"Mas, sepertinya aku hamil. Bulan ini aku belum haid, padahal ini sudah hampir ganti bulan!"
"Terus kenapa?""Aku takut, Mas. Kita kan belum menikah, lagian aku belum kamu kenalkan dengan kedua orang tuamu. Aku takut kamu gak mau bertanggung jawab!" desak ku pada Mas Wawan."Apa beneran positif? Sudah di cek belum? Nanti cuma telat?" tanya Mas Wawan yang masih menatap layar ponselnya. Tidak ada rasa takut maupun khawatir terhadapku."Belum, Mas. Aku takut!" Aku memainkan cincin yang melingkar di jari manis sebelah kanan."Takut kenapa?""Takut kalau aku beneran hamil!" Pandanganku beralih pada pria yang ada di sebelahku."lha terus gimana?" Mas Wawan masih terlihat memainkan ponselnya.Aku diam sejenak, meraih dompet yang aku taruh dalam tas. Dan terlihat disana hanya ada beberapa lembar uang lima ribuan."Mas, aku lagi gak ada duit! Tolong belikan tespeck ya?" pintaku pada Mas Wawan sembari bergelayut di lengannya."Aku lagi gak ada duit, belum gajian," Dengan gampangnya dia menjawab, seperti tidak punya rasa bersalah ataupun rasa kasihan mendengar keluhanku."Mas, kamu benar-benar ya. Gak mau keluar uang. Aku minta di beliin testpack aja gak ada!" sungutku penuh amarah sambil melepas tanganku dari lengannya."Aku juga lagi gak ada duit, kalau aku punya udah aku kasih!" Mas Wawan menghentikan aktivitasnya lalu menatapku sejenak.Aku pergi begitu saja meninggalkan Mas Wawan yang masih duduk di kursi. Ya, kami bertengkar selayaknya kekasih di salah satu cafe yang cukup terkenal di kota ku. Aku belum menikah dengan Mas Wawan, namun sepertinya aku hamil. Pikiranku tak karuan ketika bobot tubuhku semakin kurus, awalnya aku seneng. Tubuhku yang terlihat langsing, namun lama kelamaan pinggang ini sering sakit. Kepala ku sering pusing, dan kalau pagi sering muntah-muntah. Aku yang masih bekerja di pabrik tekstil ternama di kota. Takut ketahuan kalau nanti beneran hamil. Teman-temanku semua sudah mencurigai ku."Kamu kok kurusan sih, Nan? Sering sakit pula, mikirin apa?" tanya Tari temanku di pabrik. Dia memperhatikanku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala."Gak papa, capek aku!" jawabku singkat.Aku pergi begitu saja, setelah jam istirahat tiba. Aku ke kantin yang ada di pabrik.Aku dan Tari makan bakso di sana."Makanmu banyak banget, Nan. Tapi tubuhmu kurus, kalau pagi aku sering lihat kamu muntah-muntah! Bulan ini aja kamu belum datang bulan lho!" Telisik Tari."Gak tau nih, lagi banyak pikiran. Makanya gak tertib datang bulannya!" "Jangan-jangan kamu hamil lagi?" Tari menatapku dengan penuh curiga."Husstt, jangan keras-keras. Nanti pada denger lagi." Jari telunjuk tepat berada pada bibir."Kamu beneran hamil?!" Tari kembali bertanya karena ucapanku yang mulai mencurigakan."Belum aku cek," Aku menjawab dengan santai. Sembari memasukan bakso ke dalam mulut."Kenapa gak di cek? Buruan, nanti keburu besar lagi!"Aku lagi gak ada duit buat periksa!""Mas Wawan dong, suruh bayarin. Suruh tanggung jawab!""Dia lagi gak ada duit, malas aku minta sama dia!""Kamu itu jadi cewek yang berani dong, dia minta jatah aja kamu kasih. Masak minta uang buat periksa gak di kasih. Cowok apa?""Gak tau, gak usah dibahas. Pusing aku!"Lantas aku mengajak Tari segera meninggalkan kantin.❤️❤️❤️❤️❤️Aku tinggal di kos-kosan, karena rumahku cukup jauh. Lagi pula kadang ada lembur, jadi kalau pulang malam aku takut sendirian. Aku yang sedang tiduran di kasur mendengar ponsel ku berbunyi. Benar saja itu dari Mas Wawan."Halo, ada apa telpon?" tanya ku dengan menaikan nada bicara satu oktaf."Cuma kangen, gak boleh telpon apa? Sudah periksa?" Terdengar orang yang ada disebrang telepon sedang khawatir."Udah!""Terus hasile?" tanya Wawan penasaran."Positif! Kamu itu dari kemarin sudah aku suruh tho, beliin testpack. Lha ternyata cuma tujuh ribu aja, kamu gak kuat beliin. Gimana mau ngurus aku sama anakku!" sungutku masih memendam amarah."Lha sudah tho, mau gimana lagi? Wong lagi gak ada duit!" Wawan dengan berat mengatakannya."Terus ini gimana? Kenalin aku sama bapak ibu mu, awas kalau gak tanggung jawab!""Iya pasti aku tanggung jawab, nanti tak kenalin sama mereka!""Jangan nanti, aku maunya sekarang. Kalau nanti keburu besar perutku!""Iya …."Ku tutup telpon tanpa menunggu penjelasannya lagi. Setelah dua Minggu, aku diajak ke rumahnya dikenalkan dengan kedua orang tua Mas Wawan."Kenalkan, Pak, Bu. Ini Nanda, pacar Wawan."Aku tersenyum dan menunduk kepada mereka."Ini gubuk Wawan, Nduk Nan. Sederhana, Wawan bukan anak orang kaya. Kamu mau menerima dia apa adanya tho?"( Gubuk= rumah)"Iya, Pak." jawaban ku singkat.Rumah Mas Wawan tidaklah mewah ataupun berpagar besi. Rumah bercat warna merah muda itu terlihat sangat sederhana.Tapi apapun keadaannya aku berjanji akan menerimanya dengan ikhlas. Kalau soal harta bisa dicari sama-sama.Yang terpenting saat ini ada sosok ayah yang akan menemani calon bayiku.****Seiring berjalannya waktu, perutku semakin membesar. Tepatnya bulan Mei aku menikah dengan Mas Wawan. Bulan itu juga usia kandunganku sudah memasuki bulan ke empat. Yang aku pikir menikah dengan Mas Wawan masalahku selesai. Namun aku salah, disinilah awal aku menemui masalah. Mertua yang awalnya baik menjadi ular yang berbisa setelah tinggal bersama. Aku yang tengah hamil tidak terlalu bersemangat untuk mengerjakan rumah, hanya ingin bermalas-malasan. Namun mertuaku tidak bisa memaklumi itu."Hamil bukan buat tiduran, buat kerja. Agar nanti kalau lahiran. Lancar," ucap Ibu mertuaku.Aku hanya diam, teringat pesan mamakku di kampung. Apapun yang terjadi kalau lagi hamil, gak usah di ladeni. Diem aja. Aku nurut aja, meskipun hati ini ingin mencakarnya. Aku berlalu begitu saja, tanpa ada jawaban dariku. ❤️❤️❤️❤️❤️Baru satu bulan tinggal bersama mertua, seakan sudah hidup di neraka. Dia selalu menyindirku karena aku hamil duluan. Toh yang bikin aku kayak gini juga anak lelakimu. Ketika aku sedang menyapu halaman depan. Ibu mertuaku membeli sayuran di tukang sayur yang selalu berhenti di depan rumah."Nambah keluarga, juga nambah kebutuhan. Udah makannya banyak, gak mau beli beras. Angel, Jang Ujang." Suara itu terdengar mengarah kepadaku.(Angel : susah)Gaji suamiku berapa? Buat cicilan motor, buat periksa kehamilan. Aku saja yang jadi istrinya jarang dikasih uang buat keperluanku pribadi. Dongkol rasanya, denger omongan kayak gitu. Dada ini seakan bergemuruh, seandainya aku bisa mengulang waktu. Aku tidak akan melakukan hal yang membuatku sampai disini. Terkadang di tengah kehamilanku, aku ingin bekerja. Mencari uang yang banyak untuk menampar mereka, yang selalu berpikir uang itu segalanya. Hati ini begitu sakit, tersayat pedang yang dilayangkan ibu sendiri. Aku selalu berharap semua akan indah pada waktunya. Tapi keberuntungan belum berpihak dengan ku. Marah ini kecewa ini membuat dada ini semakin sesak. Di tengah hamilku yang sudah mulai membesar, setiap malam aku sering menangis. Rindu mamak yang ada di kampung, rindu dengan segala kesederhanaannya yang menerima aku apa adanya.Sakit ini semakin berat, tatkala suamiku, ternyata orang yang begitu kaku dan juga egois. Sering aku meminta pergi menjenguk ibu. Tapi jarang di izinkan. Kenapa aku ingin pergi menemui orang tuaku, kau larang? Tapi kau di sini sering melukai hatiku.Hingga ku lewati setiap malam dengan tangisan.Tuhan, izinkan aku pergi dari rumah ini. Aku begitu lugu hingga tak berani membela diriku sendiri.Tuhan, akankah kelak aku akan merasakan bahagia? Hingga sekarang kau beri cobaan yang terasa amat berat bagiku.Tuhan, jika nanti aku akan merasakan bahagia, berikan kebahagiaan yang tiada duanya.Tuhan, jika roda kehidupan berputar, izinkan aku menikmati bahagia.Sebelum aku menikah dengan Mas Wawan, aku sudah lebih dulu membeli motor. Meskipun baru setahun aku mencicil. Paling tidak aku sudah mengeluarkan uang muka serta angsuran setahun. Ternyata Mas Wawan juga mengambil kredit motor, alhasil setelah dia menikahiku. Beban yang harus dibayarkan terlalu banyak, sehingga dia berencana mengembalikan motor ke Dealer."Pak, aku gak sanggup. Bayar angsuran, motor mau aku balikin ke Dealer," ucap Mas Wawan pada Bapaknya.Karena memang Mas Wawan sudah membayar cicilan motor milikku. Jadi jika harus membayar juga cicilan motor miliknya. Mungkin uang gaji tidak akan cukup jika nanti ingin digunakan untuk periksa kandungan. Sebab ongkos untuk memeriksakan kandungan saat ini kisaran dua ratus ribu."Biar diterusin adikmu, nanti bapak yang bantu. Udah setahun, kan sayang kalau mau di balikin!" Jelas bapak pada suamiku."Iya, Pak!" Mas Wawan menyetujui. Toh, dia yang mengatakan jika akan membantu melunasi motor bersama adik Mas Wawan.Mas Wawan memang gak
Pagi menjelang, tatkala tubuh ini malas untuk beranjak dari lelap. Namun niat harus tetap disatukan. Ya selama aku tinggal bersama mertua, bangun pagi sudah menjadi kewajiban. Mendahului dia yang punya rumah. Mas Wawan belum pulang kerja. Dia berangkat jam sepuluh malam, sekitar jam delapan pagi dia baru tiba dirumah. Aku membawa pakaian kotor ke kamar mandi. Karena memang aku mencuci dengan tangan di kamar mandi. Dapur milik ibu mertuaku tidak lah luas, maka dari itu untuk mencuci baju aku sudah terbiasa di kamar mandi. Matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku yang masih hamil besar pun bersusah payah menyikat baju satu demi satu. Ibu mertuaku mulai memasukan kayu ke dalam tungku untuk memasak. Ya, rumah suamiku masihlah sangat sederhana. Untuk memasak pun kami masih menggunakan kayu bakar. Tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar di balik pintu kamar mandi. Ibu mertuaku berbicara kasar, aku mengerti itu dia tunjukan kepada ku. Entah apa yang membuat ibu, seakan b
Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa."Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan."Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa
"Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa."Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa."Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu."Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!" "Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!""Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?""Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah
Bab 6TetanggaIbu mertuaku tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak menyangka, aku akan bicara seperti itu."Hayo, sore-sore begini ngomongin apa?" Tiba-tiba Mbak Lastri datang dan ikut berkumpul."Dari Mana Mbak Lastri?" tanya Bu Yuni. Aku yang sudah masuk kedalam rumah hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Bukan bermaksud menguping tapi nada bicara mereka yang lumayan keras. Jadi siapa aja yang berada di jarak cukup jauh pun bisa terdengar olehnya."Dari rumah, Bu Yuni. Dari warung ya? Kok bawa gula segala. Gak mungkin kan ke rumah Bu Darti bawa gula?" Mbak Lastri terkekeh. Dia tetangga yang suka bercanda memang. "Ini lho. Bu Darti sama menantu gak akur!" Bu Yuni berbisik tapi masih jelas terdengar olehku dari kamar.Dasar para tetangga suka ghibah."Halah, sudah pada tau. Kalau Bu Darti ini gak suka sama Nanda! Ya kan, Bu?" Mbak Lastri terlihat menanyakan langsung pada mertuaku. Dia sedikit manyun karena ketidaksukaannya mengenai pertanyaan yang baru saja Mbak Lastri
Bab 7Kedatangan emak"Waalaikumsalam," Aku segera membuka pintu depan yang dari tadi aku tutup rapat. Karena dibelakang aku sedang sibuk mencuci piring.Alangkah terkejutnya aku, melihat sosok Emak berdiri di ambang pintu, tersenyum menatapku. Entah mengapa motor yang mereka kendarai tidak terdengar olehku.Ada rasa bahagia, karena mendapat kejutan dari Emak. Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya."Emak … Kok gak telpon dulu. Kan nanti bisa di jemput sama Mas Wawan." Sambil ku mencium takzim, punggung tangan Emak."Buat kejutan." Emak selalu tersenyum ketika berbicara padaku. "Masuk, Lek!" Aku memanggil Lek Agung yang telah mengantar Emak ke Wonogiri.Dia sedang duduk di kursi teras rumah, sambil menghisap rokok."Iya, Nan, nganter Emakmu itu. Katanya kangen sama cucunya." jawabnya singkat."Iya, terima kasih ya, Lek! Sudah repot-repot mengantar Emak kesini. Hawa lagi tidur." Segera aku menyuruh, Emak untuk beristirahat. Namun Emak menolaknya. Segera ku buatkan Emak d
Bab 8Kemarahan Nanda"Apa kamu gak pernah bantu-bantu mertua kamu ya? Katanya kamu selalu saja tidur, kamu gak pernah bantu dia masak atau juga beberes rumah, bener itu, Nan? Aku kok seringnya melihat kamu bersihkan rumput halaman rumah dan juga ngepel!" tutur Bude Rina sembari membenarkan gendongannya." Ow … ya, Bude? Ibu mertuaku bicara seperti itu? Padahal yang masak tiap hari itu aku, yang beberes itu juga aku. Dia lebih suka mengajak Hawa, jika pekerjaan rumah menumpuk. Nanti kalau Hawa menangis dia juga langsung memberikannya padaku! Bisa-bisanya bicara seperti itu?""Iya lho, dia bilang seperti itu. Kadang dia bilang kamu gak bantu dia berbelanja. Dari sabun sampe makan sehari-hari aja kamu gak bantu! Jahat sekali mertuamu bicara seperti itu!"Aku tak menjawabnya, hanya diam dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bude Rina.Ini tetangga bicara benar, atau hanya ingin mengadu domba aku dengan mertua?Dia pun pergi meninggalkan aku yang masih saja dibuat bertanya-tanya
Bab 9PendidikanUcapan Mas Wawan kala itu, masih terngiang jelas di ingatanku. Seakan aku tak percaya dibuatnya. Aku mencoba membiarkannya berlalu, namun tetap saja aku mengingatnya.Malam ini setelah Hawa terlelap di pangkuanku. Aku tak langsung bisa memejamkan mata.Pikiranku menerawang jauh. Mengingat setiap detik awal aku menginjakan kaki di rumah ini.Saat itu usiaku baru 21 tahun, bapakku sendiri sudah meninggal, sejak aku masih di bangku SMA. Tinggal Emak saja, aku tiga bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Kebetulan sekali aku adalah anak bungsu. Menjadi perempuan satu-satunya adalah beban tersendiri untukku. Aku diharuskan tetap di rumah, mencari pekerjaan di dekat rumah saja.Hati ini menginginkan merantau ke kota, mencari pengalaman dan juga mencari teman. Namun lain di kata, kedua kakak ku tak mengizinkan, apa lagi Emak. Dia takut sendirian tinggal di rumah. Aku menurut saja dengan mereka.Akhirnya aku bekerja di salah satu pabrik tekstil cukup terkenal di kota sebel