Keringat dingin membasahi dahiku, tubuhku gemetar usai berperang batin. Rasa trauma yang mendiami diri puluhan tahun kini aku lawan demi bertemu dengan suamiku yang telah tidak pulang tiga hari tanpa memberikan kabar. Ini ketiga kalinya aku keluar rumah, pergi ke rumah mertua setelah sebelumnya aku menghantarkan orangtuaku ke peristirahatan terakhir dan berkunjung ke rumah mertuaku saat menikah.
Aku menghela nafas, lega. “Akhirnya sampai dengan selamat.” Netraku menatap rumah dua lantai berdesign klasik dominan warna putih tak lain adalah rumah mertuaku.
“Mbak Sila, baik-baik saja?” Bi Sumi menatapku khawatir dan perhatian. Bukannya pergi dengan suami malah ditemani asisten rumah, tak apa setidaknya aku tidak pergi sendiri.
Kepalaku menggeleng. “Ayo, Bi.” Tak sabaran, aku melangkah mendekati gerbang hitam tertutup rapat kemudian tanganku menekan tombol bel di samping pagar hitam besi itu. Bi Sumi mengikuti dari belakang.
Seorang laki-laki parubaya berpakaian hitam bertubuh gagah tak lain penjaga rumah membukakan pintu, terkejut mendapatiku datang tiba-tiba. Tanpa dijelaskan, aku segera dipersilahkan masuk karena kenal siapa diriku. Aku mengangguk terima kasih, kemudian melangkah masuk lebih dalam meneliti rumah berukuran lebih luas dari rumahku yang terlihat ada dua mobil mewah terparkir di depan garasi tanpa ada mobil Marvin disana.
Miris, kedatanganku ini adalah kedua kalinya setelah yang pertama ketika seusai menikah dengan Marvin. Parahnya hanya untuk mencari Marvin, tak bisa dibayangkan respon kedua mertuaku bagaimana saat tahu tujuanku datang. Entahlah, namun semua itu tertepis kala rasa canggung dan gugub menjalar ke seluruh tubuh akan bertemu dengan mertua mengingat hubungan kita tidaklah hangat.
Langkahku pelan menatap pintu rumah terbuka lebar. Kepalaku menunduk, tanganku kosong merutuki dalam hati tak membawa buah tangan untuk mertua. Pikiranku kalut, tidak bisa berpikir jernih selain rasa tidak sabar bertemu Marvin setelah berkali-kali menghubungi lewat sambungan telepon tidak diangkat.
“Sila!” Suara bariton dari dalam rumah mengalihkan perhatianku.
Deg
“Papa,” panggilku dengan mata melebar, melihat orang yang telah kuanggap seperti ayah kandung sendiri tengah duduk di kursi roda, di dorong wanita perubaya dari belakang tak lain adalah ibu mertuaku.
Raharja Gunawan, laki-laki parubaya duduk di kursi roda dan Novi Gunawan di belakangnya. Setahun lama tak berjumpa kini dipertemukan dengan kondisi berbeda dari terakhir yang ia lihat, mertuanya sehat.
“Sila kamu kesini? Marvin, mana?” Menatap sekelilingku mencari keberadaan putera mereka, namun yang ada malah Bi Sumi.
Tujuanku datang seketika buyar tergantikan rasa khawatir, kakiku berjalan cepat kemudian bersimpuh di depan kursi roda. “Papa, kenapa?” tanyaku dengan suara tidak jelas namun bisa dimengerti ayah mertuaku.
Seulas senyum terpatri seraya mengayunkan tangan membelai surai rambut sebahuku yang tergerai bebas. “Papa baik, jangan khawatir,” ujarnya, tapi aku tak percaya begitu saja.
Mataku berkaca-kaca menatapnya, kemudian beralih menatap ibu mertuaku yang sedari tadi diam menatapku dengan tatapan datar. Bukankah senang bila menantu datang berkunjung.
“Papa jatuh di kamar sebulan lalu. Kakinya sakit, jadi pakai kursi roda,” jelas ibu Marvin membuatku ternganga. Pasti sakit, hingga harus duduk di kursi roda, pikirku.
Satu sisi merasa kecewa dan sedih, keadaan seperti ini aku tak tahu dan parahnya tidak ada yang memberitahu sekalipun suamiku sendiri. Bukan tidak peduli, namun hubunganku dengan keluarga mertua tidak sebaik keluarga besar pada umumnya yang saling akrab satu sama lain. Bagiku, mertuaku itu baik ketika hanya bertemu saja selebihnya serasa asing tanpa bila tidak berjumpa, tanpa bertukar kabar.
“Papa,” kudekap tubuh tambun itu dengan sayang.
“Sayang mantu, papa. Jangan bersedih, papa baik-baik saja.” Tangan besarnya mengusap punggungku kecilku, seperti inilah perlakuannya baik bila kita bertemu saja selebihnya acuh.
Pelukan itu terlepas, wajahku ditangkup membuat mata saling beradu. “Ada apa dengan menantu papa?” Wajah tidak bisa berbohong begitupun aku yang gelisah mencari Marvin dari kemarin.
“Mas Marvin tidak pulang tiga hari,” cicitku lirih, jujur namun disisi lain mengkhawatirkan keadaan ayah mertuaku yang pasti akan kaget mendengarnya.
Benar dugaanku mertuaku kaget membelalakkan matanya. “Tiga hari, tidak pulang? Lalu kemana dia? Apa kalian ada masalah?” Aku menunduk diam, ragu menceritakan semuanya terlebih keadaan ayah mertua tidak mendukung.
“Sila, jangan takut. Bicaralah,” pintanya memegang kedua bahu kecilku.
Kepalaku mengangguk, tenggorokanku tercekat untuk mengungkapkan perihal keinginan Marvin yang ingin menikah lagi. Melihat keterdiamanku, tatapan penuh tanda mereka teralihkan pada Bi Sumi yang berdiri di sampingku.
“Ada apa ini Bi?” tanya ayah mertuaku pada Bi Sumi.
Bi Sumi tidak bisa berbohong, apalagi membiarkan Sila yang telah disayanginya seperti anak sendiri sedih larut dalam kesedihan dan pencarian Marvin. Berharap segera bertemu dengan Marvin untuk menyelesaikan masalah dibantu pasangan suami istri tersebut. “Mas Marvin memiliki kekasih dan akan menikah.”
“Tidak mungkin!” seru keduanya bersamaan membuat Sila dan Bi Sumi terhenyak kaget.
Ku tatap pintu warna cokelat tertutup rapat di depanku. “Ini apartemennya?”
Inilah satu-satunya jalan terkahi, aku diajak mertuaku ke apartemen milik anak mereka untuk pertama kalinya mencari Marvin yang tidak diketahui keberadaannya setelah berkali-kali dihubungi lewat sambungan telepon namun nihil hasilnya. “Ya. Papa kira Marvin telah memberitahumu mengenai apartemennya dari hasil jerih payahnya bekerja keras.” Satu sisi aku merasa kecewa namun disisi lain juga merasa bangga akan keberhasilan yang diraih Marvin ketika masih muda.
Mertuaku telah menceritakan terkait masa muda Marvin yang pandai berbisnis trading. Tak pernah hidup boros, giat menabung dan juga membeli saham sebagai investasi jangka panjang ketika masih duduk di bangku kuliah. Terbukti apartemen ini menjadi buah kesabaran dan perjuangan Marvin sukses berinvestasi saham. Istri mana yang tidak bangga memiliki suami seperti Marvin, begitupun aku.
Pintu terbuka, setelah sebelumnya diketuk seketika mengalihkan perhatian semua orang. Seorang wanita cantik mengenakan bathrobe putih membalut tubuh dengan rambut tergerai masih basah menjadi fokusku. Siapa dan ada urusan apa wanita itu berada di dalam apartemen Marvin, pikirku. Tanpa sadar, mataku memanas merasakan perih di hati membayangkan hal menjijikkan di dalam apartemen itu tak lain milik suamiku.
“Stela,” panggil mertuaku bersamaan terlihat kenal sebelumnya. Oh, aku baru tahu nama wanita itu adalah Stela.
“Om, tante.” Wanita itu tersenyum ramah tanda sopan menghormati pasangan suami istri yang tak lagi muda berdiri di sampingku dan dibalas dengan anggukan walau sungkan dengan melirik sekilas padaku.
Masih dalam keterkejutan, ribuan pertanyaan bercokol di kepala menuntut penjelasan. Apa maksud dari semua ini, mengapa terlihat sekali mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
“Sayang, ada siapa diluar?” tanya seseorang dari dalam, tak asing di telingaku. Mataku membulat, itulah pemilik suara yang ku cari sekarang.
“Mamah papahmu kesini,” sahut Stela menoleh ke belakang.
“Siapa kamu?” tanyaku setelah sedari tadi diam, menatap Stela.
Dia menatapku dari atas sampai bawah, remeh ketika mendengar cara bicaraku yang aneh dan tidak jelas. Aku tidak peduli, hanya butuh jawabannya.
Deg
Jantungku tersentak mendapati Marvin muncul dari belakang Stela dengan tubuh bagian atas polos dan basah. Tanganku reflek menutup mulutku yang ternganga melihat pemandangan tidak senonoh dua orang habis mandi bersamaan.
Marvin terlihat kaget bukan main melihat tempat persembunyiannya di kepung. Wajahnya memucat menatap satu persatu orang di depannya tak ayal netranya berhenti lama menatap sang ayah. Disini aku merasa tidak berarti di matanya, tanpa memikirkan perasaanku bagaimana. Sakit, hati ini.
Tubuhku hendak limbung tidak kuasa melihat kenyataan menampar hati, untung Bi Sumi yang mengikutiku sedari tadi cekatan meraih tubuhku.
“Apa-apaan ini Marvin!” teriak ayah mertuaku dengan suara menggelegar membuat atmosfer seketika menjadi tegang.
Brughhhh
“Papa!”
Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Disinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen.Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya bermain dengan wanita di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin setelah mempertimbangkan matang-matang, tidak ingin hatiku semakin terluka lebih dalam melihat kemesraan Marvin bersama Stela.BrakkkSuara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Laki-laki yang berstatus suamiku mendatangi
Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.Maklum Marvin sedang emosi, tidak heran menyentuh tubuhku dengan kasar sebagai pelampiasannya.Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.“Eh,” Aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu keluar dari intiku.Tanganku terulur mendapati ada sisa cairan disana, mataku membola. “Dia tidak memakai pengaman?”“Brengsek,” umpatnya kasar semakin menar
“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya. Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasa
“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh. Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya. “Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu. Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir. “Sila, mau kemana
Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya. “Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini. Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin. Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta. ‘Ak
“Besok, aku akan menikahi kekasihku.” Jderrrr“Apa!” Tubuhku terlonjak kaget dari sofa, rasanya jantungku terlompat dari posisinya membuat duniaku berhenti saat itu juga.Apakah ini mimpi, tidak pernah terlintas sedikit pun ucapan keramat itu keluar dari mulut laki-laki di hadapanku yang telah menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku cintai hendak menikah lagi. Dan apa katanya tadi, menikahi kekasihnya, akankah selama ini ada wanita lain selain diriku di hatinya.‘Tidak!’ Kepalaku menggeleng, menepis apa yang terjadi di hadapanku adalah mimpi belaka.Pikiranku berkelana, sadar keadaan rumah tangga kita tidak seharmonis seperti keluarga pada umumnya. Dia sibuk bekerja berangkat kerja pagi, pulang malam. Suamiku adalah CEO di perusahaan Gunawan Group tak lain milik keluarga besarnya menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit, bergerak di bidang property dan ritel.Dia selalu bersikap dingin dan kasar, berbicara bila penting saja, tidak pernah memberi perhatian dan sayan
Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu. Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan. Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku. Tok tokBi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.Bi Sumi, asisten rumah yang dipe