Share

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU
KUBELI KESOMBONGAN IPARKU
Author: Siti_Rohmah21

Hinaan

"Mas, nanti ganti mobil ya, aku ingin mobil honda jazz," celetuk Mbak Dila pada suaminya di hadapanku dan Mas Arlan. Bibirnya bicara tapi matanya melirik ke arah kami, apa maksudnya? Pamer?

"Iya, Sayang, besok kita ganti mobil, apa sih yang nggak buat kamu," timpal Mas Gerry, kakak dari suamiku.

Kemudian, gara-gara mendengar Mbak Dila minta mobil baru, mertuaku muncul dari kamarnya. Lalu ikut nimbrung bicara di ruang keluarga. Ya, kami sedang berkumpul bersama karena adik Mas Arlan yang bungsu akan dilamar. Kebetulan mereka juga membeli rumah di depan mertua persis.

"Kamu mau beli mobil baru, Gerry. Kapan itu? Uang kamu banyak ya ternyata, pasti karena Dila pandai mengatur keuangan rumah tangga. Nggak seperti Nilam, yang kerjaannya belanja online terus," sindir mertua tunggalku, namanya Desti. Aku tinggal bersamanya makanya ia tahu bahwa aku sering belanja online. 

Mas Arlan terdiam, tapi tangannya mencekal pergelangan tanganku. Kemudian membawa diri ini ke kamar. Sepanjang jalan melewati Mbak Dila berdiri, aku menyunggingkan senyuman padanya, pun yang dilakukan olehnya, senyuman tipis seraya mengejek terukir di wajahnya. 

Setibanya di kamar, Mas Arlan mengajakku bicara empat mata. Tidak seperti biasanya, tatapannya kini disertai amarah. 

"Uang dari mana untuk belanja online, Nilam?" tanya Mas Arlan dengan nada pelan tapi penuh penekanan. 

Aku terdiam, tidak menjawab pertanyaannya, sebab saat bersama dengannya di atas ranjang besi yang kuno ini, aku selalu menunjukkan padanya bahwa uang yang ia berikan masih utuh tak kubelanjakan. 

"Uang aku, Mas. Sewaktu kerja dulu sebelum kita menikah, kan masih tersimpan di tabungan," jawabku agak santai.

Mas Arlan menghela napas lega, lalu menarik bibir tipisnya sedikit. Senyuman manisnya terukir merekah sambil mengusap rambutku. 

"Aku pikir kamu beli online itu uang dari mana, aku takut kamu minta sama orang tuamu," jawab Mas Arlan. 

"Nggak, kok Mas, jangan khawatirkan itu, aku masih menghormati kamu sebagai seorang suami, jadi tidak akan meminta sesuatu yang membuat harga dirimu jadi rendah," timpalku lagi. 

Kami memutuskan untuk istirahat sejenak, sebelum acara lamaran Hesti dilaksanakan, meskipun hanya merebahkan tubuh ini di atas ranjang sambil bermain game di ponsel masing-masing. 

***

Malam pun tiba, orang yang akan menyematkan cincin di jari manis Hesty telah datang bersama kedua orang tuanya. Rona kebahagiaan terpancar di mata Hesti, terlebih orang yang akan mempersuntingnya jelas asal-usulnya. Ini adalah kebanggaan tersendiri untuk sang mama. 

Kedua belah pihak menikmati suguhan yang ada. Setelah itu mereka membicarakan akad dan resepsi. Tanggal yang akan ditentukan yaitu sebulan lagi, tepatnya bulan juli setelah hari raya idul adha.

Setelah mereka pulang, kami berkumpul kembali. Mama mertuaku berada di tengah-tengah, ia bicara pada kami semua. 

"Kalian tahu kan biaya pernikahan dan resepsi itu sangatlah mahal. Mama ingin anak perempuan satu-satunya mewah resepsinya. Tidak ingin seperti kamu, Nilam, menikah saja numpang di sini, orang tua macam apa tuh kedua orang tuamu!" tukas Mama Desti. 

Mas Arlan terdiam, hanya menggengam tanganku.

"Aku nyumbang 20 juta untuk pernikahan Hesty, kamu berapa, Lan?" tanya Mas Gerry dengan disertai dagu mendongak. 

"Aku hanya punya simpanan uang lima juta, Mas," jawab Mas Arlan. Jelas ia tidak memiliki banyak simpanan, sebab uang gajinya diberikan padaku lima juta, untuk mamanya tiga juta, sisa dua juta untuknya. Mas Arlan tidak pernah mengutak ngatik pemberiannya terhadapku.

"Tuh kan, kamu tuh nggak punya simpanan banyak, istrimu pasti nih boros banget, padahal tinggal bareng mama loh," celetuk Mama Desti lagi.

Padahal tinggal bersamanya pun semua aku yang beli dari uang lima juta yang diberikan oleh Mas Arlan. Namun, Mama Desti tetap membandingkan aku dengan Mbak Dila, istri dari anaknya. 

"Mah, selama ini kita kan makan dari uang Mas Arlan, Mah," timpalku. 

"Alah, diam kamu, nyerocos mulu," ucapnya dengan nada ketus. Mas Arlan memintaku untuk tidak melayani mamanya, ia memberikan kode dengan mengusap pangkal pahaku.

***

Hari yang ditunggu iparku telah tiba, mobil impiannya datang. Mobil merk Honda Jazz terparkir di pekarangan rumahnya yang memang berada di depan rumah mertuaku.

"Nilam, fotoin Mbak dong," pinta Mbak Dila.

Aku menghela napas kasar lalu meraih ponsel dan mengambil foto terbaik saat ia berada di sebelah mobilnya. Lalu menyerahkan kembali pada Mbak Dila. 

"Makasih ya, kamu kapan sih punya rumah, punya mobil? Numpang terus, apa nggak malu?" Mbak Dila tidak hanya pandai nyinyir, ia juga pandai nyeletuk kata-kata yang menurutnya baik.

Aku tidak terbiasa menjawab sindirannya. Hanya senyum yang aku pancarkan sambil balik badan lalu masuk. Namun, kali ini wanita yang baru saja kredit mobil itu sangat keterlaluan, ia menarik rambutku ketika tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. 

"Monyet, kalau orang nanya tuh jawab," celetuk Mbak Dila. Aku pun sontak melepaskan jambakannya lalu balik badan kemudian melihat wajahnya memerah dengan bibir dilipat, matanya pun terlihat membulat.

"Mbak, aku nggak beli mobil atau rumah, itu bukan urusan Mbak. Urus aja suamimu, Mbak. Tanya itu uang dari mana kok bisa banyak dapatnya? Uang haram atau halal, pertanyakan lah," sindirku gantian.

"Sialan kamu, Nilam!" hardik Mbak Dila. 

Kemudian ia masuk ke dalam rumahnya sambil menghentakkan kaki dan disertai decakan kesal terdengar di telingaku.

Aku masuk ke rumah, ada mertua yang sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya. "Kamu bicara apa pada Dila? Kenapa dia langsung masuk ke dalam begitu?" tanya Mama Desti seraya menuduh. Tatapannya seakan amat membenciku.

"Hanya mengingatkan, Mah. Permisi, aku mau masuk," ucapku sambil menerobos ke dalam.

***

Malam sudah larut, aku menyandar di bahu suamiku. Seperti biasanya kami bercerita sebelum memejamkan mata. "Mas, kenapa sih Mama Desti sikapnya beda pada kamu dan yang dua anaknya? Maksudku Mas Gerry juga Hesty?" tanyaku padanya. Sesekali jari ini mengelus dagunya yang sudah mulai tumbuh jenggot. 

"Aku juga nggak tahu, Dek. Pernah dengar dari tetangga katanya aku bukan anak kandung mama, cuma aku nggak percaya si, Dek," jawab Mas Arlan. 

Aku menyunggingkan senyuman, kalau benar Mas Arlan bukan anak kandungnya, berati aku harus mencari tahu keberadaan orang tuanya. 

"Sekarang aku mau tanya ke kamu, Dek. Kapan kita ke rumah orang tuamu? Sudah hampir lima bulan loh kita nikah, mereka terus yang ke sini." Mataku seketika membulat mendengar pertanyaan darinya.

"Kapan, emm, weekend ini mau?" tanyaku padanya. 

"Boleh, aku tuh merasa orang tuamu merahasiakan sesuatu, benar nggak?" tanyanya penuh curiga.

"Kenapa berpikir seperti itu?" tanyaku kini dengan posisi duduk di hadapannya. 

"Aneh aja, nikah nggak mau di rumahnya, lalu ngelamar juga nggak boleh, cuma kamu dan orang tuamu yang seperti ini, Dek," pungkas Mas Arlan.

"Weekend kita ke rumah orang tuaku, Mas," jawabku singkat lalu menarik selimut sambil membelakangi tubuhnya. 

"Kamu jangan marah, Sayang, aku cuma penasaran," lirih Mas Arlan, sikapnya yang seperti inilah aku merasa nyaman dan jatuh cinta padanya saat magang di kantor milik papaku, Ruslan Aryadi, pemilik PT. Candra Sentosa, perusahaan turun temurun yang akan diwariskan padaku dan suami, jadi memang sengaja orang tuaku meminta seluruh jajaran staf kantor merahasiakan kepemilikannya.

Mas Arlan bekerja hanya sebagai staf biasa yang baru masuk bareng saat aku berpura-pura magang. Kami pernah duduk di bangku kuliah di fakultas yang sama, dan aku jatuh cinta padanya atas kegigihannya dalam belajar.

"Mas, aku nggak marah, sekarang kita tidur ya, kamu sabar nunggu lusa," jawabku kemudian memejamkan mata. 

Sejam kemudian, aku menoleh ke arah Mas Arlan, ia sudah tertidur pulas, aku pun segera mengambil ponsel dan menghubungi orang tuaku.

"Halo, Pah, maaf ganggu," ucapku lebih dulu.

"Iya, ada apa, Sayang?" tanya papaku yang berada di seberang sana.

"Pah, Mas Arlan minta ke rumah papa, kan dia penasaran sejak menikah belum diizinkan singgah, dari nikah loh, Pah," protesku.

"Nanti, tunggu waktunya, kamu bertahan dulu di sana, yang terpenting sikap Arlan baik pada kamu," perintah papa. Aku terdiam dengan ucapannya.

"Tapi, Pah. Mbak Dila semakin kurang ajar, Pah, semakin sombong dia," timpalku lagi sambil sesekali mengamati Mas Arlan yang sedang tertidur pulas. 

"Sabar, Nak, tunggu waktu yang tepat, kita akan beli kesombongan iparmu," sahut papa lagi membuatku berdecak kagum. Kalau ia sudah bicara seperti itu, artinya beliau sudah mempersiapkan kejutan.

______

______

Mga Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ayu
Suka ceritanya , bikin penasaran kelanjutannya
goodnovel comment avatar
Stefanus Ludji
sip cerita menarik
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Mantaapp ceritanya thoorr
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status