Sebelum aku menikah dengan Mas Wawan, aku sudah lebih dulu membeli motor. Meskipun baru setahun aku mencicil. Paling tidak aku sudah mengeluarkan uang muka serta angsuran setahun. Ternyata Mas Wawan juga mengambil kredit motor, alhasil setelah dia menikahiku. Beban yang harus dibayarkan terlalu banyak, sehingga dia berencana mengembalikan motor ke Dealer.
"Pak, aku gak sanggup. Bayar angsuran, motor mau aku balikin ke Dealer," ucap Mas Wawan pada Bapaknya.Karena memang Mas Wawan sudah membayar cicilan motor milikku. Jadi jika harus membayar juga cicilan motor miliknya. Mungkin uang gaji tidak akan cukup jika nanti ingin digunakan untuk periksa kandungan. Sebab ongkos untuk memeriksakan kandungan saat ini kisaran dua ratus ribu."Biar diterusin adikmu, nanti bapak yang bantu. Udah setahun, kan sayang kalau mau di balikin!" Jelas bapak pada suamiku."Iya, Pak!" Mas Wawan menyetujui. Toh, dia yang mengatakan jika akan membantu melunasi motor bersama adik Mas Wawan.Mas Wawan memang gak terlalu dekat dengan orang tuanya. Entah apa alasannya, sampai detik ini aku pun juga tidak tahu. Apa lagi dengan ibunya, bertegur sapa pun jarang aku lihat. Walaupun kita satu atap. Ibu mertuaku tiba-tiba marah-marah. Karena anak lelaki yang disayanginya harus kerja keras untuk melunasi motor Mas Wawan. Ya anak kesayangan ibu mertuaku ya adik Suamiku. Mereka hanya dua bersaudara, sebenarnya ada tiga namun meninggal di dalam kandungan. Padahal kalau motornya lunas pun tetap milik adik suamiku. "Lha yang punya setoran aja malah duduk-duduk seenaknya sendiri. Anak kecil suruh kerja banting tulang! Gak mikir!" Aku mendengarnya, hanya diam tak menjawab.Mengelus dada sambil beristighfar, apa dia tak melihat aku yang sedang berbadan dua? Dada ini sesak, seraya tak bisa bernafas lagi. Aku minta izin lagi untuk pergi ke rumah emak di klaten. Memang Mas Wawan mengantar, di juga menginap di sana. Namun tak kusangka dia memarahiku di jalan ketika pulang. Ternyata apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang dihati. Seharusnya aku sebagai istrinya peka dengan itu."Kamu pikir, aku gak capek apa? Mondar-mandir Wonogiri-Klaten, itu jauh, belum lagi kalau aku kerja, juga cari ikan buat dapat penghasilan tambahan. Kamu itu mbok mikir. Udah nikah malah masih gitu aja!"Aku tak menyangka mendengar perkataan suamiku, terasa sakit. Luka yang tak berdarah namun membekas. Dipacunya motor dengan kencang, tanpa memikirkan kandunganku. Apakah kamu sama seperti mereka, Mas. Menginginkan bayi ini pergi? Apakah kamu tidak percaya kalau ini darah dagingmu? Bodohnya aku yang dulu percaya, memberimu cinta penuh nafsu. Seharusnya aku percaya dengan emak, percaya peringatannya. Namun sesal tiada guna, aku terlanjur hamil. Mungkin emak menutupi aibku, namun semua pasti akan terlihat. Tak hanya orang tuamu, Mas. Dirimu pun tak mempercayaiku. Rasanya aku ingin mati, mati bersama anak ini. Aku tidak ingin merasakan betapa sakitnya ini."Masak sih itu anak aku?" Pertanyaan Mas Wawan begitu menyakitkan didengar."Kamu gak percaya, Mas. Sama aku?" Aku menatapnya dengan seksama."Bukankah dengan pacar kamu yang dulu, kamu juga melakukan dosa yang sama?""Aku gak pernah ngelakuin itu. Selain sama kamu, Mas! Apa kamu juga menuduh aku melakukanya dengan pria lain? Kamu jahat, Mas?"Aku menangis sesenggukan tanpa ada sandaran, tanpa ada tangan yang mengusap air mataku. Cinta, ya aku di buta kan olehnya. Dan kini cintaku sendiri tak mempercayaiku. ❤️❤️❤️❤️❤️Tujuh bulanan kehamilan hampir mendekati. Ibu mertuaku menanyakan itu padaku. "Sudah berapa bulan?" tanya ibu mertua."Sudah lima bulan, Bu," jawabku."Katanya kemarin empat bulan, kok sekarang lima bulan. Gak usah ditutup-tutupi. Toh, juga akan ketahuan!""Bu, kan ibu tanya bulan kemarin. Sekarang sudah ganti bulan. Apa gak nambah?" imbuhku.Ibu mertuaku tak menggubris. Dia pergi tanpa sepatah kata. Aku tertunduk diam, tanpa kusadari bulir-bulir air bening jatuh di pelupuk mataku. Betapa kasarnya kau ucapkan pada anak orang. Kau tak membesarkan ku kau juga tak mendidikku. Rasanya diri ini ditampar sembilu, sungguh hinanya aku. Tak sepatah katapun aku ceritakan lukaku di sini dengan mamak. Karena aku tahu, aku sudah dulu melukaimu, biarkan kini aku merasakan luka yang lebih dalam."Mas, aku pengen pulang. Ibu mu terlalu menyakitiku. Dia mengira aku menutupi kehamilanku," Sesak dada ini menceritakannya pada suamiku."Sudah, biarkan saja. Kamu diam aja gak usah di pikirkan!" Ucapan itu begitu ringan kau ucapkan, namun begitu berat kujalani. Sudah beberapa hari kejadian itu. Bapak mertua memanggilku, dengan kata yang sama. Aku terluka untuk kedua kali."Nan, umur berapa bulan kamu?" tanya bapak mertuaku. "Lima bulan, Pak!" jawabku. "Gak usah ditutup-tutupi. Toh semua akan tahu, seperti itu lama kelamaan juga akan terlihat!" Ibu mertua terlihat bibirnya mencebik.Mata ini kembali basah, tak kusangka ibu bercerita kepada bapak. Entah bagaimana dia mengatakannya. Sepertinya aku hina di mata mereka, sepertinya aku yang murahan.Aku bingung hendak kepada siapa beban ini aku bagi. Bapak aku rindu, terlalu cepat engkau pergi.Memang aku sudah tak mempunyai bapak semenjak SMA, namun mendengar ucapan bapak mertua tadi. Aku sadar dia tetap hanya mertua. Bapak dari suamiku, Wawan. Rasa hormat itu sirna sudah, rasa empati itu tak ada lagi. Dulu aku berharap lindunganmu untukku. Namun sepertinya kau sama membenciku. [Mas, bapakmu tadi memanggilku dia bicara seperti ibu kemarin. Dia mengira aku menutupi kehamilanku, aku pengen pulang] Aku mengetik pesan untuk suamiku. Air mata kembali berlinang. Sungguh takdir ini tak berpihak padaku. Tak ada balasan dari nya. Mungkin dia terlalu lelah, mendengar keluh kesahku. Selalu melihat air mataku. Kami menikah di umur yang masih cukup muda, emosi yang tidak stabil dan juga ego yang masih tinggi. Aku mengerti ini juga berat untuknya, di satu sisi dia orangtuanya. Disisi lain aku istrinya, tanggung jawabnya.Terkadang hanya masalah sepele kau memaki aku. Aku lelah Mas, aku tak sanggup lagi menjalani ini. Entah apa aku bisa bersamamu sampai akhir.Luka ini semakin lama mengering. Sakit ini semakin jauh ke dasar.Bapak, Maafkan anakmu yang telah mengkhianatimu. Anakmu yang dulu pernah marah, karena larangan-laranganmu.Bapak, Rindu ini begitu menggebu.Sesal ini menghantui.Beribu maaf selalu terlintas di benakku.Mampukah aku memutar waktu.Akan aku putar agar aku bisa memelukmu untuk terakhir kali.Tuhan,Berikan tempat di surgamu. Berikan kebahagiaan yang dulu belum sempat aku berikan.Cintamu akan selalu dihati dan akan aku kenang selama sisa hidupkuPagi menjelang, tatkala tubuh ini malas untuk beranjak dari lelap. Namun niat harus tetap disatukan. Ya selama aku tinggal bersama mertua, bangun pagi sudah menjadi kewajiban. Mendahului dia yang punya rumah. Mas Wawan belum pulang kerja. Dia berangkat jam sepuluh malam, sekitar jam delapan pagi dia baru tiba dirumah. Aku membawa pakaian kotor ke kamar mandi. Karena memang aku mencuci dengan tangan di kamar mandi. Dapur milik ibu mertuaku tidak lah luas, maka dari itu untuk mencuci baju aku sudah terbiasa di kamar mandi. Matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku yang masih hamil besar pun bersusah payah menyikat baju satu demi satu. Ibu mertuaku mulai memasukan kayu ke dalam tungku untuk memasak. Ya, rumah suamiku masihlah sangat sederhana. Untuk memasak pun kami masih menggunakan kayu bakar. Tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar di balik pintu kamar mandi. Ibu mertuaku berbicara kasar, aku mengerti itu dia tunjukan kepada ku. Entah apa yang membuat ibu, seakan b
Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa."Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan."Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa
"Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa."Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa."Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu."Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!" "Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!""Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?""Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah
Bab 6TetanggaIbu mertuaku tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak menyangka, aku akan bicara seperti itu."Hayo, sore-sore begini ngomongin apa?" Tiba-tiba Mbak Lastri datang dan ikut berkumpul."Dari Mana Mbak Lastri?" tanya Bu Yuni. Aku yang sudah masuk kedalam rumah hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Bukan bermaksud menguping tapi nada bicara mereka yang lumayan keras. Jadi siapa aja yang berada di jarak cukup jauh pun bisa terdengar olehnya."Dari rumah, Bu Yuni. Dari warung ya? Kok bawa gula segala. Gak mungkin kan ke rumah Bu Darti bawa gula?" Mbak Lastri terkekeh. Dia tetangga yang suka bercanda memang. "Ini lho. Bu Darti sama menantu gak akur!" Bu Yuni berbisik tapi masih jelas terdengar olehku dari kamar.Dasar para tetangga suka ghibah."Halah, sudah pada tau. Kalau Bu Darti ini gak suka sama Nanda! Ya kan, Bu?" Mbak Lastri terlihat menanyakan langsung pada mertuaku. Dia sedikit manyun karena ketidaksukaannya mengenai pertanyaan yang baru saja Mbak Lastri
Bab 7Kedatangan emak"Waalaikumsalam," Aku segera membuka pintu depan yang dari tadi aku tutup rapat. Karena dibelakang aku sedang sibuk mencuci piring.Alangkah terkejutnya aku, melihat sosok Emak berdiri di ambang pintu, tersenyum menatapku. Entah mengapa motor yang mereka kendarai tidak terdengar olehku.Ada rasa bahagia, karena mendapat kejutan dari Emak. Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya."Emak … Kok gak telpon dulu. Kan nanti bisa di jemput sama Mas Wawan." Sambil ku mencium takzim, punggung tangan Emak."Buat kejutan." Emak selalu tersenyum ketika berbicara padaku. "Masuk, Lek!" Aku memanggil Lek Agung yang telah mengantar Emak ke Wonogiri.Dia sedang duduk di kursi teras rumah, sambil menghisap rokok."Iya, Nan, nganter Emakmu itu. Katanya kangen sama cucunya." jawabnya singkat."Iya, terima kasih ya, Lek! Sudah repot-repot mengantar Emak kesini. Hawa lagi tidur." Segera aku menyuruh, Emak untuk beristirahat. Namun Emak menolaknya. Segera ku buatkan Emak d
Bab 8Kemarahan Nanda"Apa kamu gak pernah bantu-bantu mertua kamu ya? Katanya kamu selalu saja tidur, kamu gak pernah bantu dia masak atau juga beberes rumah, bener itu, Nan? Aku kok seringnya melihat kamu bersihkan rumput halaman rumah dan juga ngepel!" tutur Bude Rina sembari membenarkan gendongannya." Ow … ya, Bude? Ibu mertuaku bicara seperti itu? Padahal yang masak tiap hari itu aku, yang beberes itu juga aku. Dia lebih suka mengajak Hawa, jika pekerjaan rumah menumpuk. Nanti kalau Hawa menangis dia juga langsung memberikannya padaku! Bisa-bisanya bicara seperti itu?""Iya lho, dia bilang seperti itu. Kadang dia bilang kamu gak bantu dia berbelanja. Dari sabun sampe makan sehari-hari aja kamu gak bantu! Jahat sekali mertuamu bicara seperti itu!"Aku tak menjawabnya, hanya diam dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bude Rina.Ini tetangga bicara benar, atau hanya ingin mengadu domba aku dengan mertua?Dia pun pergi meninggalkan aku yang masih saja dibuat bertanya-tanya
Bab 9PendidikanUcapan Mas Wawan kala itu, masih terngiang jelas di ingatanku. Seakan aku tak percaya dibuatnya. Aku mencoba membiarkannya berlalu, namun tetap saja aku mengingatnya.Malam ini setelah Hawa terlelap di pangkuanku. Aku tak langsung bisa memejamkan mata.Pikiranku menerawang jauh. Mengingat setiap detik awal aku menginjakan kaki di rumah ini.Saat itu usiaku baru 21 tahun, bapakku sendiri sudah meninggal, sejak aku masih di bangku SMA. Tinggal Emak saja, aku tiga bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Kebetulan sekali aku adalah anak bungsu. Menjadi perempuan satu-satunya adalah beban tersendiri untukku. Aku diharuskan tetap di rumah, mencari pekerjaan di dekat rumah saja.Hati ini menginginkan merantau ke kota, mencari pengalaman dan juga mencari teman. Namun lain di kata, kedua kakak ku tak mengizinkan, apa lagi Emak. Dia takut sendirian tinggal di rumah. Aku menurut saja dengan mereka.Akhirnya aku bekerja di salah satu pabrik tekstil cukup terkenal di kota sebel
Bab 10Kakak iparMas Wawan tak menjawab sepatah katapun, dari semua ucapan temannya itu. Teman Mas Wawan yang mengantar kami ke Klaten bernama Mas Eko.Satu jam lamanya kami berada di mobil, tak ada obrolan tak ada sapaan. Hening.Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Rumah Mas Eko, masih satu RT dengan kami. Jadi dia sudah menjadi tetangga Mas Wawan cukup lama. Jadi mengetahui betul sifat ibu Mas Wawan.Dia tidak bermaksud menggurui, ataupun membela ku. Dia hanya mengatakan pendapatnya saja, setelah mendengar aku dan Mas Wawan berdebat di mobil.Akhirnya sampai di rumah Emak. Rumah joglo peninggalan almarhum bapak, bercat biru muda. Nampak damai terlihat. Sayu-sayu terdengar suara azan Magrib berkumandang.Karena memang letak rumah Emak sedikit jauh dari mushola.Dibukakan pintu rumah setelah mendengar mobil berhenti di halaman rumah.Emak tersentak kaget. Melihat ku menggendong Hawa, turun dari mobil.Disambutnya penuh suka cita, dan sesekali menyeka air matanya yang jatuh di