Setelah mengalami pergulatan panjang di dalam benakku. Akhirnya kuputuskan untuk mendekat. Berulang kali logika menolak, tetapi entah kenapa nurani mengarahkan berbeda. Sudah sejak tiga hari lalu aku menginformasikan pada Bu Anne kalau aku akan mulai aktif di setiap kantor cabang. Padahal, biasanya aku lebih senang bekerja di rumah dan memantau semuanya secara virtual. Namun, pesona Diva tak bisa terelakkan. Aku sengaja meminta Bu Anne untuk tak bercerita dulu pada staff yang ada di sana. Entah kenapa, ingin sekali lihat ekspresi Diva ketika melihatku berada di sana secara tiba-tiba. Kelebat senyuman dan kerlingannya ketika bersama Bang Iqbal, jujur buat dadaku panas. Otakku menolak dan meminta untuk berontak. Aku gak suka mereka dekat. Sedikit kecewa ketika melihat raut wajahnya yang hanya memunculkan ekspresi kaget ketika aku membukakan ruangan yang hanya dibatasi dinding kaca ini. Padahal dah ngarep kalau dia senyum senang atau excited gitu. Hanya saja, mau gak mau aku harus kece
Semenjak kehadiran Kenzo di tempat kerja dan memiliki ruangan kerja di sini. Pekerjaan yang semula ringan dan membuatku bersemangat, mendadak menjadi berat dan terasa menekan. Setiap hari ada saja perintahnya ini dan itu. Bahkan kerap sekali mengacaukan acaraku dengan Mas Iqbal. Entah apa dosaku padanya, sejak dulu, dia tak pernah mau melihat hidupku tenang. Seperti hari ini, padahal aku sudah janjian sama Mas Iqbal buat naik bianglala sambil makan kebab. Gak berdua, aku juga sudah mengajak Nurlaela juga. Dia mau pergi mengajak Habib, katanya. Namun, sepertinya harus gagal karena si lelaki menyebalkan ini memintaku lembur. Perasaan suntuk dan kesal gegas kualihkan. Bagaimanapun, aku banyak bersyukur karena pekerjaanku di sini aku mendapatkan uang tambahan. Kuliah kelas karyawanku pun sudah dimulai. Sebagian dilakukan virtual, tetapi kadang datang juga ke kampus sesuai jadwal. Hanya saja memang untuk kelas karyawan ini tak sepadat kelas regular. Deretan tugas dari Bos Kenz yang meny
Pov KenzoAku tengah mengikat rambut sebahuku ketika tampak sosok tinggi tegap menaiki anak tangga tergesa. Seketika sebuah benturan terasa menghantam dada. Bang Iqbal tampak menenteng plastik bening yang didalamnya, aku sangat hapal isinya apa. Dia membawa kebab yang sama seperti yang tengah kupesan sekarang. “How f*ck you are!” Aku mengepal ketika Abangku melewati ruanganku tanpa menoleh sedikitpun, lalu ke mejanya dan disambut senyuman manis yang tak pernah diberikannya padaku. Rasa marah yang meluap, membuatku lekas mematikan laptop dan gegas pergi dan memakai hoodie warna hitamku. Melihat sepasang manusia itu saling lempar senyuman, entah kenapa membuat rasa panas membakar di dalam sini. Aku berjalan menuruni tangga. Aku baru hendak mendorong pintu kaca dan meninggalkan bangunan yang kujadikan tempat usaha ini ketika seorang tukang ojol dengan jaket hijau mendekat. Dia menenteng plastik kebab.“Selamat sore, Pak! Apa sudah tutup, ya?” tukang ojol itu mendekat ke arahku yang bar
Pov DivaAku duduk pada kursi kayu yang ada di dapur. Lantas meneliti pengirim paket itu. Seketika kedua netraku membulat melihat nama pengirim yang tertera di sana. Setelah nama asli dan alamat lengkapku, dia menuliskan satu kata yang membuat aku langsung terhenyak dan kaget luar biasa. Dari Pangeran, untuk Cinderella. Aku bangkit dan mengambil gunting untuk memotong lakban yang melapisi paketan ini. Kubuka perlahan dengan hati penuh tanya. Siapa sebetulnya sosok Pangeran. Kenapa dia bisa tahu alamatku, sedangkan kami sendiri sama sekali tak saling kenal dan belum pernah bersua. Apakah Pangeran itu Mas Iqbal? Ah, kuharap iya. Paketan ini juga datang pada saat setelah acara lamaran selesai. Semoga saja, jika benar, maka aku akan teramat sangat bersyukur. Sosok asing yang sudah membuatku merasa nyaman itu tak lain adalah calon suamiku sendiri. Senyum terukir di bibirku, mengingat tak ada lagi tersangka yang bisa aku tuduh selain dia. Ya, siapa lagi kalau bukan dia, entah kenapa aku
Pov Putri “Putri! Mbak sebetulnya yang kasihan sama kamu. Kenapa sih, gak berhenti recokin kehidupan, Mbak. Asal kamu tahu, Mbak bukan orang beg* yang gak paham, itu semua foto-foto lama. Asal kamu tahu, yang harus kamu waspadai itu suami kamu, Put.” Tiba-tiba Mbak Diva berbicara seperti itu. Kalimat yang mampu membuatku terkejut luar biasa. Setahuku, Mbak Diva gak pernah mengurusi atau mencampuri kehidupan orang lain, apalagi hidupku. Meskipun, aku tetap ingin mencampuri hidupnya. Entah kenapa hati kecilku begitu gak rela lihat Mbak Diva yang selalu lebih disayang Ibu dan Bapak itu hidup lebih bahagia dariku. “Mbak hapal betul, itu Mas Imam. Dan itu foto baru, lihat saja tanggal yang tertera pada saat pengambilan foto itu. Jadi, sebaiknya kamu urus saja suami kamu, jangan terus-terusan recokin hidup, Mbak. Mbak dan Mas Iqbal akan tetap menikah dan kami sudah saling percaya!” tukasnya dengan tegas dan menatapnya tajam. Aku yang tengah mengunduh file yang dia kirimkan menelan saliv
Pov Imam Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku ingin sekali mengubah semuanya seperti semula. Diva yang kutinggalkan, semakin hari, justru semakin mempesona. Sementara itu, perempuan yang kunikahi, ternyata hanya membuat kepala semakin nyut-nyutan setiap hari. Putri, perempuan yang sudah membuatku ketagihan dengan pelayanannya di atas ranjang, perlahan menunjukkan sisinya yang lain. Dia tak hanya boros, tetapi sama sekali tak bisa membedakan mana priortas dan mana keinginan. Bahkan, kerap kali dia mengungkit uang yang memang sejak dulu kujatahkan untuk Ibu dan adik-adikku. Sebulan pertama menikah, hubungan kami harusnya sedang manis-manisnya. Hanya saja, sayangnya, dia selalu saja membahas masalah keuangan. Hal yang benar-benar membuat aku merasa tak dihargai sebagai suami. Aku masih berusaha sabar, meskipun hal itu sudah kerap menimbulkan riak-riak tengkar kecil dalam hubungan kami yang belum seumur jagung. Kuberikan dia pengertian perlahan, tetapi ternyata tak masuk sedikit pun
Pov Diva [Diva, Putri masih belum sadarkan diri. Dia keguguran. Imam] Aku melonjak kaget ketika membaca sederet pesan dari nomor Putri. Kubaca lagi, tetapi isinya tetap sama. Di sana tertera dengan jelas jika Putri keguguran. Lekas kupijit nomor telepon milik adikku tersebut hingga akhirnya panggilan pun terhubung ke sana. “Hallo! Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam ….” Kudengar suara lemas seorang lelaki yang menjawab telepon tanpa semangat. “Mas, kenapa Putri?” Helaan napas kasar kudengar sebelum suara Mas Imam yang kini menggantikannya. “Putri keguguran, Va. Dia sedang persiapan operasi kuret saat ini.” “Kok bisa, Mas?” Aku tersentak kaget. Ingat sekali ketika dia pergi dengan penuh emosi meninggalkan rumah ini. “Panjang ceritanya, Va. Cuma minta sampaikan saja pada Bapak dan Ibu. Cukup bantu doa.” “Baik, Mas. Dirawat di mana, Putri, Mas?” Aku mengucap lemah. Rasanya tetap iba, walau Putri memang menyebalkan, tetapi dia tetap adalah adik kandungku sendiri.“Di Rumah Sa
Pov Diva “Ah iya, aku lupa.” Kuhendak menutup kembali tutup stereoform ini. Namun, satu tangan Mas Iqbal menahannya.“Kok malah ditutup lagi, Va?” Aku melongo, bukannya dia sendiri yang bilang susah lagi nyetir, ya? “Kan lagi nyetir, Mas?” “Hmmm, tangan Mas memang sibuk, tapi tangan kamu ‘kan bebas.” Eh, maksudnya apa ini? Apakah ini kode kalau Mas Iqbal minta disuapin? Duh, tiba-tiba aku jadi malu sendiri kalau kayak gini. “Jadi?” Aku menatap wajah tampan yang tampak dewasa dan tenang itu. “Suapin,” kekehnya seraya mengulum senyuman. Tuh kan, ternyata sudah mulai modus. Namun, akhirnya aku menurut juga. Kuambil satu biji kue tersebut lantas mulai menyodorkan ke bibirnya. Rasanya badan panas dingin dan waktu berhenti berputar ketika bibir lembutnya menyentuh jemariku. “Enak,” tukasnya ketika dia sudah berhasil menyelesaikan kunyahannya. “Ibu yang bikin,” tukasku memberikan informasi yang sebetulnya orang lain pun sudah tahu, termasuk Mas Iqbal, kurasa.Dia manggut-manggut, t