Share

5. Rahasia Besar

Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.

Maklum Marvin sedang emosi, tidak heran menyentuh tubuhku dengan kasar sebagai pelampiasannya.

Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.

Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.

“Eh,” Aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu keluar dari intiku.

Tanganku terulur mendapati ada sisa cairan disana, mataku membola. “Dia tidak memakai pengaman?”

“Brengsek,” umpatnya kasar semakin menaruh kebencian pada calon mantan suamiku itu.

Selama ini, Marvin selalu memakai pengaman bila berhubungan denganku, hanya sekali tidak pernah memakai ketika malam pertama. Dulu, Marvin pernah mengutarakan keinginannya bila belum ada keinginan memiliki anak dalam waktu dekat. Aku sadar sekarang, mungkin Arvin hanya ingin memiliki anak bersama kekasihnya, Stela.

Lantas sekarang, apakah laki-laki itu ingin memiliki anak denganku, aku tersenyum getir memikirkannya.

Oh, tidak, aku jelas tidak bisa menerimanya, hubunganku dengan Marvin mendekati usai. Jadi tidak perlu kehadiran anak diantara kita. Bukannya aku tidak menginginkan anak, sungguh aku menginginkannya. Hanya saja keadaannya saat ini tidak mendukung hadirnya seorang anak melengkapi statusku sebagai istri, memiliki keturunan sama seperti istri-istri pada umumnya. Ya dia ingin dipanggil ‘ibu’.

Tanganku mengelus perut rataku berharap tidak ada benih Marvin tertinggal dan tumbuh disana.”Jangan hadir di perut ini. Aku tidak siap kesengsaraan kau rasakan nanti.”

Hari masih pagi, jam di ponselku menunjukkan pukul 10.00, tubuhku sudah berpeluh padahal tidak berolahraga. Setelah menempuh perjalanan lima belas menit menaiki ojek online dari rumah sakit, belum lagi dua puluh menit sebelumnya dari rumah menuju rumah sakit, akhirnya sampai di depan rumah mertuaku juga.

Sebelumnya aku telah tiba di rumah sakit untuk menjenguk ayah mertuaku namun tidak kesampaian karena telah pulang, itulah informasi yang ku dapatkan dari salah satu perawat yang merawat ayah mertuaku di rumah sakit. Jujur aku kaget, ayah pulang mendadak, terhitung hanya semalam dirawat di rumah sakit, apakah sudah sembuh sepenuhnya, pikirku penuh tanda tanya.

Sinar matahari sudah merangkak naik menyorotkan sinar panasnya menembus kulit putih mulusku. Terlihat gerbang kayu warna hitam terbuka sedikit, bisa dilihat dari luar terdapat dua mobil terparkir di depan garasi salah satunya warna hitam milik suamiku.

‘Habis menggempurku dia kesini,’ batinku, geram. Menjadi kesempatan untuk membahas niatanku untuk berpisah dengan Marvin walau telah mendapatkan penolakan, sekaligus memberitahu mertuaku yang telah sembuh.

Segera ku langkahkan kakiku melewati pagar dan memasuki halaman luas dan bersih itu. Aneh, pagar terbuka sedikit namun pintu rumah tertutup.

“Aku tidak mencintainya!” teriak dengan tegas dari dalam rumah.

Deg

Aku terkesiap mendengar suara lantang yang tak asing di telinga menggema dari dalam rumah. “Suara itu?” Kakiku melangkah mendekati rumah itu dengan penuh penasaran.

Ruang tamu dominan warna putih cukup luas itu terdapat tiga orang terikat hubungan darah duduk bersama terlibat pembicaraan serius terlihat dari raut wajah tegang disana. Gunawan dan Novi duduk bersebelahan menatap sang anak, Marvin duduk berseberangan.

“Marvin, jaga bicaramu!” peringat Novi, tidak terima melihat sang anak mengeluarkan suara tinggi pada Gunawan. Biargimanapun anak harus hormat pada orangtua, tak baik meninggikan suara ketika berbicara.

Marvin menghela nafas panjang, sadar setelah di tegur. “Marvin harus sampai kapan mengalah? Apa belum cukup untuk menikahinya demi …”

“Marvin!” sela Gunawan cepat dan keras seolah mengerti apa yang akan di ucapkan Marvin.

“Duduk, Marvin. Jangan buat papahmu semakin emosi dan bisa membuat penyakitnya kambuh lagi.” Novi mengingatkan lagi dengan tatapan tajam, perintah mutlak yang harus dituruti.

Marvin meraup wajahnya kasar. Tak ada kata maaf keluar dari mulutnya namun memilih mengalah tidak ingin penyakit sang ayah kambuh. Meskipun emosinya sudah berada di ubun-ubun.

Gunawan meminta kejelasan setelah lama tidak mendengar kabar hubungan anaknya dengan Stela. “Kamu masih mencintai Stela?” Marvin diam namun semua mengerti akan diamnya itu.

Sebelum menikah dengan Sila, diketahui Marvin telah menjalin kasih dengan Stela sejak duduk di bangku sekolah yang sama berstatus sebagai adik kelas beda dua tahun, sayang setelah lulus Stela melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Keduanya menjalin hubungan jarak jauh hingga suatu ketika sebuah masalah datang mengharuskan Marvin menikahi Sila tanpa sepengetahuan Stela. 

“Sudah cukup aku menuruti permintaan ayah untuk menikahi wanita bisu itu. Cinta ku hanya untuk Stela bukan Sila.” Kedua bahu Marvin turun naik seiring wajahnya memerah menahan amarah, begini rasanya orang selalu mengalah demi orang tercinta. “Apa salah menikahi kekasihku, walau siri?” tanyanya dengan suara melemah sungguh itu membuat wajah kedua orangtuanya iba. 

Novi menatap Gunawan yang tengah memejamkan mata. Sulit menghadapi keputusan Marvin namun itulah kehendak sang anak yang tidak bisa dibantah.

Satu sudut bibirnya terangkat. “Aku mempertahankan pernikahan ini demi kasus papa, tapi jangan halangi untuk kita menikah siri.”

Kasus?  Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang mencuri dengar pembicaraan mereka dari luar rumah. Tangannya reflek membuka ponsel dan menekan tombol rekam. Entah dapat bisikan darimana, seolah ia dituntun dan menurut saja.

“Papah minta maaf telah memaksamu untuk menikahinya. Tidak ada yang bisa menolong papah selain kamu saat itu, Marvin.” Gunawan menunduk.

Marvin menyunggingkan sudut bibirnya. “Dan Marvin sudah menurutinya,” ucapnya dengan bangga.

“Papah berharap kamu bisa bertanggungjawab pada Sila. Dia wanita baik, tulus dan mencintaimu. Cintailah dia,” pintanya menatap Marvin tanpa emosi sedikitpun.

Hubungan anak dan ayah itu kurang sehat semenjak digelarnya pesta pernikahan Marvin, sampai sekarang. Rasa kecewa dan marah masih bersemayam di hati Marvin, setelah tahu ayahnya menabrak kedua orangtua Sila hingga meninggal dan begitu teganya memintanya untuk menikahi Sila sebagai tanggungjawab atas perbuatan entah sengaja atau tidak sengaja ayahnya lakukan demi menutupi kasus tersebut yang bisa berakhir di penjara. Sebagai wujud hormat dan sayangnya sebagai anak, ia rela menurutinya mengorbankan perasaan dan masa depannya, walau tidak ikhlas.

“Sampai kapanpun aku tidak bisa mencintainya terlebih dengan keadaannya, pernikahan ini hanyalah sebatas tanggungjawab atas kesalahan papah yang telah menyebabkan orangtuanya meninggal atas kecelakaan itu.”

Deg

“Jadi orangtuaku meninggal karena …, pernikahan ini …,” Menutup mulut rapat dengan mata memanas, wanita itu lemas seketika di balik dinding. Tangannya gemetar mencengkram ponsel yang masih aktif merekam itu.

Akhirnya waktu menjawab, setahun menikah cukup menyembunyikan rahasia besar itu.  

Brugh

“Mbak Sila!” Penjaga rumah bergegas menghampiri tubuh Sila yang jatuh kasar ke lantai dengan linangan air mata. Orang yang mengintip dan mendengar pembicaraan mereka dari luar rumah adalah Sila.

Mendengar suara gaduh di luar, suasana tegang di dalam rumah yang belum reda seketika semakin berubah mencekam.

“Sila!” sahut mereka bertiga bersamaan bergegas keluar melihat suasana di luar dengan wajah panik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status