Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu.
Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan.Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku.Tok tokBi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.Bi Sumi, asisten rumah yang dipercaya kedua orang tuaku ketika masih hidup sejak aku berusia 5 tahun selalu mencurahkan kasih dan sayangnya padaku, Tak ayal Bi Sumi telah ku anggap seperti ibu sendiri. Satu-satunya, saksi bisu atas kemalangan hidup yang menimpaku selama ini.“Mbak Sila jangan mengurung diri di dalam kamar terus. Tidak baik untuk kesehatan.” Dia berusaha mengajakku bicara, namun aku tetap diam.“Dia sudah pulang, Bi?” Bodoh, mulut ini dengan sendirinya tanpa dituntun. Namanya hati masih tertaut tak bisa berbohong bukan kala rindu bertahta dalam diri.Bi Sumi paham, mengangguk siapa yang dimaksud. “Belum, Mbak.” Aku tersenyum kecut.Aku menatap Bi Sumi seolah meminta pendapat. “Aku harus bagaimana?” Tangan berurat nan keriputnya membelai surai rambutku yang berantakan. “Yang sabar, Mbak. Bi Sumi selalu ada disamping dan mendukung semua keputusan, Mbak Sila.”Deg“Berpisah?” Tak munafik, sedari kejadian dua hari lalu terlintas di kepala untuk bercerai dengan Marvin, tak sanggup di madu. Namun hati ini masih bimbang dan berat.“Berdoa, minta petunjuk pada sang Pencipta,” sahutnya dengan tenang membuatku hatiku berdesir. Betapa berdosanya aku melalaikan kewajibanku sebagai umat-Nya sehabis pertengkaran itu, menganggap Tuhan tak sayang padaku dengan menguji rumah tanggaku yang setahun ini aku jaga.“Maafkan aku, Tuhan.” Aku menunduk meminta ampun.Dilain tempat terlihat dua orang tak terikat status resmi hanya berlandaskan cinta di hati saling berpelukan di atas ranjang. Aura bahagia terpancar di wajah keduanya, empat tahun tak bertemu kini dipertemukan kembali.“Sayang, bangun,” bisik wanita cantik hanya memakai pakaian dalam menatap wajah sang kekasih tercinta.Tubuh si laki-laki menggeliat, menarik tubuh wanitanya mendekat hingga kulit tubuh bagian atas keduanya saling bergesekan tanpa membuka mata.Si wanita tersenyum tak ayal menghujami kecupan bertubi di seluruh wajah bantal itu. “Jadi nggak beli cincin.” Laki-laki itu diam tak mengurai sedikitpun dekapannya.“Marvin!” Pemilik nama itu menyipitkan mata mendengar suara nyaring menyapu telinga.Dialah Marvin, laki-laki berstatus sebagai suami orang telah dua hari tidak pulang memilih menginap di apartmennya bersama wanita lain bernama Stela, kekasihnya. Seminggu lalu Stela tiba di tanah air setelah menyelesaikan beasiswa kuliah di Inggris membuatnya lupa akan keberadaan istrinya yang menantinya pulang di rumah. Empat tahun tak berjumpa fokus belajar membuat wanita itu tidak tahu status Marvin telah menikah.Kini Stela menagih janji, menuntut Marvin untuk menikahinya. Marvin bingung, bagaimana menikahi Stela bila statusnya masih menjadi suami Sila. Satunya jalan, mengajak Stela menikah siri. Tentu Stela menolak, meminta alasan mengapa tidak menikah resmi. Alih-alih menjawab, Marvin malah menjanjikan membeli cincin pernikahan, untungnya perhatian Stela teralihkan dan tak menuntut tanya lagi.“Nanti. Masih pagi, ayo tidur ” Suara serak paraunya keluar terdengar seksi di telinga wanita itu.“Hanya tidur? Nggak mau masuk percuma!” Wanita itu beranjak kasar seraya melepas dekapan hangat Marvin.Semalam mereka menghabiskan malam bersama, namun hanya sekedar skin ship tanpa penyatuan tubuh, sesuai janji mereka enam tahun lalu awal pacaran. Sebagai laki-laki normal jelas itu menjadi siksaan sekaligus penghargaan tersendiri untuk Marvin bisa mengontrol hasratnya bersama Stela, baginya kehormatan Stela sangat berharga untuk Marvin jaga hingga menikah nanti. Lantas pernyataan Stela barusan membuat Marvin khawatir, akankah kekasihnya itu telah terkontaminasi budaya barat yang bebas, terutama seks bebas.Marvin bangun menatap tajam tubuh seksi yang duduk memunggunginya. “Masuk? Kamu sungguh menginginkan milikku memasukimu?”“Ya,” sahutnya cepat . “Tidakkah kamu mengingat janji kita dulu? Aku tidak mau merusak wanita yang kucintai sebelum menikah, begitupun dirimu.”Yang ditanya seketika diam, menggigit bibir sendiri merutuki keinginannya yang menggebu sulit ditahan. Raut wajah panik melanda wajah cantik alaminya belum tersentuh make up.Marvin menarik kedua bahu kecil itu membuat tubuh wanita itu berbalik menghadapnya. “Kenapa diam? Kamu nggak ikut gaya hidup bebas disana, bukan?” Buru-buru Stela menggeleng cepat.“Percuma, nikah juga siri Marvin.” Keluhnya setelah mencari alasan untuk mengalihkan perhatian Marvin. Stela kecewa, berharap menikah resmi dan mewah dengan disaksikan orang banyak bersama Marvin, satunya moment harus diabadikan karena bersejarah dalam hidup mereka.Kecurigaan Marvin lenyap tergantikan rasa panik, tak ingin rahasianya terbongkar dengan Sila. Mengapa disaat berdua dengan wanita yang sangat dicintainya bayang-bayang istri sahnya namun tak diinginkannya itu datang. Sungguh merusak suasana hatinya.“Aku sedang sibuk dan belajar berbisnis menggantikan posisi ayahku sebagai CEO di perusahaan. Tidak mungkin bukan, tiba-tiba aku menikah,” kilahnya membelai surai rambut berantakan Stela.Stela mencerna ucapan Marvin sesaat. Kemarin Marvin telah memberitahu Stela akan pekerjaannya di perusahaan keluarga besarnya sebagai CEO menggantikan posisi sang ayah yang sedang sakit, terlebih usia dan ilmunya telah mumpuni untuk menanganinya sebagai penerusnya.“Itu bukan jadi penghalang untuk kita bisa menikah resmi Marvin. Bukankah itu justru semakin bagus, rekan bisnismu hadir dan menjadi saksi atas hari kebahagiaan kita.”“Apa kamu tidak ingin menikmati waktu kelulusanmu dulu sayang?” Stela terdiam sejenak seraya memikirkan ucapan Marvin yang ada benarnya juga. Setelah bertahun-tehuan sibuk belajar tentu butuh waktu untuk istirahat. Apalagi hendak menikah dan berkeluarga pasti akan menyita banyak waktu dan tenaga.“Aku berjanji untuk menikahimu, sayang. Jadi jangan takut kehilanganku.”Stela memukul bahu telanjang Marvin, kesal. “Ish, kau tak mengerti perasaanku. Kita sudah berpacaran enam tahun lamanya. Aku ingin kita segera bersama, sah sebagai pasangan suami istri dan memiliki anak.”Marvin langsung menyambar bibir ranum Stela karena gemas, sejak tadi bibir itu seolah melambai-lambai untuk dinikmati. Akhirnya keduanya larut dalam ciuman panas di pagi hari, tanpa sungkan saling membalas dan memagut mengabaikan bau mulut bangun tidur.“Eungh.” Marvin puas mendengar lenguhan wanitanya, tangannya terus meremas dada berisi Stela. Marvin merasa terpuaskan, cinta dan nafsunya sulit dipisahkan sekarang, terlebih tubuh Stela yang sekarang lebih menggoda daripada dulu awal mereka berpacaran.Beruntung hari ini adalah hari minggu, menjadi kesempatan untuk Marvin bermanja-manja dengan Stela tanpa sadar telah mengabaikan deringan ponsel berbunyi menampilkan nama Sila.Hening menyelimuti seisi ruang tamu. Mataku menatap lekat Marvin yang duduk di sofa bersebelahan dengan ibunya berbicara lebih dulu. Cukup lama terdiam membuat Kevin beranjak untuk pamit ingin memberikan ruang yang nyaman untuk kita berbicara. Namun segera kutahan demi menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi, pikirku.Melihat itu, Marvin akhirnya angkat bicara. “Sila, aku mewakili keluargaku minta maaf atas kejahatan yang sudah terjadi di masa lalu.” Terjeda beberapa detik menyempatkan menoleh ke samping di mana sang ibu masih diam. “Aku sangat menyesal itu pernah terjadi. Aku tahu pasti berat, tapi sungguh kedatanganku di sini tulus meminta maaf.”“Sekarang kamu minta maaf setelah kemarin mengancamku ingin menghabisiku dan anak ini,” selaku cepat untuk mengingatkan. Padahal baru dua hari lalu kami tidak sengaja bertemu dan dia mengatakan ingin menghabisiku hingga membuatku ketakutan.Kevin yang masih duduk di sampingku langsung melotot tak percaya dengan apa yang barusan dideng
“Ada perlu apa dengan Sila?” Kevin menyahut cepat tanpa ada keramahan sedikitpun dari suaranya. “Apapun yang mengenai dia, harus berurusan dengan saya dulu.”Jujur aku terkejut namun juga merasa terwakilkan. Aku saja bingung bagaimana menghadapi seorang diri Marvin yang dengan terang terangan mau berbicara denganku.Aku masih bergeming tanpa membalikkan badan. Seharusnya mudah saja tinggal masuk ke dalam rumah dan tak memperdulikannya, tapi entah kenapa seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menahan kakiku untuk tetap diam.Lama tak ada jawaban, aku mengambil langkah lagi. Tapi …“Sila, aku minta maaf. Ampun.” Setelahnya terdengar sesuatu jatuh membentur tanah membuatku kaget disusul suara putus asanya. “Aku sudah menerima karmanya.”Jadi, itu alasannya datang ke sini. Jujur kaget mendengar pengakuannya namun aku tak bisa untuk tersenyum mengejek mendengarnya. Sekarang aku mempercayai adanya hukum tabur tuai.Dulu aku memang kalah membiarkan keadilan tak memihakku yang jelas menjadi
Rencana makan malam berubah total. Yang aku kira bakal seru makan bersama sambil bercanda dengan Kevin karena ini kali pertama makan di luar malah berakhir bertemu dengan Marvin. Dan kini Marvin terlibat obrolan serius dengan Kevin dan klien Kevin di dalam ruangan yang dibatasi sekat berupa kaca, aku bisa melihatnya dari luar.Ada urusan apa sehingga Marvin dilibatkan?Aku berusaha bersikap biasa seolah tak saling mengenal, namun nyatanya mata ini tak bisa dikendalikan terus memperhatikan gerak gerik Marvin sedang menjelaskan sesuatu yang terlihat serius hingga sesekali Kevin menimpalinya. Yang sekarang kulihat, Marvin berwibawa ketika sedang berbicara seperti itu hanya saja penampilannya terlihat sederhana dengan tubuh yang kurus jauh berbeda dengan ketika dulu masih bersama. Semua yang ada padanya tidak luput dari mataku.Tanpa kusadari sudah tiga puluh menit lewat, obrolan mereka selesai dan Marvin hingga beranjak pergi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Dia langsung pergi dengan
“Jadi Bi Sumi sudah tahu? Kenapa nggak bilang padaku?” jelas aku menggerutu kesal. Bi Sumi yang sedang duduk di sebelahku baru mengaku kalau sudah tahu laki-laki yang mengembalikan dompetku semalam adalah Marvel. Pantas saja mereka diam saja, tak mungkin hanya aku yang mengenali Marvel.“Mas Kevin yang melarang, Mbak.” Terpancar rasa bersalah di mata keriput itu membuatku tak tega menyalahkannya lagi. “Bibi awalnya kaget dan ragu melihat Mas Marvel seperti itu. Tapi setelah Mas Kevin memberitahu diam-diam, baru bibi percaya.”Aku mendesah pelan. Tidak hanya aku saja yang kaget dan prihatin melihat keadaan Marvel sekarang. Marvel yang sekarang terlihat kurang terurus dibandingkan dulu yang selalu tampil fashionable. Sejenak aku mengambil nafas singkat, menstimulus otak untuk mengusir bayangan kesdihan yang mungkin bisa semakin dalam karena tak mau ambil pusing dengan kehidupan Marvel lagi.Bukan karena aku tidak atau belum berdamai dengan keadaan. Hanya saja apa yang telah diperbuat Mar
“Sila, kamu dari mana?” Langkahku terhenti melihat Kevin sedang duduk sendirian di depan rumah sambil membaca koran. Apakah dia menungguku pulang?Setahuku Kevin kalau pulang ke rumah tidak pernah di luar rumah sekalipun membaca koran. Meskipun jarang pulang tapi aku sedikit tahu kebiasaannya selama di rumah yaitu gym dan bekerja di dalam rumah. Tidak heran usianya yang sudah menginjak 28 tahun belum memiliki pasangan karena masih betah sendiri. Tapi di mataku dia adalah orang pekerja keras.“Kamu habis menangis?” tanyanya lagi sambil bangkit dari duduknya berjalan mendekat ke arahku menatapku intens.Terlambat. Aku tak bisa berkutik. Padahal aku ingin segera masuk ke kamar agar tidak ada orang yang melihat kesedihanku. Mataku yang sudah banjir air mata dilihat Kevin. Meski begitu tanganku berusaha menghapusnya dengan punggung tangan. Ditanya seperti itu aku belum bisa menjawab karena masih syok dengan pertemuan tak terduga barusan.Ditanya seperti itu hatiku mencelos. Mendadak dada in
Pagi menyapa dengan sinar cerah dan udara yang menyejukkan mata. Burung berkicauan di atas langit seraya mengepakkan sayap menambah indahnya pemandangan. Semua orang terlihat sedang berkumpul bersama untuk menikmati hari weekend.Aku sedari tadi masih berdiri tak bosan memperhatikan setiap orang yang lewat hanya sekedar jalan-jalan di depan rumah. Sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari libur tiba, yang ternyata mampu membuatku terhibur hanya dengan melihatnya saja. Tapi kali ini terasa berbeda, ketika bayangan laki-laki semalam melintas di kepalaku.Benarkah dia Marvin?Ingin rasanya tadi malam bertanya langsung kepada Kevin mengenai Marvin tapi bibir ini ragu. Selain karena tidak mau menggangu Kevin yang jelas lelah habis pulang juga tak mau membuka luka lama yang telah aku kubur. Meskipun dari lubuk hatiku yang paling dalam ingin tahu keadaan Marvin, entahlah, usai bertemu laki-laki asing tadi malam malah membuatku teringat Marvel. Jadilah sekarang aku penasaran.“Sebaiknya ak
Dingin anginnya malam berhembus pelan menembus kulit di bawah temaram langit yang dipenuhi bintang kecil. Lalu lalang kendaraan mengisi jalan yang diantaranya berhenti di pinggir jalan untuk membeli aneka makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima meramaikan malam hari. Ada yang makan di tempat dan ada juga yang memilih dibungkus untuk dibawa pulang. “Mbak, nasi sepuluh sama gorengan sepuluh.” Kusambut dengan senyum dan kuambilkan apa yang diminta oleh pembeli yang baru datang.“Ya, Mas. Silahkan duduk dulu.”Ya, sekarang aku berjualan nasi kucing. Tak terasa sudah satu bulan diri ini berjualan di malam hari. Berandalkan sebuah gerobak kayu yang kuletakkan di depan rumah yang kebetulan tepat di pinggir jalan raya bersanding dengan beberapa pedagang kaki lima yang lainnya. Tak salah aku memilih tinggal di rumah Kevin karena suasana baru dengan lingkungan berbeda ternyata mampu membuatku perlahan bangkit dari keterpurukan.Yang paling penting aku sudah tidak bisa bertemu dengan Marvel
Kutatap stopmap hijau yang tengah kupegang sekarang. Itu adalah bukti hubunganku dengan Marvel hari ini telah berakhir, dan statusku adalah janda. Berat sekali. Pernikahan yang aku harapkan sekali seumur hidup nyatanya hanya bisa bertahan satu tahun saja.Kutarik nafas ini barang sejenak sembari menutup mata, rasa lega menyusup dada namun tak bisa kupungkiri masih ada rasa nyeri untuk melepas Marvel yang sekarang telah menjadi mantan suamiku. Meski Marvel tidak datang di persidangan perceraian karena bersamaan tepat digelarnya sidang yang dihadapi keluarga Marvel, tapi tak apa, toh tetap saja hakim telah mengetuk palu sebagai tanda dikabulkannya ajuan gugatan cerai yang telah kulayangkan dua minggu lalu berbekal bukti perselingkuhan, tindakan kekerasan yang telah dilakukan Marvel padaku juga Bi Sumi yang menjadi saksi semuanya. “Sekarang, aku tinggal menata kehidupanku yang baru.” Aku menguatkan hatiku yang rermuk. Mau tidak mau aku harus menyemangati diri sendiri untuk bangkit.Tak
Aku menarik nafas dalam sebelum kuutarakan apa maksud kedatanganku. Dua minggu tak berjumpa usai kejadian di rumah orang tuanya, kini kembali dipertemukan dalam keadaan berbeda.Aku dan dia duduk berhadapan yang dibatasi kaca bening sebagai media perantara untuk melihat. Mataku memindai Marvel yang mengenakan rompi orange seperti tahanan. Meskipun dalam hati bergidik ngeri, pasalnya Marvel menyambut kedatanganku dengan raut wajah keruh. Ya, Marvel mendekam di balik jeruji besi hingga seminggu ke depan bersama ayahnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.Aku menunduk menatap amplop cokelat sebentar lalu menghela nafas panjang sebelum memasukkan ke dalam lubang kaca di depanku. “Aku memberikan ini.”Amplop cokelat itu sudah berpindah tepat di hadapan Marvel, namun tak disentuh sedikitpun apalagi dibuka. Yang ada justru matanya menatapku tajam tak berkedip sama sekali. Aku bisa menangkap ada tumpukan dendam dibalik pancaran matanya itu.Aku tahu, dia berada di balik jeruji bes