공유

2. Mengurung Diri

Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu.

Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan.

Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku.

Tok tok

Bi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.

Bi Sumi, asisten rumah yang dipercaya kedua orang tuaku ketika masih hidup sejak aku berusia 5 tahun selalu mencurahkan kasih dan sayangnya padaku, Tak ayal Bi Sumi telah ku anggap seperti ibu sendiri. Satu-satunya, saksi bisu atas kemalangan hidup yang menimpaku selama ini.

“Mbak Sila jangan mengurung diri di dalam kamar terus. Tidak baik untuk kesehatan.” Dia berusaha mengajakku bicara, namun aku tetap diam.

“Dia sudah pulang, Bi?” Bodoh, mulut ini dengan sendirinya tanpa dituntun. Namanya hati masih tertaut tak bisa berbohong bukan kala rindu bertahta dalam diri.

Bi Sumi paham, mengangguk siapa yang dimaksud. “Belum, Mbak.” Aku tersenyum kecut.

Aku menatap Bi Sumi seolah meminta pendapat. “Aku harus bagaimana?” Tangan berurat nan keriputnya membelai surai rambutku yang berantakan. “Yang sabar, Mbak. Bi Sumi selalu ada disamping dan mendukung semua keputusan, Mbak Sila.”

Deg

“Berpisah?” Tak munafik, sedari kejadian dua hari lalu terlintas di kepala untuk bercerai dengan Marvin, tak sanggup di madu. Namun hati ini masih bimbang dan berat.

“Berdoa, minta petunjuk pada sang Pencipta,” sahutnya dengan tenang membuatku hatiku berdesir. Betapa berdosanya aku melalaikan kewajibanku sebagai umat-Nya sehabis pertengkaran itu, menganggap Tuhan tak sayang padaku dengan menguji rumah tanggaku yang setahun ini aku jaga.

“Maafkan aku, Tuhan.” Aku menunduk meminta ampun.

Dilain tempat terlihat dua orang tak terikat status resmi hanya berlandaskan cinta di hati saling berpelukan di atas ranjang. Aura bahagia terpancar di wajah keduanya, empat tahun tak bertemu kini dipertemukan kembali.

“Sayang, bangun,” bisik wanita cantik hanya memakai pakaian dalam menatap wajah sang kekasih tercinta.

Tubuh si laki-laki menggeliat, menarik tubuh wanitanya mendekat hingga kulit tubuh bagian atas keduanya saling bergesekan tanpa membuka mata.

Si wanita tersenyum tak ayal menghujami kecupan bertubi di seluruh wajah bantal itu. “Jadi nggak beli cincin.” Laki-laki itu diam tak mengurai sedikitpun dekapannya.

“Marvin!” Pemilik nama itu menyipitkan mata mendengar suara nyaring menyapu telinga.

Dialah Marvin, laki-laki berstatus sebagai suami orang telah dua hari tidak pulang memilih menginap di apartmennya bersama wanita lain bernama Stela, kekasihnya. Seminggu lalu Stela tiba di tanah air setelah menyelesaikan beasiswa kuliah di Inggris membuatnya lupa akan keberadaan istrinya yang menantinya pulang di rumah. Empat tahun tak berjumpa fokus belajar membuat wanita itu tidak tahu status Marvin telah menikah.

Kini Stela menagih janji, menuntut Marvin untuk menikahinya. Marvin bingung, bagaimana menikahi Stela bila statusnya masih menjadi suami Sila. Satunya jalan, mengajak Stela menikah siri. Tentu Stela menolak, meminta alasan mengapa tidak menikah resmi. Alih-alih menjawab, Marvin malah menjanjikan membeli cincin pernikahan, untungnya perhatian Stela teralihkan dan tak menuntut tanya lagi.

“Nanti. Masih pagi, ayo tidur ” Suara serak paraunya keluar terdengar seksi di telinga wanita itu.

“Hanya tidur? Nggak mau masuk percuma!” Wanita itu beranjak kasar seraya melepas dekapan hangat Marvin.

Semalam mereka menghabiskan malam bersama, namun hanya sekedar skin ship tanpa penyatuan tubuh, sesuai janji mereka enam tahun lalu awal pacaran. Sebagai laki-laki normal jelas itu menjadi siksaan sekaligus penghargaan tersendiri untuk Marvin bisa mengontrol hasratnya bersama Stela, baginya kehormatan Stela sangat berharga untuk Marvin jaga hingga menikah nanti. Lantas pernyataan Stela barusan membuat Marvin khawatir, akankah kekasihnya itu telah terkontaminasi budaya barat yang bebas, terutama seks bebas.

Marvin bangun menatap tajam tubuh seksi yang duduk memunggunginya. “Masuk? Kamu sungguh menginginkan milikku memasukimu?”

“Ya,” sahutnya cepat .

“Tidakkah kamu mengingat janji kita dulu? Aku tidak mau merusak wanita yang kucintai sebelum menikah, begitupun dirimu.”

Yang ditanya seketika diam, menggigit bibir sendiri merutuki keinginannya yang menggebu sulit ditahan. Raut wajah panik melanda wajah cantik alaminya belum tersentuh make up.

Marvin menarik kedua bahu kecil itu membuat tubuh wanita itu berbalik menghadapnya. “Kenapa diam? Kamu nggak ikut gaya hidup bebas disana, bukan?” Buru-buru Stela menggeleng cepat.

“Percuma, nikah juga siri Marvin.” Keluhnya setelah mencari alasan untuk mengalihkan perhatian Marvin. Stela kecewa, berharap menikah resmi dan mewah dengan disaksikan orang banyak bersama Marvin, satunya moment harus diabadikan karena bersejarah dalam hidup mereka.

Kecurigaan Marvin lenyap tergantikan rasa panik, tak ingin rahasianya terbongkar dengan Sila. Mengapa disaat berdua dengan wanita yang sangat dicintainya bayang-bayang istri sahnya namun tak diinginkannya itu datang. Sungguh merusak suasana hatinya.

“Aku sedang sibuk dan belajar berbisnis menggantikan posisi ayahku sebagai CEO di perusahaan. Tidak mungkin bukan, tiba-tiba aku menikah,” kilahnya membelai surai rambut berantakan Stela.

Stela mencerna ucapan Marvin sesaat. Kemarin Marvin telah memberitahu Stela akan pekerjaannya di perusahaan keluarga besarnya sebagai CEO menggantikan posisi sang ayah yang sedang sakit, terlebih usia dan ilmunya telah mumpuni untuk menanganinya sebagai penerusnya.

“Itu bukan jadi penghalang untuk kita bisa menikah resmi Marvin. Bukankah itu justru semakin bagus, rekan bisnismu hadir dan menjadi saksi atas hari kebahagiaan kita.”

“Apa kamu tidak ingin menikmati waktu kelulusanmu dulu sayang?” Stela terdiam sejenak seraya memikirkan ucapan Marvin yang ada benarnya juga. Setelah bertahun-tehuan sibuk belajar tentu butuh waktu untuk istirahat. Apalagi hendak menikah dan berkeluarga pasti akan menyita banyak waktu dan tenaga.

“Aku berjanji untuk menikahimu, sayang. Jadi jangan takut kehilanganku.”

Stela memukul bahu telanjang Marvin, kesal. “Ish, kau tak mengerti perasaanku. Kita sudah berpacaran enam tahun lamanya. Aku ingin kita segera bersama, sah sebagai pasangan suami istri dan memiliki anak.”

Marvin langsung menyambar bibir ranum Stela karena gemas, sejak tadi bibir itu seolah melambai-lambai untuk dinikmati. Akhirnya keduanya larut dalam ciuman panas di pagi hari, tanpa sungkan saling membalas dan memagut mengabaikan bau mulut bangun tidur.

“Eungh.” Marvin puas mendengar lenguhan wanitanya, tangannya terus meremas dada berisi Stela. Marvin merasa terpuaskan, cinta dan nafsunya sulit dipisahkan sekarang, terlebih tubuh Stela yang sekarang lebih menggoda daripada dulu awal mereka berpacaran.

Beruntung hari ini adalah hari minggu, menjadi kesempatan untuk Marvin bermanja-manja dengan Stela tanpa sadar telah mengabaikan deringan ponsel berbunyi menampilkan nama Sila.

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status