Share

Bab 2

Sebelum aku menikah dengan Mas Wawan, aku sudah lebih dulu membeli motor. Meskipun baru setahun aku mencicil. Paling tidak aku sudah mengeluarkan uang muka serta angsuran setahun. Ternyata Mas Wawan juga mengambil kredit motor, alhasil setelah dia menikahiku. Beban yang harus dibayarkan terlalu banyak, sehingga dia berencana mengembalikan motor ke Dealer.

"Pak, aku gak sanggup. Bayar angsuran, motor mau aku balikin ke Dealer," ucap Mas Wawan pada Bapaknya.

Karena memang Mas Wawan sudah membayar cicilan motor milikku. Jadi jika harus membayar juga cicilan motor miliknya. Mungkin uang gaji tidak akan cukup jika nanti ingin digunakan untuk periksa kandungan. Sebab ongkos untuk memeriksakan kandungan saat ini kisaran dua ratus ribu.

"Biar diterusin adikmu, nanti bapak yang bantu. Udah setahun, kan sayang kalau mau di balikin!" Jelas bapak pada suamiku.

"Iya, Pak!" Mas Wawan menyetujui. Toh, dia yang mengatakan jika akan membantu melunasi motor bersama adik Mas Wawan.

Mas Wawan memang gak terlalu dekat dengan orang tuanya. Entah apa alasannya, sampai detik ini aku pun juga tidak tahu. Apa lagi dengan ibunya, bertegur sapa pun jarang aku lihat. Walaupun kita satu atap. Ibu mertuaku tiba-tiba marah-marah. Karena anak lelaki yang disayanginya harus kerja keras untuk melunasi motor Mas Wawan. Ya anak kesayangan ibu mertuaku ya adik Suamiku. Mereka hanya dua bersaudara, sebenarnya ada tiga namun meninggal di dalam kandungan. Padahal kalau motornya lunas pun tetap milik adik suamiku. 

"Lha yang punya setoran aja malah duduk-duduk seenaknya sendiri. Anak kecil suruh kerja banting tulang! Gak mikir!" Aku mendengarnya, hanya diam tak menjawab.

Mengelus dada sambil beristighfar, apa dia tak melihat aku yang sedang berbadan dua? Dada ini sesak, seraya tak bisa bernafas lagi. Aku minta izin lagi untuk pergi ke rumah emak di klaten. Memang Mas Wawan mengantar, di juga menginap di sana. Namun tak kusangka dia memarahiku di jalan ketika pulang. Ternyata apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang dihati. Seharusnya aku sebagai istrinya peka dengan itu.

"Kamu pikir, aku gak capek apa? Mondar-mandir Wonogiri-Klaten, itu jauh, belum lagi kalau aku kerja, juga cari ikan buat dapat penghasilan tambahan. Kamu itu mbok mikir. Udah nikah malah masih gitu aja!"

Aku tak menyangka mendengar perkataan suamiku, terasa sakit. Luka yang tak berdarah namun membekas. Dipacunya motor dengan kencang, tanpa memikirkan kandunganku. Apakah kamu sama seperti mereka, Mas. Menginginkan bayi ini pergi? Apakah kamu tidak percaya kalau ini darah dagingmu? Bodohnya aku yang dulu percaya, memberimu cinta penuh nafsu. Seharusnya aku percaya dengan emak, percaya peringatannya. Namun sesal tiada guna, aku terlanjur hamil. Mungkin emak menutupi aibku, namun semua pasti akan terlihat. Tak hanya orang tuamu, Mas. Dirimu pun tak mempercayaiku. Rasanya aku ingin mati, mati bersama anak ini. Aku tidak ingin merasakan betapa sakitnya ini.

"Masak sih itu anak aku?" Pertanyaan Mas Wawan begitu menyakitkan didengar.

"Kamu gak percaya, Mas. Sama aku?" Aku menatapnya dengan seksama.

"Bukankah dengan pacar kamu yang dulu, kamu juga melakukan dosa yang sama?"

"Aku gak pernah ngelakuin itu. Selain sama kamu, Mas! Apa kamu juga menuduh aku melakukanya dengan pria lain? Kamu jahat, Mas?"

Aku menangis sesenggukan tanpa ada sandaran, tanpa ada tangan yang mengusap air mataku. Cinta, ya aku di buta kan olehnya. Dan kini cintaku sendiri tak mempercayaiku. 

❤️❤️❤️❤️❤️

Tujuh bulanan kehamilan hampir mendekati. Ibu mertuaku menanyakan itu padaku. 

"Sudah berapa bulan?" tanya ibu mertua.

"Sudah lima bulan, Bu," jawabku.

"Katanya kemarin empat bulan, kok sekarang lima bulan. Gak usah ditutup-tutupi. Toh, juga akan ketahuan!"

"Bu, kan ibu tanya bulan kemarin. Sekarang sudah ganti bulan. Apa gak nambah?" imbuhku.

Ibu mertuaku tak menggubris. Dia pergi tanpa sepatah kata. Aku tertunduk diam, tanpa kusadari bulir-bulir air bening jatuh di pelupuk mataku. Betapa kasarnya kau ucapkan pada anak orang. Kau tak membesarkan ku kau juga tak mendidikku. Rasanya diri ini ditampar sembilu, sungguh hinanya aku. Tak sepatah katapun aku ceritakan lukaku di sini dengan mamak. Karena aku tahu, aku sudah dulu melukaimu, biarkan kini aku merasakan luka yang lebih dalam.

"Mas, aku pengen pulang. Ibu mu terlalu menyakitiku. Dia mengira aku menutupi kehamilanku," Sesak dada ini menceritakannya pada suamiku.

"Sudah, biarkan saja. Kamu diam aja gak usah di pikirkan!" 

Ucapan itu begitu ringan kau ucapkan, namun begitu berat kujalani. Sudah beberapa hari kejadian itu. Bapak mertua memanggilku, dengan kata yang sama. Aku terluka untuk kedua kali.

"Nan, umur berapa bulan kamu?" tanya bapak mertuaku.

 

"Lima bulan, Pak!" jawabku. 

"Gak usah ditutup-tutupi. Toh semua akan tahu, seperti itu lama kelamaan juga akan terlihat!" Ibu mertua terlihat bibirnya mencebik.

Mata ini kembali basah, tak kusangka ibu bercerita kepada bapak. Entah bagaimana dia mengatakannya. Sepertinya aku hina di mata mereka, sepertinya aku yang murahan.

Aku bingung hendak kepada siapa beban ini aku bagi. 

Bapak aku rindu, terlalu cepat engkau pergi.

Memang aku sudah tak mempunyai bapak semenjak SMA, namun mendengar ucapan bapak mertua tadi. Aku sadar dia tetap hanya mertua. Bapak dari suamiku, Wawan. Rasa hormat itu sirna sudah, rasa empati itu tak ada lagi. Dulu aku berharap lindunganmu untukku. Namun sepertinya kau sama membenciku. 

[Mas, bapakmu tadi memanggilku dia bicara seperti ibu kemarin. Dia mengira aku menutupi kehamilanku, aku pengen pulang] 

Aku mengetik pesan untuk suamiku. Air mata kembali berlinang. Sungguh takdir ini tak berpihak padaku. 

Tak ada balasan dari nya. Mungkin dia terlalu lelah, mendengar keluh kesahku. Selalu melihat air mataku. Kami menikah di umur yang masih cukup muda, emosi yang tidak stabil dan juga ego yang masih tinggi. Aku mengerti ini juga berat untuknya, di satu sisi dia orangtuanya. Disisi lain aku istrinya, tanggung jawabnya.

Terkadang hanya masalah sepele kau memaki aku. Aku lelah Mas, aku tak sanggup lagi menjalani ini. Entah apa aku bisa bersamamu sampai akhir.

Luka ini semakin lama mengering. 

Sakit ini semakin jauh ke dasar.

Bapak, 

Maafkan anakmu yang telah mengkhianatimu.

 Anakmu yang dulu pernah marah, karena larangan-laranganmu.

Bapak, 

Rindu ini begitu menggebu.

Sesal ini menghantui.

Beribu maaf selalu terlintas di benakku.

Mampukah aku memutar waktu.

Akan aku putar agar aku bisa memelukmu untuk terakhir kali.

Tuhan,

Berikan tempat di surgamu. Berikan kebahagiaan yang dulu belum sempat aku berikan.

Cintamu akan selalu dihati dan akan aku kenang selama sisa hidupku

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status