Share

Bab 3

Pagi menjelang, tatkala tubuh ini malas untuk beranjak dari lelap. Namun niat harus tetap disatukan. Ya selama aku tinggal bersama mertua, bangun pagi sudah menjadi kewajiban. Mendahului dia yang punya rumah. Mas Wawan belum pulang kerja. Dia berangkat jam sepuluh malam, sekitar jam delapan pagi dia baru tiba dirumah. 

Aku membawa pakaian kotor  ke kamar mandi. Karena memang aku mencuci dengan tangan di kamar mandi. Dapur milik ibu mertuaku tidak lah luas, maka dari itu untuk mencuci baju aku sudah terbiasa di kamar mandi. Matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku yang masih hamil besar pun bersusah payah menyikat baju satu demi satu. Ibu mertuaku mulai memasukan kayu ke dalam tungku untuk memasak. 

Ya, rumah suamiku masihlah sangat sederhana. Untuk memasak pun kami masih menggunakan kayu bakar. Tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar di balik pintu kamar mandi. Ibu mertuaku berbicara kasar, aku mengerti itu dia tunjukan kepada ku. Entah apa yang membuat ibu, seakan benci padaku. 

"Anji**, Jadi orang negur kalau ada mertua, di sapa ga cuman diem aja. Kita kan gak tahu diluaran sana, mereka pada bicara apa? Kalau gak tahu mereka mikirnya mertuanya yang gak tahu diri, padahal menantunya aja gak sopan. Apa gak pernah diajarin tata Krama! Diam aja kalau diajak bicara, emangnya situ bisu, nggak tho?" sungut mertuaku sambil memasukan kayu ke dalam tungku.

Tak ada jawaban dari bibir ini, hanya saja tanpa kusadari air mata jatuh di pelupuk mata. Tangan ini tetap menyikat baju, namun dada semakin sesak. Jikalau aku sedang tak mengandung. Mungkin akan berbeda cerita. 

Srek … srek …

Tangan terus saja menyikat.

Meskipun air mata juga terus menetes.

Sabar ya Nak. Sebentar lagi kamu keluar. Tak akan aku biarkan satu orang pun menyakitimu ataupun menyakiti ibu.

Aku segera menjemur pakaian tanpa memperdulikan lagi ucapan mertuaku.

🌸🌸🌸

Aku berkeluh kesah pada Mas Wawan suamiku.

Dia mengerti akan posisi ku. Namun dia juga tidak menegur ibunya, sangat mengecewakan. Dia tahu betul sifat ibunya sendiri, dan dia juga tahu betul sifat ku. Namun dia tak ingin memperpanjang masalah ini. 

Aku setiap hari menerima cacian maupun sindiran pedas oleh ibu mertuaku. 

Aku akan menahannya. Tapi tidak setelah aku melahirkan. Aku akan bersikap lebih tegas terhadapnya. 

Karena manusia model begitu, kalau tidak di lawan. Akan terus berbuat semaunya.

Aku mempersiapkan kelahiran ku yang sebentar lagi masuki tanggal perkiraan.

Tidak lupa selalu berdoa agar dimudahkan dalam hal apapun.

"Nan, nasinya abis. Kamu masak sana, nanti suamimu pulang kerja gak ada makanan!" Perintah ibu mertua padaku.

Dia tak menghiraukan aku yang sedang hamil tua, dia hanya ongkang-ongkang kaki. Sambil menonton acara televisi kesayangannya.

Aku biarkan dia menikmatinya terlebih dahulu. 

Hingga saatnya tiba, kau akan menangis, memohon maaf padaku.

Aku tak menjawabnya, namun segera aku laksanakan perintahnya. Memasak dan juga bersih-bersih rumah.

Sesekali aku berhenti dan mengambil nafas panjang. Menikmati hal yang sudah menjadi keputusanku. Tidak mungkin aku merengek pada emak. Jikalau dulu aku sudah pernah dinasehati olehnya.

Insting Ibu tidak akan pernah salah. Mungkin aku harus mencoba menerimanya

🌸🌸🌸

Pagi ini perutku rasanya mulas, ingin pergi ke belakang namun tak bisa.

Jikalau terasa mulas, segera aku pergi ke kamar mandi. Namun rasa mulas itu hilang setelah aku berada di kamar mandi.

Segera aku bilang pada Mas Wawan. Mungkin ini saatnya aku akan segera melahirkan. Karena telah keluar darah segar dari jalan lahir.

Mas Wawan segera membawaku ke klinik terdekat.

Namun aku yang baru pertama kali menjalani persalinan, menyimpan rasa takut yang membuat tensi darah naik. Aku kemudian dirujuk ke rumah sakit terdekat.

Mungkin karena di persalinan ku yang pertama tidak didampingi orang tua sendiri.

Berkali-kali aku menjalani tes darah maupun USG. Memastikan bahwa anakku akan segera lahir dalam keadaan sehat.

Jam dua siang perutku kontraksi semakin sering dan juga lebih menyakitkan. Tak membutuhkan waktu lama,  Tepat jam empat sore anakku lahir di dunia dengan sehat tanpa kekurangan apapun.

Namun dengan berat hati, dokter menyatakan aku HBsAg positif. Dimana aku baru diketahui setelah melahirkan. Jalan satu-satunya anakku harus disuntik dengan vaksin immunoglobulin HB (HBlg).

Anakku disarankan tidak diberi ASI eksklusif karena penyakit liver yang aku derita.

Aku mengiyakan, dan setuju memberi anak ku dengan susu formula.

Dia bayi perempuan yang sehat dan cantik.

Hawa El Shanum. Nama yang aku beri untuk si jabang bayi.

Semoga kelak engkau menjadi anak yang Sholeh dan juga pintar. Berbakti kepada orang tua dan penyayang.

Dengan penuh kasih sayang aku merawat putri kecilku.

 Mas Wawan kini semakin rajin bekerja. Sebulan sekali aku membeli beras sekarung, setelah suamiku menerima gaji. Namun sayangnya ibu mertuaku tak menghiraukan itu. Tak menghargaiku, padahal jika sabun mandi maupun sabun cuci habis aku segera membelinya. Tak jarang gula maupun kopi aku juga yang membelinya. Namun semua kebaikan ku tak nampak olehnya.

Hingga aku tak lagi mampu menutupi kekecewaan ku lagi.

"Nanda, sabun cuci habis tadi dari warung kenapa gak beli sekalian?"

"Saya sudah beli kok, Bu. Sabun cuci, sabun mandi dan juga pasta gigi!"

"Dimana sekarang? Aku mau mencuci! Ambilkan untukku!" Ibu mertua menyapu di seluruh sudut ruangan.

"Aku membeli untuk diriku sendiri, Mulai hari ini sabun aku pisah! Agar kalau aku boros aku tidak akan menghabiskan sabun yang ibu beli!" Aku kecewa setelah mendengar dari tetangga. Bahwa aku yang sudah menghabiskan semua yang ada di rumah ini. 

"Sekarang kamu mulai hitung-hitungan ya!" Ibu berkacak pinggang sembari menatap ke arahku.

"Aku gak mau, Bu. Menghabiskan barang yang ibu beli. Aku juga akan memberitahu Ibu. Bahwasanya mulai hari ini. Aku akan memasak sendiri. Silahkan ibu juga memasak sendiri untuk anak dan juga suami ibu."

"Kamu kurang ajar ya, Nan! Kamu mau pelit sama mertuamu?" 

"Saya gak pelit, Bu. Tapi saya perhitungan setelah ibu juga menghitung hidupku di sini. Dari makan, gula dan beras." Aku berjalan meninggalkan Ibu yang masih menahan marah di dapur. Tidak lagi aku dengarkan semua ucapan yang masih terlontar di bibirnya. 

 Ibu mulai kelabakan, karena memang selama ini aku lah yang membeli kebutuhan rumah. Kecuali sayur buat makan sehari-hari. Tapi yang aku kecewakan, beliau berbicara kepada semua orang kalau aku menghabiskan makanan dirumahnya. Sungguh menyedihkan bukan?

Seharusnya jika dia merasa lebih tua dia akan menempatkan dirinya sebagai contoh dan juga panutan yang baik untuk anak-anaknya.

Aku juga akan menempatkan sebagai menantu yang bisa menghormati mertuanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status