"Jlitheng, kasihan kamu maafkan aku ya kemarin aku sakit jadi tidak bisa menjengukmu di sini," kata Wirota. Jltheng si kuda hitam seolah mengerti dengan keadaan Tuannya. Diapun melepas rindu terhadap Tuannya yang selama ini sudah bersamanya dalam suka dan duka bekerja sama melakukan perampokan.Wirota masuk kerumahnya, dilihatnya debu tebal sudah menempel di berbagai perabotan rumahnya, sarang laba-laba berada di sudut-sudut dinding dan blandar. Wirota menghela nafas panjang seolah ingin melepaskan beban berat dibahunya. Biasanya usai berjudi, merampok atau mencopet, mereka membeli babi guling dan arak, lalu mereka akan makan dan minum bersama merayakan keberhasilan."Paman, aku sudah tidak merampok dan mencuri lagi. Seseorang di istana telah memberiku pelajaran menjadi seorang ksatria yang baik dan meninggalkan kemaksiatan. Kini aku sudah menjadi seorang Prajurit Paman," gumam Wirota.Wirota mengambil sapu dan lap lalu membersihkan rumahnya yang sudah lama tidak ditempatinya. Akhir
"Mengapa kau lewat jalan ini? Sudah lama kita berputar-putar di sini tetapi sampai saat ini kita tidak juga menemukan perkampungan. Kurasa kita tersesat!" Omel Wiragati pada Wirota."Kita ini kan pasukan penjelajah, ya kita harus bisa menemukan jalan lain. Coba kalau sewaktu-waktu pasukan Mahesa Rangkah menggerebek kita di hutan ini. Kalau kita tidak tahu jalur alternatif dan hanya mengandalkan satu jalan saja, kita seperti tikus sawah yang digropyok petani. Jalan yang lain ditutup hanya disisakan satu jalan keluar. Setelah kita keluar, pasukan perampok itu akan menghabisi kita di sini," jelas Wirota."Hei kalian ini laki-laki tapi cerewetnya macam perempuan, jalan sambil ngobrol dengan hebohnya. Sadarkah kalian, kita sudah 3 kali kembali ke kolam ini!" Kata Nandi dengan kesal. Wirota tertegun, dia berhenti berjalan, dia sama sekali tidak sadar karena sejak tadi sibuk berdebat dengan Wiragati. "Kita berhenti dulu, pasti ada gaib di hutan ini yang mengganggu kita," kata Jaran Pikatan
"Rangkah adalah cucuku, akulah penjaga Desa Penyamun yang digunakan untuk tempat persembunyiannya bersama anggotanya. Kedatangan kalian sudah kuamat-amati sedari tadi dan aku membiarkan kalian masuk ke dalam Barisan Penyesat Sukma!" Kata nenek itu. Jaran Pikatan menggeram marah, dia lantas kembali menyerang nenek itu dengan gencarnya. Wirota merasa saat ini mereka sedang dalam masalah besar. Maka dia berkata kepada Wiragati yang juga atasan langsungnya. "Kangmas Wiragati, kurasa kita harus mengirim satu orang untuk keluar dari hutan ini lalu melapor ke istana untuk minta bantuan, Aku kuatir nenek ini telah mengirim sinyal tanda bahaya kepada komplotan Mahesa Rangkah. kalau kita terjebak di sini, dengan mudah mereka akan menjaring kita seperti ikan yang sudah terperangkap dalam bubu," kata Wirota. "Baiklah, kau pergilah ke istana, aku akan membantu Ndoro Pikatan menghadapi nenek itu," kata Wiragati. Wirota segera keluar dari gelanggang dan keluar dari hutan. Baru saja dia melangkah
Wanita itu bertanya kepada pria tua itu "Kau mengenalnya?" "Saudara-saudara sekalian, jangan main hakin sendiri. Pemuda ini bernama Wirota. Ketika aku dan keluargaku tinggal di ibu kota, kami hidup dalam keadaan yang sangat miskin, bahkan untuk makanpun kami kesulitan. Tahukah kalian, disaat anakku sakit dan kami butuh uang untuk pengobatan, Ki Sanak ini membantuku memberi uang untuk berobat. Bahkan setelah anakku sembuh dia memberiku uang untuk modal usaha di desa. Tanpa Ki Sanak ini mungkin kami selamanya akan menjadi gelandangan," kata orang itu. Wirota tertegun, salah satu orang yang pernah diberinya uang hasil rampokan ada yang masih mengingat budi baiknya ketika menjadi seorang maling. Bahkan dia sendiri sudah lupa siapa saja yang pernah ditolongnya. Seketika orang-orang itu geger mendengar pernyataan orang itu. Salah seorang penduduk desa itu ada yang berseru "Ya ya aku ingat sekarang, dialah Wirota si Maling Budiman itu!" Orang yang berteriak itu maju ke depan lalu me
Wirota menghindari sambaran tongkat si nenek yang begitu gencar dan bertubi-tubi datangnya. Kemanapun dia pergi pasti tongkat itu selalu memghadangnya. Tiba-tiba Gajah Pagon telah berada di sisinya dan membantunya menyerang nenek itu. Wirota berusaha memotong tongkat si nenek dengan pedangnya namun selalu gagal. Tongkat yang dipikirnya terbuat dari kayu ternyata terbuat dari besi yang berat dan padat. Nenek itu tertawa melihat Wirota gagal memotong tongkatnya"He he he tongkat ini terbuat dari besi batu bintang terbaik, pedang saktimu tidak dapat memotong tongkatku!""Baiklah, jika tidak dapat memotong tongkatmu, aku akan memotong kakimu!" Seru Wirota sambil memotong kakai nenek. 'Terkesiap nenek itu melihat Wirota menyerang bagiah bawah kakinya."Craasssh!"Nenek itu berusaha menghindar namun tetap saja betisnya tersambar pedang Wirota, seketika darah mengalir dari betis si nenek begitu banyak hingga nenek itu sangat kaget melihatnya. Betis si nenek terluka, beruntung dia masih sem
Hari sudah sore ketika Wirota berkemas pulang ke Kasatriyan Cahya Raja. Di dekat taman istana, dia bertemu dengan Larasati yang menjadi abdi dalem istana. Larasati memanggilnya "Wirota. kemarilah, aku punya sesuatu untukmu!" Kata larasati. Wirota menghampirinya dan bertanya "Apa itu?" "Ayo, ikut aku ke dapur." Larasati sudah mendahuluinya ke dapur , Wirota menebak pasti Larasati akan memberikan makanan lezat. Hari ini kebetulan istana kedatangan banyak tamu mancanegara. Para Abdi Dalem di dapur membuat banyak makanan untuk hidangan tamu. Mungkin sampai menjelang malam masih ada yang tersisa. Biasanya Larasati selalu menyisihkan makanan untuk Wirota karena dia tahu makanan di Kasatriyan rasanya tidak enak. Dapur sudah sepi ketika mereka tiba di sana. Larasati membuka tutup kuali dan menuangkan isinya ke piring yang sudah diisi nasi. Diambilnya satu bumbung tuak, setelah itu dia memberikannya pada Wirota "Waaah, babi panggang dan tuak kesukaanku terimakasih Larasati!" Larasati
Wirota segera melaporkan apa yang dialaminya kepada Gajah Pagon sebagai Tumenggung yang memimpin kesatuan Cahya Raja saat Gajah Pagon menengoknya di Kasatriyan. Setelah kondisinya mulai puluh Wirota menghadap Kertanegara yang sedang berada di taman bersama isteri dan para selirnya. Mereka mencari saat yang tepat pada saat Ardharaja putera Jayakatwang sedang tidak berada di istana."Gusti Prabu, saat ini orang-orang Jayakatwang sudah di sebar di istana memata-matai pergerakan anda. Dari peristiwa yang dialami Wirota semalam, ternyata memang terbukti bahwa Jayakatwang ingin memberontak. Pasukan kita saat ini tinggal sedikit karena semua sudah dikerahkan untuk ekspedisi Pamalayu. Menurut saya, sebaiknya sekarang juga kita harus bertindak menangkap Jayakatwang sebelum dia menyerang duluan," usul Gajah Pagon.Namun Kertanegera justru tampak tenang dan tidak sedikitpun terlihat cemas."Jayakatwang tidak mungkin memberontak, dia adalah sepupuku dari garis ibu, adikku menjadi isterinya, seme
Kedua ekor harimau itu memandang Prabu Kertanegara dengan pandangan tajam, bersiap menerkamnya. Sesaat kemudian mereka langsung menerjang ke arah Prabu Kertanegara. Tiba-tiba terdengar auman keras, kedua harimau itu jatuh tersungkur dengan perut robek bersimbah darah."Gsuti Prabu, anda tidak terluka?" Tanya Wirota dengan cemas.Wirota yang sudah mengamati sedari tadi berada di dekat kedua harimau itu dengan pedang Naga Bumi mikiknya yang sudah bersimbah darah harimau."Tidak, aku tidak apa-apa, kau bawa saja kedua harimau itu, kulitnya bisa kita pakai untuk hiasan. Bawa sekalian mayat si Kliwon, dia sudah berjasa menyelamatkan aku dari terkaman harimau," kata Kertanegara.Wirota turun dari kudanya dan menaruh kedua jasad harimau itu di atas kudanya lalu menuntunnya kembali ke tempat semula di tepi hutan. Pada saat mereka berdua pergi meninggalkan lokasi, dari semak belukar sepasang mata mengamati kepergian mereka, hingga menghilang di balik kerimbunan hutan.Di tengah perjalanan Wiro