Share

7. hotel

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2024-09-22 09:13:13

**

"Aku dengar kamu merevisi perjanjian dan bahkan kamu membatalkannya dengan beberapa investor, ada apa?" Ia yang pulang dari kantor terlihat tak senang.

Setelah dua hari pertemuanku dengan investor, akhirnya berita itu sampai di pendengaran suamiku. Dan dia langsung menanyakannya ketika kami bertemu di meja makan.

"Nilai kontraknya begitu besar untuk membuat brand majalah baru, padahal jika fokus pada redaksi yang sudah kita juga bisa maju, tinggal tambahka rubrik dan halaman ekstra, ekplorasi ide-ide segar dan menarik."

"Tapi itu majalah wanita dan majalah pria," bantahnya, "... aku ingin buat brand baru khusus bisnis dan politik."

"Kita bisa satukan kedua tema itu dan menghemat ratusan juta biaya produksi dan distribusi," imbuhku menolak.

"Justru itu peluangnya ...."

"Saingan kita udah banyak," tolakku juga.

Ia membuang napas kasar sambil mengacak rambutnya. Selalu begitu jika ada hal yang kami perdebatkan.

"Kenapa sih, wanita begitu perhitungan," gerutunya.

"Tentu saja, uang lima ratus juta itu cukup untuk modal dan dana cadangan lain," jawabku.

"Ada baiknya kamu gak terlalu banyak ikut campur," sentaknya dengan nada tinggi.

"Apa?" Aku mendesis tak percaya.

"Apa, aku harus mengingatkan kamu posisiku?"

"Wow, kemarin-kemarin kamu istriku yang manis dan baik hati, kenapa tiba-tba kamu berubah, siapa yang mempengaruhi kamu?" tanyanya dengan nada tak percaya.

"Gak ada, aku hanya merasa sudah terlalu lama aku terpendap di rumah, kurasa aku pun harus bekerja."

"Kalo kamu sampai lelah dan stress, rencana kita untuk program kehamilan bisa gagal," desaknya.

"Cukup!" Aku langsung berteriak dan berdiri, " ... aku muak! hamil... bayi ... tak tahukah kamu betapa aku berusaha, betapa sakitnya diinjeksi hormon, menjalani serangkaian tes dan ambil darah, sudah berapa banyak pil yang aku tenggak, sudah berapa banyak rumah sakit yang aku kunjungi, semua itu kurang bagimu?" teriakku sambil bangkit dari meja makan.

Ia terpana mendengar teriakanku barusan, hingga ia ternganga dan kehilangan kata kata. Mungkin ini adalah teriakan pertama kali baginya, selama menjadi istrinya tak sekali pun aku pernah berselisih paham, karena kami pasangan yang selalu akur dan saling menyayangi.

"Kamu hanya bisa marah dan menuntut, tanpa menimbang bagaiamana aku selama ini berjuang ... aku ...."

"Aku selalu ada untukmu, iya kan? yang aku heran kan, tiba-tiba kamu mulai masuk kantor dan merombak segalanya sesukamu, kamu membuang peluang baik untuk perusahaan kita, kamu juga hampir membatalkan asuransi yang penting itu, apa masalahmu, imelda?" ratapnya dengan nada putus asa.

Aku tertawa getir, mendengar pembelaannya, asuransi? hah, mungkin ia berusaha agar perusahaan kami menandatangi berkas asuransi demi menaikkan jenjang karier Eleanor yang mungkin akan terlihat berprestasi mampu melobi kesepakatan dengan perusahaan media besar sekelas Subroto Corp.

Menjijikkan, memuakkan, aku benci manusia-manusia licik ini.

"Lupakan saja, kamu tak akan pernah mengerti, Mas," kataku sambil menuju kamar, percuma aku berdebat dengannya. Dan sialnya, aku belum makan malam karena ia sudah terlebih dahulu mengajakku bertengkar.

"Dan kamu, kekanak-kanakan Imelda, kamu pikir perusaan adalah mainan, kamu seperti anak kecil yang minta perhatian," rutuknya.

Berani sekali ia berbicara seolah-olah perusahaan itu adalah miliknya, tidak tahu malu!

"Terserah, aku akan lakukan apa yang kuanggap baik," jawabku sambil menutup pintu.

"Kamu akan menyesal," teriaknya.

"Masa bodoh."

"Aarggg ... Sial!"

Ia terndengar membanting sesuatu yang suaranya cukup memekakkan telinga.

**

Keesokan harinya,

Aku telah bangun pagi-pagi, berolah raga lalu menyiapkan sarapan, seusai mandi aku berpakaian rapi lalu turun menikmati sarapan bersiap-siap pergi ke kantor.

Suamiku terlihat sudah bersiap-siap juga, semalam setelah pertengkaran kami, dia memilih untuk tidur di sofa ruang tivi dan sampai saat ini kami belum saling bertegur sapa.

Ia mengambil beberapa berkas dari kabinet dan meraih tas kemudian beranjak pergi.

"Mas, sarapan dulu," tawarku. Meski kesal padanya, aku

Ia melirik sekilas lalu meninggalkanku sendiri, namun ia terlihat menjatuhkan sebuah kertas kecil dari sakunya.

Buru-buru aku bangkit dan memungut kertas itu, membukanya lalu membaca isinya.

Eleanor, Laguna hotel and resort bay, jam empat sore.

Hhmm apa lagi ini? apakah setiap hari mereka tak melewatkan waktu untuk bertemu dan memadu kasih? kemana saja aku selama ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   36

    Di pagi yang cerah di awal musim penghujan, istriku yang telah berbadan dua dan menjelang minggu-minggu terakhir kehamilannya terlihat sangat payah dan sejak pagi terus meringis memegangi perutnya."Ada apa, Sayang?" tanyaku menghampirinya yang sedang menggosok sepatuku di dekat meja sepatu."Gak apa-apa, Mas, lagi kontraksi palsu aja kali," jawabnya.Kuraih sepatu dari tanganya dan menuntunnya untuk duduk, "kalo akut gak usah merepotkan diri Sayang, aku masih bisa siapkan sendiri," kataku."Meski punya asisten, Mas tahu kan, kalo dari dulu aku lebih suka menyiapkan segala keperluan suami sendiri," balasnya."Iya, tapi perutmu sudah besar dan itu membuatku kepayahan, Sayang," ucapku sambil menciumi jemarinya."Gak apa, Mas." Ia bangkit perlahan lalu beringsut menuju meja makan namun sesaat kemudian ia terlihat menghentikan kegiatannya dan terlihat tegang sambil memegangi perut buncitnya."Ada apa, Imel?" Aku mendekatinya dan kulihat buliran peluh mulai timbul dari keningnya."A-aku ga

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   35

    Aku mengenal dia di masa kuliah, gadis yang bertubuh sedikit tambun dan memiliki senyuman manis mencuri menawan hatiku. Dia sangat baik dan penuh dengan perhatian, pertama kali berjumpa dia bertanya padaku di mana lokasi perpustakan dan aku pun menunjukkan padanya, di awal pertemuan itulah hubungan kami berlanjut.Hari demi Hari berlalu dengan pertemanan yang semakin erat, aku merasa semakin hari semakin dekat padanya, Ia pun tidak pernah lupa untuk menyapa memberi perhatian kecil mengirimkan ucapan selamat pagi ditambah emoji lucu lewat ponsel juga sering mengingatkan diriku beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Jujur, hal itu membuatku menjadi sangat menyukainya. Dialah Imelda Subroto gadis yang terkenal kaya namun rendah hati di lingkungan kampus kami.Karena kedekatan itu maka kuputuskan untuk serius melamarnya, meski aku tahu aku tak punya apa-apa. Tapi, kuberjanji bahwa aku akan memberinya kebahagiaan seutuhnya."Apakah Mas yakin mau menikahiku?" tanyanya dengan raut waj

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   34

    Hari itu tanggal 12 November, dalam kesyahduan pagi yang penuh berkah.***Aku mengalami sakit kepala hebat dan entah mengapa sejak Agi tadi aku tak mengerti sebabnya. Kutinggalkan kantor dan menitipkan semua urusan lanjutan pada Mia, asisten setiaku yag kini sudah beerhijrah mengenakan pakaian syar'i dan makin Istiqomah."Mia aku pulang, ya," pamitku."Lho, Bu. Ibu mau mau kemana, kan ada rapat dengan para staf," jawabnya heran."Aku merasa mendadak pusing dan lemas," Jawabku."Bagaimana kalo kita bawa ke rumah sakit?""Ga usah aku aku pulang aja," tolakku.Baru saja akan kulangkahkan kaki keluar dari lobi utama tiba-tiba mataku berkunang kunang, telingaku berdenging lalu semuanya gelap seketika.**Kucoba membuka mata dengan sangat kuat, samar samar kulihat ruangan yang kini kupastikan adalah rumah sakit, berdinding putih, peralatan infus dan tensi, peerawat yang berlalu lalang dan bau obat, khas rumah sakit."Bu Imelda," sapa Mia yang terlihat khawatir padaku."Duh," aku berusaha b

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   33

    Musim berganti setelah sekian purnama, matahari berpendar digantikan cahaya bulan yang silih berganti seperti itu, saling menyertai, namun tidak denganku. Aku masih betah menyendiri.Kususuri ruang dalam rumah ini, kuraba dinginnya dinding yang menjulang menemaniku selama bertahun-tahun merajut hari dalam sepi. Aku kesepian, sungguh, ketika di satu sisi kesendirian itu membuatku tangguh namun saat yang bersamaan juga membuatku rapuh.Aku merindukan seseorang dalam hidupku, kerena jujur aku masih normal dan aku butuh teman berbagi, namun sekali lagi trauma luka yang terdalam itu masih membekas dan membuatku, sedikit tertutup.*Kukenakan hijab dan memasang Bros sebagai pemanis,kupulas bedak dan sedikit lisptik, meraih tas lalu bersiap menjalani rutinitasku.Gawai berdering ketika aku sedang sarapan, kuambil benda itu dari dalam tas dan melihat nama kontak yang tengah memanggil adalah Mia, asisten pribadiku selama bertahun-tahun, ia ia telah menikah dan memiliki satu orang putra dan te

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   32

    Beberapa tahun berlalu setelah perjumpaan terakhirnya dengannya. Semilir angin meniupkan ranting dan menggugurkan daun kering, menerbangkannya lalu terhemoas jatuh ke aspal jalan. Berkali kali kupandangi kejadian serupa di bangku taman ini, tempat yag kini selalu menjadi tempat favoritku untukelepas lelah taman dengan pepohonan yang tinggi dan rindang yang tak jauh dari lokasi kantorku.Peralihan musim dari kemarau ke musim hujan membuat beberapa pepohonan menggugurkan daunnya agar tidak merangas kekurangan air. Dan sinilah aku tiap sore melihat daun daun itu berguguran. Dalam cuaca seperti ini, beberpaa orang menikmatinya dengan berfoto ria dengan pasangannya, anak dengan orang tuanya, dan sebagiam lagi remaja dengan teman teman mereka berpose dengan gaya saling saling melempar daun daun kering ke udara. Sedangkan aku yang duduk di sini hanya tersenyum menatap mereka.Kubenahi jaket yang membalut tubuh, serasa angin yang berembus barusan mempermainkan anak rambut dan cukup menusukka

  • KUBALAS LUKA YANG KAU TOREHKAN   31

    Siang ini aku berniat menemui Mas Randy untuk memintanya menandatangani berkas perceraian kami, sekaligus aku ingin memberi tahunya berita duka bahwa kekasihnya telah meninggal dunia.Begitulah, setelah 25 menit berkendara dari kantor, maka sampailah aku di rutan tempat mas Randy di tahan. Ia baru di pindahkan kemari setelah kemarin sempat satu bulan ditahan di kantor polisi."Bu Imelda," sapa salah seorang petugas yang pernah kutemui di pengadilan kemarin."Ya ... Ada ada Pak?""Ibu mau kemana?""Saya akan menemui Pak Randy," jawabku."Kebetulan ini saya mau menitipkan surat," katanya sambil menyodorkan kertas beramplop coklat."Dari siapa?""Dari mendiang Nona Elea, kami menggeledah selnya dan menemukan sepucuk surat yang ditujukan pada anda dan saudara Randy," jawabnya.Kupegang amplop itu dan berkali kali kutimbang untuk membuka dan membaca isinya. Kutepikan diri sejenak di bangku koridor rutan.Kubuka sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas yang bertulis di sana, Dear Mbak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status