Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa."Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan."Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa
"Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa."Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa."Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu."Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!" "Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!""Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?""Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah
Bab 6TetanggaIbu mertuaku tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak menyangka, aku akan bicara seperti itu."Hayo, sore-sore begini ngomongin apa?" Tiba-tiba Mbak Lastri datang dan ikut berkumpul."Dari Mana Mbak Lastri?" tanya Bu Yuni. Aku yang sudah masuk kedalam rumah hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Bukan bermaksud menguping tapi nada bicara mereka yang lumayan keras. Jadi siapa aja yang berada di jarak cukup jauh pun bisa terdengar olehnya."Dari rumah, Bu Yuni. Dari warung ya? Kok bawa gula segala. Gak mungkin kan ke rumah Bu Darti bawa gula?" Mbak Lastri terkekeh. Dia tetangga yang suka bercanda memang. "Ini lho. Bu Darti sama menantu gak akur!" Bu Yuni berbisik tapi masih jelas terdengar olehku dari kamar.Dasar para tetangga suka ghibah."Halah, sudah pada tau. Kalau Bu Darti ini gak suka sama Nanda! Ya kan, Bu?" Mbak Lastri terlihat menanyakan langsung pada mertuaku. Dia sedikit manyun karena ketidaksukaannya mengenai pertanyaan yang baru saja Mbak Lastri
Bab 7Kedatangan emak"Waalaikumsalam," Aku segera membuka pintu depan yang dari tadi aku tutup rapat. Karena dibelakang aku sedang sibuk mencuci piring.Alangkah terkejutnya aku, melihat sosok Emak berdiri di ambang pintu, tersenyum menatapku. Entah mengapa motor yang mereka kendarai tidak terdengar olehku.Ada rasa bahagia, karena mendapat kejutan dari Emak. Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya."Emak … Kok gak telpon dulu. Kan nanti bisa di jemput sama Mas Wawan." Sambil ku mencium takzim, punggung tangan Emak."Buat kejutan." Emak selalu tersenyum ketika berbicara padaku. "Masuk, Lek!" Aku memanggil Lek Agung yang telah mengantar Emak ke Wonogiri.Dia sedang duduk di kursi teras rumah, sambil menghisap rokok."Iya, Nan, nganter Emakmu itu. Katanya kangen sama cucunya." jawabnya singkat."Iya, terima kasih ya, Lek! Sudah repot-repot mengantar Emak kesini. Hawa lagi tidur." Segera aku menyuruh, Emak untuk beristirahat. Namun Emak menolaknya. Segera ku buatkan Emak d
Bab 8Kemarahan Nanda"Apa kamu gak pernah bantu-bantu mertua kamu ya? Katanya kamu selalu saja tidur, kamu gak pernah bantu dia masak atau juga beberes rumah, bener itu, Nan? Aku kok seringnya melihat kamu bersihkan rumput halaman rumah dan juga ngepel!" tutur Bude Rina sembari membenarkan gendongannya." Ow … ya, Bude? Ibu mertuaku bicara seperti itu? Padahal yang masak tiap hari itu aku, yang beberes itu juga aku. Dia lebih suka mengajak Hawa, jika pekerjaan rumah menumpuk. Nanti kalau Hawa menangis dia juga langsung memberikannya padaku! Bisa-bisanya bicara seperti itu?""Iya lho, dia bilang seperti itu. Kadang dia bilang kamu gak bantu dia berbelanja. Dari sabun sampe makan sehari-hari aja kamu gak bantu! Jahat sekali mertuamu bicara seperti itu!"Aku tak menjawabnya, hanya diam dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bude Rina.Ini tetangga bicara benar, atau hanya ingin mengadu domba aku dengan mertua?Dia pun pergi meninggalkan aku yang masih saja dibuat bertanya-tanya
Bab 9PendidikanUcapan Mas Wawan kala itu, masih terngiang jelas di ingatanku. Seakan aku tak percaya dibuatnya. Aku mencoba membiarkannya berlalu, namun tetap saja aku mengingatnya.Malam ini setelah Hawa terlelap di pangkuanku. Aku tak langsung bisa memejamkan mata.Pikiranku menerawang jauh. Mengingat setiap detik awal aku menginjakan kaki di rumah ini.Saat itu usiaku baru 21 tahun, bapakku sendiri sudah meninggal, sejak aku masih di bangku SMA. Tinggal Emak saja, aku tiga bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Kebetulan sekali aku adalah anak bungsu. Menjadi perempuan satu-satunya adalah beban tersendiri untukku. Aku diharuskan tetap di rumah, mencari pekerjaan di dekat rumah saja.Hati ini menginginkan merantau ke kota, mencari pengalaman dan juga mencari teman. Namun lain di kata, kedua kakak ku tak mengizinkan, apa lagi Emak. Dia takut sendirian tinggal di rumah. Aku menurut saja dengan mereka.Akhirnya aku bekerja di salah satu pabrik tekstil cukup terkenal di kota sebel
Bab 10Kakak iparMas Wawan tak menjawab sepatah katapun, dari semua ucapan temannya itu. Teman Mas Wawan yang mengantar kami ke Klaten bernama Mas Eko.Satu jam lamanya kami berada di mobil, tak ada obrolan tak ada sapaan. Hening.Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Rumah Mas Eko, masih satu RT dengan kami. Jadi dia sudah menjadi tetangga Mas Wawan cukup lama. Jadi mengetahui betul sifat ibu Mas Wawan.Dia tidak bermaksud menggurui, ataupun membela ku. Dia hanya mengatakan pendapatnya saja, setelah mendengar aku dan Mas Wawan berdebat di mobil.Akhirnya sampai di rumah Emak. Rumah joglo peninggalan almarhum bapak, bercat biru muda. Nampak damai terlihat. Sayu-sayu terdengar suara azan Magrib berkumandang.Karena memang letak rumah Emak sedikit jauh dari mushola.Dibukakan pintu rumah setelah mendengar mobil berhenti di halaman rumah.Emak tersentak kaget. Melihat ku menggendong Hawa, turun dari mobil.Disambutnya penuh suka cita, dan sesekali menyeka air matanya yang jatuh di
Bab 11Putus asa"Saya terima nikah dan kawinnya Nanda binti Jono Sutejo, dengan mas kawin tersebut dibayar, Tunai." Mampu aku ikrarkan dengan satu tarikan nafas."Sah," sahut saksi nikah, yang berada di hadapan kami.Tepat tanggal 6 Mei 2020, aku menikahi gadis pujaan ku. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.Gadis yang sudah aku pacari selama kurang lebih setahun itu, mengandung benih yang kutanam. Ada rasa ragu aku menikahi nya. Karena pengakuan pacarnya yang terdahulu, dia juga pernah melakukan hal terlarang itu.Namun berbeda dengan ucapan Nanda. Dia berani bersumpah atas nama Tuhan, di hadapanku. Ada keraguan dalam hati. Hingga setelah menikah, sikapku berubah dengannya.Aku tak lagi perhatian, dan sering kali marah padanya tanpa sebab.Ada rasa sesal, namun aku tak tega meninggalkannya dalam kondisi mengandung.Ibuku, salah satu orang yang kecewa dengan ku. Hingga akhirnya dia melimpahkan semua amarahnya pada Nanda.Mungkin ini tak adil untuknya.Namun aku