyembur dari lukanya menciptakan hujan darah yang menebar bau amis yang luar biasa.

Marwen tidak berhenti sampai di situ. Selagi honum itu kesakitan dan berusaha menumbuhkan kembali jarinya, ia kembali menyerang. Kali ini ia mengincar pergelangan kaki honum.

Crasss! Crasss! Pedang Marwen menyayat kedua urat kaki sang honum hingga putus. Honum itu pun kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh si kuda bayangan untuk menabrak dadanya.

Bug! Honum terjengkang, lalu terjatuh menghantam lumbung gandum hingga hancur. Suaranya hancurnya lumbung dan getarannya merambat hingga cukup jauh, membangunkan warga yang berada di sekitar lokasi pertarungan. Mereka pun berhamburan keluar. Ketika mendapati di kejauhan ada makhluk besar yang menyeramkan tergeletak di atas lumbung yang hancur, mereka pun berlari ke tengah desa sambil berteriak untuk membangunkan warga yang lain.

Dibantu si kuda bayangan, Marwen kembali menyerang honum itu untuk melumpuhkannya. Namun, keduanya salah perhitungan. Honum mampu menyembuhkan luka dengan sangat cepat. Jari-jarinya juga sudah tumbuh kembali. Honum pun langsung bangkit dan menghantam tubuh para penyerangnya.

Marwen terpental jauh kemudian menghantam sebuah gubuk kayu hingga dindingnya jebol dan atapnya ambruk. Ia tidak pingsan, tetapi tubuhnya terasa remuk dan dadanya sesak. Dalam pengelihatannya, dunia seperti berputar. Ketika pusingnya berkurang, ia mencoba untuk bangkit. Dadanya nyeri. Pelindung dada bagian kanannya penyok. Itu bagian yang terkena hantaman. Ia menyingkapnya dan meraba bagian dada yang memar. Ia tertawa getir sambil terbatuk-batuk, rupanya dua rusuknya patah. "Akan kucincang bajingan itu," ucapnya sambil kembali melangkah, mencari pedangnya yang terlepas.

Di medan pertarungan, meskipun sempat terpental ke udara, si kuda bayangan tidak terluka parah. Setelah menguasai diri, ia langsung menyerang honum lagi. Ia tidak hanya menendang, menabrak, dan menanduk. Kali ini ia menggunakan kecepatannya untuk membuat honum kewalahan: meliuk-liuk mengitari, kemudian menggunakan bagian bawah tubuhnya untuk melilit tubuh lawannya.

Untuk beberapa saat, aksi si kuda bayangan cukup membuat honum itu kerepotan. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Sang honum melipatgandakan kekuatannya, ia berhasil melepaskan diri dari lilitan si kuda bayangan, mencengkeram lehernya, kemudian membantingnya ke tanah berkali-kali.

Si kuda bayangan menguik kesakitan. Ia semakin tidak berdaya ketika honum itu menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi. Tubuhnya babak belur dan melesak ke tanah. Dari hidung dan mulutnya mengepul asap putih tipis.

"Pertarungan ini membuatku sedikit lapar. Aku pernah memakan manusia. Tapi, aku belum pernah mencicipi daging kuda."

Usai mengatakan itu, sang honum mengangkat si kuda bayangan dan mendekatkannya ke mulutnya. Gigi-giginya yang berwarna kehitaman meneteskan air liur yang menebar bau yang lebih busuk daripada mayat yang sudah berbelatung. Lidahnya yang kehitaman dan berbentuk seperti belasan tentakel cumi-cumi menjilati tubuh si kuda bayangan.

Si kuda bayangan berusaha meronta, tetapi tenaganya sudah terkuras dan lukanya cukup parah. Ia meringkik keras ketika gigi honum itu mencabik segumpal besar bagian ekornya. Lukanya tidak meneteskan darah, tetapi mengepulkan asap putih. Ia semakin lemah.

"Wah, ternyata rasamu enak sekali. Setelah memakanmu, aku akan memiliki kemampuan untuk melayang."

Sang honum mendekatkan kepala si kuda bayangan ke mulutnya.

Setengah meter sebelum kepala si kuda bayangan masuk ke dalam mulut honum, tiba-tiba Garvain berteriak, "Jangan! Jangan makan dia! Makan saja aku!"

"Wah wah wah. Kau ingin menjadi pahlawan rupanya." Sang honum menunda untuk menyantap si kuda bayangan. Ia menghampiri Garvain sambil menyeringai.

"Pergi. Gar-vain." Si kuda bayangan menggunakan sisa tenaganya untuk memperingatkan Garvain.

Akan tetapi, Garvain bergeming. "Aku mohon, lepaskan dia. Ambil aku sebagai gantinya. Kau suka daging anak-anak, bukan?"

"Tawaran yang menarik," kata honum itu, "tapi, aku lebih suka memakan kalian berdua." Tangannya bergerak. Tiba-tiba saja Garvain sudah berada dalam genggamannya.

Honum itu pun tertawa. "Nah, bagian mana yang akan aku makan dulu? Kakinya atau tangannya? Ah, bagaimana jika semuanya saja."

Honum mengarahkan Garvain ke mulutnya. Garvain bergidik ngeri, membayangkan kematian mengerikan yang menunggunya di sela-sela taring sang honum. Sementara itu, si kuda bayangan hanya bisa menatap peristiwa itu dengan sinar mata yang memancarkan keputusasaan.

Namun, sebelum hal itu terjadi, keadaan tiba-tiba menjadi sangat terang. Dua larik kilat menghantam kedua pergelangan tangan sang honum hingga nyaris putus. Si kuda bayangan terlepas, lalu terjatuh ke tanah tak jauh dari kaki sang honum. 

Garvain juga terbebas tetapi karena posisinya lebih tinggi, ia masih berada dalam bahaya: jatuh dari ketinggian tujuh meter bisa membuat kepalanya remuk atau leher dan tulang punggungnya patah. Untunglah, sebelum bocah itu menyentuh tanah, Leotar keburu menangkap dan membawanya menjauh.

Selagi honum itu kesakitan, Alana kembali menembakkan sihir kilatnya ke kepala honum. Gania juga turut menyerang dengan melontarkan belasan anak panah yang mengarah ke mata honum. Setelah mengantarkan Garvain ke tempat aman, Leotar langsung bergabung dalam penyerangan. Ia beroperasi di bawah, mengincar kaki honum. Ini adalah formasi keempat tim Marwen, biasa digunakan saat menghadapi honum bertubuh tinggi.

Homer dan warganya yang tiba nyaris berbarengan dengan tim Marwen juga ikut membantu. Mereka melempari honum dengan tombak serta membacoki kakinya.

Selagi tim Marwen dan warga desa bertempur, Garvain berlari menghampiri si kuda bayangan sambil menangis. Ia berusaha menarik kuda itu menjauh. Sayangnya, tenaganya tidak cukup kuat. Melihat itu, Homus yang sedari tadi berlindung tergerak untuk membantunya. Ia juga mengajak beberapa warga untuk turut membantu.

"Dalam hitungan tiga." Homus memberi aba-aba. "Satu. Dua. Tiga!"

Dengan mengerahkan seluruh tenaga, mereka berhasil menarik si kuda bayangan menjauh. Sambil terus menangis Garvain memeluk dan mengusap-usap si kuda bayangan. Namun, si kuda bayangan tetap tidak membuka matanya.

Kembali ke pertempuran. Menghadapi begitu banyaknya serangan, awalnya honum itu kewalahan. Namun, berkat menyantap daging si kuda bayangan, ia mampu beregenerasi dengan lebih cepat. Gerakannya juga menjadi lebih gesit dan kekuatannya bertambah. Ia menyadari perubahan itu dan mampu memanfaatkannya untuk membalikkan keadaan.

Dengan sabetan ekor, ia menyapu para penyerang yang berada di bawahnya. Belasan warga terpental, lalu mendarat dengan tubuh hancur. Potongan tubuh dan jeroan manusia berserakan bersama tumpahan darah. Leotar sendiri terhindar dari dari kematian mengenaskan setelah melompat ke atas.

Setelah berhasil menghabisi para penyerangnya yang berada di bawah, ia melancarkan serangan balasan berupa semburan api ke arah Alana dan Gania. Kedua gadis itu berhasil menghindar dengan berpencar. 

Mendapati itu, sang honum mengubah sasarannya. Ia menyerang Homer dan warganya. Tujuh warga terbakar karena tak sempat mengelak. Bau daging terbakar memenuhi udara, ditimpali jerit kematian yang meruntuhkan nyali. Homer sendiri juga terluka. Ia tidak cukup cepat, api sempat membakar kaki kanannya.

Ketiga anggota tim Marwen tidak menyerah, mereka tetap berusaha melumpuhkan honum. Alana mengeluarkan sihir terhebatnya: bola-bola api. Leotar mengerahkan seluruh kemampuannya, menyerang menggunakan dua pedang. 

Lima menit berlalu. Usaha mereka tidak membuahkan hasil. Bahkan, mereka akhirnya tumbang setelah honum itu menghantam tanah dengan seluruh kekuatannya. Kuatnya getaran dan dahsyatnya embusan angin, mengempaskan ketiganya serta benda-benda yang berada di sekitar area pertarungan.

Ketiga anggota tim Marwen berhasil dilumpuhkan. Alana dan Gania terkapar seteleh menghantam pohon. Mereka masih sadar, tetapi belum bisa bangkit karena mengalami luka dalam. Di antara ketiganya, Leotarlah yang mengalami luka cukup parah. Kedua pahanya tertusuk sebuah tombak yang ikut terempas. Ia berhasil memotong dan mencabut tombak itu, tetapi segera ambruk karena rasa sakit.

Melihat ceceran darah Leotar, selera makan honum kembali terbit. Ia menghampiri Leotar dengan lidah terjulur dan air liur menetes dari sela-sela bibirnya.

"Darahmu wangi sekali. Aku yakin rasamu pasti sangat enak."

"Sial! Ke mana kapten keparat itu?" rutuknya sambil merangkak.

Honum itu tertawa. Ia berjongkok, lalu mempermainkan Leotar dengan menekan punggungnya dengan jari atau mengangkat, lalu melepaskannya. Leotar amat menderita, teriakan kesakitannya terdengar hingga keluar desa.

Entah karena merasa bosan atau sudah lapar, honum meraih kaki Leotar. Namun, sebelum jarinya menyentuh kaki calon mangsanya. Sesuatu yang besar, dingin, dan amat tajam menghantam tangannya hingga terbelah menjadi dua sempai sebatas siku. Ia pun meraung kesakitan.

"Keparat! Ke mana saja kau?!" seru Leotar saat melihat siapa orang yang menyelamatkannya.

"Tenanglah, Bocah Es. Selama aku masih hidup, tidak akan kubiarkan rekanku menjadi mangsa honum," ucapnya sambil membelakangi Leotar. Ia menghampiri honum dengan santai sambil memasang menyambungkan bagian tumpul tombak penyegel dengan ujung gagang pedangnya, menciptakan sebuah tombak bermata pedang besar.

Selagi honum itu menahan sakit dan berusaha merapatkan kembali tangannya, Marwen memanjat tubuh lawannya dengan cara melompat dari tangan ke bahu, kemudian ke kepala honum. 

Honum itu berusaha menepuknya, tetapi gerakan lelaki itu amatlah gesit. Setelah berada di kepala, ia melompat secara vertikal. Saking tingginya lompatannya, ia terlihat seperti sedang terbang ke bulan. Di bawah, ketiga anggota timnya terkagum-kagum melihat aksinya.

Dengan memanfaatkan gaya gravitasi, Marwen melesat turun dengan bagian kepala menghadap ke bawah. Ia melakukannya dengan sedikit bermanuver untuk menghindari tangan honum yang berusaha menangkapnya. Ketika berhasil lolos, ia membacokkan pedangnya sekuat tenaga ke kepala honum. Tebasan pedangnya terlihat seperti sambaran kilat yang membelah cakrawala, membelah tubuh honum menjadi dua dari ubun-ubun hingga ke selangkangan. Bunyi daging robek dan suara semburan darah mengiringi pendaratannya.

Honum berusaha bertahan dengan merapatkan kembali bagian tubuh kiri dengan yang kanannya. Namun, Marwen bisa membaca langkahnya. Sebelum tubuh honum menyatu, ia melemparkan dua tombak penyegel ke arah honum, masing-masing satu tombak untuk setiap belahan tubuh. Kedua bagian itu pun tetap terpisah, meskipun tidak terlalu jauh.

"Sekarang, Alanaaa!"

Alana memaksakan diri untuk bangkit, lalu segera merapal mantera penyegel. Seketika tanah di bawah honum berubah menjadi lubang besar yang memancarkan sinar ungu terang.

Honum berusaha bertahan. Bagian kanan tubuhnya mencengkeram tanah yang berada di pinggir lubang, sedangkan bagian yang kiri memegangi kaki kanannya. Marwen mendatanginya sambil tersenyum.

Marwen mengayunkan pedangnya. Jari-jari honum terputus, ia pun tersedot. Marwen lantas menendang potongan jari yang masih menancap di tanah. Setelah semuanya terisap. Lubang itu menutup dan mengecil menjadi sebuah kartu. Marwen memungutnya.

"Lumayan merepotkan untuk bintang lima."

***

Setelah tiga hari memulihkan diri di Desa Lowe, Marwen dan timnya pulang ke Ibu Kota. Sepanjang jalan Marwen bersiul-siul menyenandungkan lagu gembira sambil menyelinginya dengan menenggak bir jahe. Sesekali ia menggoda Leotar yang harus duduk di atas kuda karena lukanya belum pulih benar. Kuda itu milik Homer. Marwen menukarnya dengan celana dalam Alana. Tanpa sepengetahuan Alana tentunya.

Berbeda dengannya, Alana, Gania, dan Leotar tampak termenung. Benak mereka masih tertambat pada malam itu. Selain masih tidak menyangka bahwa kapten mereka ternyata sehebat itu dan semua gosip tentangnya benar, mereka masih terkesima dengan apa yang terjadi pada Garvain dan si kuda bayangan.

Malam itu, setelah menangkap honum dan merawat luka Leotar, Marwen dan timnya mendatangi Garvain yang masih menangisi si kuda bayangan yang terbaring lemah. Bocah itu dikelilingi Homer dan Homus serta gengnya.

"Apakah dia honum, Kapten?" tanya Gania sambil menunjuk si kuda bayangan.

Marwen menggeleng. "Itu adalah Cremarae."

"Apa itu?"

"Jika seseorang dengan jiwa yang murni mati di tempat suci, peri hutan akan memeluk jiwanya. Penggabungan keduanya akan menciptakan makhluk penjaga. Ketika orang-orang yang dicintainya berada dalam bahaya, maka ia akan pulang dan melindungi mereka."

Gania mengangguk-angguk.

Fajar semakin mendekat, perlahan-lahan tubuh kuda itu melayang, lalu berubah menjadi sesosok lelaki gagah yang sangat mirip dengan Garvain. Ia membuka matanya

"Ayah," isak Garvain. Ia teringat kejadian sepuluh hari lalu. Ia menyangka kuda itu adalah honum yang akan memangsanya. Hari itu, tepat di matanya, kuda itu berubah menjadi sosok yang ia amat rindukan–selain ibunya. 

Kepada putranya, ia mengatakan bahwa ia datang karena merasakan desanya berada dalam bahaya besar. Keduanya pun bersepakat untuk bekerjasama melindungi desa dan seluruh penduduknya. Ketika siang hari, ia akan bersembunyi di dalam tubuh Garvain. Ketika malam tiba, ia akan berpatroli. Hampir setiap malam ia bertarung melawan honum itu dengan masih merahasiakan jati diri masing-masing.

"Garmain? Kaukah itu?" tanya Homer dengan suara tercekat. Ia mendatangi sosok itu dengan terpincang-pincang, lalu bersimpuh di hadapan sosok itu.

"Waktuku sudah tiba, Sepupuku. Tugasku sudah selesai. Tolong kau jaga anakku dan seluruh warga desa kita."

Homer menangis. Ia teringat bahwa Garmain pergi ke medan perang ke Hutan Suci Anduin menggantikan dirinya. Setelah kakek mereka meninggal, sungguhnya, Garmainlah yang akan dinobatkan menjadi kepala desa. Akan tetapi, ia mengalah karena kecintaannya kepada keluarga dan sepupunya yang ia anggap sebagai saudara seperibuannya. Ia memilih melindungi desa dengan jalan lainnya. Ketika sudah mati pun ia tetap menjalankan kewajibannya terhadap desa.

Homer menunduk hingga kepalanya menyentuh tanah. "Aku berjanji. Aku sungguh-sungguh berjanji kali ini. Terima kasih sudah menyelamatkan anakku."

"Terima kasih, Paman." Homus ikut menunduk.

Garmain membelai rambut putranya.

"Jangan pergi, Ayah." Garvain memegang erat tangan Garmain.

Garmain tersenyum. "Jadilah anak yang kuat untuk bisa melindungi desa ini. Akan kusampaikan salamku pada ibumu."

Usai mengatakan itu, Garmain memejamkan mata. Tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi cahaya putih yang menyilaukan. Cahaya itu pun pecah menjadi ribuan cahaya kecil, seperti sekumpulan besar kunang-kunang putih, kemudian terbang ke arah bulan.

Garvain menangis sejadi-jadinya. Homer dan Homus memeluknya.

Matahari bersinar cerah. Langit tiada berawan. Kicau burung bersahut-sahutan, ditimpali suara gemericik air dari aliran sungai. Tidak seperti biasanya, Gania tampak murung. Semenjak malam itu, ia nyaris tidak pernah tersenyum. Hal ini mendorong Marwen untuk menggodanya.

"Kenapa, Rambut Gula-gula? Kehabisan obat pembuat senyum?"

Ditanya seperti itu, wajah Gania memerah. "Ti-tidak, Kapten."

"Lantas apa yang membuat tukang tersenyum kita menjadi nenek-nenek pemurung?"

Gania terdiam.

"Ceritakan padanya, Gania," desak Alana.

"Ini anu–"

"Kenapa anumu? Digigit honum?" goda Marwen lagi.

"Bukan itu!" Gania terdiam sejenak sambil menunduk. "Aku merasa sudah tidak berguna, Kapten. Honum itu ada di sana, kita bertemu dengannya, tetapi aku tidak bisa mendeteksinya. Kemampuanku sudah hilang. Aku tidak berguna lagi bagi kalian." Gania menangis. Alana berusaha menenangkannya.

"Owh, itu." Marwen tersenyum simpul. "Itu bukan salahmu. Seorang tesser terbaik pun belum tentu bisa melacaknya."

"Mengapa, Kapten?" tanya Leotar. Kini ia dan Alana memanggil Marwen dengan sebutan 'Kapten'. Itu karena mereka masih terkesima oleh kemampuan Marwen yang sesungguhnya.

"Kau ingat bocah gendut yang dijadikan penyamaran oleh honum itu?"

Leotar mengangguk. Pikirannya berusaha menebak apa yang hendak dikatakan Marwen.

"Ketika aku berbicara dengannya, mulut dan badannya mengeluarkan aroma bunga serrelium. Setelah kuselidiki, bocah bernama Larzo itu merupakan anak pembuat parfum serrelium di desa itu. Ekstrak bunga serrelium mampu meredam aura honum. Sayangnya, itu tidak diajarkan di Akademi dan para kramler yang lain jarang yang mengetahui hal tersebut. Dan sayangnya lagi, aku baru mengingat hal itu keesokan harinya."

Mendengar keterangan dari Marwen, Leotar manggut-manggut dan Gania tersenyum lega sambil mengusap air matanya.

"Hmmm, jika desa itu memiliki parfum yang sebegitu dahsyatnya, mengapa mereka tidak memberikannya pada kepala desa mereka. Pria itu lebih membutuhkannya ketimbang honum itu."

Ucapan dari Alana tersebut, kontan membuat Marwen tertawa terbahak-bahak. Meskipun sempat berusaha mengatupkan rahnanya sekuat tenaga, Leotar tak kuasa menahan tawanya lebih lama lagi.

Namun, ketika memasuki wilayah Lembah Durm, tawa mereka lenyap. Satu per satu anggota tim Marwen tumbang, dimulai dari Alana, Marwen, lalu Gania. Sebuah jarum menancap di leher mereka. 

Leotar yang mampu menghindari serangan jarum setelah melihat Alana tumbang, segera mencabut pedangnya. Ia terkejut ketika di hadapannya berdiri dua orang berjubah dan bertudung. Selagi perhatiannya teralihkan, satu orang bertudung yang bersembunyi memukul tengkuknya. Pemuda itu pun terjatuh dari kuda. Wa

Sebelum kesadarannya menghilang, ia melihat orang-orang itu menggeledahnya dan kawan-kawannya, lalu mengambil dua buah kartu honum yang mereka dapatkan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ryandhika Rahman
keren, Leotar ini cewek apa cowok? Mampir juga ke novel sy Syair Singgasana ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status