Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
" Mbak, baju seragam yang buat acara nikahanku besok, mana? Kata Mama lagi Kakak setrikain, ya?” Putri adikku muncul dari balik pintu. “Sudah disimpan di kamar kamu, Put.” Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya setiap mengingat hal ini, sakitnya sampai ke ubun-ubun. Tega-teganya adik kandungku sendiri tidur dengan lelaki yang beberapa minggu lagi akan menikahiku. Lalu, sekarang? Aku harus kuat hati melihat hari bahagia mereka di depan mata. Rasanya, sakitnya tuh di mana-mana. “Oke, deh! Makasih, Mbak.” Putri menutup pintu kamarku. Lekas aku beranjak dan berjalan mendekat ke arah jendela. Kuhirup udara banyak-banyak agar rongga dada yang terasa sesak terasa lega. Namun, sama saja. Bahkan air mataku kembali menggenang. Tiba-tiba memoriku bersama Mas Imam berlarian. *** “Va, lihat ini … kemarin aku sudah interview dengan pihak Bank. Alhamdulilah, KPR aku disetujui. Nanti setelah kita nikah, kita sudah bisa pindah ke rumah sendiri.” Mas Imam menatapku dengan pandangan berbinar
Brak!Sebuah pemandangan yang menyakitkan tersaji di depan mata. Hatiku terasa hancur. Kedua tungkai terasa lemas luar biasa. Dia, adik yang kusayangi sudah tak lagi berbusana dan menutup tubuhnya dengan seprai. Pakaiannya berserakan di mana-mana. Tanda merah, aku melihatnya dengan jelas menyebar pada lehernya.“P—Putri, k—kamu tega sekali sama, Mbak?!” pekikku dengan tangan mengepal. Aku memandangnya dengan nanar. Sekelumit bayangan itu kembali membuat air mata ini luruh. Setelah kejadian itu, bukan hanya aku yang terluka, tetapi juga Ibu. Perempuan yang sama menggantungkan harapannya pada Putri sepertiku. “Kenapa kamu tega, Put?” lirih batinku mengulangi pertanyaan serupa yang tak pernah akan ada jawabannya. Karena dia yang sudah melukai kami, bahkan tengah bersuka cita karena akan segera menikah. Ketukan pada daun pintu, terdengar beruntun. Aku menoleh. Lekas kuseka air mata yang mengalir membasahi pipi. Tak mau lagi menunjukkan pada orang serapuh apa aku. Bahkan setiap kali di
“Hey, tunggu!” teriakku. Dia belum bayar kuenya soalnya. Dia berhenti, lalu menoleh dan sepasang mata elangnya menatap tajam. “Ngapain lo manggil-manggil gue! Jangan pernah mikir mau godain gue! Perawan gak laku!” Plak!Entah setan dari mana yang menggerakkan tanganku. Kalimatnya begitu menyakitkan hati. Kutelan saliva dan menatap tajam penuh benci. “Dua kali hati ini disakiti oleh dua orang lelaki. Akan kubuat kalian mengemis-ngemis cintaku di kemudian hari!” batinku berucap. Janji pada diri sendiri. Sakit karena dikhianati belum pergi. Kini ditambah lagi bertemu manusia laknat yang ucapannya melukai harga diri.“Lo nampar gue?” Sepasang mata Kenzo menatap tajam. Tiba-tiba adegan ini seoalh dejavu. Memoriku sekilas berlari pada Kenzo dengan seragam putih abu dan rambut dicat berwarna magoni. Pandangan itu masih sama, lekat kebencian tertanam di sana. Bahkan ucapannya pun hampir serupa, “Lo laporin gue ke kepala sekolah? Jang sok jadi cewek, deh!” Aku menggeleng kepala. Mengembal
“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. “Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam. Putri tampak kaget. Mungkin seumur hidup seatap denganku, baru kali ini aku bicara agak keras padanya. “Mbak, kenapa Mbak teriak-teriak? Mbak lupa kalau di rumah ini ada Bapak yang lagi sakit? Mbak gak mikirin perasaan Bapak, ya? Dia sedang stroke, Mbak. Jangan sampai kondisinya makin drop kalau dengar kita ribut-ribut kayak gini?” Aku menelan saliva. Ingin rasanya menyumpal mulut Putri itu. Namun, sadar. Putri bukan orang yang bisa diajak bicara. Berdebat dengannya hanya menghabiskan tenaga. Sementara itu, ada Bapak yang butuh aku, ada Ibu yang harus kubantu. “Kalau kamu gak mau ikutin aturan, Mbak. Mulai hari ini, Mbak akan pernah ngeluarin sepeser pun buat kebu
Hidup memang terus melaju. Esok yang tak kukehendaki pun akhirnya tiba. Usai menikmati satu piring nasi goreng kencur buatan Ibu dan segelas teh pahit hangat, aku beranjak. Ada sesuatu yang terasa hampa, ketika dulu setiap pagi, Mas Imam-lah yang menjemputku ke sini dan kami berangkat kerja bersama. Aku panaskan sepeda motor bebek yang biasa dipakai Putri kuliah. Toh, kini dia sudah ambil cuti, acara nikahan dengan Mas Imam akan dilaksanakan dua mingguan lagi. “Mbak kok pake motor? Aku mau pergi.” Dia melongokkan wajah dari balik pintu. “Mbak mau kerja. Kuliah kamu ‘kan sudah cuti juga.” Aku menoleh sekilas ke arahnya. Lantas berjalan masuk dan meninggalkan sepeda motor beat keluaran lama yang sedang di panaskan di teras rumah. Kuhanya melirik sekilas padanya yang tengah memoles perwarna bibir warna orange, lalu duduk pada kursi kayu yang ada di ruang tengah dan mengenakan kaos kaki. Putri tampak sudah rapi. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Selalu saja tampilannya seksi. Dia