Share

Satu Rahasia

"Apa itu masalah korupsi, Om? Apakah sudah terbukti catatan keuangannya?" Aku bertanya dengan sederet pertanyaan. Tangan ini juga menjalar ke perekam percakapan untuk aku simpan sebagai cadangan bukti nantinya.

"Licin untuk membuktikan Gerry, tapi ternyata di balik pintarnya kakak iparmu menutupi keuangan saat audit itu ada wanita di belakangnya," timpal Om Farhan membuatku terkejut, kini posisiku berdiri tegak seraya penasaran dengan apa yang beliau katakan. 

"Menarik sekali, Om, ada wanita lain di belakangnya, wah ini buah dari karmanya Mbak Dila dong yang menuduhku tadi," kataku dengan semangat. Jelas ini kabar baik untukku, sebab orang yang sering julid padaku ternyata kena omongannya sendiri. Barusaja aku disebut wanita murahan, ternyata suaminya sendiri ada main gila dengan wanita lain. 

"Ya, kami sedang berdiskusi dengan team, karena wanita yang berada di belakang ini semua sangat berpengaruh di kantor yang Om punya, saat ini sahamnya 35 persen di perusahaan ini," jawab Om Farhan menjelaskan sedikit tapi mudah aku pahami. 

Aku terdiam seketika, sepertinya tidak mungkin juga bicara tentang semua masalah melalui sambungan telepon. Ini malah bisa membahayakan diri sendiri, bisa jadi mereka yang di luar kamar mendengarkan percakapan kami.

"Emm, Om, besok aku ke rumah Papa, kira bertemu di sana ya, Om. Pagi sekitar pukul sembilan," ucapku menentukan janji. 

"Baiklah, ponakan Om yang paling cantik, besok kita ketemu," timpalnya lagi. Kemudian telepon pun terputus setelah kami berdua berpamitan dengan saling mengucapkan salam. 

Aku duduk kembali, lalu merebahkan tubuh ini sejenak sambil menunggu perut lapar untuk makan siang nanti.

Sebenarnya aku ingin sekali keluar rumah untuk makan-makan di mall, menghabiskan saldo rekening, tapi apa boleh buat, Mas Arlan belum mengizinkan aku pergi sendirian tanpa ditemani olehnya. 

Aku menikah dengan Mas Arlan karena memang jatuh cinta dengan kepribadiannya, bukan merasa dibutakan oleh cinta, tapi kepribadian baik yang ia punya memang patut diidam-idamkan, kasih sayangnya yang kadang membuat hati ini terbuai pun takkan pernah tergantikan. Aku senyam-senyum sendiri jika mengenang semua perlakuan Mas Arlan terhadapku. Namun, saat ini, terlintas kata-kata Om Farhan tentang rahasia Mas Gerry di kantor. 

"Mas Gerry membelikan Mbak Dila mobil baru meskipun kredit, berati untuk menutupi perselingkuhannya, sedangkan Mbak Dila, dengan percaya dirinya mengatakan bahwa karena sayang. Huh, kalau bukan sedang bersandiwara, sudah aku sindir di muka Mbak Dila," ucapku bicara sendirian di atas ranjang. 

Mataku terasa lengket, lalu menguap karena sulit menahan rasa kantuk yang melanda. Akhirnya aku ketiduran hingga terdengar adzan dzuhur dari arah mushola dekat rumah. 

Aku turun dari ranjang untuk segera berwudhu, setelah itu barulah aku makan siang.

Setengah jam kemudian, aku pun keluar kamar untuk makan siang di meja makan. Rambut yang terurai aku ikat lebih dulu, lalu melangkahkan kaki ke meja makan.

"Sepi sekali, pada ke mana ini orang? Hesti dan Mama Desti kenapa pergi tidak pamit?" tanyaku sendirian sambil mengamati seisi ruangan. Memang sepi sekali, sepertinya mereka pergi ke rumah Mbak Dila.

Aku buka penutup saji, betapa terkejutnya melihat meja makan yang tidak ada isinya. Lauk yang kumasak tidak ada satu pun terpampang di meja, nasi pun tidak ada.

"Mereka sembunyikan di mana nasi dan lauk? Astaga, ini mertua dan ipar kenapa seperti genderuwo yang menyembunyikan anak-anak," gerutuku sendirian sambil duduk dengan tangan berada di atas meja.

Mereka pikir aku akan teriak-teriak jika tidak ada makanan? Ini era digital, aku tak mungkin selemah itu, tidak ada makanan nangis dan minta ngerengek.

Aku raih ponsel yang selalu kubawa, lalu mengusap dan menuju aplikasi online warna hijau khusus pengantar makanan. 

Setelah dua puluh menit kemudian, bel rumah berbunyi, pasti dari ojek online yang membawa makanan untukku. Tanpa membuang waktu, kuayunkan kaki ini dan menuju teras rumah. 

Aku sudah membayar dengan uang cash, tiba-tiba Mbak Dila keluar bersama Mama Desti dan Hesti. "Uang haram itu, Pak. Jangan mau terima!" teriak Mbak Dila membuat ojek online yang barusan terima uang dariku terdiam.

"Jangan dengarkan orang gila ngomong, Pak, dia itu stress gara-gara suaminya selingkuh. Lihat saja bentar lagi dia juga ada di jalanan sambil teriak teriak, kenapa suamiku selingkuh," ejekku dengan sengaja. Dada ini sudah amat geram dengan pola yang ditunjukkan Mbak Dila, ia sudah amat keterlaluan. 

Kemudian ojek online tersebut pergi, sedangkan Mbak Dila yang mendengarkan celotehan aku tadi membuka pintu gerbangnya. Wajahnya memerah seraya keluar tanduk dari kedua pelipisnya. Langkah kakinya sangat cepat untuk mengejarku yang sudah menutup gerbang dan hendak masuk ke dalam.

Suara gerbang menjerit terdengar memekikkan telingaku, namun langkah ini tetap tertuju ke meja makan.

"Stop, Nilam!" teriak Mbak Dila, tapi aku tak peduli. 

"Stop, Nilam, kamu harus mempertanggungjawabkan ucapanmu barusan, wanita liar!" umpat Mbak Dila membuatku menurunkan bahu sambil menghela napas.

Aku menghentikan langkah yang sudah terayun. Lalu membalikkan badan dan berhadapan dengan wanita yang mulutnya tidak pernah dikoreksi itu. Lengan baju aku angkat ke atas seraya menantang. Tangan sebelah kiri yang sudah memegang ayam geprek sudah siap menghantam mulutnya memakai sambal yang masih utuh di dalamnya. 

"Mau apa lagi? Hah! Aku lapar, Mbak. Nggak ada waktu dan energi untuk berdebat denganmu," cetusku masih bisa mengontrol emosi, padahal darah ini sudah cukup mendidih, dan tangan sudah siap meladeninya. 

"Tadi kamu bilang aku diselingkuhi? Maksud kamu itu apa?" tanya Mbak Dila dengan nada lantang. Kemudian, Mama Desti dan Hesti menyusulnya, kini mereka ada di belakang Mbak Dila. 

"Kamu itu kalau punya mulut dijaga, Nilam! Mana mungkin anak kesayangan Mama selingkuh, Gerry nggak mungkin selingkuh," susul Mama Desti menyeruak kerusuhan ini.

Aku membasahi bibir dengan sedikit ludah disertai senyuman manisku.

"Haruskah aku jawab?" tanyaku balik. 

"Ya harus lah, kamu itu nggak punya bukti, fitnah namanya," sanggah Mbak Dila membuatku semakin tertawa. 

"Lalu apa bedanya Mbak Dila tadi? Hah! Aku difitnah selingkuh dengan om-om hanya karena ada panggilan masuk," timpalku juga.

"Itu bukti namanya, kalau kamu? Hanya menuduh tanpa bukti!" teriak Mbak Dila dengan amat marah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia benar-benar tahu perselingkuhan Mas Gerry, apa wanita itu benar-benar gila nantinya?

"Aku juga punya bukti kok, kalau Mas Gerry itu punya selingkuhan," timpalku kini dengan menurunkan nada. Emosiku juga sudah reda saat ingin bicara padanya bahwa aku pun memiliki bukti bahwa suaminya itu selingkuh. 

Mata ketiga orang yang berada di hadapanku membuka seketika, bahkan mereka tidak mampu mengedipkan matanya. 

Bersambung 

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Keluarga DaniWyant
apa ino cerita detektiv detektivan?
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status