Share

6. Terbongkar berujung KDRT

“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya.

Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu.

“Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu.

Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut.

Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu.

“Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasaannya campur aduk, begitupun istrinya.

“Diam!” sentaknya, semua orang terkesiap kaget, untuk pertama kalinya Sila berbicara kasar dengan lantang kepada mereka yang selama ini selalu bersikap lembut. “Kamu, pembunuh!” lanjutnya, menunjuk Adiwijaya penuh emosi dan kebencian.

Semua terdiam, tak bisa berkata. Apa yang ditakutkan mereka terjadi, Sila mengetahui rahasia yang telah mereka simpan rapi selama ini darinya.

“Apa yang kamu bicarakan Sila?” Marvin tidak terima pernyataan Sila, walau yang diucapkan itu benar, namun sebagai anak jelas tidak nyaman mendengar sebutan kasar ditujukan pada ayahnya.

”Parman, masuk sekarang!” Novi mengusir penjaga rumah yang sedari tadi diam menyaksikan perdebatan diantara mereka yang seharusnya tidak disaksikan orang lain. Takut rahasia mereka semakin tersebar dan bisa membahayakan keadaan mereka.

Mendengar perintah majikannya, Parman mengangguk patuh dengan langkah ketakutan pergi menjauh. Tinggallah mereka berempat di teras rumah dengan perselisihan belum usai malah semakin panas.

“Kenapa? Apa kalian takut …”

“Diam Sila!” bentak Marvin, tidak suka Sila semakin berani dan lancang. Dimana SIla yang penurut dan lemah lembut.

“Benar bukan, ayah kamu itu pembunuh,” tantang Sila tanpa ada rasa takut pada Marvin. “Kamu jahat telah melindungi pembunuh itu, tak lain ayahmu sendiri!” Menunjuk Adiwijaya yang terdiam membisu dengan mimik panik.

“Jaga ucapanmu, jangan menuduh sembarangan.” bentak Novi, bagaimanapun Adiwijaya suaminya, orang yang dicintainya selama ini, tidak terima dan siap membela apapun yang terjadi.

“Kalian masih tak mengakui?” bibirnya tersungging perih, betapa tidak bertanggungjawab keluarga suaminya itu. Bukannya meminta maaf karena rahasia busuk mereka terungkap, malah berkilah tidak tahu malu. Walau meminta maaf-pun, jujur sulit baginya sulit untuk memaafkan. ”Dasar manusia keji, tak mau bertanggung jawab malah menutupinya demi hidupa bebas dari kesalahan!”

“Marvin bawa dia masuk.” Seru Adiwijaya yang diangguki Novi, takut ada orang luar di jalan yang melihat apalagi mendengar percakapan mereka.

“Jangan ngelanutur, ayo berdiri.” Marvin menarik paksa tangan Sila hingga terdengar ringisan kesakitan. “Kamu harus diberi pelajaran …,”

Sila meronta, namun selalu berakhir kalah tenaga. “Berhenti menyakitiku. Karena aku ingin kita cerai.” sela Sila cepat penuh keyakinan.

Semua orang tercengang, begitupun Marvin. Rasanya tak percaya Sila yang sangat mencintainya hingga rela menerima segala kesakitan yang telah diciptakannya ternyata berniat ingin berpisah dariya.

“Jangan harap kamu bisa lepas dariku Sila.” Marvin menarik tubuh Sila, kemudian menekannya hingga kedua tubuh mereka menempel kasar.

Sekuat tenaga Sila mendorong tubuh Marvin. “Aku tak sudi disentuh tangan keluarga pembunuh, sepertimu!” sarkasnya menatap Marvin tajam.

“Kau semakin lancang, mau ku robek mulutmu itu!” Marvin tidak terima.

“Apakah kau akan merobek mulut ini bila bukti percakapan kalian aku putar,”

Deg

Keluarga Adiwijaya terdiam, mulut terkunci tak bisa berkata sekalipun menyanggah ketika sebuah bukti berbicara. Sila memutar percakapan mereka tanpa izin di ponselnya.

Kadang kenyataan memang menyakitkan, seperti sekarang Sila menelan getir kehidupan melihat kenyataan di depan mata bagai seperti mimpi. Tak pernah sedikitpun kejadian seperti ini terjadi. Telinganya memanas, kala percakapan menyakitkan berputar mengisi keheningan yang tercipta diantara mereka. Sungguh, tak sanggup mendengarnya lagi. Begitupun keluarga Adiwijaya, bukan karena tak sanggup melainkan takut.

Tanpa aba-aba, Marvin menyahut ponsel Sila namun terlebih dulu ditarik pemiliknya higga menimbulkan raut kecewa pada laki-laki itu. “Kemarikan!”

Reflek Sila menarik ponselnya kemudian disembunyikannya dalam genggaman tangannya erat. “Tidak akan.” Sila tak takut, masih menatap Marvin tak kalah sengitnya. “Takut dengan buktiku ini,” menatap sinis setiap orang dihadapannya.

“Sila itu salah nak.” Adiwijaya membujuk Sila untuk memberikan ponselnya. Sayang, Sila bukanlah anak kecil yang di rayu sedikit langsung percaya. Tidak, apalagi disini kasusnya serius, Sila tak semudah itu percaya apalagi mengalah.

“Biarkan bukti ini berbicara dan hukum yang memutuskannya.” Semuanya melotot, tak akan membiarkan itu terjadi.

“Marvin, bawa dia masuk!” seru Novi panik mendengar hukum disebut Sila.

Sadar akan alarm bahaya, Sila segera lari mejauh dari keluarga itu. Seketika ada firasat buruk menelusup ke dalam jiwa, sadar berada disana akan membahayakannya mengingat ia seorang diri harus melawan tiga orang hanya untuk mendapatkan pengakuan keluarga itu atas perbuatan mereka di masa lalu yang tentunya tak akan mengakuinya.

“Kejar dia, Marvin!” seru Adiwijaya penuh harap. “Tangkap dia dan rekaman itu,” lanjutnya.

Dret dret

Disaat Sila gencar memacu langkah kakinya lebar karena dikejar Marvin dan Novi di belakang, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bagaikan mendapat angin segar, Sila segera melihatnya dan ternyata ada panggilan masuk dari Bi Sumi tentu itu bisa dijadikan kesempatan meminta tolong.

“Tolong …,” Sayang baru satu kata lolos keburu Marvin menangkap tubuhnya dan secepat kilat merebut ponselnya secara kasar.

Pyar

Benda persegi panjang itu hancur berkeping keping di atas aspal karena di banting Marvin. “Oh tidak.” Menatap nanar ponsel yang telah tiga tahun menjadi miliknya dengan semua kenangan tertinggal disana bersama orang tua disusul lenyapnya bukti yang telah didapatkannya tadi.

“Berani kamu membuatku emosi, Sila!” desis Marvin mencengkram tubuh Sila yang merinding ketakutan dan kekalahan bila menghadapi tenaga Marvin yang lebih besar darinya.

“Kumohon berhenti, sakit.” pintanya memelas seraya menggeleng keras.

Tamparan dan pukulan berkali-kali melayang mengenai wajah mulusnya. Warna merah lebam kontras dengan warna kulitnya tertinggal di pipi dan dagu. Sakit, itulah yang dirasakan Sila ditengah kepasrahannya seraya menahan segala kesakitan dan perih itu.

“Rasakan itu. Masih berani kamu?” Marvin tak henti-hentinya memukul dan menampar Sila, istrinya sendiri yang sudah terkulai lemas duduk di lantai seraya bersender ranjang cream dibelakang tubuhnya.

Tubuh Sila semakin lemah, disiksa hampir lima belas menit di dalam kamar oleh Marvin usai pertengkaran hebat. Betapa mengerikan dan biadab suaminya itu bila dalam mode mengamuk, seolah semua amarahnya ditumpahkan semua padanya. Kamar itu dipenuhi suara rintihan dan tangisan menyayat hati bagi siapapun mendengarnya.

Bukannya meminta maaf, justru siksaan yang diberikan Marvin. Sila sungguh tak sanggup menghadapi Marvin lagi.

“Ampun,” mohon Sila mengatupkan kedua tangan namun diabaikan Marvin. Memberontakpun tak mampu hanya menangis yang bisa ia lakukan.

“Baru sekarang kamu minta ampun. Kemana keberanianmu tadi?” Marvin tersenyum puas melihat kepasrahan Sila daripada sebelumnya yang berani. Bahkan tak ada rasa iba dan kasihan sedikitpun di dalam hatinya melihat luka lebam bekas pukulannya, maklum tak ada cinta untuk Sila di hatinya.

‘Mah, pah. Bawa aku bersama kalian,’ Ditengah kesadarannya perlahan menipis, terbesit di benaknya untuk tiada menyusul kedua orang tuanya yang telah meninggal, tubuhnya terlalu sakit dan mungkin sulit untuk sembuh.

“Marvin hentikan!” seru seseorang dari balik pintu tak lain Adiwijaya seraya menggedor pintu. Marvin sengaja mengunci pintu kamar itu karena ingin memberikan pelajaran pada Sila tanpa ada gangguan.

Marvin mengabaikannya, tetap menangani Sila hingga muncul rasa puas di hatinya. “Ingat, kau bisa dikenai pasal kekerasan dalam rumah tangga.”

Tangan Marvin melayang di udara siap mendarat di kepala Sila terhenti seketika. Tubuhnya membatu dengan pandangan kosong, namun pikirannya mendadak dihantui ketakutan akan ucapan ayahnya barusan.

“Astaga.” Marvin menjambak rambut lebatnya, frustasi melihat keadaan Sila yang mengenaskan di hadapannya. Ia sampai tak sadar telah menghajar habis-habisan Sila dengan tangannya sendiri hingga tak berdaya.

“Dasar iblis.” Lirihnya dengan suara tercekat, habis. “Kalian harus bertanggungjawab.”

Brughhh

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status