Share

6 mengambil alih

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2024-09-22 09:11:34

Kubuka perlahan pintu dengan ornamen ukiran tembaga, kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah yang dulu adalah surga, ada canda, tawa, pelukan dan kehangatan.

Setiap kali mengantarnya berangkat kerja aku akan selalu berdiri di sini, mencium punggung tangan Mas Randy lalu ia dengan lembut akan membelai wajahku dan mengatakan, "Tunggu aku pulang ya, Sayang."

Sore hari, ia kembali dan aku kembali menyambutnya, lalu kami menikmati makan malam, bersantai di ruang tivi, aku akan bergelayut mesra di lengan atau merebahkan diri di pangkuannya.

Atau dapur itu, ketika aku asyik memasak dia akan datang mengejutkanku dengan pelukan dan kecupannya dari belakang. Ah, mataku perlahan mengabur oleh air mata, semakin berusaha kutahan untuk tak menangis air mata ini luruh dengan sendirinya.

"Suamiku, teganya dia, bercinta di belakangku, dia mengabaikanku dan perasaanku. Bahagianya dia memeluk dan mencumbu gadis itu," gumamku tersedu-sedu dan luruh dan tergugu di ruang tamu.

Sekian lama tenggelam dalam tangisan hingga aku sadar sendiri bahwa mungkin saat ini suamiku sedang tertawa puas bersama kekasihnya. Jadi, untuk apa aku menangis? untuk apa aku bersedih dan meratapi kebodohanku.

"Ya, aku masih punya waktu untuk bangkit dan memperbaiki semuanya, aku bisa ... Aku pasti bisa."

Kuhapus air mataku dan bangkit menuju kamar lalu membersihkan diri.

**

Makanan sudah terhidang dan tertata rapi membangkitkan nafsu makan, aromanya yang kaya rasa ditambah serta rasa lelah membuat laparku demikan meningkat. Kuraih piring dan kusendokkan makanan sebanyak mungkin dan mulai makan.

"Hai, Sayang," sapa mas Randi dengan senyum indahnya dari balik pintu.

Rupanya ia sudah pulang, tepatnya lagi, dia masih ingat pulang. Memuakkan.

"Hmmm," gumamku cuek saja sambil terus menyendokkan makanan ke mulut.

"Sayang, kok, tumben makan sendiri, gak tunggu Mas dulu," ucapnya dengan raut wajah yang sedikit ditekuk pura-pura merajuk.

"Hah, aku tak termakan sandiwaramu, dasar sial," batinku.

"Hei, kok diam aja? Kamu sakit, Sayang?"

"Enggak, kok."

"Mas bilang, tumben gak nunggu, biasanya nunggu," katanya sambil mulai menyendokkan nasi ke piringnya

Tidak tahu malu.

"Mas gak lihat," kataku sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, "... mau ditunggu sampai kapan? aku begitu lelah karena setumpuk tugas di kantor hingga melewatkan makan siang, lagi pula siapa yang peduli aku sudah makan atau belum?" kataku dengan sinis.

"Kok, ngomong gitu sih, aku peduli kok?"

Aku hanya menggeleng sambil memutar bola mata, malas.

"Besok minta supir untuk mengantarkan mobil jaguar merah milikku dari gudang mobil, aku akan ke kantor tiap hari mulai sekarang," kataku tegas.

"Uhuk ... Huk ...." Ia terbatuk lalu sesegera mungkin meraih gelas air di sebelah kirinya dan meminumnya, " ... kamu bilang apa? Ke kantor?" tanyanya heran

"Iya, kenapa?"

"Kamu di rumah aja, Sayang, biar aku yang mengurus semuanya, kalo kamu capek program kita untuk punya bay ...."

Prak ... ting!

Kugebrak alat makan hingga menimbulkan bunyi yang keras sedang suamiku terlihat terperanjat apalagi di tambah tatapan tajamku saat ini.

"Apa katamu, tadi?" Kutatap ia dengan seksama.

"Eh, ehm, maksudku, apa kamu gak percaya kalo aku bisa handle semuanya?" katanya dengan nada memelas, jurus khas dia.

"Apa kamu lupa dengan Imelda Subroto pemilik Subroto Media Corp, aku harus perlu izin untuk datang ke perusahaan sendiri?"

"Gak, enggak gitu maksudku, Sayang, aku ... kan sudah ada aku sebagai general manager di sana."

"Hanya general manager, kan? Aku adalah pemilik perusahaan dan wajar dong, kalo aku harus memastikan keadaan perusaanku," kataku.

"Kamu seolah ga percaya sama aku," lirihnya dengan nada sedih, mulai melancarkan jurus jurus yang akan membuatku luruh, sayang tidak mempan!

"Aku percaya, kalo gak percaya kamu gak bakal jadi General Manager, di mana posisi itu sangat diinginkan semua orang, aku hanya ingin turun tangan sendiri mengelola perusahaanku, aku sudah bosan di rumah terus, menunggu danenunggu saja." Aku menegaskannya.

"Lalu ... tentang program kita," tanyanya.

"Tuhan akan berikan anak jika sudah waktunya, kita sudah cek dan dokter menyatakan kita sehat, jadi tunggu aja."

"Ya udah terserah kamu aja," jawabnya pasrah.

Aku tak menanggapinya lagi, segera bangkit menuju kamar tidur dan beristirahat.

Merebahkan diri menghilangkan penat, lelah tubuh dan hati.

***

Mentari bersinar begitu cerah sehingga cahaya keemasannya menembus kaca gedung tempatku berada, bias-bias tersebut memantulkan bayanganku ke kaca meja tempat di mana aku duduk sekarang, meja Papa dulunya.

"Aku tak akan membuat perusahaan yag sudah papa bangun dari nol jatuh ke tangan orang yang salah." Aku bersenandika.

Kutekan salah satu tombol yang terhubung langsung ke ruangan asistenku, Mia.

"Ya, Bu, selamat pagi," sapanya ramah.

"Mia, temui saja di kantor, sekalian undang Pak Bastian," pintaku.

"Baik, Bu."

Lima menit berikutnya pintu di ketuk dan mereka datang menemuiku. Kedua orang yang sudah lama bekerja itu tampak ramah menyapaku.

"Ada apa, Bu," kata pak bastian membuka percakapan.

"Saya mau tanya sekaligus konfirmasi data ini." Kusodorkan data keuangan terakhir perusahaan."

Ia meraihnya dan membukanya sambil mengangguk perlahan, "iya, ini benar, saya dan auditor sudah verifikasi, ada apa?"

"Saya ingin laba perusahaan, dialihkan ke sebuah rekening ke bank luar negeri, 40 persen."

"Untuk apa, Bu?"

"Untuk investasi dan dana cadangan, saya tidak ingin teledor dalam mengelola keuangan, bisa saja kita sukses sekarang, namun belum tentu situasi akan selalu kondusif untuk bisnis kita," kataku menegaskan.

"Apakah saya harus mendiskusikan dengan Pak Randy?" tanya pak Bastian.

"Tidak usah, saya Direktur dan saya berhak menentukan," kataku.

"Tapi, beliau sebagai Manager juga harus tahu regulasi uang tersebut."

"Katakan saja, Ibu Imelda menandatangani proyek baru di luar negeri."

"Tapi ...." Ia masih terlihat ragu.

"Lakukan saja, saya akan bertanggung jawab."

"Baik, Bu. Jika begitu saya mohon diri untuk mulai menyusunnya sekarang," pamitnya.

Aku mengiyakan dan dia meninggalkan ruanganku.

"Mia, saya ingin kamu selalu terhubung dengan saya, saya ingin kamu membelikan saya sebuah jam pintar dan canggih agar kamu mudah mendeteksi keberadaan saya," kataku.

"Untuk apa, Bu? Saya merasa aneh, seolah olah akan terjadi sesuatu yang buruk," ujarnya.

"Tidak ... tidak ada yang buruk, aku hanya merasa untuk lebih menjaga diri sendiri."

"Baik, Bu."

"Oh ya, atur jadwal dengan beberapa investor saya harus merevisi kontrak," kataku.

"Tapi itu, tugas Pak Randy Bu," imbuhnya.

"Aku akan mengambil alih," jawabku.

Ia terlihat masih heran namun tak urung juga mengangguk dan mohon diri.

"Dan ya, Mia, pastikan kamu dan Pak bastian tidak membocorkan ini pada Pak Randy," perintahku lagi.

"Siap, Bu."

"Makasih, ya."

"Sama-sama Bu," jawabnya sambil tersenyum lalu berlalu.

Suamiku ... aku akan turun langsung ke medan pertempuran ini sebagai ksatria yang akan membela harga diriku sendiri, lihat saja. Aku tak akan menangis atau meratap lagi, percuma semua itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   36

    Di pagi yang cerah di awal musim penghujan, istriku yang telah berbadan dua dan menjelang minggu-minggu terakhir kehamilannya terlihat sangat payah dan sejak pagi terus meringis memegangi perutnya."Ada apa, Sayang?" tanyaku menghampirinya yang sedang menggosok sepatuku di dekat meja sepatu."Gak apa-apa, Mas, lagi kontraksi palsu aja kali," jawabnya.Kuraih sepatu dari tanganya dan menuntunnya untuk duduk, "kalo akut gak usah merepotkan diri Sayang, aku masih bisa siapkan sendiri," kataku."Meski punya asisten, Mas tahu kan, kalo dari dulu aku lebih suka menyiapkan segala keperluan suami sendiri," balasnya."Iya, tapi perutmu sudah besar dan itu membuatku kepayahan, Sayang," ucapku sambil menciumi jemarinya."Gak apa, Mas." Ia bangkit perlahan lalu beringsut menuju meja makan namun sesaat kemudian ia terlihat menghentikan kegiatannya dan terlihat tegang sambil memegangi perut buncitnya."Ada apa, Imel?" Aku mendekatinya dan kulihat buliran peluh mulai timbul dari keningnya."A-aku ga

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   35

    Aku mengenal dia di masa kuliah, gadis yang bertubuh sedikit tambun dan memiliki senyuman manis mencuri menawan hatiku. Dia sangat baik dan penuh dengan perhatian, pertama kali berjumpa dia bertanya padaku di mana lokasi perpustakan dan aku pun menunjukkan padanya, di awal pertemuan itulah hubungan kami berlanjut.Hari demi Hari berlalu dengan pertemanan yang semakin erat, aku merasa semakin hari semakin dekat padanya, Ia pun tidak pernah lupa untuk menyapa memberi perhatian kecil mengirimkan ucapan selamat pagi ditambah emoji lucu lewat ponsel juga sering mengingatkan diriku beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Jujur, hal itu membuatku menjadi sangat menyukainya. Dialah Imelda Subroto gadis yang terkenal kaya namun rendah hati di lingkungan kampus kami.Karena kedekatan itu maka kuputuskan untuk serius melamarnya, meski aku tahu aku tak punya apa-apa. Tapi, kuberjanji bahwa aku akan memberinya kebahagiaan seutuhnya."Apakah Mas yakin mau menikahiku?" tanyanya dengan raut waj

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   34

    Hari itu tanggal 12 November, dalam kesyahduan pagi yang penuh berkah.***Aku mengalami sakit kepala hebat dan entah mengapa sejak Agi tadi aku tak mengerti sebabnya. Kutinggalkan kantor dan menitipkan semua urusan lanjutan pada Mia, asisten setiaku yag kini sudah beerhijrah mengenakan pakaian syar'i dan makin Istiqomah."Mia aku pulang, ya," pamitku."Lho, Bu. Ibu mau mau kemana, kan ada rapat dengan para staf," jawabnya heran."Aku merasa mendadak pusing dan lemas," Jawabku."Bagaimana kalo kita bawa ke rumah sakit?""Ga usah aku aku pulang aja," tolakku.Baru saja akan kulangkahkan kaki keluar dari lobi utama tiba-tiba mataku berkunang kunang, telingaku berdenging lalu semuanya gelap seketika.**Kucoba membuka mata dengan sangat kuat, samar samar kulihat ruangan yang kini kupastikan adalah rumah sakit, berdinding putih, peralatan infus dan tensi, peerawat yang berlalu lalang dan bau obat, khas rumah sakit."Bu Imelda," sapa Mia yang terlihat khawatir padaku."Duh," aku berusaha b

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   33

    Musim berganti setelah sekian purnama, matahari berpendar digantikan cahaya bulan yang silih berganti seperti itu, saling menyertai, namun tidak denganku. Aku masih betah menyendiri.Kususuri ruang dalam rumah ini, kuraba dinginnya dinding yang menjulang menemaniku selama bertahun-tahun merajut hari dalam sepi. Aku kesepian, sungguh, ketika di satu sisi kesendirian itu membuatku tangguh namun saat yang bersamaan juga membuatku rapuh.Aku merindukan seseorang dalam hidupku, kerena jujur aku masih normal dan aku butuh teman berbagi, namun sekali lagi trauma luka yang terdalam itu masih membekas dan membuatku, sedikit tertutup.*Kukenakan hijab dan memasang Bros sebagai pemanis,kupulas bedak dan sedikit lisptik, meraih tas lalu bersiap menjalani rutinitasku.Gawai berdering ketika aku sedang sarapan, kuambil benda itu dari dalam tas dan melihat nama kontak yang tengah memanggil adalah Mia, asisten pribadiku selama bertahun-tahun, ia ia telah menikah dan memiliki satu orang putra dan te

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   32

    Beberapa tahun berlalu setelah perjumpaan terakhirnya dengannya. Semilir angin meniupkan ranting dan menggugurkan daun kering, menerbangkannya lalu terhemoas jatuh ke aspal jalan. Berkali kali kupandangi kejadian serupa di bangku taman ini, tempat yag kini selalu menjadi tempat favoritku untukelepas lelah taman dengan pepohonan yang tinggi dan rindang yang tak jauh dari lokasi kantorku.Peralihan musim dari kemarau ke musim hujan membuat beberapa pepohonan menggugurkan daunnya agar tidak merangas kekurangan air. Dan sinilah aku tiap sore melihat daun daun itu berguguran. Dalam cuaca seperti ini, beberpaa orang menikmatinya dengan berfoto ria dengan pasangannya, anak dengan orang tuanya, dan sebagiam lagi remaja dengan teman teman mereka berpose dengan gaya saling saling melempar daun daun kering ke udara. Sedangkan aku yang duduk di sini hanya tersenyum menatap mereka.Kubenahi jaket yang membalut tubuh, serasa angin yang berembus barusan mempermainkan anak rambut dan cukup menusukka

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   31

    Siang ini aku berniat menemui Mas Randy untuk memintanya menandatangani berkas perceraian kami, sekaligus aku ingin memberi tahunya berita duka bahwa kekasihnya telah meninggal dunia.Begitulah, setelah 25 menit berkendara dari kantor, maka sampailah aku di rutan tempat mas Randy di tahan. Ia baru di pindahkan kemari setelah kemarin sempat satu bulan ditahan di kantor polisi."Bu Imelda," sapa salah seorang petugas yang pernah kutemui di pengadilan kemarin."Ya ... Ada ada Pak?""Ibu mau kemana?""Saya akan menemui Pak Randy," jawabku."Kebetulan ini saya mau menitipkan surat," katanya sambil menyodorkan kertas beramplop coklat."Dari siapa?""Dari mendiang Nona Elea, kami menggeledah selnya dan menemukan sepucuk surat yang ditujukan pada anda dan saudara Randy," jawabnya.Kupegang amplop itu dan berkali kali kutimbang untuk membuka dan membaca isinya. Kutepikan diri sejenak di bangku koridor rutan.Kubuka sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas yang bertulis di sana, Dear Mbak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status